Ayat bacaan: Matius 12:36-37
========================
"Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum."
Seorang teman di sebuah situs jejaring maya menulis di statusnya: "Katanya, wanita mengeluarkan kata-kata 16000-21000 per hari secara rata-rata, sedangkan laki2 hanya 5000-9000. Waduh, kebayang deh nanti setiap kata yang kita ucapkan akan diminta pertanggung jawabannya. Tiap hari, mana yang kira-kira yang mendominasi perkataan kita, kebaikan/keburukan?" Dia benar. Jika ada sebanyak itu kata-kata yang diucapkan setiap hari secara rata-rata, maka besar kemungkinan ada beberapa atau bahkan mungkin banyak dari jumlah itu yang berisikan hal-hal buruk. Gosip, hujatan, hinaan, cercaan, makian, kata-kata negatif, kebohongan, semua itu bagaikan kebiasaan yang mengisi perkataan kita setiap hari. Sebagai pria, mungkin saya bisa beranggapan bahwa saya relatif lebih tenang, karena jumlah kata-kata yang keluar dari pria "hanya" sepertiga dari wanita. Tapi bukankah jumlah itu pun sudah sangat banyak? Dalam sehari saja sudah begitu, bagaimana jika dikalikan jumlah hari dalam hidup kita? Perkataan yang keluar dari mulut kita seringkali tidak kita perhatikan. Kita sibuk menjaga perilaku kita, tidak korupsi, tidak curang dalam bekerja atau berdagang, tidak menyakiti orang lain secara fisik, tetapi lupa bahwa ucapan-ucapan yang keluar dari mulut kita pun tidak terlepas dari pertanggungjawaban kita nanti.
Yesus sudah mengingatkan kita akan hal ini. "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum." (Matius 12:36-37). Itu artinya, segala kata yang keluar dari mulut kita, baik yang kita sadari maupun tidak haruslah kita pertanggungjawabkan kelak pada hari penghakiman. Ini jelas merupakan sesuatu yang serius yang harus kita sikapi dengan baik sejak dini. Yakobus sudah menggambarkan betapa buas dan liarnya lidah kita. Ia bahkan menggambarkannya sebagai sesuatu "yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan". (Yakobus 3:8). Mengapa Yakobus menggambarkannya dengan begitu ekstrim? Sebab ini merupakan hal yang serius. Bagaimana tidak, "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (ay 9-10).
Jauh sebelumnya kitab Amsal telah banyak memberikan peringatan akan pentingnya menjaga perkataan ini. Salah satunya berbunyi demikian:"Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19). Semakin banyak kita berbicara, semakin banyak pula peluang untuk mengeluarkan kata-kata yang sia-sia, yang mendatangkan pelanggaran. Jika kita tidak punya kendali sama sekali terhadap perkataan kita, maka berbagai ucapan yang mengarah pada dosa akan sangat mudah keluar dari mulut kita. Dan itu semua kelak biar bagaimanapun tetap harus kita pertanggungjawabkan.
Agur bin Yake pernah memberikan tips menarik. "Bila engkau menyombongkan diri tanpa atau dengan berpikir, tekapkanlah tangan pada mulut!" (Amsal 30:32). Ini mengingatkan kita agar tetap waspada, baik dalam keadaan sadar atau tidak untuk menjaga perkataan kita. Sulit memang, tapi kita harus selalu berusaha untuk menjaga agar jangan sampai perkataan yang sia-sia, negatif dan sebagainya yang mengarah pada dosa keluar dari mulut kita. Untuk itu kita harus selalu menjaga hati kita, "karena yang diucapkan mulut meluap dari hati." (Matius 12:34b).
Dari ribuan kata yang kita keluarkan perhari, apakah kita sudah mewaspadai bahwa semua itu tidak berisi hal-hal yang bisa mengancam keselamatan kita? Tidak saja untuk hari penghakiman kelak, tetapi dalam kehidupan kita sehari-hari pun kita bisa dijauhkan dari resiko mendapat masalah karena ucapan-ucapan yang keluar dari mulut kita. Pepatah mengatakan "mulutmu adalah harimaumu", itu sungguh benar. Jika tidak hati-hati, kita bisa binasa diterkam oleh apa yang keluar dari mulut kita. Sekali lagi, memang tidak mudah. Namun kita bisa mulai belajar untuk mengendalikan omongan kita dan mengawasi segala sesuatu yang kita ucapkan hari ini juga. Ingatlah bahwa kelak semua harus kita pertanggungjawabkan. Oleh karena itu, isilah hati kita dengan firman Tuhan dan pikiran-pikiran kita dengan segala sesuatu yang positif. Hiduplah terus bersama tuntunan Roh Kudus yang akan memampukan kita untuk menjaga mulut kita.
Pakailah mulut untuk memperkatakan firman Tuhan, bersyukur dan memberkati orang lain
Monday, May 31, 2010
Sunday, May 30, 2010
Panggung Sandiwara
Ayat bacaan: 2 Korintus 4:2
=======================
"Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah."
"Dunia ini panggung sandiwara.." itu cuplikan awal dari satu lagu lawas berjudul Panggung Sandiwara yang pernah populer lewat Nicky Astria. Semakin lama hal seperti itu memang terlihat semakin jelas. Hampir setiap hari kita melihat di televisi bagaimana orang begitu mudahnya mempermainkan fakta. Mengatasnamakan rakyat, tapi sesungguhnya untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat hanyalah boneka di panggung sandiwara mereka. Mereka tampil seolah-olah membela kepentingan orang banyak, tapi sebenarnya kepentingan diri sendiri dan golongan lah yang mereka perjuangkan. Tidaklah heran jika mereka bisa menjadi musuh hari ini, tapi bersekutu esok hari, karena apa yang mereka cari hanyalah segala sesuatu yang bisa menguntungkan diri mereka. Sungguh sulit mencari orang yang benar-benar tulus hari ini, karena hampir di setiap lini kehidupan kita akan berhadapan dengan orang-orang yang berlaku licik, penuh sandiwara, lain di muka dan lain di belakang. Ada banyak agenda tersembunyi di balik segala kebaikan mereka. Ironisnya, sikap seperti ini pun seperti wabah yang juga bisa menimpa anak-anak Tuhan.
Ikut-ikutan korupsi, melakukan suap menyuap, melakukan hal yang jahat secara sembunyi-sembunyi, penuh tipu muslihat dan sebagainya. Tampil luar biasa dalam pelayanan, tetapi kehidupannya tidak mencerminkan terang dan garam sama sekali. Terlihat sangat rohani, tetapi semua itu hanyalah di permukaan sementara di dalam penuh cela. Tidakkah kita masih mendapati perilaku seperti ini di kalangan orang percaya? Menyalam dengan penuh senyum, tetapi menghujat di dalam hati, atau menipu rekan bisnis. Bersikap baik kepada seseorang bukan karena mengasihi tetapi karena punya kepentingan, memberi iming-iming demi keuntungan pribadi, mark up harga, menaikkan harga jual agar mendapat untung yang lebih besar dan lain sebagainya. semua ini menunjukkan perilaku licik. Bukankah kita pernah melihat orang percaya yang terjerumus dalam perilaku ini? Atau jangan-jangan kita pun pernah melakukannya.
Sesungguhnya ketulusan dan kejujuran kita merupakan hal mutlak yang diinginkan Tuhan. Paulus paham akan hal itu. Itulah sebabnya ia menekankan: "Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah." (2 Korintus 4:2). Bagi Paulus dan rekan-rekan sepelayanannya hal ini merupakan hal penting. Tidak peduli resiko apapun yang harus mereka terima, mereka terus giat melayani dan itu mereka lakukan untuk Tuhan dengan ketulusan dan kesungguhan. Agenda-agenda tersembunyi, tipu daya atau tipu muslihat dan berbagai kelicikan lainnya tidak terdapat dalam pelayanan mereka. Mereka terus menjaga dan memastikan agar bisa terus fokus dan menjaga hati mereka untuk tetap bersih. Apa yang dilakukan Paulus dan rekan-rekan sekerjanya adalah sebuah keteladanan mengenai ketulusan yang seharusnya kita contoh dalam kehidupan kita sehari-hari.
Mari kita pikir sekali lagi. Kalaupun kita bisa mengelabui manusia dengan tipu muslihat atau berbagai kelicikan, apakah mungkin kita bisa mengelabui Tuhan? Jelas tidak. Dan firman Tuhan berkata: "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Manusia bisa tertipu tapi Tuhan tidak. Dia yang menciptakan kita, Dia pasti tahu apapun yang kita sembunyikan tanpa peduli serapi apa kita mampu menyembunyikannya. Tulus atau tidak, itu Tuhan tahu. Sehebat atau serapat apapun kita menyembunyikan sesuatu, Tuhan tetap tahu apa yang menjadi isi hati kita. Topeng apapun yang kita pakai, Tuhan tetap mengenal apa yang ada di balik topeng itu. Berapa lama kita sanggup menyembunyikan tipu muslihat dibalik kebaikan kita? 10, 20, 70 tahun? Perjalanan hidup di dunia ini sesungguhnya singkat, sangat singkat dibandingkan kekekalan yang menjadi tujuan selanjutnya. Cepat atau lambat kita harus siap memberikan pertanggungjawaban di hadapan tahtaNya, dan itu akan sangat menentukan kemana kita akan "berlabuh" kelak.
Petrus mengingatkan dengan tegas menolak segala perbuatan tersembunyi. "Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah." (1 Petrus 2:1). Melihat bagaimana kejujuran dan ketulusan semakin sulit terdapat dalam dunia, kita seharusnya mampu tampil sebagai pribadi-pribadi yang berbeda, yang menjadi terang dan garam, yang mencerminkan Yesus. Jika tidak, bagaimana mungkin kita bisa mengklaim bahwa kita bukanlah termasuk orang percaya yang licik? Dalam memberi hadiah atau sedekah pun sama. Kita seharusnya memberikan dengan tulus, tetapi yang kerap kali terjadi adalah adanya agenda-agenda tersembunyi yang kita simpan di belakang kita. Melakukan pelayanan tapi tidak tulus, bukankah itu akan menjadikan kita batu sandungan bagi banyak jiwa yang masih belum selamat? Bayangkan bagaimana kecewanya Tuhan melihat kita apabila sikap kita masih seperti itu. Tuhan pun mengingatkan kita seperti ini: "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya." (Matius 6:1-2).
Mari kita sama-sama introspeksi dan merenung sejenak. Apakah kita masih melakukan bentuk-bentuk kecurangan atau kelicikan ini? Atau masih terlibat dalam berbagai penipuan? Jika masih ada benih-benih seperti ini dalam hidup kita, sudah saatnya bagi kita untuk berbalik. Bertobat sungguh-sungguh dan memegang komitmen untuk tidak lagi bersikap licik, itulah hal yang dinantikan Tuhan dari kita. Jika masih ada agenda tersembunyi atau berbagai rencana tipu muslihat dalam diri anda, buanglah segera dan gantikan dengan ketulusan serta kejujuran. Bukan soal penampilan luar yang utama, tetapi seberapa patuhnya kita terhadap firman Tuhan, itulah yang penting. Berbuat baiklah bukan karena mengharapkan imbalan atau karena memiliki agenda-agenda tersembunyi dibalik itu, tetapi lakukanlah dengan tulus ikhlas untuk memuliakan Tuhan dan membagi berkat kepada sesama. Dunia bisa saja menjadi panggung sandiwara, tapi janganlah kita ikut-ikutan sebagai sutradara disana. Marilah kita sama-sama memastikan diri kita untuk tetap bersih dan tulus agar kiranya kita bisa tetap berkenan di hadapan Tuhan.
Buanglah segala kelicikan, tipu muslihat, kemunafikan dan lain-lain dan segeralah ganti dengan hati yang tulus ikhlas melakukannya untuk Tuhan
=======================
"Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah."
"Dunia ini panggung sandiwara.." itu cuplikan awal dari satu lagu lawas berjudul Panggung Sandiwara yang pernah populer lewat Nicky Astria. Semakin lama hal seperti itu memang terlihat semakin jelas. Hampir setiap hari kita melihat di televisi bagaimana orang begitu mudahnya mempermainkan fakta. Mengatasnamakan rakyat, tapi sesungguhnya untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat hanyalah boneka di panggung sandiwara mereka. Mereka tampil seolah-olah membela kepentingan orang banyak, tapi sebenarnya kepentingan diri sendiri dan golongan lah yang mereka perjuangkan. Tidaklah heran jika mereka bisa menjadi musuh hari ini, tapi bersekutu esok hari, karena apa yang mereka cari hanyalah segala sesuatu yang bisa menguntungkan diri mereka. Sungguh sulit mencari orang yang benar-benar tulus hari ini, karena hampir di setiap lini kehidupan kita akan berhadapan dengan orang-orang yang berlaku licik, penuh sandiwara, lain di muka dan lain di belakang. Ada banyak agenda tersembunyi di balik segala kebaikan mereka. Ironisnya, sikap seperti ini pun seperti wabah yang juga bisa menimpa anak-anak Tuhan.
Ikut-ikutan korupsi, melakukan suap menyuap, melakukan hal yang jahat secara sembunyi-sembunyi, penuh tipu muslihat dan sebagainya. Tampil luar biasa dalam pelayanan, tetapi kehidupannya tidak mencerminkan terang dan garam sama sekali. Terlihat sangat rohani, tetapi semua itu hanyalah di permukaan sementara di dalam penuh cela. Tidakkah kita masih mendapati perilaku seperti ini di kalangan orang percaya? Menyalam dengan penuh senyum, tetapi menghujat di dalam hati, atau menipu rekan bisnis. Bersikap baik kepada seseorang bukan karena mengasihi tetapi karena punya kepentingan, memberi iming-iming demi keuntungan pribadi, mark up harga, menaikkan harga jual agar mendapat untung yang lebih besar dan lain sebagainya. semua ini menunjukkan perilaku licik. Bukankah kita pernah melihat orang percaya yang terjerumus dalam perilaku ini? Atau jangan-jangan kita pun pernah melakukannya.
Sesungguhnya ketulusan dan kejujuran kita merupakan hal mutlak yang diinginkan Tuhan. Paulus paham akan hal itu. Itulah sebabnya ia menekankan: "Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah." (2 Korintus 4:2). Bagi Paulus dan rekan-rekan sepelayanannya hal ini merupakan hal penting. Tidak peduli resiko apapun yang harus mereka terima, mereka terus giat melayani dan itu mereka lakukan untuk Tuhan dengan ketulusan dan kesungguhan. Agenda-agenda tersembunyi, tipu daya atau tipu muslihat dan berbagai kelicikan lainnya tidak terdapat dalam pelayanan mereka. Mereka terus menjaga dan memastikan agar bisa terus fokus dan menjaga hati mereka untuk tetap bersih. Apa yang dilakukan Paulus dan rekan-rekan sekerjanya adalah sebuah keteladanan mengenai ketulusan yang seharusnya kita contoh dalam kehidupan kita sehari-hari.
Mari kita pikir sekali lagi. Kalaupun kita bisa mengelabui manusia dengan tipu muslihat atau berbagai kelicikan, apakah mungkin kita bisa mengelabui Tuhan? Jelas tidak. Dan firman Tuhan berkata: "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Manusia bisa tertipu tapi Tuhan tidak. Dia yang menciptakan kita, Dia pasti tahu apapun yang kita sembunyikan tanpa peduli serapi apa kita mampu menyembunyikannya. Tulus atau tidak, itu Tuhan tahu. Sehebat atau serapat apapun kita menyembunyikan sesuatu, Tuhan tetap tahu apa yang menjadi isi hati kita. Topeng apapun yang kita pakai, Tuhan tetap mengenal apa yang ada di balik topeng itu. Berapa lama kita sanggup menyembunyikan tipu muslihat dibalik kebaikan kita? 10, 20, 70 tahun? Perjalanan hidup di dunia ini sesungguhnya singkat, sangat singkat dibandingkan kekekalan yang menjadi tujuan selanjutnya. Cepat atau lambat kita harus siap memberikan pertanggungjawaban di hadapan tahtaNya, dan itu akan sangat menentukan kemana kita akan "berlabuh" kelak.
Petrus mengingatkan dengan tegas menolak segala perbuatan tersembunyi. "Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah." (1 Petrus 2:1). Melihat bagaimana kejujuran dan ketulusan semakin sulit terdapat dalam dunia, kita seharusnya mampu tampil sebagai pribadi-pribadi yang berbeda, yang menjadi terang dan garam, yang mencerminkan Yesus. Jika tidak, bagaimana mungkin kita bisa mengklaim bahwa kita bukanlah termasuk orang percaya yang licik? Dalam memberi hadiah atau sedekah pun sama. Kita seharusnya memberikan dengan tulus, tetapi yang kerap kali terjadi adalah adanya agenda-agenda tersembunyi yang kita simpan di belakang kita. Melakukan pelayanan tapi tidak tulus, bukankah itu akan menjadikan kita batu sandungan bagi banyak jiwa yang masih belum selamat? Bayangkan bagaimana kecewanya Tuhan melihat kita apabila sikap kita masih seperti itu. Tuhan pun mengingatkan kita seperti ini: "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya." (Matius 6:1-2).
Mari kita sama-sama introspeksi dan merenung sejenak. Apakah kita masih melakukan bentuk-bentuk kecurangan atau kelicikan ini? Atau masih terlibat dalam berbagai penipuan? Jika masih ada benih-benih seperti ini dalam hidup kita, sudah saatnya bagi kita untuk berbalik. Bertobat sungguh-sungguh dan memegang komitmen untuk tidak lagi bersikap licik, itulah hal yang dinantikan Tuhan dari kita. Jika masih ada agenda tersembunyi atau berbagai rencana tipu muslihat dalam diri anda, buanglah segera dan gantikan dengan ketulusan serta kejujuran. Bukan soal penampilan luar yang utama, tetapi seberapa patuhnya kita terhadap firman Tuhan, itulah yang penting. Berbuat baiklah bukan karena mengharapkan imbalan atau karena memiliki agenda-agenda tersembunyi dibalik itu, tetapi lakukanlah dengan tulus ikhlas untuk memuliakan Tuhan dan membagi berkat kepada sesama. Dunia bisa saja menjadi panggung sandiwara, tapi janganlah kita ikut-ikutan sebagai sutradara disana. Marilah kita sama-sama memastikan diri kita untuk tetap bersih dan tulus agar kiranya kita bisa tetap berkenan di hadapan Tuhan.
Buanglah segala kelicikan, tipu muslihat, kemunafikan dan lain-lain dan segeralah ganti dengan hati yang tulus ikhlas melakukannya untuk Tuhan
Saturday, May 29, 2010
OKB = Orang Kaya Baru
Ayat bacaan: 2 Tawarikh 12:12a
==============================
"Oleh sebab raja merendahkan diri, surutlah murka TUHAN dari padanya, sehingga ia tidak dimusnahkan-Nya sama sekali."
Istilah OKB atau Orang Kaya Baru sering disematkan kepada seseorang yang tiba-tiba berubah sikap dan tingkah lakunya di mata masyarakat. Ketika dulu mereka ramah, kini mereka menjadi angkuh. Jangankan menyapa, melihat saja tidak mau. Dagu terangkat ke atas, omongan menjadi tinggi dan cenderung merendahkan orang lain. Ini sesuatu yang mungkin sering kita lihat langsung di tengah-tengah kita. Harta dan kekuasaan memang bisa membuat perubahan instan dalam hidup seseorang. Adalah baik jika itu semua membuat seseorang malah menjadi semakin rendah hati dan semakin rajin membantu sesama, tapi yang sering terjadi malah sebaliknya. Kesombongan timbul, bertambah pelit dan tidak lagi peduli terhadap orang lain. Hal seperti ini bukan hanya terjadi bagi orang-orang dunia, di kalangan orang percaya pun kita bisa menjumpai hal ini. Betapa ironisnya, ketika kita berdoa meminta pertolongan Tuhan di kala kita hidup berkekurangan, lalu Tuhan menurunkan berkatNya, kita bukannya bersyukur dan memuliakanNya dengan menjadi saluran berkat bagi orang lain, tapi kita malah tergoda untuk bersikap sombong. Saat dalam keadaan pas-pasan manusia rajin beribadah dan berdoa, tetapi ketika dipulihkan secepat itu pula manusia berubah dan menggantikan prioritasnya dengan harta. Tuhan tidak lagi ada di posisi teratas dalam hidupnya. Seorang teman saya pernah sambil tertawa berkata "Lebih baik begini saja.. soalnya kalau saya menjadi kaya saya takut berubah menjadi sombong." Haruskah kekayaan, jabatan, status, kekuasaan dan sebagainya membuat kita berubah menjadi sombong? Seharusnya tidak. Tapi kita memang melihat banyak kasus dalam Alkitab mengenai perubahan sikap seseorang ketika mereka tengah mengalami kesuksesan. Salah satunya adalah raja Rehabeam, anak Salomo, seorang raja Yehuda.
Dalam kitab 2 Tawarikh dikatakan demikian: "Rehabeam beserta seluruh Israel meninggalkan hukum TUHAN, ketika kerajaannya menjadi kokoh dan kekuasaannya menjadi teguh." (2 Tawarikh 12:1). Rehabeam lupa diri ketika berada di puncak kejayaannya. Dia tidak merasa butuh Tuhan dan mengira bahwa semua itu adalah hasil usahanya sendiri. Dia terlena dalam kebanggaan berlebihan dengan apa yang ia miliki. Kekayaannya dan negerinya, juga kekuatan pasukannya. Ini adalah sesuatu yang sangat salah di mata Tuhan, karena firmanNya berkata "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN." (Yesaya 31:1). Maka apa yang terjadi adalah datangnya serangan dari Mesir dan aliansinya yaitu orang Libia, Suki dan Etiopia yang dipimpin oleh raja Sisak. Serangan ini segera memporakporandakan Yehuda. Nabi Semaya pun kemudian datang untuk menyampaikan teguran Tuhan kepada Rehabeam. "Nabi Semaya datang kepada Rehabeam dan pemimpin-pemimpin Yehuda yang berkumpul di Yerusalem berhubung dengan ancaman Sisak, dan berkata kepada mereka: "Beginilah firman TUHAN: Kamu telah meninggalkan Aku, oleh sebab itu Akupun meninggalkan kamu juga dalam kuasa Sisak." (2 Tawarikh 12:5). Untunglah Rehabeam lekas sadar bahwa tanpa campur tangan Tuhan ia tidaklah ada apa-apanya. Lalu ia segera datang merendahkan dirinya dan bertobat. Melihat kesungguhan hati Rehabeam tersebut, Tuhan yang penuh belas kasih pun segera mengurungkan niatnya untuk menghukum Rehabeam dan rakyatnya. "Oleh sebab raja merendahkan diri, surutlah murka TUHAN dari padanya, sehingga ia tidak dimusnahkan-Nya sama sekali. Lagipula masih terdapat hal-hal yang baik di Yehuda." (ay 12).
Kesombongan tidaklah pernah mendapat tempat di mata Tuhan. "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (Yakobus 4:6). Jauh sebelumnya, ayah Rehabeam sendiri yaitu Salomo mengatakan "Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman." (Amsal 16:5), juga "Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan." (ay 8). Sangat disayangkan justru sang anak sendiri yang kemudian melanggar hikmat dari ayahnya dan mengalami sendiri bagaimana hukuman Tuhan jatuh atas diri dan bangsanya. Untunglah kita punya Tuhan yang panjang sabar dan penuh kasih yang akan segera mengampuni kita begitu kita datang kepadaNya membawa pertobatan sungguh-sungguh kita. Janganlah lupa bahwa kita hanyalah berasal dari debu (Mazmur 103:14), tidak ada apapun yang bisa kita banggakan, karena semua yang kita miliki berasal dari Tuhan (Ulangan 8:14-18). Mari kita periksa diri kita hari ini, apakah bentuk-bentuk kesombongan, keangkuhan, kepongahan, sikap tinggi hati dan sebagainya masih ada dalam diri kita? Apakah kita masih menempatkan Tuhan sebagai prioritas utama atau tidak? Jika masih ada, bereskanlah segera. Datanglah merendahkan diri dan bertobat dengan sungguh-sungguh, sebelum kehancuran menerpa diri kita.
Hiduplah dengan sikap rendah hati, tetaplah tinggikan Tuhan di atas segalanya
==============================
"Oleh sebab raja merendahkan diri, surutlah murka TUHAN dari padanya, sehingga ia tidak dimusnahkan-Nya sama sekali."
Istilah OKB atau Orang Kaya Baru sering disematkan kepada seseorang yang tiba-tiba berubah sikap dan tingkah lakunya di mata masyarakat. Ketika dulu mereka ramah, kini mereka menjadi angkuh. Jangankan menyapa, melihat saja tidak mau. Dagu terangkat ke atas, omongan menjadi tinggi dan cenderung merendahkan orang lain. Ini sesuatu yang mungkin sering kita lihat langsung di tengah-tengah kita. Harta dan kekuasaan memang bisa membuat perubahan instan dalam hidup seseorang. Adalah baik jika itu semua membuat seseorang malah menjadi semakin rendah hati dan semakin rajin membantu sesama, tapi yang sering terjadi malah sebaliknya. Kesombongan timbul, bertambah pelit dan tidak lagi peduli terhadap orang lain. Hal seperti ini bukan hanya terjadi bagi orang-orang dunia, di kalangan orang percaya pun kita bisa menjumpai hal ini. Betapa ironisnya, ketika kita berdoa meminta pertolongan Tuhan di kala kita hidup berkekurangan, lalu Tuhan menurunkan berkatNya, kita bukannya bersyukur dan memuliakanNya dengan menjadi saluran berkat bagi orang lain, tapi kita malah tergoda untuk bersikap sombong. Saat dalam keadaan pas-pasan manusia rajin beribadah dan berdoa, tetapi ketika dipulihkan secepat itu pula manusia berubah dan menggantikan prioritasnya dengan harta. Tuhan tidak lagi ada di posisi teratas dalam hidupnya. Seorang teman saya pernah sambil tertawa berkata "Lebih baik begini saja.. soalnya kalau saya menjadi kaya saya takut berubah menjadi sombong." Haruskah kekayaan, jabatan, status, kekuasaan dan sebagainya membuat kita berubah menjadi sombong? Seharusnya tidak. Tapi kita memang melihat banyak kasus dalam Alkitab mengenai perubahan sikap seseorang ketika mereka tengah mengalami kesuksesan. Salah satunya adalah raja Rehabeam, anak Salomo, seorang raja Yehuda.
Dalam kitab 2 Tawarikh dikatakan demikian: "Rehabeam beserta seluruh Israel meninggalkan hukum TUHAN, ketika kerajaannya menjadi kokoh dan kekuasaannya menjadi teguh." (2 Tawarikh 12:1). Rehabeam lupa diri ketika berada di puncak kejayaannya. Dia tidak merasa butuh Tuhan dan mengira bahwa semua itu adalah hasil usahanya sendiri. Dia terlena dalam kebanggaan berlebihan dengan apa yang ia miliki. Kekayaannya dan negerinya, juga kekuatan pasukannya. Ini adalah sesuatu yang sangat salah di mata Tuhan, karena firmanNya berkata "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN." (Yesaya 31:1). Maka apa yang terjadi adalah datangnya serangan dari Mesir dan aliansinya yaitu orang Libia, Suki dan Etiopia yang dipimpin oleh raja Sisak. Serangan ini segera memporakporandakan Yehuda. Nabi Semaya pun kemudian datang untuk menyampaikan teguran Tuhan kepada Rehabeam. "Nabi Semaya datang kepada Rehabeam dan pemimpin-pemimpin Yehuda yang berkumpul di Yerusalem berhubung dengan ancaman Sisak, dan berkata kepada mereka: "Beginilah firman TUHAN: Kamu telah meninggalkan Aku, oleh sebab itu Akupun meninggalkan kamu juga dalam kuasa Sisak." (2 Tawarikh 12:5). Untunglah Rehabeam lekas sadar bahwa tanpa campur tangan Tuhan ia tidaklah ada apa-apanya. Lalu ia segera datang merendahkan dirinya dan bertobat. Melihat kesungguhan hati Rehabeam tersebut, Tuhan yang penuh belas kasih pun segera mengurungkan niatnya untuk menghukum Rehabeam dan rakyatnya. "Oleh sebab raja merendahkan diri, surutlah murka TUHAN dari padanya, sehingga ia tidak dimusnahkan-Nya sama sekali. Lagipula masih terdapat hal-hal yang baik di Yehuda." (ay 12).
Kesombongan tidaklah pernah mendapat tempat di mata Tuhan. "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (Yakobus 4:6). Jauh sebelumnya, ayah Rehabeam sendiri yaitu Salomo mengatakan "Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman." (Amsal 16:5), juga "Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan." (ay 8). Sangat disayangkan justru sang anak sendiri yang kemudian melanggar hikmat dari ayahnya dan mengalami sendiri bagaimana hukuman Tuhan jatuh atas diri dan bangsanya. Untunglah kita punya Tuhan yang panjang sabar dan penuh kasih yang akan segera mengampuni kita begitu kita datang kepadaNya membawa pertobatan sungguh-sungguh kita. Janganlah lupa bahwa kita hanyalah berasal dari debu (Mazmur 103:14), tidak ada apapun yang bisa kita banggakan, karena semua yang kita miliki berasal dari Tuhan (Ulangan 8:14-18). Mari kita periksa diri kita hari ini, apakah bentuk-bentuk kesombongan, keangkuhan, kepongahan, sikap tinggi hati dan sebagainya masih ada dalam diri kita? Apakah kita masih menempatkan Tuhan sebagai prioritas utama atau tidak? Jika masih ada, bereskanlah segera. Datanglah merendahkan diri dan bertobat dengan sungguh-sungguh, sebelum kehancuran menerpa diri kita.
Hiduplah dengan sikap rendah hati, tetaplah tinggikan Tuhan di atas segalanya
Friday, May 28, 2010
Bertanggungjawab Sepenuhnya
Ayat bacaan: 1 Samuel 17:34-35
==========================
"Tetapi Daud berkata kepada Saul: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya..."
Gaji sudah dua bulan tidak dibayar. Selalu saja ada alasan dari pengelola keuangan di kampus sehingga saya tidak kunjung mendapat hak saya hingga detik ini. "Ya sudah, kalau mereka seperti itu, kamu tidak perlu serius mengajar, bolos saja sampai gaji dibayarkan.." kata seorang teman ketika mengetahui apa yang sedang saya alami. Cara pikir yang paling pintas memang demikian. Jika kita tidak dibayar, buat apa kerja? Capai badan, capai pikiran, tapi tidak mendapatkan penghasilan? Siapa yang mau? Tapi saya tidak mau demikian. Murid-murid saya tidak bersalah sama sekali sehingga mereka tidak layak diperlakukan asal-asalan. Saya tetap harus serius, karena saya ingin mereka sukses. Lebih dari itu, ada bentuk tanggungjawab saya kepada Tuhan dalam setiap pekerjaan yang saya lakukan, termasuk di dalamnya mengajar, dan tanggungjawab itu sudah seharusnya lebih utama ketimbang gaji. Saya membutuhkan gaji itu untuk hidup, tapi itu bukanlah yang terpenting. Ada tanggungjawab kepada Tuhan di atas itu, oleh karenanya saya tetap memutuskan untuk mengajar dengan sepenuh hati. Bagi orang dunia mungkin saya dianggap bodoh, tapi biarlah. Karena bagi saya, tanggungjawab di hadapan Tuhan jauh lebih tinggi dibanding hal lain apapun.
Jika kemarin kita melihat bagaimana Daud menggambarkan "museum pribadinya" yang berisikan kenangan-kenangan betapa luar biasanya berada bersama Tuhan, hari ini dari kisah yang sama marilah kita melihat sebuah sisi lain. Ayat yang saya ambil masih sama, yaitu mengenai Daud yang tidak tahan menghadapi provokasi Goliat terhadap bangsa Israel. Tapi untuk hari ini, mari kita fokus kepada keseriusan Daud dalam melakukan pekerjaannya, yaitu menggembalakan kambing domba ayahnya. Dari beberapa ayat kita mengetahui bahwa Daud muda dipekerjakan sebagai gembala oleh ayahnya, sementara beberapa dari saudaranya maju bertempur di garis depan sebagai prajurit Israel. Dibandingkan status prajurit, status gembala pada saat itu tidak ada apa-apanya. Tapi Daud tidak berkecil hati dengan pekerjaan tersebut. Ada berapa banyak domba yang ia gembalakan? Saya tidak tahu pasti, tapi rasanya tidak banyak. Dan saya rasa ia pun tidak dibayar untuk itu. Meski tidak banyak dan tidak dibayar, perhatikan bagaimana keseriusan Daud dalam bekerja seperti yang ia utarakan kepada Saul. "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya.." (1 Samuel 17:34-35). Ia rela mempertaruhkan nyawanya demi sekumpulan domba, yang notabene hanyalah hewan. Di mata manusia mungkin itu merupakan hal yang aneh, bahkan bodoh. Untuk apa manusia harus rela mempertaruhkan nyawa demi binatang? Tapi tidak bagi Daud. Daud rela menghadapi singa dan beruang dalam melakukan pekerjaannya. Ia tidak ingin satupun dari dombanya binasa, dan untuk itu ia harus berhadapan dengan maut. Tapi nyatanya penyertaan Tuhan mampu membuatnya tampil sebagai pemenang. Bukan hanya ketika menghadapi singa dan beruang, tapi juga Goliat, dan kita tahu pula bagaimana Daud diberkati secara luar biasa dalam hidupnya. Kedekatannya, kepercayaannya, pengharapannya kepada Tuhan membuat semua itu menjadi mungkin. Daud memperlihatkan tanggungjawab yang luar biasa tanpa memperhitungkan untung rugi secara pribadi. Dan apa yang ia perbuat pun menjadi gambaran yang sama mengenai bagaimana Yesus, yang lahir ke dunia sebagai salah satu dari silsilah keturunannya, menyelamatkan kita. Lihat apa kata Yesus berikut: "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu." (Yohanes 10:11-12).
Tuhan menghendaki kita untuk serius dalam melakukan segala hal, baik itu bekerja, belajar maupun melayani. Lihatlah seruan ini: "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Itu menyatakan bentuk kerinduan Tuhan agar anak-anakNya selalu bekerja dengan serius dan sungguh-sungguh. Bukan untuk manusia, tapi lakukanlah seperti melakukannya untuk Tuhan. That's the state He wants us to reach. Dalam pelayanan pun demikian. Ada banyak orang yang bersungut-sungut dan tidak serius jika hanya melayani sedikit orang, apalagi satu orang saja. Itu bukanlah gambaran yang diinginkan Tuhan untuk kita lakukan! Bacalah Lukas 15, ada tiga perumpamaan disana yang sudah tidak asing lagi bagi kita mengenai hal ini. "Perumpamaan tentang domba yang hilang" (ay 4-7), "Perumpamaan tentang dirham yang hilang" (ay 8-10) dan "Perumpamaan tentang anak yang hilang" (ay 11-32). Semua ini menunjukkan kerinduan Tuhan untuk menemukan kembali anak-anakNya yang hilang. Tidak peduli berapa yang kembali, meski hanya satu sekalipun, Tuhan akan sangat bersukacita. Bahkan dikatakan: "Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat." (ay 10). Satu jiwa bertobat, itu sudah merupakan kebahagiaan besar bagi Tuhan dan seisi Surga.
Lakukanlah apapun yang dikehendaki Tuhan bagi kita secara serius dan sungguh-sungguh. Mungkin kita tidak mendapat upah sepantasnya menurut ukuran dunia, tapi ingatlah ini: bukankah Tuhan mampu memberkati kita lewat banyak hal? Mungkin apa yang kita terima tidak sebanding dengan jerih payah kita hari ini, tapi apakah tidak mungkin kelak kita akan menuai secara luar biasa? Atau tidakkah mungkin Tuhan menurunkan berkatNya dalam kesempatan lain? Satu hal yang pasti, segala sesuatu yang kita lakukan secara sungguh-sungguh dan sesuai dengan rencana Tuhan tidak akan pernah ada yang sia-sia.Firman Tuhan berkata: "Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58). Daud tahu itu, dan dia sudah membuktikannya sendiri. Lewat keteladanan Yesus pun kita bisa belajar mengenai hal yang sama. Kerjakanlah semuanya dengan sebaik-baiknya. Do your best. Tuhan akan memperhitungkan segalanya, tidak akan ada yang jatuh sia-sia.
Sekecil apapun pekerjaan anda hari ini, lakukanlah dengan sebaik-baiknya dengan tanggungjawab penuh kepada Tuhan
==========================
"Tetapi Daud berkata kepada Saul: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya..."
Gaji sudah dua bulan tidak dibayar. Selalu saja ada alasan dari pengelola keuangan di kampus sehingga saya tidak kunjung mendapat hak saya hingga detik ini. "Ya sudah, kalau mereka seperti itu, kamu tidak perlu serius mengajar, bolos saja sampai gaji dibayarkan.." kata seorang teman ketika mengetahui apa yang sedang saya alami. Cara pikir yang paling pintas memang demikian. Jika kita tidak dibayar, buat apa kerja? Capai badan, capai pikiran, tapi tidak mendapatkan penghasilan? Siapa yang mau? Tapi saya tidak mau demikian. Murid-murid saya tidak bersalah sama sekali sehingga mereka tidak layak diperlakukan asal-asalan. Saya tetap harus serius, karena saya ingin mereka sukses. Lebih dari itu, ada bentuk tanggungjawab saya kepada Tuhan dalam setiap pekerjaan yang saya lakukan, termasuk di dalamnya mengajar, dan tanggungjawab itu sudah seharusnya lebih utama ketimbang gaji. Saya membutuhkan gaji itu untuk hidup, tapi itu bukanlah yang terpenting. Ada tanggungjawab kepada Tuhan di atas itu, oleh karenanya saya tetap memutuskan untuk mengajar dengan sepenuh hati. Bagi orang dunia mungkin saya dianggap bodoh, tapi biarlah. Karena bagi saya, tanggungjawab di hadapan Tuhan jauh lebih tinggi dibanding hal lain apapun.
Jika kemarin kita melihat bagaimana Daud menggambarkan "museum pribadinya" yang berisikan kenangan-kenangan betapa luar biasanya berada bersama Tuhan, hari ini dari kisah yang sama marilah kita melihat sebuah sisi lain. Ayat yang saya ambil masih sama, yaitu mengenai Daud yang tidak tahan menghadapi provokasi Goliat terhadap bangsa Israel. Tapi untuk hari ini, mari kita fokus kepada keseriusan Daud dalam melakukan pekerjaannya, yaitu menggembalakan kambing domba ayahnya. Dari beberapa ayat kita mengetahui bahwa Daud muda dipekerjakan sebagai gembala oleh ayahnya, sementara beberapa dari saudaranya maju bertempur di garis depan sebagai prajurit Israel. Dibandingkan status prajurit, status gembala pada saat itu tidak ada apa-apanya. Tapi Daud tidak berkecil hati dengan pekerjaan tersebut. Ada berapa banyak domba yang ia gembalakan? Saya tidak tahu pasti, tapi rasanya tidak banyak. Dan saya rasa ia pun tidak dibayar untuk itu. Meski tidak banyak dan tidak dibayar, perhatikan bagaimana keseriusan Daud dalam bekerja seperti yang ia utarakan kepada Saul. "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya.." (1 Samuel 17:34-35). Ia rela mempertaruhkan nyawanya demi sekumpulan domba, yang notabene hanyalah hewan. Di mata manusia mungkin itu merupakan hal yang aneh, bahkan bodoh. Untuk apa manusia harus rela mempertaruhkan nyawa demi binatang? Tapi tidak bagi Daud. Daud rela menghadapi singa dan beruang dalam melakukan pekerjaannya. Ia tidak ingin satupun dari dombanya binasa, dan untuk itu ia harus berhadapan dengan maut. Tapi nyatanya penyertaan Tuhan mampu membuatnya tampil sebagai pemenang. Bukan hanya ketika menghadapi singa dan beruang, tapi juga Goliat, dan kita tahu pula bagaimana Daud diberkati secara luar biasa dalam hidupnya. Kedekatannya, kepercayaannya, pengharapannya kepada Tuhan membuat semua itu menjadi mungkin. Daud memperlihatkan tanggungjawab yang luar biasa tanpa memperhitungkan untung rugi secara pribadi. Dan apa yang ia perbuat pun menjadi gambaran yang sama mengenai bagaimana Yesus, yang lahir ke dunia sebagai salah satu dari silsilah keturunannya, menyelamatkan kita. Lihat apa kata Yesus berikut: "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu." (Yohanes 10:11-12).
Tuhan menghendaki kita untuk serius dalam melakukan segala hal, baik itu bekerja, belajar maupun melayani. Lihatlah seruan ini: "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Itu menyatakan bentuk kerinduan Tuhan agar anak-anakNya selalu bekerja dengan serius dan sungguh-sungguh. Bukan untuk manusia, tapi lakukanlah seperti melakukannya untuk Tuhan. That's the state He wants us to reach. Dalam pelayanan pun demikian. Ada banyak orang yang bersungut-sungut dan tidak serius jika hanya melayani sedikit orang, apalagi satu orang saja. Itu bukanlah gambaran yang diinginkan Tuhan untuk kita lakukan! Bacalah Lukas 15, ada tiga perumpamaan disana yang sudah tidak asing lagi bagi kita mengenai hal ini. "Perumpamaan tentang domba yang hilang" (ay 4-7), "Perumpamaan tentang dirham yang hilang" (ay 8-10) dan "Perumpamaan tentang anak yang hilang" (ay 11-32). Semua ini menunjukkan kerinduan Tuhan untuk menemukan kembali anak-anakNya yang hilang. Tidak peduli berapa yang kembali, meski hanya satu sekalipun, Tuhan akan sangat bersukacita. Bahkan dikatakan: "Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat." (ay 10). Satu jiwa bertobat, itu sudah merupakan kebahagiaan besar bagi Tuhan dan seisi Surga.
Lakukanlah apapun yang dikehendaki Tuhan bagi kita secara serius dan sungguh-sungguh. Mungkin kita tidak mendapat upah sepantasnya menurut ukuran dunia, tapi ingatlah ini: bukankah Tuhan mampu memberkati kita lewat banyak hal? Mungkin apa yang kita terima tidak sebanding dengan jerih payah kita hari ini, tapi apakah tidak mungkin kelak kita akan menuai secara luar biasa? Atau tidakkah mungkin Tuhan menurunkan berkatNya dalam kesempatan lain? Satu hal yang pasti, segala sesuatu yang kita lakukan secara sungguh-sungguh dan sesuai dengan rencana Tuhan tidak akan pernah ada yang sia-sia.Firman Tuhan berkata: "Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58). Daud tahu itu, dan dia sudah membuktikannya sendiri. Lewat keteladanan Yesus pun kita bisa belajar mengenai hal yang sama. Kerjakanlah semuanya dengan sebaik-baiknya. Do your best. Tuhan akan memperhitungkan segalanya, tidak akan ada yang jatuh sia-sia.
Sekecil apapun pekerjaan anda hari ini, lakukanlah dengan sebaik-baiknya dengan tanggungjawab penuh kepada Tuhan
Thursday, May 27, 2010
Museum Pribadi
Ayat bacaan: Ibrani 13:8
====================
"Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya."
Mengunjungi gedung bersejarah Indonesia Menggugat di Bandung benar-benar membawa kesan mendalam bagi saya. Ini adalah sebuah gedung dimana Bung Karno ketika masih muda pernah menyampaikan pledoi pembelaannya saat diadili dengan tuduhan makar terhadap pemerintahan penjajah Belanda ketika mendekati akhir tahun 20an. Ada banyak memorabilia disana. Headline harian pada waktu itu, cover majalah dan sebagainya, bahkan ruang sidang pun masih tertata persis seperti pada saat itu, dengan perabotan dan ubin lantai serta kipas angin di langit-langit ruangan yang masih sama. Melihat tempat-tempat bersejarah, atau museum-museum dengan temanya masing-masing memang sungguh menyenangkan. Kita bisa belajar bagaimana sebuah sejarah terbentuk, melihat langsung benda-benda bersejarah dan momen-momen istimewa serta rangkaian peristiwa di masa lalu. Koleksi-koleksi ini akan berbicara banyak mengenai pengalaman masa lalu dan kita selalu bisa belajar banyak dari museum apapun yang kita kunjungi. Karena itulah kemanapun saya pergi saya akan menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa museum.
Ya, kita selalu bisa belajar dari museum, melihat bagaimana sebuah pengalaman di masa lalu yang sedikit banyak akan baik untuk kita jadikan pelajaran bagi diri kita sendiri. Sadarkah kita bahwa kitapun seharusnya punya museum pribadi yang berisikan pengalaman kita pribadi dengan Tuhan? Rasanya semua orang pasti pernah mengalami saat-saat indah dimana Tuhan pernah menolong kita, melepaskan kita dari masalah, menyembuhkan kita atau berbagai mukjizat-mukjizat Ilahi lainnya. Tapi kita seringkali melupakan itu semua ketika saat ini kita kembali dilanda masalah. Untuk menghadapi hari-hari yang berat dan sulit, kita sesungguhnya memerlukan sebuah museum pribadi seperti ini, yang penuh berisikan kenangan akan pertolongan Tuhan. Sebuah museum pribadi yang setiap saat bisa kita lihat untuk kembali menguatkan kita di kala lemah.
Daud pernah mengungkapkan "museum pribadi"nya yang tercatat dalam 1 Samuel 17. Ini bisa kita lihat dalam situasi ketika bangsa Israel di bawah pimpinan Saul merasa kecut dan tawar hati ketika menghadapi provokasi Goliat, sang raksasa dari Gat. Ketika itu Daud dipekerjakan hanya sebagai penggembala domba, salah satu pekerjaan terendah pada waktu itu. Dibandingkan prajurit-prajurit Israel tentu ia tidak ada apa-apanya, ditambah usianya yang masih sangat muda. Tetapi ternyata keberanian si gembala kecil, Daud, mampu melebihi keberanian laskar Israel pada waktu itu. Sudah 40 hari lamanya Goliat menantang Israel, tidak satupun dari mereka yang berani menghadapinya. Lalu Daud pun datang, dan sempat mendapatkan cemoohan termasuk dari abangnya sendiri. Tapi apa sebenarnya yang membuat Daud merasa yakin mampu mengatasi Goliat? Perhatikan kata Daud berikut: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup." (1 Samuel 17:34-36). Daud membuka museum pribadinya mengenai betapa hebatnya kuasa penyertaan Tuhan di waktu lalu. Melihat pengalaman-pengalamannya terdahulu ketika Tuhan mampu melepaskannya dari binatang buas seperti beruang dan singa, sementara ia masih sangat kecil dan secara logika tidak akan mampu menghadapi situasi seperti itu, mengapa ia harus takut berhadapan dengan Goliat? Baginya, Goliat tidaklah lebih dari beruang dan singa. Jika Tuhan sanggup membuatnya menang menghadapi binatang-binatang buas, mengapa tidak untuk menghadapi Goliat? Daud belajar dari museum pribadinya bersama Tuhan, dan itu membuatnya yakin dalam menghadapi apapun. "Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (ay 37).
Ketika saya mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidup, saya pun kembali melihat museum pribadi saya. Ada begitu banyak mukjizat yang pernah saya alami, yang sebagian besar sudah pernah saya jadikan sebagai kesaksian dalam renungan-renungan terdahulu. Dia mampu membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin, Dia sanggup menyembuhkan, Dia sanggup melakukan apapun. Jika semua itu pernah saya alami di masa lalu, jika dulu Tuhan mau melakukannya untuk saya, mengapa hari ini tidak? Itu akan selalu memberikan kekuatan bagi saya untuk tegar menghadapi situasi sesulit apapun, dengan penuh pengharapan. Mampukah kita berkata seperti Paulus: "Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?" (Roma 8:31). Seharusnya mampu, jika kita mau kembali melihat museum pribadi kita bersama Tuhan dan tidak terus menerus terfokus dalam jepitan masalah.
Pemazmur berkata: "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti." (Mazmur 46:2). Sangat terbukti, menunjukkan sesuatu yang sudah pernah terjadi berulang kali. Pemazmur tahu bahwa museum pribadinya pun berisikan begitu banyak bukti bagaimana kuasa Allah sanggup menolong dalam kesesakan, bagaimana Allah mampu menjadi tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai solusi atau jawaban dari setiap permasalahan yang kita alami. Alkitab jelas berkata: "Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah.." (Maleakhi 3:6). Dan Yesus pun demikian. "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Tetap sama, kemarin, hari ini dan sampai selamanya, tidak berubah. Itu artinya, jika dahulu Tuhan bisa, hari ini pun sama, besok lusa dan sampai kapanpun Dia bisa! Ini perkataan Tuhan yang seharusnya kita ingat, namun ditengah himpitan masalah kita seringkali lupa dan hanya sibuk mengandalkan logika dan kemampuan kita yang terbatas ini untuk mengatasi kesulitan.
Tidak hanya museum pribadi, tapi Alkitab sendiri bisa menjadi sebuah museum yang mampu meneguhkan iman kita. Dalam kitab Roma kita bisa baca "Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci." (Roma 15:4). Itu dari pengalaman para tokoh Alkitab yang telah membuktikan sendiri bagaimana Tuhan mampu berbuat sesuatu yang jauh lebih tinggi dari nalar kita. Dan karena Tuhan tidak pernah berubah, hal yang sama pun bisa terjadi pada diri kita. Berkaca dari pengalaman-pengalaman ratusan tokoh Alkitab ini, seharusnya kita tidak perlu khawatir menjalani hidup yang terus semakin sulit dari hari ke hari.
Bagaimana perjalanan anda di tahun 2010 ini? Kita sudah hampir memasuki pertengahan tahun. Jika setengah dari tahun 2010 yang sudah kita jalani ini masih membuat anda khawatir atau bahkan ketakutan untuk menjalani setengah lagi, itu saatnya untuk mengaktifkan museum pribadi anda yang berisikan pengalaman-pengalaman anda secara pribadi bersama jamahan dan penyertaan Tuhan. Daripada fokus kepada ketakutan dan masalah-masalah itu, mengapa tidak mengambil waktu sejenak untuk kembali melihat-lihat koleksi pengalaman anda bersama Tuhan di waktu lalu? Atau melihat bagaimana luar biasanya Tuhan pernah melakukan berbagai hal yang mustahil secara logika kepada begitu banyak orang di waktu lalu? Tuhan tetap sama. Dia tidak pernah berubah. Dan oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir. Sudahkah anda mendirikan dan mengaktifkan museum anda sendiri? Mulailah sekarang juga, dan anda tidak akan perlu takut lagi.
Jika dulu Tuhan bisa, sekarang pun Tuhan bisa. Dia tetap sama, dahulu sekarang dan sampai selamanya
====================
"Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya."
Mengunjungi gedung bersejarah Indonesia Menggugat di Bandung benar-benar membawa kesan mendalam bagi saya. Ini adalah sebuah gedung dimana Bung Karno ketika masih muda pernah menyampaikan pledoi pembelaannya saat diadili dengan tuduhan makar terhadap pemerintahan penjajah Belanda ketika mendekati akhir tahun 20an. Ada banyak memorabilia disana. Headline harian pada waktu itu, cover majalah dan sebagainya, bahkan ruang sidang pun masih tertata persis seperti pada saat itu, dengan perabotan dan ubin lantai serta kipas angin di langit-langit ruangan yang masih sama. Melihat tempat-tempat bersejarah, atau museum-museum dengan temanya masing-masing memang sungguh menyenangkan. Kita bisa belajar bagaimana sebuah sejarah terbentuk, melihat langsung benda-benda bersejarah dan momen-momen istimewa serta rangkaian peristiwa di masa lalu. Koleksi-koleksi ini akan berbicara banyak mengenai pengalaman masa lalu dan kita selalu bisa belajar banyak dari museum apapun yang kita kunjungi. Karena itulah kemanapun saya pergi saya akan menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa museum.
Ya, kita selalu bisa belajar dari museum, melihat bagaimana sebuah pengalaman di masa lalu yang sedikit banyak akan baik untuk kita jadikan pelajaran bagi diri kita sendiri. Sadarkah kita bahwa kitapun seharusnya punya museum pribadi yang berisikan pengalaman kita pribadi dengan Tuhan? Rasanya semua orang pasti pernah mengalami saat-saat indah dimana Tuhan pernah menolong kita, melepaskan kita dari masalah, menyembuhkan kita atau berbagai mukjizat-mukjizat Ilahi lainnya. Tapi kita seringkali melupakan itu semua ketika saat ini kita kembali dilanda masalah. Untuk menghadapi hari-hari yang berat dan sulit, kita sesungguhnya memerlukan sebuah museum pribadi seperti ini, yang penuh berisikan kenangan akan pertolongan Tuhan. Sebuah museum pribadi yang setiap saat bisa kita lihat untuk kembali menguatkan kita di kala lemah.
Daud pernah mengungkapkan "museum pribadi"nya yang tercatat dalam 1 Samuel 17. Ini bisa kita lihat dalam situasi ketika bangsa Israel di bawah pimpinan Saul merasa kecut dan tawar hati ketika menghadapi provokasi Goliat, sang raksasa dari Gat. Ketika itu Daud dipekerjakan hanya sebagai penggembala domba, salah satu pekerjaan terendah pada waktu itu. Dibandingkan prajurit-prajurit Israel tentu ia tidak ada apa-apanya, ditambah usianya yang masih sangat muda. Tetapi ternyata keberanian si gembala kecil, Daud, mampu melebihi keberanian laskar Israel pada waktu itu. Sudah 40 hari lamanya Goliat menantang Israel, tidak satupun dari mereka yang berani menghadapinya. Lalu Daud pun datang, dan sempat mendapatkan cemoohan termasuk dari abangnya sendiri. Tapi apa sebenarnya yang membuat Daud merasa yakin mampu mengatasi Goliat? Perhatikan kata Daud berikut: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup." (1 Samuel 17:34-36). Daud membuka museum pribadinya mengenai betapa hebatnya kuasa penyertaan Tuhan di waktu lalu. Melihat pengalaman-pengalamannya terdahulu ketika Tuhan mampu melepaskannya dari binatang buas seperti beruang dan singa, sementara ia masih sangat kecil dan secara logika tidak akan mampu menghadapi situasi seperti itu, mengapa ia harus takut berhadapan dengan Goliat? Baginya, Goliat tidaklah lebih dari beruang dan singa. Jika Tuhan sanggup membuatnya menang menghadapi binatang-binatang buas, mengapa tidak untuk menghadapi Goliat? Daud belajar dari museum pribadinya bersama Tuhan, dan itu membuatnya yakin dalam menghadapi apapun. "Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (ay 37).
Ketika saya mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidup, saya pun kembali melihat museum pribadi saya. Ada begitu banyak mukjizat yang pernah saya alami, yang sebagian besar sudah pernah saya jadikan sebagai kesaksian dalam renungan-renungan terdahulu. Dia mampu membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin, Dia sanggup menyembuhkan, Dia sanggup melakukan apapun. Jika semua itu pernah saya alami di masa lalu, jika dulu Tuhan mau melakukannya untuk saya, mengapa hari ini tidak? Itu akan selalu memberikan kekuatan bagi saya untuk tegar menghadapi situasi sesulit apapun, dengan penuh pengharapan. Mampukah kita berkata seperti Paulus: "Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?" (Roma 8:31). Seharusnya mampu, jika kita mau kembali melihat museum pribadi kita bersama Tuhan dan tidak terus menerus terfokus dalam jepitan masalah.
Pemazmur berkata: "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti." (Mazmur 46:2). Sangat terbukti, menunjukkan sesuatu yang sudah pernah terjadi berulang kali. Pemazmur tahu bahwa museum pribadinya pun berisikan begitu banyak bukti bagaimana kuasa Allah sanggup menolong dalam kesesakan, bagaimana Allah mampu menjadi tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai solusi atau jawaban dari setiap permasalahan yang kita alami. Alkitab jelas berkata: "Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah.." (Maleakhi 3:6). Dan Yesus pun demikian. "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Tetap sama, kemarin, hari ini dan sampai selamanya, tidak berubah. Itu artinya, jika dahulu Tuhan bisa, hari ini pun sama, besok lusa dan sampai kapanpun Dia bisa! Ini perkataan Tuhan yang seharusnya kita ingat, namun ditengah himpitan masalah kita seringkali lupa dan hanya sibuk mengandalkan logika dan kemampuan kita yang terbatas ini untuk mengatasi kesulitan.
Tidak hanya museum pribadi, tapi Alkitab sendiri bisa menjadi sebuah museum yang mampu meneguhkan iman kita. Dalam kitab Roma kita bisa baca "Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci." (Roma 15:4). Itu dari pengalaman para tokoh Alkitab yang telah membuktikan sendiri bagaimana Tuhan mampu berbuat sesuatu yang jauh lebih tinggi dari nalar kita. Dan karena Tuhan tidak pernah berubah, hal yang sama pun bisa terjadi pada diri kita. Berkaca dari pengalaman-pengalaman ratusan tokoh Alkitab ini, seharusnya kita tidak perlu khawatir menjalani hidup yang terus semakin sulit dari hari ke hari.
Bagaimana perjalanan anda di tahun 2010 ini? Kita sudah hampir memasuki pertengahan tahun. Jika setengah dari tahun 2010 yang sudah kita jalani ini masih membuat anda khawatir atau bahkan ketakutan untuk menjalani setengah lagi, itu saatnya untuk mengaktifkan museum pribadi anda yang berisikan pengalaman-pengalaman anda secara pribadi bersama jamahan dan penyertaan Tuhan. Daripada fokus kepada ketakutan dan masalah-masalah itu, mengapa tidak mengambil waktu sejenak untuk kembali melihat-lihat koleksi pengalaman anda bersama Tuhan di waktu lalu? Atau melihat bagaimana luar biasanya Tuhan pernah melakukan berbagai hal yang mustahil secara logika kepada begitu banyak orang di waktu lalu? Tuhan tetap sama. Dia tidak pernah berubah. Dan oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir. Sudahkah anda mendirikan dan mengaktifkan museum anda sendiri? Mulailah sekarang juga, dan anda tidak akan perlu takut lagi.
Jika dulu Tuhan bisa, sekarang pun Tuhan bisa. Dia tetap sama, dahulu sekarang dan sampai selamanya
Wednesday, May 26, 2010
Kesetiaan Musa dan Ketidaksetiaan Israel
Ayat bacaan: Ibrani 3:12
====================
" Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup."
Kita harus extra hati-hati ketika mengendarai mobil di malam hari. Ada banyak orang yang seenaknya melanggar peraturan di jalan raya pada malam hari, karena jalan dianggap tidak lagi padat, dan terutama karena polisi biasanya tidak lagi ada di jalan. Pengendara motor yang tidak pakai helm masih termasuk biasa. Karena yang lebih parah bisa kita jumpai di jalan. Melanggar lampu merah, melawan arah, menyelonong tanpa lihat kiri kanan, semua itu seperti menjadi kebiasaan ketika hari sudah gelap. Seolah-olah peraturan bagi mereka hanya berlaku hingga sore hari. Matahari terbenam, terbenam pula peraturan bagi mereka. Ironis, karena peraturan ditaati bukan untuk keselamatan mereka di jalan raya, tapi semata-mata hanya karena takut ditangkap polisi. Dan seperti itulah kebanyakan orang berpikir. Orang lebih takut terhadap manusia ketika melanggar peraturan ketimbang kepada Tuhan, yang pasti melihat semuanya. Tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan. Jika kita bangga bisa melanggar peraturan tanpa ketahuan orang, kita lupa bahwa Tuhan mengetahui dan melihat segalanya.
Kesetiaan tidak lagi menjadi hal penting di mata orang hari ini. Kepada pasangannya saja tidak setia, dalam pekerjaan saja tidak setia, apalagi dalam mentaati peraturan di jalan. Padahal faktor kesetiaan menjadi perhatian penting dalam kehidupan kita di mata Tuhan. Tuhan telah berulang kali mengingatkan kita mengenai faktor ini dalam firman-firmanNya, baik secara langsung maupun lewat contoh-contoh tokoh yang akhirnya binasa akibat ketidaksetiaan mereka. Lihat saja salah satu contohnya, Saul. Ketidaksetiaan Saul muncul ketika ia tidak sabar menanti janji Tuhan. Ia ketakutan menghadapi ancaman orang Filistin dan kehilangan kepercayaan rakyatnya yang sudah mulai kocar kacir karena panik. Kita bisa melihat kisah tentang Saul ini dalam 1 Samuel 1:22. Karena takut, Saul pun menduakan Tuhan. (ay 9). Sebuah pilihan yang fatal. Akibat ketidaksetiaannya, Saul tidak saja kehilangan mahkota, kehilangan urapan, tapi juga berkat dan penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Hidup Saul pun berakhir tragis.
Contoh lain yang terkenal adalah bangsa Israel yang tegar tengkuk. Kita bisa melihat bagaimana orang-orang Israel berulangkali menyakiti hati Tuhan dengan keluh kesah, protes dan ketidaksabaran dan ketidaksetiaan mereka, meski mereka telah berulangkali pula mengalami sendiri bagaimana penyertaan Tuhan turun atas mereka sepanjang perjalanan menuju tanah terjanji. Di sisi lain, kita bisa melihat bagaimana kesetiaan Musa memenuhi perintah Tuhan. Dengan penuh kesabaran ia terus patuh memimpin bangsa besar yang keras kepala ini selama 40 tahun. Ini suatu pekerjaan yang tidak mudah, menghabiskan sebagian besar dari hidup untuk berada dalam kesulitan besar. Tapi Musa menunjukkan kesetiaan yang luar biasa meski tugas itu amat sulit. Apa yang kita lihat dari Musa dan rakyat yang dipimpinnya menggambarkan perbedaan nyata mengenai setia dan tidak. Dan hal ini kembali diingatkan sebagai contoh dalam kitab Ibrani. Bacalah Ibrani 3:7-19 yang mengulas kembali mengenai kebodohan bangsa Israel yang memurkakan Tuhan. "..nenek moyangmu mencobai Aku dengan jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku, empat puluh tahun lamanya. Itulah sebabnya Aku murka kepada angkatan itu, dan berkata: Selalu mereka sesat hati, dan mereka tidak mengenal jalan-Ku." (Ibrani 3:9-10). Akibat ketidaksetiaan mereka, akhirnya merekapun mendapatkan konsekuensinya dengan gagal memperoleh tempat yang dijanjikan Tuhan.
Apa yang dilakukan bangsa Israel pada masa itu tidak berbeda dengan apa yang sering kita lakukan hari-hari ini. Kita seringkali tidak sabar menanti janji Tuhan, kita seringkali terus mengeluh, bersungut-sungut, kita seringkali melanggar janji, peraturan dan kesetiaan. Berhasil menipu tanpa diketahui, bukannya malu tapi malah bangga. Kita lupa bahwa Tuhan menyaksikan semuanya. Oleh karena itulah nasihat Penulis Ibrani masih sangat relevan untuk kita ingat hari ini. " Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup." (Ibrani 3:12). Penekanan pun diberikan sang Penulis. "siapakah mereka yang membangkitkan amarah Allah, sekalipun mereka mendengar suara-Nya? Bukankah mereka semua yang keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa? Dan siapakah yang Ia murkai empat puluh tahun lamanya? Bukankah mereka yang berbuat dosa dan yang mayatnya bergelimpangan di padang gurun? Dan siapakah yang telah Ia sumpahi, bahwa mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Nya? Bukankah mereka yang tidak taat?" (ay 16-18). Kesetiaan sungguh menjadi pesan yang sangat penting bagi kita hari ini, khususnya ketika kita hidup di masa yang menganggap ketidaksetiaan merupakan hal yang wajar dan lumrah. Di mata Tuhan, kesetiaan akan selalu bermakna penting, dan pelanggaran akan hal itu akan berakibat fatal seperti yang kita lihat dari contoh bangsa Israel dan Saul. Dalam Roma kita bisa melihat bahwa ketidaksetiaan merupakan salah satu dari berbagai kefasikan dan kelaliman manusia yang sangat dimurka Tuhan. (Roma 1:18-32). Dan ketidaksetiaan ada di ayat 31. Tidak main-main, karena ganjaran untuk rupa-rupa kefasikan disini sangatlah berat, yaitu kematian. (ay 32).
Apa yang terjadi pada bangsa Israel dan Saul di atas hendaklah menjadi peringatan bagi kita untuk senantiasa menjunjung tinggi kesetiaan. Amsal berkata "Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya; lebih baik orang miskin dari pada seorang pembohong." (Amsal 19:22). Kesetiaan juga termasuk salah satu dari buah Roh. (Galatia 5:22).Ini semua menunjukkan pentingnya untuk tetap menjaga kesetiaan dalam hidup kita. Mulailah belajar setia dalam perkara kecil agar kita bisa mendapat kepercayaan dari Tuhan untuk sesuatu yang lebih besar lagi. (Matius 25:21). Sebab "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10). Jangan berusaha setia hanya karena takut kepada orang atau ingin mendapat pujian dari sesama manusia, tapi lakukanlah karena takut akan Tuhan, karena kita mengasihiNya dan tidak ingin mengecewakan Tuhan yang begitu mengasihi kita. Jika terhadap manusia saja kita sudah sulit untuk setia, bagaimana kita bisa menjadi orang-orang yang setia bagi Tuhan? Sekecil apapun itu, lakukanlah dengan kesetiaan. Patuhlah kepada perintah-perintah Tuhan meski tidak ada orang yang melihat. Mulai dari hal-hal kecil, dan tingkatkan kepada hal-hal yang lebih besar lagi. Jadilah pribadi yang menjunjung tinggi kesetiaan.
Belajarlah untuk setia karena hal itu sangat penting di mata Tuhan
====================
" Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup."
Kita harus extra hati-hati ketika mengendarai mobil di malam hari. Ada banyak orang yang seenaknya melanggar peraturan di jalan raya pada malam hari, karena jalan dianggap tidak lagi padat, dan terutama karena polisi biasanya tidak lagi ada di jalan. Pengendara motor yang tidak pakai helm masih termasuk biasa. Karena yang lebih parah bisa kita jumpai di jalan. Melanggar lampu merah, melawan arah, menyelonong tanpa lihat kiri kanan, semua itu seperti menjadi kebiasaan ketika hari sudah gelap. Seolah-olah peraturan bagi mereka hanya berlaku hingga sore hari. Matahari terbenam, terbenam pula peraturan bagi mereka. Ironis, karena peraturan ditaati bukan untuk keselamatan mereka di jalan raya, tapi semata-mata hanya karena takut ditangkap polisi. Dan seperti itulah kebanyakan orang berpikir. Orang lebih takut terhadap manusia ketika melanggar peraturan ketimbang kepada Tuhan, yang pasti melihat semuanya. Tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan. Jika kita bangga bisa melanggar peraturan tanpa ketahuan orang, kita lupa bahwa Tuhan mengetahui dan melihat segalanya.
Kesetiaan tidak lagi menjadi hal penting di mata orang hari ini. Kepada pasangannya saja tidak setia, dalam pekerjaan saja tidak setia, apalagi dalam mentaati peraturan di jalan. Padahal faktor kesetiaan menjadi perhatian penting dalam kehidupan kita di mata Tuhan. Tuhan telah berulang kali mengingatkan kita mengenai faktor ini dalam firman-firmanNya, baik secara langsung maupun lewat contoh-contoh tokoh yang akhirnya binasa akibat ketidaksetiaan mereka. Lihat saja salah satu contohnya, Saul. Ketidaksetiaan Saul muncul ketika ia tidak sabar menanti janji Tuhan. Ia ketakutan menghadapi ancaman orang Filistin dan kehilangan kepercayaan rakyatnya yang sudah mulai kocar kacir karena panik. Kita bisa melihat kisah tentang Saul ini dalam 1 Samuel 1:22. Karena takut, Saul pun menduakan Tuhan. (ay 9). Sebuah pilihan yang fatal. Akibat ketidaksetiaannya, Saul tidak saja kehilangan mahkota, kehilangan urapan, tapi juga berkat dan penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Hidup Saul pun berakhir tragis.
Contoh lain yang terkenal adalah bangsa Israel yang tegar tengkuk. Kita bisa melihat bagaimana orang-orang Israel berulangkali menyakiti hati Tuhan dengan keluh kesah, protes dan ketidaksabaran dan ketidaksetiaan mereka, meski mereka telah berulangkali pula mengalami sendiri bagaimana penyertaan Tuhan turun atas mereka sepanjang perjalanan menuju tanah terjanji. Di sisi lain, kita bisa melihat bagaimana kesetiaan Musa memenuhi perintah Tuhan. Dengan penuh kesabaran ia terus patuh memimpin bangsa besar yang keras kepala ini selama 40 tahun. Ini suatu pekerjaan yang tidak mudah, menghabiskan sebagian besar dari hidup untuk berada dalam kesulitan besar. Tapi Musa menunjukkan kesetiaan yang luar biasa meski tugas itu amat sulit. Apa yang kita lihat dari Musa dan rakyat yang dipimpinnya menggambarkan perbedaan nyata mengenai setia dan tidak. Dan hal ini kembali diingatkan sebagai contoh dalam kitab Ibrani. Bacalah Ibrani 3:7-19 yang mengulas kembali mengenai kebodohan bangsa Israel yang memurkakan Tuhan. "..nenek moyangmu mencobai Aku dengan jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku, empat puluh tahun lamanya. Itulah sebabnya Aku murka kepada angkatan itu, dan berkata: Selalu mereka sesat hati, dan mereka tidak mengenal jalan-Ku." (Ibrani 3:9-10). Akibat ketidaksetiaan mereka, akhirnya merekapun mendapatkan konsekuensinya dengan gagal memperoleh tempat yang dijanjikan Tuhan.
Apa yang dilakukan bangsa Israel pada masa itu tidak berbeda dengan apa yang sering kita lakukan hari-hari ini. Kita seringkali tidak sabar menanti janji Tuhan, kita seringkali terus mengeluh, bersungut-sungut, kita seringkali melanggar janji, peraturan dan kesetiaan. Berhasil menipu tanpa diketahui, bukannya malu tapi malah bangga. Kita lupa bahwa Tuhan menyaksikan semuanya. Oleh karena itulah nasihat Penulis Ibrani masih sangat relevan untuk kita ingat hari ini. " Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup." (Ibrani 3:12). Penekanan pun diberikan sang Penulis. "siapakah mereka yang membangkitkan amarah Allah, sekalipun mereka mendengar suara-Nya? Bukankah mereka semua yang keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa? Dan siapakah yang Ia murkai empat puluh tahun lamanya? Bukankah mereka yang berbuat dosa dan yang mayatnya bergelimpangan di padang gurun? Dan siapakah yang telah Ia sumpahi, bahwa mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Nya? Bukankah mereka yang tidak taat?" (ay 16-18). Kesetiaan sungguh menjadi pesan yang sangat penting bagi kita hari ini, khususnya ketika kita hidup di masa yang menganggap ketidaksetiaan merupakan hal yang wajar dan lumrah. Di mata Tuhan, kesetiaan akan selalu bermakna penting, dan pelanggaran akan hal itu akan berakibat fatal seperti yang kita lihat dari contoh bangsa Israel dan Saul. Dalam Roma kita bisa melihat bahwa ketidaksetiaan merupakan salah satu dari berbagai kefasikan dan kelaliman manusia yang sangat dimurka Tuhan. (Roma 1:18-32). Dan ketidaksetiaan ada di ayat 31. Tidak main-main, karena ganjaran untuk rupa-rupa kefasikan disini sangatlah berat, yaitu kematian. (ay 32).
Apa yang terjadi pada bangsa Israel dan Saul di atas hendaklah menjadi peringatan bagi kita untuk senantiasa menjunjung tinggi kesetiaan. Amsal berkata "Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya; lebih baik orang miskin dari pada seorang pembohong." (Amsal 19:22). Kesetiaan juga termasuk salah satu dari buah Roh. (Galatia 5:22).Ini semua menunjukkan pentingnya untuk tetap menjaga kesetiaan dalam hidup kita. Mulailah belajar setia dalam perkara kecil agar kita bisa mendapat kepercayaan dari Tuhan untuk sesuatu yang lebih besar lagi. (Matius 25:21). Sebab "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10). Jangan berusaha setia hanya karena takut kepada orang atau ingin mendapat pujian dari sesama manusia, tapi lakukanlah karena takut akan Tuhan, karena kita mengasihiNya dan tidak ingin mengecewakan Tuhan yang begitu mengasihi kita. Jika terhadap manusia saja kita sudah sulit untuk setia, bagaimana kita bisa menjadi orang-orang yang setia bagi Tuhan? Sekecil apapun itu, lakukanlah dengan kesetiaan. Patuhlah kepada perintah-perintah Tuhan meski tidak ada orang yang melihat. Mulai dari hal-hal kecil, dan tingkatkan kepada hal-hal yang lebih besar lagi. Jadilah pribadi yang menjunjung tinggi kesetiaan.
Belajarlah untuk setia karena hal itu sangat penting di mata Tuhan
Tuesday, May 25, 2010
Lepas dari Penjajahan
Ayat bacaan: Keluaran 1:11
========================
"Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses."
Selalu menarik membahas tentang status kita dalam bernegara. Dalam sebuah obrolan santai dengan teman-teman, salah seorang berkata bahwa meski kita secara de facto sudah merdeka semenjak 1945, tapi sesungguhnya kita belumlah merdeka. Kenyataannya kita masih saja terjajah oleh banyak hal. Dalam aspek politik kita seringkali ditekan oleh bangsa-bangsa lain, dalam aspek perekonomian pun sama. Secara fisik mungkin kita tidak lagi terjajah secara langsung, seperti halnya di masa lalu ketika bangsa kita mengalami berbagai bentuk kerja paksa oleh negara-negara yang menjajah kita. Kerja paksa di jaman penjajahan Belanda, romusha pada jaman Jepang, tapi penjajahan dalam bentuk lain pun memang masih kita alami hingga hari ini.
Bangsa Israel pun sempat mengalami masa-masa terjajah seperti itu. Seperti bangsa kita yang mengalami kerja paksa, mereka pun pernah mengalaminya ketika berada di bawah kekuasaan Mesir. "Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses." (Keluaran 1:11). Mereka diharuskan melakukan kerja rodi, alias kerja paksa yang diwajibkan oleh bangsa penjajah tanpa memperoleh upah apapun. Gambaran kerja rodi/paksa itu sangat berat. "Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa orang Israel bekerja, dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu." (ay 13-14). Belakangan mereka pun kembali mengalami pembuangan di Babel dan kembali harus mengalami kerja paksa ini. Jelas menjadi budak terjajah seperti itu sangatlah menyakitkan. Pahit, getir dan penuh penderitaan.
Gambaran seperti ini pun merupakan kenyataan dari kehidupan kita. Kita berpikir bahwa kita sudah merdeka, dan dengan menerima Kristus sesungguhnya itu benar, namun kita sebenarnya masih terbelenggu oleh dosa-dosa atau kebiasaan buruk kita di masa lalu. Tanpa sadar status merdeka kita pun hanya tinggal status, karena kenyataannya kita masih terjajah dan terbelenggu oleh berbagai hal, masih diperbudak oleh iblis dan terus menjadi hamba dosa. Begitu kuatnya ikatan ini, sehingga seperti bangsa Israel kita pun masih berpikir untuk lebih memilih menjadi bangsa terjajah ketimbang keluar dan menuai janji Tuhan. Lihat bagaimana bangsa Israel bersungut-sungut. "Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:12). Kita mungkin tertawa melihat kebodohan mereka, tapi kita pun sering tanpa sadar bertindak seperti itu. Gelimang dosa dan kebiasaan buruk terkadang terasa begitu nikmat, sehingga kita lebih memilih untuk membiarkan diri kita binasa ketimbang berbalik untuk mengikuti jalan Tuhan dengan penuh ketaatan.
Kemerdekaan itu sesungguhnya telah diberikan kepada kita lewat Kristus. Demikian firman Tuhan: "Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka." (Yohanes 8:36). Benar-benar merdeka, itu bukanlah sekedar omongan belaka, tetapi merupakan sebuah anugerah luar biasa yang sudah diberikan kepada kita. Masalahnya adalah, apakah kita benar-benar mau menghargai kemerdekaan sebenar-benarnya itu secara sungguh-sungguh atau kita masih memilih hidup di bawah perbudakan, menjadi hamba dosa, menjadi tawanan iblis. Paulus pun mengingatkan hal ini. "Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:18). Hal ini dia ingatkan kepada jemaat Roma agar mereka sadar akan kesalahan mereka. "Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan." (ay 19). "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran...Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal." (ay 20, 22). Dan ia menambahkan sesuatu yang sangat jelas: "Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (ay 23). Ya, dalam Yesus Kristus. Itulah satu-satunya jalan untuk bisa terbebas sepenuhnya dari jerat iblis dengan berbagai jebakan dosanya.
"Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (Roma 10:9-10). Itulah cara yang harus kita lakukan agar kita benar-benar bisa mengalami sebuah kemerdekaan secara utuh dan sepenuhnya. Tidak ada alasan bagi kita untuk terus hidup terjajah, karena bentuk kemerdekaan seutuhnya sudah dianugerahkan Tuhan lewat Kristus. Sudah selayaknya kita mensyukuri anugerah Tuhan yang luar biasa besar itu dengan hidup menjaga kekudusan dalam Yesus. Ingatlah bahwa kita adalah orang-orang merdeka, hiduplah sebagai orang merdeka dan tidak lagi tunduk kebiasaan-kebiasaan buruk yang mengarahkan kita ke dalam jurang kebinasaan sebagai jajahan iblis.
Dalam Yesus kita menjadi orang-orang yang benar-benar merdeka
========================
"Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses."
Selalu menarik membahas tentang status kita dalam bernegara. Dalam sebuah obrolan santai dengan teman-teman, salah seorang berkata bahwa meski kita secara de facto sudah merdeka semenjak 1945, tapi sesungguhnya kita belumlah merdeka. Kenyataannya kita masih saja terjajah oleh banyak hal. Dalam aspek politik kita seringkali ditekan oleh bangsa-bangsa lain, dalam aspek perekonomian pun sama. Secara fisik mungkin kita tidak lagi terjajah secara langsung, seperti halnya di masa lalu ketika bangsa kita mengalami berbagai bentuk kerja paksa oleh negara-negara yang menjajah kita. Kerja paksa di jaman penjajahan Belanda, romusha pada jaman Jepang, tapi penjajahan dalam bentuk lain pun memang masih kita alami hingga hari ini.
Bangsa Israel pun sempat mengalami masa-masa terjajah seperti itu. Seperti bangsa kita yang mengalami kerja paksa, mereka pun pernah mengalaminya ketika berada di bawah kekuasaan Mesir. "Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses." (Keluaran 1:11). Mereka diharuskan melakukan kerja rodi, alias kerja paksa yang diwajibkan oleh bangsa penjajah tanpa memperoleh upah apapun. Gambaran kerja rodi/paksa itu sangat berat. "Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa orang Israel bekerja, dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu." (ay 13-14). Belakangan mereka pun kembali mengalami pembuangan di Babel dan kembali harus mengalami kerja paksa ini. Jelas menjadi budak terjajah seperti itu sangatlah menyakitkan. Pahit, getir dan penuh penderitaan.
Gambaran seperti ini pun merupakan kenyataan dari kehidupan kita. Kita berpikir bahwa kita sudah merdeka, dan dengan menerima Kristus sesungguhnya itu benar, namun kita sebenarnya masih terbelenggu oleh dosa-dosa atau kebiasaan buruk kita di masa lalu. Tanpa sadar status merdeka kita pun hanya tinggal status, karena kenyataannya kita masih terjajah dan terbelenggu oleh berbagai hal, masih diperbudak oleh iblis dan terus menjadi hamba dosa. Begitu kuatnya ikatan ini, sehingga seperti bangsa Israel kita pun masih berpikir untuk lebih memilih menjadi bangsa terjajah ketimbang keluar dan menuai janji Tuhan. Lihat bagaimana bangsa Israel bersungut-sungut. "Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:12). Kita mungkin tertawa melihat kebodohan mereka, tapi kita pun sering tanpa sadar bertindak seperti itu. Gelimang dosa dan kebiasaan buruk terkadang terasa begitu nikmat, sehingga kita lebih memilih untuk membiarkan diri kita binasa ketimbang berbalik untuk mengikuti jalan Tuhan dengan penuh ketaatan.
Kemerdekaan itu sesungguhnya telah diberikan kepada kita lewat Kristus. Demikian firman Tuhan: "Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka." (Yohanes 8:36). Benar-benar merdeka, itu bukanlah sekedar omongan belaka, tetapi merupakan sebuah anugerah luar biasa yang sudah diberikan kepada kita. Masalahnya adalah, apakah kita benar-benar mau menghargai kemerdekaan sebenar-benarnya itu secara sungguh-sungguh atau kita masih memilih hidup di bawah perbudakan, menjadi hamba dosa, menjadi tawanan iblis. Paulus pun mengingatkan hal ini. "Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:18). Hal ini dia ingatkan kepada jemaat Roma agar mereka sadar akan kesalahan mereka. "Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan." (ay 19). "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran...Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal." (ay 20, 22). Dan ia menambahkan sesuatu yang sangat jelas: "Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (ay 23). Ya, dalam Yesus Kristus. Itulah satu-satunya jalan untuk bisa terbebas sepenuhnya dari jerat iblis dengan berbagai jebakan dosanya.
"Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (Roma 10:9-10). Itulah cara yang harus kita lakukan agar kita benar-benar bisa mengalami sebuah kemerdekaan secara utuh dan sepenuhnya. Tidak ada alasan bagi kita untuk terus hidup terjajah, karena bentuk kemerdekaan seutuhnya sudah dianugerahkan Tuhan lewat Kristus. Sudah selayaknya kita mensyukuri anugerah Tuhan yang luar biasa besar itu dengan hidup menjaga kekudusan dalam Yesus. Ingatlah bahwa kita adalah orang-orang merdeka, hiduplah sebagai orang merdeka dan tidak lagi tunduk kebiasaan-kebiasaan buruk yang mengarahkan kita ke dalam jurang kebinasaan sebagai jajahan iblis.
Dalam Yesus kita menjadi orang-orang yang benar-benar merdeka
Monday, May 24, 2010
Meminta Maaf
Ayat bacaan: Matius 5:24
=====================
"tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu."
Jelas-jelas berbuat salah, tapi gengsi untuk meminta maaf. Itu hal yang sering dilakukan banyak orang. Antara orang tua dengan anak, sesama saudara, atasan dan bawahan, suami kepada istri, antar teman dan lain-lain, ada banyak orang yang bermasalah dengan kerendahan hati untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan karena takut wibawanya hilang. Padahal seringkali rasa bersalah itu terasa begitu menyiksa. Kita terus tertuduh, hidup tidak nyaman, tapi demi gengsi, wibawa atau apapun itu, kita rela hidup dengan cara seperti itu ketimbang segera minta maaf dan memperbaiki hubungan dengan orang yang telah kita sakiti. Saya tahu bagaimana rasanya didakwa perasaan bersalah seperti itu. Dua belas tahun yang lalu saya melakukan kesalahan besar terhadap seseorang, dan akibatnya ia mendendam hingga lima tahun lamanya. Saya tahu saya bersalah, tapi saya tidak kunjung mencoba untuk menjumpainya dan minta maaf. Selama 5 tahun pula saya didera perasaan bersalah yang membuat hidup saya sama sekali tidak nyaman. Dan ketika saya lahir baru, saya menyelesaikan masalah itu dengan menjumpainya langsung untuk minta maaf, dan sejak itu pula saya bebas dari perasaan bersalah terhadapnya. Betapa ringan rasanya saat itu, dan itu adalah rasa yang sangat kontras dengan rasa bersalah yang saya tanggung selama 5 tahun sebelumnya.
Masalah maaf memaafkan memang tidak mudah. Bukan hanya memaafkan yang sulit, tapi ternyata untuk meminta maaf pun kerap kali sama susahnya. Padahal masalah ini sering terasa mengganjal dalam hidup kita, membuat kita tidak bisa merasa nyaman, bahkan menjadi penghalang bagi kita untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Yesus berkata "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." (Matius 5:24-25). Lihatlah betapa pentingnya untuk berdamai di mata Tuhan, sehingga kita diminta untuk membereskan terlebih dahulu masalah yang mengganjal dan belum selesai itu sebelum kita datang membawa persembahan di hadapan Tuhan. Dalam ayat berikutnya pun kita dianjurkan untuk langsung menemui mereka yang punya masalah dengan kita dan dengan segera menyelesaikannya. God wants it to be done eagerly, quickly and personally.
Keinginan dan kerelaan atau kerendahan hati untuk berdamai sesungguhnya merupakan hikmat yang langsung berasal dari atas. Yakobus mengingatkan itu: "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik." (Yakobus 3:17). Oleh sebab itulah dikatakan bahwa bagi orang yang cinta damai akan selalu berbuah kebenaran. "Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai." (ay 18). Jika di mata Tuhan saja hal itu sungguh penting, mengapa kita harus menomorduakan hal itu dan lebih memilih untuk mementingkan ego atau harga diri pribadi kita? Jika ada di antara teman-teman tengah mengalami sebuah hubungan yang rusak karena suatu kesalahan yang pernah anda buat atau katakan, ini saatnya untuk mengambil inisiatif. Datangi mereka dan mintalah maaf. Perbaiki segera hubungan itu, berdamailah saat ini juga.
Jagalah perdamaian dengan orang lain sesuai hikmat yang berasal dari atas
=====================
"tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu."
Jelas-jelas berbuat salah, tapi gengsi untuk meminta maaf. Itu hal yang sering dilakukan banyak orang. Antara orang tua dengan anak, sesama saudara, atasan dan bawahan, suami kepada istri, antar teman dan lain-lain, ada banyak orang yang bermasalah dengan kerendahan hati untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan karena takut wibawanya hilang. Padahal seringkali rasa bersalah itu terasa begitu menyiksa. Kita terus tertuduh, hidup tidak nyaman, tapi demi gengsi, wibawa atau apapun itu, kita rela hidup dengan cara seperti itu ketimbang segera minta maaf dan memperbaiki hubungan dengan orang yang telah kita sakiti. Saya tahu bagaimana rasanya didakwa perasaan bersalah seperti itu. Dua belas tahun yang lalu saya melakukan kesalahan besar terhadap seseorang, dan akibatnya ia mendendam hingga lima tahun lamanya. Saya tahu saya bersalah, tapi saya tidak kunjung mencoba untuk menjumpainya dan minta maaf. Selama 5 tahun pula saya didera perasaan bersalah yang membuat hidup saya sama sekali tidak nyaman. Dan ketika saya lahir baru, saya menyelesaikan masalah itu dengan menjumpainya langsung untuk minta maaf, dan sejak itu pula saya bebas dari perasaan bersalah terhadapnya. Betapa ringan rasanya saat itu, dan itu adalah rasa yang sangat kontras dengan rasa bersalah yang saya tanggung selama 5 tahun sebelumnya.
Masalah maaf memaafkan memang tidak mudah. Bukan hanya memaafkan yang sulit, tapi ternyata untuk meminta maaf pun kerap kali sama susahnya. Padahal masalah ini sering terasa mengganjal dalam hidup kita, membuat kita tidak bisa merasa nyaman, bahkan menjadi penghalang bagi kita untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Yesus berkata "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." (Matius 5:24-25). Lihatlah betapa pentingnya untuk berdamai di mata Tuhan, sehingga kita diminta untuk membereskan terlebih dahulu masalah yang mengganjal dan belum selesai itu sebelum kita datang membawa persembahan di hadapan Tuhan. Dalam ayat berikutnya pun kita dianjurkan untuk langsung menemui mereka yang punya masalah dengan kita dan dengan segera menyelesaikannya. God wants it to be done eagerly, quickly and personally.
Keinginan dan kerelaan atau kerendahan hati untuk berdamai sesungguhnya merupakan hikmat yang langsung berasal dari atas. Yakobus mengingatkan itu: "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik." (Yakobus 3:17). Oleh sebab itulah dikatakan bahwa bagi orang yang cinta damai akan selalu berbuah kebenaran. "Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai." (ay 18). Jika di mata Tuhan saja hal itu sungguh penting, mengapa kita harus menomorduakan hal itu dan lebih memilih untuk mementingkan ego atau harga diri pribadi kita? Jika ada di antara teman-teman tengah mengalami sebuah hubungan yang rusak karena suatu kesalahan yang pernah anda buat atau katakan, ini saatnya untuk mengambil inisiatif. Datangi mereka dan mintalah maaf. Perbaiki segera hubungan itu, berdamailah saat ini juga.
Jagalah perdamaian dengan orang lain sesuai hikmat yang berasal dari atas
Sunday, May 23, 2010
Menyerah (4) : Melangkah
Ayat bacaan: 1 Raja Raja 19:7
=======================
"Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu."
Menonton orang bertanding catur terkadang memang asyik. Sebuah papan catur yang terletak di kampus selalu secara berebutan dipakai para pegawai di sana untuk mengisi waktu luang. Saya pun sering melihat mereka bertanding setiap kali hendak atau selesai mengajar. Masing-masing bidak punya gerakan tertentu yang berbeda satu sama lain. Pemain catur handal akan tahu dalam berapa langkah mereka mampu memenangkan pertandingan. Catur adalah permainan yang menguras otak, tetapi juga memerlukan langkah. Bayangkan seandainya bidak-bidak itu tidak ada yang menggerakkan, tidak akan ada pertandingan apalagi yang menang.
Hidup yang kita jalani pun memerlukan langkah. Tidak akan ada hasil apapun yang bisa kita capai jika kita hanya diam di satu tempat, atau bergerak statis di tempat. Kita perlu mulai melakukan sesuatu, dan itu memerlukan sebuah langkah awal untuk mencapai keberhasilan. Ketika kita mengalami kegagalan pun, kita perlu meyakinkan diri kita untuk berani melangkah kembali. Seandainya kita hanya berdiam diri dan membiarkan bayangan kegagalan itu terus menguasai pikiran kita, maka kita tidak akan pernah bisa lepas darinya. Seringkali hal inilah yang menjadi kendala utama kita. Ketakutan kita untuk gagal lagi buat ke sekian kalinya, kekhawatiran kita menatap hari depan, keraguan atas kemampuan diri kita sendiri, semua ini bisa menjadi kendala bagi kita untuk tidak mengambil langkah apapun. Kita membiarkan diri kita terus terkapar dikuasai bayang-bayang kegagalan dan berlarut-larut memanjakan tekanan yang menerpa jiwa kita. Elia, seorang nabi luar biasa pun pernah hampir terjebak dalam hal itu.
Seperti bahasan di beberapa renungan sebelumnya, Elia mengalami break down pada jiwanya justru setelah ia melakukan perkara besar bersama Tuhan. Kelelahan tidak saja ia alami secara fisik, tapi juga tampaknya secara mental dan spiritual. Ancaman Izebel hadir pada saat yang tepat, di saat ia mengalami kelelahan yang teramat sangat. Maka Elia pun terduduk lemas di bawah pohon rindang dan berdoa agar kiranya Tuhan mencabut saja nyawanya. Ia goyah, kehilangan percaya diri, keyakinan dan harapan. Di saat seperti itu Tuhan ternyata segera bertindak agar Elia tidak terjatuh lebih jauh lagi ke dalam kekeliruan.
Dua hal yg sudah kita bahas kemarin menjadi jawaban Tuhan kepada Elia yang diturunkan melalui sosok malaikat. "Bangunlah, makanlah!" (1 Raja Raja 19:5). Itu dua pesan awal yang diserukan Tuhan. Elia harus bangkit, karena jika ia tidak bangkit maka ia akan terus tenggelam dalam tekanan dan hancur berantakan. Lalu makan, mengisi tubuh, jiwa dan rohnya agar kembali memiliki cukup kekuatan untuk melanjutkan perjalanannya. Hari ini kita sampai kepada hal ketiga dari kisah ini. Segera setelah Elia kembali tumbang begitu selesai makan untuk pertama kali, Tuhan kembali mengirimkan malaikatnya untuk menjumpai Elia. "Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu." (ay 7). Setelah bangun dan makan, langkah selanjutnya yang harus kita perhatikan adalah keberanian untuk melangkah. "Arise and eat, for the journey is too great for you." Bangunlah dan makanlah, sebab kalau tidak, engkau tidak akan sanggup melanjutkan perjalananmu." Ini berbicara mengenai melangkah. Bangkit saja belum cukup, kita harus pula mengisi tenaga kita dengan makanan. Food for the body, food for the soul and food for the spirit. Tapi kedua hal itu pun belumlah cukup, karena jika kita hanya bangkit dan makan tanpa melangkah, kita tidak akan bisa sampai kemana-mana.
Selain lewat kisah Elia, Alkitab juga mencatat banyak kisah mengenai keinginan Tuhan bagi kita untuk berani melangkah. Ketika Yosua diminta Tuhan untuk melanjutkan kepemimpinan Musa dalam membawa bangsa Israel memasuki tanah Kanaan yang dijanjikan, Tuhan berkata seperti ini: "..sebab itu bersiaplah sekarang, seberangilah sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel itu. Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa." (Yosua 1:2-3). Selain memerintahkan Yosua untuk menguatkan dan meneguhkan hatinya (ay 6,7 dan 9), Tuhan pun berpesan kepada Yosua untuk melangkah. Tuhan menjanjikan setiap tempat yang diinjak oleh telapak kakinya utnuk menjadi miliknya, dan jika Yosua tidak melangkah, maka ia tidak akan menginjak apapun, alias tidak akan mendapat apa-apa. Bangsa Israel sendiri harus melalui perjalanan panjang puluhan tahun dan menghadapi raksasa-raksasa besar untuk mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan, sebuah kemerdekaan di tanah yang melimpah susu dan madunya. Simon Petrus sang nelayan pun harus terlebih dahulu "bertolak ke tempat yang dalam", kembali melaut di siang hari, untuk mendapatkan berkat yang berkelimpahan. Yesus berkata "Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." (Lukas 5:4). Yesus bisa saja memberikan langsung pada saat itu juga, tapi Tuhan ingin kita untuk melangkah terlebih dahulu untuk menuai berkat-berkat dan janji-janjiNya. Pada awal kisah Abraham, bapa orang beriman yang sebelumnya dikenal dengan nama Abram ini harus meninggalkan zona kenyamanannya dan berangkat mematuhi Tuhan meski ia tidak tahu arah tujuannya. Nuh dan keluarga diputuskan untuk menjadi satu-satunya keluarga yang selamat dari banjir besar, itupun ia harus terlebih dahulu membangun sebuah kapal yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya. Ada banyak contoh lain, dan semua itu menunjukkan bahwa Tuhan menghendaki kita untuk terlebih dahulu melangkah untuk mencapai keberhasilan dan menuai semua berkat dan janji Tuhan.
Selain bangkit dan makan, kita harus berani melangkah, karena tanpa itu kita tidak akan bisa mencapai apa-apa. Segala tekanan jiwa, stres, depresi, kelelahan yang dialami Elia pun suatu saat mungkin kita alami, atau mungkin ada yang tengah mengalaminya hari ini. Lewat kisah Elia ini kita bisa melihat bahwa Tuhan tidak pernah diam berpangku tangan membiarkan anak-anakNya didera tekanan seperti ini. Tiga langkah yang Dia lakukan kepada Elia ternyata mampu mengembalikan stamina dan memulihkan mental Elia. Dan Elia pun kemudian bisa melanjutkan perjalanan panjangnya selama 40 hari dan 40 malam untuk mencapai gunung Horeb, dimana Allah kemudian menyatakan diriNya secara langsung kepada Elia. Hal yang sama pun berlaku bagi kita. Ketika kita mengalami tekanan yang mengakibatkan stres, depresi dan sebagainya, ketika kita mulai melihat tanda-tanda menyerah dalam diri kita, ingatlah ketiga langkah ini. Sebagaimana Elia kemudian mampu melanjutkan petualangannya seperti yang dikehendaki Tuhan, kita pun bisa mengalami hal yang sama. Pesannya jelas. Bangunlah alias bangkitlah, makanlah, kemudian beranilah melangkah. Ketiga hal ini mampu memulihkan keadaan Elia, dan saya percaya hal yang sama pun berlaku bagi kita. Tanpa kemauan untuk bangkit kita tidak akan pernah bisa mulai, tanpa makanan kita tidak akan punya cukup tenaga, tanpa melangkah kita tidak akan mampu meraih perubahan apapun menuju kebaikan. Anda tengah mengalaminya hari ini? Lakukanlah ketiga hal di atas, dan raihlah berkat Tuhan yang menunggu di depan anda. Let's continue our journey and be the winner!
Beranilah melangkah untuk menuai janji dan berkat Tuhan
=======================
"Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu."
Menonton orang bertanding catur terkadang memang asyik. Sebuah papan catur yang terletak di kampus selalu secara berebutan dipakai para pegawai di sana untuk mengisi waktu luang. Saya pun sering melihat mereka bertanding setiap kali hendak atau selesai mengajar. Masing-masing bidak punya gerakan tertentu yang berbeda satu sama lain. Pemain catur handal akan tahu dalam berapa langkah mereka mampu memenangkan pertandingan. Catur adalah permainan yang menguras otak, tetapi juga memerlukan langkah. Bayangkan seandainya bidak-bidak itu tidak ada yang menggerakkan, tidak akan ada pertandingan apalagi yang menang.
Hidup yang kita jalani pun memerlukan langkah. Tidak akan ada hasil apapun yang bisa kita capai jika kita hanya diam di satu tempat, atau bergerak statis di tempat. Kita perlu mulai melakukan sesuatu, dan itu memerlukan sebuah langkah awal untuk mencapai keberhasilan. Ketika kita mengalami kegagalan pun, kita perlu meyakinkan diri kita untuk berani melangkah kembali. Seandainya kita hanya berdiam diri dan membiarkan bayangan kegagalan itu terus menguasai pikiran kita, maka kita tidak akan pernah bisa lepas darinya. Seringkali hal inilah yang menjadi kendala utama kita. Ketakutan kita untuk gagal lagi buat ke sekian kalinya, kekhawatiran kita menatap hari depan, keraguan atas kemampuan diri kita sendiri, semua ini bisa menjadi kendala bagi kita untuk tidak mengambil langkah apapun. Kita membiarkan diri kita terus terkapar dikuasai bayang-bayang kegagalan dan berlarut-larut memanjakan tekanan yang menerpa jiwa kita. Elia, seorang nabi luar biasa pun pernah hampir terjebak dalam hal itu.
Seperti bahasan di beberapa renungan sebelumnya, Elia mengalami break down pada jiwanya justru setelah ia melakukan perkara besar bersama Tuhan. Kelelahan tidak saja ia alami secara fisik, tapi juga tampaknya secara mental dan spiritual. Ancaman Izebel hadir pada saat yang tepat, di saat ia mengalami kelelahan yang teramat sangat. Maka Elia pun terduduk lemas di bawah pohon rindang dan berdoa agar kiranya Tuhan mencabut saja nyawanya. Ia goyah, kehilangan percaya diri, keyakinan dan harapan. Di saat seperti itu Tuhan ternyata segera bertindak agar Elia tidak terjatuh lebih jauh lagi ke dalam kekeliruan.
Dua hal yg sudah kita bahas kemarin menjadi jawaban Tuhan kepada Elia yang diturunkan melalui sosok malaikat. "Bangunlah, makanlah!" (1 Raja Raja 19:5). Itu dua pesan awal yang diserukan Tuhan. Elia harus bangkit, karena jika ia tidak bangkit maka ia akan terus tenggelam dalam tekanan dan hancur berantakan. Lalu makan, mengisi tubuh, jiwa dan rohnya agar kembali memiliki cukup kekuatan untuk melanjutkan perjalanannya. Hari ini kita sampai kepada hal ketiga dari kisah ini. Segera setelah Elia kembali tumbang begitu selesai makan untuk pertama kali, Tuhan kembali mengirimkan malaikatnya untuk menjumpai Elia. "Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu." (ay 7). Setelah bangun dan makan, langkah selanjutnya yang harus kita perhatikan adalah keberanian untuk melangkah. "Arise and eat, for the journey is too great for you." Bangunlah dan makanlah, sebab kalau tidak, engkau tidak akan sanggup melanjutkan perjalananmu." Ini berbicara mengenai melangkah. Bangkit saja belum cukup, kita harus pula mengisi tenaga kita dengan makanan. Food for the body, food for the soul and food for the spirit. Tapi kedua hal itu pun belumlah cukup, karena jika kita hanya bangkit dan makan tanpa melangkah, kita tidak akan bisa sampai kemana-mana.
Selain lewat kisah Elia, Alkitab juga mencatat banyak kisah mengenai keinginan Tuhan bagi kita untuk berani melangkah. Ketika Yosua diminta Tuhan untuk melanjutkan kepemimpinan Musa dalam membawa bangsa Israel memasuki tanah Kanaan yang dijanjikan, Tuhan berkata seperti ini: "..sebab itu bersiaplah sekarang, seberangilah sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel itu. Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa." (Yosua 1:2-3). Selain memerintahkan Yosua untuk menguatkan dan meneguhkan hatinya (ay 6,7 dan 9), Tuhan pun berpesan kepada Yosua untuk melangkah. Tuhan menjanjikan setiap tempat yang diinjak oleh telapak kakinya utnuk menjadi miliknya, dan jika Yosua tidak melangkah, maka ia tidak akan menginjak apapun, alias tidak akan mendapat apa-apa. Bangsa Israel sendiri harus melalui perjalanan panjang puluhan tahun dan menghadapi raksasa-raksasa besar untuk mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan, sebuah kemerdekaan di tanah yang melimpah susu dan madunya. Simon Petrus sang nelayan pun harus terlebih dahulu "bertolak ke tempat yang dalam", kembali melaut di siang hari, untuk mendapatkan berkat yang berkelimpahan. Yesus berkata "Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." (Lukas 5:4). Yesus bisa saja memberikan langsung pada saat itu juga, tapi Tuhan ingin kita untuk melangkah terlebih dahulu untuk menuai berkat-berkat dan janji-janjiNya. Pada awal kisah Abraham, bapa orang beriman yang sebelumnya dikenal dengan nama Abram ini harus meninggalkan zona kenyamanannya dan berangkat mematuhi Tuhan meski ia tidak tahu arah tujuannya. Nuh dan keluarga diputuskan untuk menjadi satu-satunya keluarga yang selamat dari banjir besar, itupun ia harus terlebih dahulu membangun sebuah kapal yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya. Ada banyak contoh lain, dan semua itu menunjukkan bahwa Tuhan menghendaki kita untuk terlebih dahulu melangkah untuk mencapai keberhasilan dan menuai semua berkat dan janji Tuhan.
Selain bangkit dan makan, kita harus berani melangkah, karena tanpa itu kita tidak akan bisa mencapai apa-apa. Segala tekanan jiwa, stres, depresi, kelelahan yang dialami Elia pun suatu saat mungkin kita alami, atau mungkin ada yang tengah mengalaminya hari ini. Lewat kisah Elia ini kita bisa melihat bahwa Tuhan tidak pernah diam berpangku tangan membiarkan anak-anakNya didera tekanan seperti ini. Tiga langkah yang Dia lakukan kepada Elia ternyata mampu mengembalikan stamina dan memulihkan mental Elia. Dan Elia pun kemudian bisa melanjutkan perjalanan panjangnya selama 40 hari dan 40 malam untuk mencapai gunung Horeb, dimana Allah kemudian menyatakan diriNya secara langsung kepada Elia. Hal yang sama pun berlaku bagi kita. Ketika kita mengalami tekanan yang mengakibatkan stres, depresi dan sebagainya, ketika kita mulai melihat tanda-tanda menyerah dalam diri kita, ingatlah ketiga langkah ini. Sebagaimana Elia kemudian mampu melanjutkan petualangannya seperti yang dikehendaki Tuhan, kita pun bisa mengalami hal yang sama. Pesannya jelas. Bangunlah alias bangkitlah, makanlah, kemudian beranilah melangkah. Ketiga hal ini mampu memulihkan keadaan Elia, dan saya percaya hal yang sama pun berlaku bagi kita. Tanpa kemauan untuk bangkit kita tidak akan pernah bisa mulai, tanpa makanan kita tidak akan punya cukup tenaga, tanpa melangkah kita tidak akan mampu meraih perubahan apapun menuju kebaikan. Anda tengah mengalaminya hari ini? Lakukanlah ketiga hal di atas, dan raihlah berkat Tuhan yang menunggu di depan anda. Let's continue our journey and be the winner!
Beranilah melangkah untuk menuai janji dan berkat Tuhan
Saturday, May 22, 2010
Menyerah (3) : Makanlah
Ayat bacaan: 1 Raja Raja 19:7
=========================
"Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu."
Salah seorang siswi saya begitu takut gemuk, maka ia pun melakukan diet. Jika dilakukan dengan pengawasan dokter atau ahli nutrisi mungkin baik, tetapi sayangnya ia melakukannya serampangan. Ia secara drastis menghindari makan siang atau makan di waktu-waktu lain, dan akibatnya ia pun jatuh sakit. Biar bagaimanapun manusia butuh makan untuk bisa bertahan hidup. Makanan akan membawa asupan nutrisi dan gizi serta vitamin yang akan memampukan kita menjaga stamina dan kesehatan untuk menghadapi aktivitas sehari-hari yang seringkali memerlukan energi yang tidak sedikit.
Masalah makan pun tampaknya menjadi agenda penting bagi Tuhan untuk diingatkan kepada kita. Melanjutkan renungan dua hari kemarin yang fokus mengenai Elia yang mengalami tekanan pada jiwanya. Keletihan setelah melakukan pekerjaan begitu besar melawan 450 nabi Baal, ternyata energinya baik secara fisik maupun rohani terkuras habis sehingga tidak lagi punya cadangan tenaga menghadapi ancaman Izebel. Maka Elia pun terduduk lesu di bawah pohon rindang, dan berdoa agar kiranya Tuhan segera mengambil nyawanya sesegera mungkin. "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (1 Raja Raja 19:4). Aku cuma pecundang, aku orang gagal, aku tidak lebih baik dari pendahuluku, aku tidak mampu melakukan apa-apa, aku bukan siapa-siapa, dan berbagai anggapan negatif terhadap diri sendiri lainnya. Bukankah kita pun pernah mengatakan hal itu? Bukankah kita pernah berpikir seperti itu terhadap diri kita sendiri? Elia pun mengalami hal itu. Break down, burn out, give up, and surrender. Dan ketika itu terjadi, lihatlah bagaimana Tuhan segera campur tangan untuk menolong Elia. Malaikat pun diutus langsung menjumpai Elia dan memberikan pertolongan serta pesan dari Tuhan agar Elia bisa bangkit kembali dan terlepas dari tekanan jiwanya.
Kemarin kita sudah membahas pesan pertama Tuhan seperti yang tertulis dalam 1 Raja Raja 19:5. "Bangunlah!" Itu pesan pertama. Lalu yang kedua, Tuhan melanjutkan dengan pesan "Makanlah!" Bangkit tanpa mengisi kebutuhan terlebih dahulu akan membuat kita kembali jatuh. Bangkit itu perlu, karena tanpa kemauan untuk bangkit kita tidak akan bisa pulih. Namun itu harus disertai pula dengan asupan yang cukup. Lihat kemudian apa yang dilakukan Elia. "Ketika ia melihat sekitarnya, maka pada sebelah kepalanya ada roti bakar, dan sebuah kendi berisi air. Lalu ia makan dan minum, kemudian berbaring pula." (ay 6). Elia makan dan minum, tapi kemudian ia kembali rebah. Artinya makanan itu belumlah cukup untuk memulihkan dirinya. Lalu Tuhan pun kembali mengutus malaikatnya. "Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu." (ay 7). Elia pun kembali makan, dan lewat kekuatan makanan itu ia mampu berjalan kembali. Bukan cuma sekedar berjalan sebentar, tapi mampu menempuh 40 hari dan 40 malam hingga mencapai gunung Horeb, dimana Allah menyatakan diriNya.(ay 8)
Demikianlah pedulinya Tuhan terhadap kita. Dia tahu apa yang kita butuhkan, Dia tahu seberapa besar kita kekurangan "nutrisi" untuk menghadapi berbagai tekanan sulit dalam hidup kita. Makan disini tidak hanya berarti makanan untuk mengisi perut, untuk memulihkan stamina atau energi ragawi, tetapi juga berbicara mengenai makanan untuk jiwa dan kerohanian kita. Lihatlah apa kata Yesus: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4) mengutip firman Tuhan dalam Perjanjian Lama yang berbunyi: "Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN." (Ulangan 8:3). Ini sesungguhnya pesan penting. Kita bisa saja terus mengisi diri kita dengan makanan yang cukup, bahkan lebih dari cukup, tetapi jika kita membiarkan jiwa dan roh kita mengalami lapar dan dahaga, maka kitapun akan mudaha disusupi oleh berbagai kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan yang akan dengan mudah membuat kita menyerah, bahkan menghancurkan diri kita. Kehilangan harapan, menyerah pada tekanan, dan melupakan Tuhan yang begitu peduli, yang telah berjanji untuk senantiasa menyertai kita.
We need food to stay alive. We need food to stay strong. We need food to get back on our feet. Bukan hanya makanan untuk tubuh, tetapi kita pun butuh makanan untuk jiwa dan roh kita. Bukan hanya tubuh kita yang bisa menderita dehidrasi dan jatuh sakit jika tidak diisi dengan asupan nutrisi yang cukup, tetapi jiwa dan roh kita pun bisa mengalaminya jika tidak mendapat asupan firman Tuhan yang cukup. Jiwa kita bisa mengalami dehidrasi, roh kita pun bisa mengalami kekeringan. Oleh karena itulah kita perlu terus membekali diri kita dengan firman Tuhan, yang akan mampu menguatkan kita ketika kita ingin bangkit dari kegagalan atau kehancuran yang tengah melanda kita. Dalam Ibrani dikatakan "Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita.." (Ibrani 10:25). Disana kita bisa mendapatkan kekuatan baru lewat firman Tuhan dan persekutuan-persekutuan kita dengan saudara-saudari seiman. Melakukan saat teduh, membaca, merenungkan dan memperkatakan firman Tuhan, itu artinya kita memberi jiwa dan roh kita makanan agar mampu hidup secara kuat untuk menghadapi masalah apapun yang tengah menimpa diri kita. Kepada Elia, Tuhan berpesan agar ia bangun dan makan, Tidak hanya satu kali, tetapi bahkan dua kali ia diberi makan, yang menunjukkan bahwa beratnya tekanan yang ditanggung Elia pada saat itu tidak cukup diatasi hanya dengan makan sekali saja. Jika kepada Elia Tuhan peduli, mengapa tidak bagi kita? Tuhan mengingatkan kita untuk memberi makan yang cukup kepada tubuh, jiwa dan roh. Makanan jasmani dan makanan rohani alias firman Tuhan, itu akan membuat kita mempunyai tenaga yang cukup untuk menghadapi hari-hari yang berat. Mari periksa diri kita hari ini, apakah jiwa dan roh kita sedang lapar dan dahaga? Apakah kita mengalami kekeringan secara rohani? Kembali segarkan dengan firman Tuhan saat ini juga.
We need food for our body, but we also need food for our soul and spirit
=========================
"Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu."
Salah seorang siswi saya begitu takut gemuk, maka ia pun melakukan diet. Jika dilakukan dengan pengawasan dokter atau ahli nutrisi mungkin baik, tetapi sayangnya ia melakukannya serampangan. Ia secara drastis menghindari makan siang atau makan di waktu-waktu lain, dan akibatnya ia pun jatuh sakit. Biar bagaimanapun manusia butuh makan untuk bisa bertahan hidup. Makanan akan membawa asupan nutrisi dan gizi serta vitamin yang akan memampukan kita menjaga stamina dan kesehatan untuk menghadapi aktivitas sehari-hari yang seringkali memerlukan energi yang tidak sedikit.
Masalah makan pun tampaknya menjadi agenda penting bagi Tuhan untuk diingatkan kepada kita. Melanjutkan renungan dua hari kemarin yang fokus mengenai Elia yang mengalami tekanan pada jiwanya. Keletihan setelah melakukan pekerjaan begitu besar melawan 450 nabi Baal, ternyata energinya baik secara fisik maupun rohani terkuras habis sehingga tidak lagi punya cadangan tenaga menghadapi ancaman Izebel. Maka Elia pun terduduk lesu di bawah pohon rindang, dan berdoa agar kiranya Tuhan segera mengambil nyawanya sesegera mungkin. "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (1 Raja Raja 19:4). Aku cuma pecundang, aku orang gagal, aku tidak lebih baik dari pendahuluku, aku tidak mampu melakukan apa-apa, aku bukan siapa-siapa, dan berbagai anggapan negatif terhadap diri sendiri lainnya. Bukankah kita pun pernah mengatakan hal itu? Bukankah kita pernah berpikir seperti itu terhadap diri kita sendiri? Elia pun mengalami hal itu. Break down, burn out, give up, and surrender. Dan ketika itu terjadi, lihatlah bagaimana Tuhan segera campur tangan untuk menolong Elia. Malaikat pun diutus langsung menjumpai Elia dan memberikan pertolongan serta pesan dari Tuhan agar Elia bisa bangkit kembali dan terlepas dari tekanan jiwanya.
Kemarin kita sudah membahas pesan pertama Tuhan seperti yang tertulis dalam 1 Raja Raja 19:5. "Bangunlah!" Itu pesan pertama. Lalu yang kedua, Tuhan melanjutkan dengan pesan "Makanlah!" Bangkit tanpa mengisi kebutuhan terlebih dahulu akan membuat kita kembali jatuh. Bangkit itu perlu, karena tanpa kemauan untuk bangkit kita tidak akan bisa pulih. Namun itu harus disertai pula dengan asupan yang cukup. Lihat kemudian apa yang dilakukan Elia. "Ketika ia melihat sekitarnya, maka pada sebelah kepalanya ada roti bakar, dan sebuah kendi berisi air. Lalu ia makan dan minum, kemudian berbaring pula." (ay 6). Elia makan dan minum, tapi kemudian ia kembali rebah. Artinya makanan itu belumlah cukup untuk memulihkan dirinya. Lalu Tuhan pun kembali mengutus malaikatnya. "Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu." (ay 7). Elia pun kembali makan, dan lewat kekuatan makanan itu ia mampu berjalan kembali. Bukan cuma sekedar berjalan sebentar, tapi mampu menempuh 40 hari dan 40 malam hingga mencapai gunung Horeb, dimana Allah menyatakan diriNya.(ay 8)
Demikianlah pedulinya Tuhan terhadap kita. Dia tahu apa yang kita butuhkan, Dia tahu seberapa besar kita kekurangan "nutrisi" untuk menghadapi berbagai tekanan sulit dalam hidup kita. Makan disini tidak hanya berarti makanan untuk mengisi perut, untuk memulihkan stamina atau energi ragawi, tetapi juga berbicara mengenai makanan untuk jiwa dan kerohanian kita. Lihatlah apa kata Yesus: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4) mengutip firman Tuhan dalam Perjanjian Lama yang berbunyi: "Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN." (Ulangan 8:3). Ini sesungguhnya pesan penting. Kita bisa saja terus mengisi diri kita dengan makanan yang cukup, bahkan lebih dari cukup, tetapi jika kita membiarkan jiwa dan roh kita mengalami lapar dan dahaga, maka kitapun akan mudaha disusupi oleh berbagai kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan yang akan dengan mudah membuat kita menyerah, bahkan menghancurkan diri kita. Kehilangan harapan, menyerah pada tekanan, dan melupakan Tuhan yang begitu peduli, yang telah berjanji untuk senantiasa menyertai kita.
We need food to stay alive. We need food to stay strong. We need food to get back on our feet. Bukan hanya makanan untuk tubuh, tetapi kita pun butuh makanan untuk jiwa dan roh kita. Bukan hanya tubuh kita yang bisa menderita dehidrasi dan jatuh sakit jika tidak diisi dengan asupan nutrisi yang cukup, tetapi jiwa dan roh kita pun bisa mengalaminya jika tidak mendapat asupan firman Tuhan yang cukup. Jiwa kita bisa mengalami dehidrasi, roh kita pun bisa mengalami kekeringan. Oleh karena itulah kita perlu terus membekali diri kita dengan firman Tuhan, yang akan mampu menguatkan kita ketika kita ingin bangkit dari kegagalan atau kehancuran yang tengah melanda kita. Dalam Ibrani dikatakan "Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita.." (Ibrani 10:25). Disana kita bisa mendapatkan kekuatan baru lewat firman Tuhan dan persekutuan-persekutuan kita dengan saudara-saudari seiman. Melakukan saat teduh, membaca, merenungkan dan memperkatakan firman Tuhan, itu artinya kita memberi jiwa dan roh kita makanan agar mampu hidup secara kuat untuk menghadapi masalah apapun yang tengah menimpa diri kita. Kepada Elia, Tuhan berpesan agar ia bangun dan makan, Tidak hanya satu kali, tetapi bahkan dua kali ia diberi makan, yang menunjukkan bahwa beratnya tekanan yang ditanggung Elia pada saat itu tidak cukup diatasi hanya dengan makan sekali saja. Jika kepada Elia Tuhan peduli, mengapa tidak bagi kita? Tuhan mengingatkan kita untuk memberi makan yang cukup kepada tubuh, jiwa dan roh. Makanan jasmani dan makanan rohani alias firman Tuhan, itu akan membuat kita mempunyai tenaga yang cukup untuk menghadapi hari-hari yang berat. Mari periksa diri kita hari ini, apakah jiwa dan roh kita sedang lapar dan dahaga? Apakah kita mengalami kekeringan secara rohani? Kembali segarkan dengan firman Tuhan saat ini juga.
We need food for our body, but we also need food for our soul and spirit
Friday, May 21, 2010
Menyerah (2) : Bangkitlah
Ayat bacaan: 1 Raja Raja 19:5
==========================
"Sesudah itu ia berbaring dan tidur di bawah pohon arar itu. Tetapi tiba-tiba seorang malaikat menyentuh dia serta berkata kepadanya: "Bangunlah, makanlah!"
Betapa sulitnya untuk bangkit dari keterpurukan. Itu dirasakan oleh hampir semua orang. Sangat tidak enak ketika kita dihadapkan kepada sebuah kegagalan, lebih tidak enak lagi apabila kita mengalaminya secara beruntun. Apa yang selama ini kita bangun dan perjuangkan ternyata sia-sia, dan kita akan merasa terlalu lelah untuk bangkit kembali dan memulai segalanya kembali dari awal. Seringkali kegagalan itu berdampak luas dalam waktu yang cukup lama, sehingga orang yang mengalaminya akan lebih memilih untuk menghindar dari realita, bersembunyi dan terbenam dalam masa lalunya. Tidak ada lagi tatapan buat masa depan, tidak ada lagi keinginan untuk bangkit. Ketika ini terjadi, sebenarnya praktis kehidupan pun sudah berakhir.
Tuhan tidak menginginkan satupun dari kita anak-anakNya mengalami hal ini. Dia tidak ingin anak-anakNya tenggelam dalam bayangan kegagalan. Sementara kehidupan di muka bumi ini tidak akan pernah selalu mudah. Artinya, kita akan terus berhadapan dengan saat-saat dimana kita mengalami kejatuhan atau kegagalan. Itu wajar, itu normal, tetapi Tuhan selalu menginginkan kita untuk bangkit kembali.
Kemarin kita sudah melihat bagaimana jiwa Elia kelelahan dan tertekan. Begitu tertekannya Elia sehingga ia mengucapkan doa minta mati seperti ini. "Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (1 Raja Raja 19:4). Setelah kemarin kita melihat bagaimana jiwa Elia tertekan dan membuatnya menyerah, hari ini kita akan melihat kelanjutannya dengan memperhatikan apa yang kemudian dilakukan Tuhan untuk kembali meneguhkan Elia kembali ke alurnya seperti yang diinginkan Tuhan. Apa yang terjadi selanjutnya adalah seperti ini: "Sesudah itu ia berbaring dan tidur di bawah pohon arar itu. Tetapi tiba-tiba seorang malaikat menyentuh dia serta berkata kepadanya: "Bangunlah, makanlah!" (ay 5). Seorang malaikat hadir, menyentuhnya, menyuruhnya bangun dan makan. Mari kita fokus kepada perkataan pertama malaikat utusan Tuhan itu. Bangunlah! Bangkitlah! Wake up! Arise! Itu seruan malaikat menyikapi Elia yang sudah kehilangan harapan. Tidak hanya satu kali tapi dua kali Elia mendapatkan seruan itu. Sulit memang untuk bisa bangkit kembali, namun itu yang Tuhan inginkan. Tuhan merasa perlu untuk mengingatkan Elia akan hal ini sehingga pesan ini harus diulangi hingga dua kali agar mampu diresapi secara baik oleh Elia.
Kita tidak akan pernah bisa lepas dari rasa frustasi atau terbebas dari bayang-bayang kegagalan di masa lalu kecuali kita mau kembali bangkit dan mulai melakukan sesuatu. We will never be able to overcome it unless we are willing to get up and start doing something about it. Mungkin kita sudah terlalu lama bersembunyi dan menyepi dari keramaian, ini saatnya bagi kita untuk bangkit dan kembali menghadapi dunia dengan semangat baru. Bisa jadi tidak mudah, dan dengan mengandalkan kekuatan sendiri mungkin saja tidak bisa, tetapi kita harus ingat bahwa penyertaan Tuhan bersama kita akan memampukan kita untuk melakukan hal itu. Jika kita mundur ke belakang, Yosua pernah mengalami hal yang mirip. Tidak mudah bagi Yosua untuk menerima ketika ia diminta Tuhan secara langsung untuk menggantikan posisi Musa. Pengalamannya menjadi abdi Musa telah membawanya untuk melihat bagaimana keras kepala dan tegar tengkuknya bangsa Israel begitu menyusahkan Musa. Tugas maha berat itu kini dialihkan ke pundaknya. Maka kita pun melihat bagaimana Tuhan berkali-kali meyakinkan Yosua untuk menguatkan dan meneguhkan hatinya. Dan ketika Tuhan mengulangi pesan yang sama untuk ketiga kalinya, perhatikan apa yang dikatakan Tuhan kepada Yosua. "Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi." (Yosua 1:9). Ya, tidak ada alasan untuk kecut dan tawar hati, tidak ada alasan untuk takut memulai kembali jika Tuhan sendiri berjanji untuk menyertai kita kemanapun kita pergi bukan? Tenaga kita mungkin tidak cukup, mental kita mungkin sulit untuk kembali teguh, bayangan kegagalan mungkin terus merongrong diri kita, tetapi kekuatan dari Tuhan, yang telah berjanji untuk senantiasa menyertai kita, itu akan mampu memberikan semangat baru bagi kita untuk bangkit dan kembali berjuang. Get back on track with the new spirit. Itu semua bisa kita lakukan jika kita mengimani bahwa Tuhan sebenarnya selalu menyertai kita, kemanapun kita pergi. Ada Tuhan bersama kita kemanapun dan kapanpun.
Seperti halnya seruan Tuhan lewat malaikat kepada Elia untuk bangkit, seperti itu pula seruan Tuhan kepada kita yang masih belum mampu mengatasi trauma dan terus mengalami tekanan pada jiwa kita sehingga sulit untuk kembali berdiri menghadapi masa depan. Jika anda masih terikat dalam hal seperti ini, merasa tidak lagi punya harapan untuk bangun dari tidur yang panjang, ingatlah firman Tuhan ini. "Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu." (Yesaya 60:1). Dalam versi bahasa Inggris dikatakan: "ARISE [from the depression and prostration in which circumstances have kept you--rise to a new life]! Shine (be radiant with the glory of the Lord), for your light has come, and the glory of the Lord has risen upon you!" Kegagalan boleh saja hadir, tetapi itu bukan berarti kita harus menyerah. Selama Tuhan masih menyertai kita, selama kemuliaan Tuhan masih menaungi kita, kita harus tetap bersemangat untuk bangkit dan kembali berjuang. Bukan bangkit saja, tetapi Tuhan juga menginginkan kita untuk mampu menjadi terang. Kegagalan kita akan digantikan dengan kesuksesan dalam semangat baru, dan itu akan sangat berguna untuk dipakai sebagai kesaksian yang memberkati banyak orang. Dan hal tersebut berbicara mengenai kita sebagai terang. Tuhan siap memakai apapun yang anda alami hari ini untuk menyatakan kuasa dan kasih setiaNya. Elia mengalami break down, burn out, tekanan berat dalam jiwanya dan hampir menyerah kalah, dan pesan Tuhan pertama berbunyi sebuah seruan bagi dirinya untuk kembali bangkit. "Bangunlah!" itu kata Tuhan kepada Elia, dan pesan itu pun berlaku pula bagi kita. Tuhan tidak menginginkan kita patah semangat atau kehilangan harapan ketika menghadapi tekanan atau kegagalan. Dia ingin kita selalu ingat bahwa kasih setiaNya atas diri kita akan membuat diriNya selalu ada bersama kita sampai kapanpun. Jika anda mengalami trauma atau tekanan, atau merasa terlalu takut untuk kembali bangkit dari kegagalan, jangan pernah lupa bahwa Tuhan selalu menyertai kemanapun anda pergi. Oleh sebab itu, hari ini juga, bangkitlah! Let's arise and shine!
Kita tidak akan pernah mampu mengatasi rasa frustasi atau trauma kegagalan jika kita tidak berani untuk kembali bangkit
==========================
"Sesudah itu ia berbaring dan tidur di bawah pohon arar itu. Tetapi tiba-tiba seorang malaikat menyentuh dia serta berkata kepadanya: "Bangunlah, makanlah!"
Betapa sulitnya untuk bangkit dari keterpurukan. Itu dirasakan oleh hampir semua orang. Sangat tidak enak ketika kita dihadapkan kepada sebuah kegagalan, lebih tidak enak lagi apabila kita mengalaminya secara beruntun. Apa yang selama ini kita bangun dan perjuangkan ternyata sia-sia, dan kita akan merasa terlalu lelah untuk bangkit kembali dan memulai segalanya kembali dari awal. Seringkali kegagalan itu berdampak luas dalam waktu yang cukup lama, sehingga orang yang mengalaminya akan lebih memilih untuk menghindar dari realita, bersembunyi dan terbenam dalam masa lalunya. Tidak ada lagi tatapan buat masa depan, tidak ada lagi keinginan untuk bangkit. Ketika ini terjadi, sebenarnya praktis kehidupan pun sudah berakhir.
Tuhan tidak menginginkan satupun dari kita anak-anakNya mengalami hal ini. Dia tidak ingin anak-anakNya tenggelam dalam bayangan kegagalan. Sementara kehidupan di muka bumi ini tidak akan pernah selalu mudah. Artinya, kita akan terus berhadapan dengan saat-saat dimana kita mengalami kejatuhan atau kegagalan. Itu wajar, itu normal, tetapi Tuhan selalu menginginkan kita untuk bangkit kembali.
Kemarin kita sudah melihat bagaimana jiwa Elia kelelahan dan tertekan. Begitu tertekannya Elia sehingga ia mengucapkan doa minta mati seperti ini. "Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (1 Raja Raja 19:4). Setelah kemarin kita melihat bagaimana jiwa Elia tertekan dan membuatnya menyerah, hari ini kita akan melihat kelanjutannya dengan memperhatikan apa yang kemudian dilakukan Tuhan untuk kembali meneguhkan Elia kembali ke alurnya seperti yang diinginkan Tuhan. Apa yang terjadi selanjutnya adalah seperti ini: "Sesudah itu ia berbaring dan tidur di bawah pohon arar itu. Tetapi tiba-tiba seorang malaikat menyentuh dia serta berkata kepadanya: "Bangunlah, makanlah!" (ay 5). Seorang malaikat hadir, menyentuhnya, menyuruhnya bangun dan makan. Mari kita fokus kepada perkataan pertama malaikat utusan Tuhan itu. Bangunlah! Bangkitlah! Wake up! Arise! Itu seruan malaikat menyikapi Elia yang sudah kehilangan harapan. Tidak hanya satu kali tapi dua kali Elia mendapatkan seruan itu. Sulit memang untuk bisa bangkit kembali, namun itu yang Tuhan inginkan. Tuhan merasa perlu untuk mengingatkan Elia akan hal ini sehingga pesan ini harus diulangi hingga dua kali agar mampu diresapi secara baik oleh Elia.
Kita tidak akan pernah bisa lepas dari rasa frustasi atau terbebas dari bayang-bayang kegagalan di masa lalu kecuali kita mau kembali bangkit dan mulai melakukan sesuatu. We will never be able to overcome it unless we are willing to get up and start doing something about it. Mungkin kita sudah terlalu lama bersembunyi dan menyepi dari keramaian, ini saatnya bagi kita untuk bangkit dan kembali menghadapi dunia dengan semangat baru. Bisa jadi tidak mudah, dan dengan mengandalkan kekuatan sendiri mungkin saja tidak bisa, tetapi kita harus ingat bahwa penyertaan Tuhan bersama kita akan memampukan kita untuk melakukan hal itu. Jika kita mundur ke belakang, Yosua pernah mengalami hal yang mirip. Tidak mudah bagi Yosua untuk menerima ketika ia diminta Tuhan secara langsung untuk menggantikan posisi Musa. Pengalamannya menjadi abdi Musa telah membawanya untuk melihat bagaimana keras kepala dan tegar tengkuknya bangsa Israel begitu menyusahkan Musa. Tugas maha berat itu kini dialihkan ke pundaknya. Maka kita pun melihat bagaimana Tuhan berkali-kali meyakinkan Yosua untuk menguatkan dan meneguhkan hatinya. Dan ketika Tuhan mengulangi pesan yang sama untuk ketiga kalinya, perhatikan apa yang dikatakan Tuhan kepada Yosua. "Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi." (Yosua 1:9). Ya, tidak ada alasan untuk kecut dan tawar hati, tidak ada alasan untuk takut memulai kembali jika Tuhan sendiri berjanji untuk menyertai kita kemanapun kita pergi bukan? Tenaga kita mungkin tidak cukup, mental kita mungkin sulit untuk kembali teguh, bayangan kegagalan mungkin terus merongrong diri kita, tetapi kekuatan dari Tuhan, yang telah berjanji untuk senantiasa menyertai kita, itu akan mampu memberikan semangat baru bagi kita untuk bangkit dan kembali berjuang. Get back on track with the new spirit. Itu semua bisa kita lakukan jika kita mengimani bahwa Tuhan sebenarnya selalu menyertai kita, kemanapun kita pergi. Ada Tuhan bersama kita kemanapun dan kapanpun.
Seperti halnya seruan Tuhan lewat malaikat kepada Elia untuk bangkit, seperti itu pula seruan Tuhan kepada kita yang masih belum mampu mengatasi trauma dan terus mengalami tekanan pada jiwa kita sehingga sulit untuk kembali berdiri menghadapi masa depan. Jika anda masih terikat dalam hal seperti ini, merasa tidak lagi punya harapan untuk bangun dari tidur yang panjang, ingatlah firman Tuhan ini. "Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu." (Yesaya 60:1). Dalam versi bahasa Inggris dikatakan: "ARISE [from the depression and prostration in which circumstances have kept you--rise to a new life]! Shine (be radiant with the glory of the Lord), for your light has come, and the glory of the Lord has risen upon you!" Kegagalan boleh saja hadir, tetapi itu bukan berarti kita harus menyerah. Selama Tuhan masih menyertai kita, selama kemuliaan Tuhan masih menaungi kita, kita harus tetap bersemangat untuk bangkit dan kembali berjuang. Bukan bangkit saja, tetapi Tuhan juga menginginkan kita untuk mampu menjadi terang. Kegagalan kita akan digantikan dengan kesuksesan dalam semangat baru, dan itu akan sangat berguna untuk dipakai sebagai kesaksian yang memberkati banyak orang. Dan hal tersebut berbicara mengenai kita sebagai terang. Tuhan siap memakai apapun yang anda alami hari ini untuk menyatakan kuasa dan kasih setiaNya. Elia mengalami break down, burn out, tekanan berat dalam jiwanya dan hampir menyerah kalah, dan pesan Tuhan pertama berbunyi sebuah seruan bagi dirinya untuk kembali bangkit. "Bangunlah!" itu kata Tuhan kepada Elia, dan pesan itu pun berlaku pula bagi kita. Tuhan tidak menginginkan kita patah semangat atau kehilangan harapan ketika menghadapi tekanan atau kegagalan. Dia ingin kita selalu ingat bahwa kasih setiaNya atas diri kita akan membuat diriNya selalu ada bersama kita sampai kapanpun. Jika anda mengalami trauma atau tekanan, atau merasa terlalu takut untuk kembali bangkit dari kegagalan, jangan pernah lupa bahwa Tuhan selalu menyertai kemanapun anda pergi. Oleh sebab itu, hari ini juga, bangkitlah! Let's arise and shine!
Kita tidak akan pernah mampu mengatasi rasa frustasi atau trauma kegagalan jika kita tidak berani untuk kembali bangkit
Thursday, May 20, 2010
Menyerah (1)
Ayat bacaan: 1 Raja Raja 19:4
=========================
"Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."
Edward Payson Weston membuat catatan spektakuler pada tahun 1909. Saat itu, di usianya yang ke 70, ia sukses menempuh jarak 4000 mil dari New York menuju San Fransisco bukan dengan kendaraan melainkan dengan berjalan kaki. Sebuah prestasi yang mungkin tidak sanggup disaingi oleh kita yang masih berusia lebih muda dari dirinya. Sebuah petualangan yang berat pastinya. Dan saya yakin Weston mengalami banyak masalah dalam proses perjalanannya. Dalam sebuah wawancara yang ia lakukan ada satu hal yang cukup menarik. Ia berkata seperti ini: "Ada saat-saat dimana kaki saya terasa sangat sakit. Saya hampir saja menyerah dan menghentikan perjalanan ini. Masalah yang terbesar yang hampir saja membuat saya menyerah bukan rasa lelah, bukan pula jarak yang sangat jauh hingga 4000 mil, atau bukan pula panas terik yang memanggang diri saya, tetapi justru butiran pasir yang masuk ke dalam sepatu, membuat saya sulit untuk terus melangkah."
Perjalanan hidup kita pun sama seperti itu. Kita harus menempuh jarak yang terkadang terasa sangat melelahkan. Di dalam prosesnya, kita akan bertemu dengan banyak masalah, kendala, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Dalam masing-masing kendala itu terdapat kesulitannya sendiri-sendiri, dan pada suatu ketika kita akan sampai kepada suatu keadaan dimana kita mulai merasa kehilangan harapan dan berpikir untuk menyerah. Bukan hanya masalah berat yang mampu membuat kita menyerah tetapi masalah kecil pun bisa membuat kita kehilangan semangat juang dan lebih memilih untuk mengibarkan bendera putih. Seperti Weston yang hampir menyerah justru hanya gara-gara butiran pasir, seperti itu pula kita sering dikalahkan oleh perkara-perkara yang mungkin relatif kecil dibanding setumpuk perkara besar yang pernah kita hadapi dan menangkan sebelumnya. Alkitab mencatat banyak kisah mengenai perjuangan iman para nabi, bagaimana mereka berjuang mengatasinya dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Salah satunya adalah Elia, seorang nabi besar baik di jamannya yang terus kita kenang hingga hari ini.
Elia adalah sosok yang luar biasa. Elia disebut sebagai "nabi api", yaitu nabi yang pernah menurunkan api dari Surga dan dengan gemilang mengalahkan 450 nabi Baal pada saat itu seperti yang tertulis dalam 1 Raja Raja 18:20-40. Dia sukses membuktikan bahwa Allah Abraham, Ishak dan Israel adalah Allah yang sesungguhnya. Elia dengan iman teguh berdoa "Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini." (ay 36). Selain api, Elia pun dikenal sebagai nabi hujan. "Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumipun mengeluarkan buahnya." (Yakobus 5:17). Jelas, Elia merupakan sosok luar biasa dengan iman yang luar biasa pula. Tapi seperti yang dikatakan oleh Yakobus, Elia tetaplah manusia biasa, yang punya kelemahan dan keterbatasan sama seperti kita juga. Setelah ia membuktikan kuasa Allah yang secara nyata turun melalui dirinya, ternyata jiwanya tertekan ketika mendapat ancaman dari Isebel. Kelelahan fisik, mental dan spiritual ternyata bisa melanda Elia yang baru saja menyaksikan sendiri hebatnya kuasa Tuhan. Ia mengalami depresi yang kemudian memuncak lewat doanya. Bukannya minta dikuatkan atau diteguhkan, tapi sebuah simbol ingin menyerah pun terlihat dari isi doanya. "Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (1 Raja-Raja 19:4). Elia tidak ingin lagi melihat hari esok, yang pasti hadir penuh ancaman. Sebuah anti klimaks pun nyata terlihat disini.
Kita pun sering mengalami kejadian seperti yang dialami oleh Elia. Ada kalanya berbagai tekanan bertubi-tubi menerpa kita, mulai dari tekanan ringan hingga berat yang silih berganti, beriringan atau bahkan serentak menghantam kita dan membuat kita mulai kelelahan untuk terus berjuang. Harapan menjadi redup, keberhasilan terlihat semakin jauh, dan kita mulai berpikir untuk menyerah kalah karena tidak lagi merasakan adanya harapan. Kehancuran keluarga, anak-anak yang terlibat pergaulan bebas atau obat-obatan, pasangan yang melupakan tanggungjawabnya dan beralih ke orang lain, masalah besar dalam pekerjaan, kondisi finansial yang hancur, terlibat hutang besar, menghadapi tuduhan atau fitnahan, sakit penyakit dan lain-lain, semua ini bisa membuat jiwa kita tertekan sedemikian rupa sehingga menyerah akan tampak sebagai solusi paling logis dari semua itu. Mati saja, menjadi salah satu solusi tercepat untuk lepas dari jaring-jaring masalah yang sudah terasa begitu mengikat erat diri kita. Ada pula orang yang akan kelelahan dan terus berusaha tidur, tidur dan tidur lagi untuk menghindar dari tekanan jiwa yang akan begitu terasa di saat tengah sadar. Kita sering, atau setidaknya pernah mengalami hal itu bukan? Lalu apakah kita harus menyerah dan mulai memanjatkan doa dengan pesimis tanpa harapan seperti halnya Elia?
Puji Tuhan, kita memiliki sosok Bapa yang luar biasa peduli. Dia tidak mau kita berakhir seperti itu. Tuhan tidak akan pernah berdiam diri dan berpangku tangan melihat kita didera kesulitan. Yesus, PuteraNya yang tunggal pun telah Dia berikan kepada kita, dan itu merupakan bukti nyata betapa Dia adalah Allah yang sangat peduli. Jika untuk keselamatan kita yang kekal saja Tuhan begitu peduli, mengapa terhadap masalah yang menerpa kehidupan kita harus ragu akan kepedulianNya? Dan Tuhan jelas menginginkan kita untuk senantiasa hidup dengan pengharapan. Penulis Ibrani pun mengingatkan kita mengenai hal ini, mengapa kita harus terus memastikan agar api pengharapan jangan sampai pernah redup dalam diri kita. "Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." (Ibrani 10:23). Ya, Allah, yang menjanjikan itu semua, bukanlah Allah yang ingkar janji. Dia, yang menjanjikannya, setia.
Kembali kepada kisah Elia dan tekanan berat yang menerpa jiwanya sehingga membuatnya ingin menyerah, Tuhan ternyata memberi jawaban secara langsung, sesuai dengan janji-janjiNya di atas. Setidaknya ada 3 hal yang bisa menjadi pelajaran bagi kita yang mungkin tengah mengalami kondisi remuk jiwa seperti Elia. Dan ketiga pelajaran ini akan saya bahas satu persatu dalam tiga bagian berikutnya. Satu hal yang pasti, Allah peduli, dan Allah sanggup melakukan hal-hal luar biasa untuk meneguhkan dan menyelamatkan kita, bahkan hal-hal yang tidak mampu dijelaskan secara logika kita yang terbatas sekalipun. Daud pun berseru hal yang sama ketika ia merasa tertekan. "Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" (Mazmur 42:6, 42:12, 43:5). Ia merasa perlu untuk terus mengingatkan jiwanya agar tetap berada dalam ketenangan, terus berjalan dalam pengharapan bersama Allah. Adakah diantara teman-teman yang mulai didera kelelahan teramat sangat dan mulai berpikir untuk menyerah? Semoga apa yang menjadi tindakan dan jawaban Allah terhadap Elia yang akan saya bahas dalam tiga hari ke depan mampu meneguhkan kembali jiwa anda dan menyalakan api pengharapan yang mulai meredup.
Pastikan api pengharapan tetap menyala dalam kesulitan seperti apapun
=========================
"Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."
Edward Payson Weston membuat catatan spektakuler pada tahun 1909. Saat itu, di usianya yang ke 70, ia sukses menempuh jarak 4000 mil dari New York menuju San Fransisco bukan dengan kendaraan melainkan dengan berjalan kaki. Sebuah prestasi yang mungkin tidak sanggup disaingi oleh kita yang masih berusia lebih muda dari dirinya. Sebuah petualangan yang berat pastinya. Dan saya yakin Weston mengalami banyak masalah dalam proses perjalanannya. Dalam sebuah wawancara yang ia lakukan ada satu hal yang cukup menarik. Ia berkata seperti ini: "Ada saat-saat dimana kaki saya terasa sangat sakit. Saya hampir saja menyerah dan menghentikan perjalanan ini. Masalah yang terbesar yang hampir saja membuat saya menyerah bukan rasa lelah, bukan pula jarak yang sangat jauh hingga 4000 mil, atau bukan pula panas terik yang memanggang diri saya, tetapi justru butiran pasir yang masuk ke dalam sepatu, membuat saya sulit untuk terus melangkah."
Perjalanan hidup kita pun sama seperti itu. Kita harus menempuh jarak yang terkadang terasa sangat melelahkan. Di dalam prosesnya, kita akan bertemu dengan banyak masalah, kendala, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Dalam masing-masing kendala itu terdapat kesulitannya sendiri-sendiri, dan pada suatu ketika kita akan sampai kepada suatu keadaan dimana kita mulai merasa kehilangan harapan dan berpikir untuk menyerah. Bukan hanya masalah berat yang mampu membuat kita menyerah tetapi masalah kecil pun bisa membuat kita kehilangan semangat juang dan lebih memilih untuk mengibarkan bendera putih. Seperti Weston yang hampir menyerah justru hanya gara-gara butiran pasir, seperti itu pula kita sering dikalahkan oleh perkara-perkara yang mungkin relatif kecil dibanding setumpuk perkara besar yang pernah kita hadapi dan menangkan sebelumnya. Alkitab mencatat banyak kisah mengenai perjuangan iman para nabi, bagaimana mereka berjuang mengatasinya dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Salah satunya adalah Elia, seorang nabi besar baik di jamannya yang terus kita kenang hingga hari ini.
Elia adalah sosok yang luar biasa. Elia disebut sebagai "nabi api", yaitu nabi yang pernah menurunkan api dari Surga dan dengan gemilang mengalahkan 450 nabi Baal pada saat itu seperti yang tertulis dalam 1 Raja Raja 18:20-40. Dia sukses membuktikan bahwa Allah Abraham, Ishak dan Israel adalah Allah yang sesungguhnya. Elia dengan iman teguh berdoa "Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini." (ay 36). Selain api, Elia pun dikenal sebagai nabi hujan. "Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumipun mengeluarkan buahnya." (Yakobus 5:17). Jelas, Elia merupakan sosok luar biasa dengan iman yang luar biasa pula. Tapi seperti yang dikatakan oleh Yakobus, Elia tetaplah manusia biasa, yang punya kelemahan dan keterbatasan sama seperti kita juga. Setelah ia membuktikan kuasa Allah yang secara nyata turun melalui dirinya, ternyata jiwanya tertekan ketika mendapat ancaman dari Isebel. Kelelahan fisik, mental dan spiritual ternyata bisa melanda Elia yang baru saja menyaksikan sendiri hebatnya kuasa Tuhan. Ia mengalami depresi yang kemudian memuncak lewat doanya. Bukannya minta dikuatkan atau diteguhkan, tapi sebuah simbol ingin menyerah pun terlihat dari isi doanya. "Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (1 Raja-Raja 19:4). Elia tidak ingin lagi melihat hari esok, yang pasti hadir penuh ancaman. Sebuah anti klimaks pun nyata terlihat disini.
Kita pun sering mengalami kejadian seperti yang dialami oleh Elia. Ada kalanya berbagai tekanan bertubi-tubi menerpa kita, mulai dari tekanan ringan hingga berat yang silih berganti, beriringan atau bahkan serentak menghantam kita dan membuat kita mulai kelelahan untuk terus berjuang. Harapan menjadi redup, keberhasilan terlihat semakin jauh, dan kita mulai berpikir untuk menyerah kalah karena tidak lagi merasakan adanya harapan. Kehancuran keluarga, anak-anak yang terlibat pergaulan bebas atau obat-obatan, pasangan yang melupakan tanggungjawabnya dan beralih ke orang lain, masalah besar dalam pekerjaan, kondisi finansial yang hancur, terlibat hutang besar, menghadapi tuduhan atau fitnahan, sakit penyakit dan lain-lain, semua ini bisa membuat jiwa kita tertekan sedemikian rupa sehingga menyerah akan tampak sebagai solusi paling logis dari semua itu. Mati saja, menjadi salah satu solusi tercepat untuk lepas dari jaring-jaring masalah yang sudah terasa begitu mengikat erat diri kita. Ada pula orang yang akan kelelahan dan terus berusaha tidur, tidur dan tidur lagi untuk menghindar dari tekanan jiwa yang akan begitu terasa di saat tengah sadar. Kita sering, atau setidaknya pernah mengalami hal itu bukan? Lalu apakah kita harus menyerah dan mulai memanjatkan doa dengan pesimis tanpa harapan seperti halnya Elia?
Puji Tuhan, kita memiliki sosok Bapa yang luar biasa peduli. Dia tidak mau kita berakhir seperti itu. Tuhan tidak akan pernah berdiam diri dan berpangku tangan melihat kita didera kesulitan. Yesus, PuteraNya yang tunggal pun telah Dia berikan kepada kita, dan itu merupakan bukti nyata betapa Dia adalah Allah yang sangat peduli. Jika untuk keselamatan kita yang kekal saja Tuhan begitu peduli, mengapa terhadap masalah yang menerpa kehidupan kita harus ragu akan kepedulianNya? Dan Tuhan jelas menginginkan kita untuk senantiasa hidup dengan pengharapan. Penulis Ibrani pun mengingatkan kita mengenai hal ini, mengapa kita harus terus memastikan agar api pengharapan jangan sampai pernah redup dalam diri kita. "Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." (Ibrani 10:23). Ya, Allah, yang menjanjikan itu semua, bukanlah Allah yang ingkar janji. Dia, yang menjanjikannya, setia.
Kembali kepada kisah Elia dan tekanan berat yang menerpa jiwanya sehingga membuatnya ingin menyerah, Tuhan ternyata memberi jawaban secara langsung, sesuai dengan janji-janjiNya di atas. Setidaknya ada 3 hal yang bisa menjadi pelajaran bagi kita yang mungkin tengah mengalami kondisi remuk jiwa seperti Elia. Dan ketiga pelajaran ini akan saya bahas satu persatu dalam tiga bagian berikutnya. Satu hal yang pasti, Allah peduli, dan Allah sanggup melakukan hal-hal luar biasa untuk meneguhkan dan menyelamatkan kita, bahkan hal-hal yang tidak mampu dijelaskan secara logika kita yang terbatas sekalipun. Daud pun berseru hal yang sama ketika ia merasa tertekan. "Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" (Mazmur 42:6, 42:12, 43:5). Ia merasa perlu untuk terus mengingatkan jiwanya agar tetap berada dalam ketenangan, terus berjalan dalam pengharapan bersama Allah. Adakah diantara teman-teman yang mulai didera kelelahan teramat sangat dan mulai berpikir untuk menyerah? Semoga apa yang menjadi tindakan dan jawaban Allah terhadap Elia yang akan saya bahas dalam tiga hari ke depan mampu meneguhkan kembali jiwa anda dan menyalakan api pengharapan yang mulai meredup.
Pastikan api pengharapan tetap menyala dalam kesulitan seperti apapun
Wednesday, May 19, 2010
Taat Meski Tanpa Tali
Ayat bacaan: Mazmur 32:9
======================
"Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau"
Diasuh dengan kasih sayang yang sama, tapi sifat kedua anjing yang kami miliki berbeda. Yang satu sangat penurut dan patuh. Meski tanpa tali sekalipun ia akan datang jika dipanggil, dan tidak akan pernah lari jauh dari kami. Meski ada ayam atau kucing di dekatnya sekalipun, ia tidak akan mengejar apalagi menyerang. Yang satu lagi benar-benar bertolak belakang. Setiap ada kesempatan ia akan memanfaatkannya dengan sesegera mungkin. Lari sejauh-jauhnya, semakin menjauh ketika dipanggil dan jika sudah demikian akan sangat repot untuk menangkapnya. Karena itulah kami harus selalu memastikan agar tidak lengah. Kalaupun dibawa keluar maka jelas harus disertai tali. Itupun belum berarti aman karena ia akan selalu berusaha menarik tali itu agar terlepas. Seandainya ia bisa berpikir, saya yakin ia akan merasa heran, mengapa ia harus selalu disertai tali sedangkan anjing satu lagi bisa bebas bergerak kesana kemari. Mungkin, ia akan merasa diperlakukan tidak adil. Padahal itu dilakukan demi kebaikan dirinya sendiri juga, karena ia akan menghadapi banyak bahaya apabila ia dibiarkan lepas kemana-mana sendirian.
Dalam perjalanan kita bersama Tuhan pun sebenarnya sama. Kita sering merasa terkekang dengan peraturan-peraturan yang berasal dari Tuhan. Kita lupa bahwa sebenarnya itu semua adalah demi kebaikan kita sendiri. Apakah Tuhan senang menyiksa dan mengikat kita? Sama sekali tidak. Tuhan tidak menciptakan kita sebagai robot, tapi kita diciptakan sebagai mahluk berakal budi, yang punya kehendak bebas, bahkan diciptakan seperti gambar dan rupaNya sendiri secara begitu istimewa. Kita diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, dimana setiap pilihan itu akan membawa konsekuensi sendiri. Itu kehendak bebas. Tapi kasih Tuhan kepada kita sesungguhnya besar. Dia tidak pernah menginginkan satupun dari kita untuk binasa akibat pilihan-pilihan yang salah. Karena itulah terkadang kita merasa "terikat" dalam berbagai perintah dan larangan, yang mungkin pada suatu ketika terasa berat atau sulit bagi kita. Tapi sekali lagi, semua itu bukan karena Tuhan mau menyusahkan kita, melainkan sebaliknya justru menginginkan agar tidak satupun dari kita yang harus berakhir dalam kebinasaan.
Pada suatu kali bangsa Israel tampaknya mengeluh kepada Mikha. Mereka sepertinya berkeluh kesah bahwa untuk menyenangkan Tuhan itu tampaknya sangatlah sulit. Mereka mengalami banyak teguran bahkan hukuman sepanjang perjalanan mereka dari generasi ke generasi. Tidak jarang tali itu berfungsi sebagai cambuk penghukum. Itu bukanlah keinginan Tuhan. Lihatlah apa yang dikatakan Tuhan lewat Mikha. "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8). Actually it's that simple. Menurut Tuhan, apa yang dituntut dari kita sebenarnya tidaklah banyak. Ia hanya ingin kita bisa berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapanNya. Itu akan mampu menyenangkan Tuhan. Itu akan membawa kita untuk menjadi orang-orang yang bebas, tanpa perlu diikat tali sama sekali. He wants us to walk in full obedience with Him. Tuhan akan sangat senang jika Dia tidak lagi perlu mengikat kita untuk menjadi anak-anakNya yang patuh. Tentu tidak ada tali yang perlu disematkan kepada kita jika kita mampu menjadi pribadi-pribadi yang patuh dan taat bukan? Hal seperti itulah yang akan menyenangkan Tuhan.
Dalam Mazmur Daud berkata: "Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau." (Mazmur 32:9). Kita seharusnya lebih baik dari kuda bukan? Kita diciptakan dengan akal budi yang mampu membedakan mana yang baik dan buruk, sehingga seharusnya kita tidak memerlukan tali kekang agar bisa selamat. Apa yang diinginkan Tuhan adalah seperti ini: "Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu." (ay 8). Dan pengajaran Tuhan seharusnya bisa kita dapatkan dengan lemah lembut. Tapi kekerasan hati dan kepala kita sebagai manusia seringkali membawa kita untuk harus terlebih dahulu mengalami pengajaran secara keras agar bisa mengerti. Kita sering lebih memilih untuk melalui hukuman terlebih dahulu agar bisa hidup seturut kehendak Tuhan. Hal itu tidak diinginkan Tuhan, tapi jika itu bisa mencegah kita dari kebinasaan, maka itu harus dilakukan, demi kebaikan kita sendiri juga.
Paulus berpesan kepada jemaat Galatia seperti ini: "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Ada Roh Kudus yang tinggal diam di dalam kita, yang akan selalu siap mengingatkan kita apabila kita melakukan hal yang salah. Lihatlah bahwa pada hakekatnya kita sudah diperlengkapi sedemikian rupa sehingga bentuk-bentuk teguran, cambukan atau hukuman tidak perlu menerpa kita lagi. Apa yang perlu kita lakukan adalah senantiasa hidup oleh Roh dan bukan oleh daging. Kedagingan memang banyak menjanjikan kenikmatan, namun ada banyak jebakan bersembunyi di balik itu semua. Sebuah kehidupan yang dipimpin oleh Roh, dimana Roh Allah yang memegang kendali atas kita, akan membawa kita mampu berjalan sesuai kehendak Allah.
Pertanyaannya adalah: apakah kita masih membutuhkan tali kekang untuk selamat? Apakah kita masih terus memilih untuk hidup dengan kekerasan hati dan terus merepotkan Tuhan demi keselamatan dan kebahagiaan kita sendiri? Tuhan akan senang jika kita hidup sebagai anak-anakNya yang bisa dipercaya penuh tanpa harus diikat terlebih dahulu. Tuhan akan senang jika kita bisa taat dan patuh sepenuhnya meski dibiarkan bebas. Apakah kita masih perlu diikat atau dikekang, atau bisa dibiarkan bebas dalam perjalanan bersama Tuhan, pilihan ada di tangan kita. Jika kita bisa patuh dan taat kepada perintahNya, mengimani hidup merdeka sepenuhnya sesuai dengan apa yang dirindukan Tuhan, maka tidak ada tali apapun yang perlu disematkan bagi kita. Lewat Kristus kita telah menjadi orang-orang yang merdeka, hendaklah kita senantiasa mengisinya dengan kepatuhan. He is pleased when He doesn't have to hold our leash anymore.
Temukan kebebasan sejati dengan berjalan dalam kepatuhan bersama Tuhan
======================
"Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau"
Diasuh dengan kasih sayang yang sama, tapi sifat kedua anjing yang kami miliki berbeda. Yang satu sangat penurut dan patuh. Meski tanpa tali sekalipun ia akan datang jika dipanggil, dan tidak akan pernah lari jauh dari kami. Meski ada ayam atau kucing di dekatnya sekalipun, ia tidak akan mengejar apalagi menyerang. Yang satu lagi benar-benar bertolak belakang. Setiap ada kesempatan ia akan memanfaatkannya dengan sesegera mungkin. Lari sejauh-jauhnya, semakin menjauh ketika dipanggil dan jika sudah demikian akan sangat repot untuk menangkapnya. Karena itulah kami harus selalu memastikan agar tidak lengah. Kalaupun dibawa keluar maka jelas harus disertai tali. Itupun belum berarti aman karena ia akan selalu berusaha menarik tali itu agar terlepas. Seandainya ia bisa berpikir, saya yakin ia akan merasa heran, mengapa ia harus selalu disertai tali sedangkan anjing satu lagi bisa bebas bergerak kesana kemari. Mungkin, ia akan merasa diperlakukan tidak adil. Padahal itu dilakukan demi kebaikan dirinya sendiri juga, karena ia akan menghadapi banyak bahaya apabila ia dibiarkan lepas kemana-mana sendirian.
Dalam perjalanan kita bersama Tuhan pun sebenarnya sama. Kita sering merasa terkekang dengan peraturan-peraturan yang berasal dari Tuhan. Kita lupa bahwa sebenarnya itu semua adalah demi kebaikan kita sendiri. Apakah Tuhan senang menyiksa dan mengikat kita? Sama sekali tidak. Tuhan tidak menciptakan kita sebagai robot, tapi kita diciptakan sebagai mahluk berakal budi, yang punya kehendak bebas, bahkan diciptakan seperti gambar dan rupaNya sendiri secara begitu istimewa. Kita diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, dimana setiap pilihan itu akan membawa konsekuensi sendiri. Itu kehendak bebas. Tapi kasih Tuhan kepada kita sesungguhnya besar. Dia tidak pernah menginginkan satupun dari kita untuk binasa akibat pilihan-pilihan yang salah. Karena itulah terkadang kita merasa "terikat" dalam berbagai perintah dan larangan, yang mungkin pada suatu ketika terasa berat atau sulit bagi kita. Tapi sekali lagi, semua itu bukan karena Tuhan mau menyusahkan kita, melainkan sebaliknya justru menginginkan agar tidak satupun dari kita yang harus berakhir dalam kebinasaan.
Pada suatu kali bangsa Israel tampaknya mengeluh kepada Mikha. Mereka sepertinya berkeluh kesah bahwa untuk menyenangkan Tuhan itu tampaknya sangatlah sulit. Mereka mengalami banyak teguran bahkan hukuman sepanjang perjalanan mereka dari generasi ke generasi. Tidak jarang tali itu berfungsi sebagai cambuk penghukum. Itu bukanlah keinginan Tuhan. Lihatlah apa yang dikatakan Tuhan lewat Mikha. "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8). Actually it's that simple. Menurut Tuhan, apa yang dituntut dari kita sebenarnya tidaklah banyak. Ia hanya ingin kita bisa berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapanNya. Itu akan mampu menyenangkan Tuhan. Itu akan membawa kita untuk menjadi orang-orang yang bebas, tanpa perlu diikat tali sama sekali. He wants us to walk in full obedience with Him. Tuhan akan sangat senang jika Dia tidak lagi perlu mengikat kita untuk menjadi anak-anakNya yang patuh. Tentu tidak ada tali yang perlu disematkan kepada kita jika kita mampu menjadi pribadi-pribadi yang patuh dan taat bukan? Hal seperti itulah yang akan menyenangkan Tuhan.
Dalam Mazmur Daud berkata: "Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau." (Mazmur 32:9). Kita seharusnya lebih baik dari kuda bukan? Kita diciptakan dengan akal budi yang mampu membedakan mana yang baik dan buruk, sehingga seharusnya kita tidak memerlukan tali kekang agar bisa selamat. Apa yang diinginkan Tuhan adalah seperti ini: "Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu." (ay 8). Dan pengajaran Tuhan seharusnya bisa kita dapatkan dengan lemah lembut. Tapi kekerasan hati dan kepala kita sebagai manusia seringkali membawa kita untuk harus terlebih dahulu mengalami pengajaran secara keras agar bisa mengerti. Kita sering lebih memilih untuk melalui hukuman terlebih dahulu agar bisa hidup seturut kehendak Tuhan. Hal itu tidak diinginkan Tuhan, tapi jika itu bisa mencegah kita dari kebinasaan, maka itu harus dilakukan, demi kebaikan kita sendiri juga.
Paulus berpesan kepada jemaat Galatia seperti ini: "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Ada Roh Kudus yang tinggal diam di dalam kita, yang akan selalu siap mengingatkan kita apabila kita melakukan hal yang salah. Lihatlah bahwa pada hakekatnya kita sudah diperlengkapi sedemikian rupa sehingga bentuk-bentuk teguran, cambukan atau hukuman tidak perlu menerpa kita lagi. Apa yang perlu kita lakukan adalah senantiasa hidup oleh Roh dan bukan oleh daging. Kedagingan memang banyak menjanjikan kenikmatan, namun ada banyak jebakan bersembunyi di balik itu semua. Sebuah kehidupan yang dipimpin oleh Roh, dimana Roh Allah yang memegang kendali atas kita, akan membawa kita mampu berjalan sesuai kehendak Allah.
Pertanyaannya adalah: apakah kita masih membutuhkan tali kekang untuk selamat? Apakah kita masih terus memilih untuk hidup dengan kekerasan hati dan terus merepotkan Tuhan demi keselamatan dan kebahagiaan kita sendiri? Tuhan akan senang jika kita hidup sebagai anak-anakNya yang bisa dipercaya penuh tanpa harus diikat terlebih dahulu. Tuhan akan senang jika kita bisa taat dan patuh sepenuhnya meski dibiarkan bebas. Apakah kita masih perlu diikat atau dikekang, atau bisa dibiarkan bebas dalam perjalanan bersama Tuhan, pilihan ada di tangan kita. Jika kita bisa patuh dan taat kepada perintahNya, mengimani hidup merdeka sepenuhnya sesuai dengan apa yang dirindukan Tuhan, maka tidak ada tali apapun yang perlu disematkan bagi kita. Lewat Kristus kita telah menjadi orang-orang yang merdeka, hendaklah kita senantiasa mengisinya dengan kepatuhan. He is pleased when He doesn't have to hold our leash anymore.
Temukan kebebasan sejati dengan berjalan dalam kepatuhan bersama Tuhan
Tuesday, May 18, 2010
Mengalahkan Raksasa
Ayat bacaan: 1 Samuel 17:45
=========================
"Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu."
Betapa bersemangatnya tetangga saya menonton tinju di televisi pada suatu Minggu pagi. Bagi penggemar acara olah raga tinju, tentu momen jual beli pukul dalam sekian ronde tersebut akan sangat menarik. Apalagi jika ada yang sampai terjatuh, atau setidaknya jual beli pukulan itu dilakukan dalam intensitas tinggi. Ada berbagai kelas yang terdapat dalam tinju, mulai dari kelas bulu hingga kelas berat. Dan masing-masing petinju akan masuk ke dalam kelasnya masing-masing untuk bertanding memperebutkan juara agar pertandingannya seimbang. Artinya, tidaklah mungkin seorang petinju kelas bulu dilaga dengan petinju kelas berat. Ketika salah seorang petinju terpojok, tetangga saya pun berkata: "Lihat itu, menghadapi yang seukuran saja sulitnya bukan main, apalagi kalau menghadapi raksasa yang jauh lebih besar." "Masalah yang kita hadapi kadang jauh lebih besar dari kemampuan kita, kan?" katanya. Ia benar. Dalam hidup kita sering menghadapi raksasa-raksasa, yang jauh lebih besar dari diri kita. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari, tapi bukan berarti tidak bisa kita hadapi, dan tidak mungkin kita atasi.
Apa raksasa yang anda hadapi hari ini? Mungkin kegagalan, penyakit, kemelut rumah tangga, kesulitan keuangan atau kebiasaan buruk yang tidak pernah bisa dihilangkan, atau jenis-jenis kesusahan lainnya. Seringkali masalah-masalah ini menakutkan kita seperti halnya kita menghadapi raksasa yang secara logika tidak mampu kita atasi. Sehebat apapun usaha kita, masalah itu sepertinya tidak terkalahkan. Tapi sebenarnya alkitab berbicara banyak mengenai hal ini, dan ada sebuah kunci yang bisa menjadi senjata andalan kita dalam memenangkan pertarungan melawan raksasa-raksasa ini.
Mari kita lihat sejenak apa yang terjadi ketika Musa mengutus selusin pengintai untuk mengamati tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan, yang berlimpah susu dan madunya seperti yang tercatat dalam Bilangan 13. Setelah mengintai, 10 dari 12 orang itu merasa pesimis karena ternyata bangsa yang berdiam disana merupakan orang-orang raksasa. .."Negeri yang telah kami lalui untuk diintai adalah suatu negeri yang memakan penduduknya, dan semua orang yang kami lihat di sana adalah orang-orang yang tinggi-tinggi perawakannya. Juga kami lihat di sana orang-orang raksasa, orang Enak yang berasal dari orang-orang raksasa, dan kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami." (ay 32-33). Secara logika tentu tidak mungkin seekor belalang mampu melawan raksasa yang jauh lebih besar bukan? Lalu mari kita pindah ke jaman Daud muda. Ketika itu, bangsa Israel pun menghadapi raksasa. Tidak main-main, di antara para prajurit Filistin ada seorang raksasa berukuran enam hasta sejengkal (kira-kira 3 meter) yang juga membuat para prajurit Israel ketakutan. Yang lain boleh takut, tapi tidak bagi Daud. Daud sepertinya adalah orang terkecil disana, yang bahkan tidak diikutsertakan dalam barisan. Tapi lihatlah ia tampil dengan penuh keyakinan untuk menghadapi seorang raksasa yang jauh lebih besar dari dirinya.
Para pengintai di masa Musa dan para prajurit Israel di jaman Daud muda sama-sama melihat raksasa. 10 dari 12 pengintai berpendapat sama dengan prajurit-prajurit Israel. Mereka sudah kalah sebelum bertempur. Tapi tidaklah demikian bagi Daud. Dan ini menjadi kunci utama bagaimana agar bisa menang menghadapi raksasa. Perhatikan apa kata Daud. "Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." ( 1 Samuel 17:45). Kita bisa melihat bahwa Daud mampu yakin menang menghadapi raksasa yang berukuran jauh lebih besar darinya karena ia tahu pasti bahwa Tuhan ada bersamanya. Jika Tuhan ada bersamanya, maka tidak ada raksasa apapun, sebesar apapun, yang akan sanggup melawan. Pekerjaannya sebagai penggembala kambing dan domba sepertinya ringan, namun ternyata dalam pekerjaan itupun Daud sering menghadapi bahaya yang jauh lebih besar dari kemampuannya. Tapi lihatlah bahwa Daud sadar betul penyertaan Tuhan sanggup membuat perbedaan. Daud berkata: "Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup." (ay 36). Apakah karena kekuatan Daud sendiri? Tidak. Daud tahu bahwa semua itu mungkin ia lakukan karena ada penyertaan Tuhan dalam hidupnya. "Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (ay 37). Dan kita tahu bagaimana akhir dari cerita itu. Daud sukses mengalahkan Goliat, seorang raksasa, dan kuncinya adalah penyertaan Tuhan.
Ada banyak raksasa yang harus kita hadapi dalam hidup ini, yang seringkali membuat kita takut dan menyerah sebelum mulai melakukan sesuatu. Ingatlah bahwa kita memiliki senjata andalan untuk menghadapi itu semua. Tuhan menyertai Daud, dan Daud mampu mengalahkan raksasa. Hal yang sama pun bisa terjadi bagi kita. Sekali lagi, kuncinya adalah penyertaan Tuhan yang jauh lebih besar kuasanya dari apapun juga di dalam hidup kita. Yesus mengatakan "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:20a). Dan lewat Kristus kita pun telah dianugerahi Roh Kudus yang akan selalu menyertai kita. "Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya" (Yohanes 14:16). Ada Tuhan yang selalu bersama dengan kita, dan itu akan memampukan kita untuk menghadapi raksasa-raksasa dalam hidup kita.
Apapun raksasa yang anda hadapi hari ini, apakah itu beban masalah, konflik keluarga, kegagalan, masalah keuangan atau kebiasaan buruk yang sulit dilepaskan dan sebagainya, percayalah anda mampu menghadapi itu semua. Bukan dengan kuat dan gagah diri sendiri, tetapi dengan adanya penyertaan Tuhan. Firman Tuhan jelas berkata "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." (Lukas 1:37). Atau dalam bahasa Inggrisnya dikatakan lebih jelas lagi: "For WITH GOD nothing is ever impossible and no word from God shall be without power or impossible of fulfillment." Perhatikan kata "WITH GOD", alias "DENGAN ALLAH". Tidak ada yang mustahil jika kita bersama dengan Tuhan, termasuk menundukkan raksasa-raksasa yang tengah mempersulit hidup anda. Jangan biarkan raksasa manapun menakut-nakuti diri anda. Tuhan menjanjikan kemenangan, dan jangan biarkan siapapun merampas kemenangan itu dari diri anda. Raksasa mana yang saat ini menguasai diri anda? Kalahkanlah raksasa itu hari ini juga.
Tidak ada raksasa yang mampu mengalahkan kita jika kita berjalan bersama dengan Tuhan
=========================
"Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu."
Betapa bersemangatnya tetangga saya menonton tinju di televisi pada suatu Minggu pagi. Bagi penggemar acara olah raga tinju, tentu momen jual beli pukul dalam sekian ronde tersebut akan sangat menarik. Apalagi jika ada yang sampai terjatuh, atau setidaknya jual beli pukulan itu dilakukan dalam intensitas tinggi. Ada berbagai kelas yang terdapat dalam tinju, mulai dari kelas bulu hingga kelas berat. Dan masing-masing petinju akan masuk ke dalam kelasnya masing-masing untuk bertanding memperebutkan juara agar pertandingannya seimbang. Artinya, tidaklah mungkin seorang petinju kelas bulu dilaga dengan petinju kelas berat. Ketika salah seorang petinju terpojok, tetangga saya pun berkata: "Lihat itu, menghadapi yang seukuran saja sulitnya bukan main, apalagi kalau menghadapi raksasa yang jauh lebih besar." "Masalah yang kita hadapi kadang jauh lebih besar dari kemampuan kita, kan?" katanya. Ia benar. Dalam hidup kita sering menghadapi raksasa-raksasa, yang jauh lebih besar dari diri kita. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari, tapi bukan berarti tidak bisa kita hadapi, dan tidak mungkin kita atasi.
Apa raksasa yang anda hadapi hari ini? Mungkin kegagalan, penyakit, kemelut rumah tangga, kesulitan keuangan atau kebiasaan buruk yang tidak pernah bisa dihilangkan, atau jenis-jenis kesusahan lainnya. Seringkali masalah-masalah ini menakutkan kita seperti halnya kita menghadapi raksasa yang secara logika tidak mampu kita atasi. Sehebat apapun usaha kita, masalah itu sepertinya tidak terkalahkan. Tapi sebenarnya alkitab berbicara banyak mengenai hal ini, dan ada sebuah kunci yang bisa menjadi senjata andalan kita dalam memenangkan pertarungan melawan raksasa-raksasa ini.
Mari kita lihat sejenak apa yang terjadi ketika Musa mengutus selusin pengintai untuk mengamati tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan, yang berlimpah susu dan madunya seperti yang tercatat dalam Bilangan 13. Setelah mengintai, 10 dari 12 orang itu merasa pesimis karena ternyata bangsa yang berdiam disana merupakan orang-orang raksasa. .."Negeri yang telah kami lalui untuk diintai adalah suatu negeri yang memakan penduduknya, dan semua orang yang kami lihat di sana adalah orang-orang yang tinggi-tinggi perawakannya. Juga kami lihat di sana orang-orang raksasa, orang Enak yang berasal dari orang-orang raksasa, dan kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami." (ay 32-33). Secara logika tentu tidak mungkin seekor belalang mampu melawan raksasa yang jauh lebih besar bukan? Lalu mari kita pindah ke jaman Daud muda. Ketika itu, bangsa Israel pun menghadapi raksasa. Tidak main-main, di antara para prajurit Filistin ada seorang raksasa berukuran enam hasta sejengkal (kira-kira 3 meter) yang juga membuat para prajurit Israel ketakutan. Yang lain boleh takut, tapi tidak bagi Daud. Daud sepertinya adalah orang terkecil disana, yang bahkan tidak diikutsertakan dalam barisan. Tapi lihatlah ia tampil dengan penuh keyakinan untuk menghadapi seorang raksasa yang jauh lebih besar dari dirinya.
Para pengintai di masa Musa dan para prajurit Israel di jaman Daud muda sama-sama melihat raksasa. 10 dari 12 pengintai berpendapat sama dengan prajurit-prajurit Israel. Mereka sudah kalah sebelum bertempur. Tapi tidaklah demikian bagi Daud. Dan ini menjadi kunci utama bagaimana agar bisa menang menghadapi raksasa. Perhatikan apa kata Daud. "Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." ( 1 Samuel 17:45). Kita bisa melihat bahwa Daud mampu yakin menang menghadapi raksasa yang berukuran jauh lebih besar darinya karena ia tahu pasti bahwa Tuhan ada bersamanya. Jika Tuhan ada bersamanya, maka tidak ada raksasa apapun, sebesar apapun, yang akan sanggup melawan. Pekerjaannya sebagai penggembala kambing dan domba sepertinya ringan, namun ternyata dalam pekerjaan itupun Daud sering menghadapi bahaya yang jauh lebih besar dari kemampuannya. Tapi lihatlah bahwa Daud sadar betul penyertaan Tuhan sanggup membuat perbedaan. Daud berkata: "Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup." (ay 36). Apakah karena kekuatan Daud sendiri? Tidak. Daud tahu bahwa semua itu mungkin ia lakukan karena ada penyertaan Tuhan dalam hidupnya. "Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (ay 37). Dan kita tahu bagaimana akhir dari cerita itu. Daud sukses mengalahkan Goliat, seorang raksasa, dan kuncinya adalah penyertaan Tuhan.
Ada banyak raksasa yang harus kita hadapi dalam hidup ini, yang seringkali membuat kita takut dan menyerah sebelum mulai melakukan sesuatu. Ingatlah bahwa kita memiliki senjata andalan untuk menghadapi itu semua. Tuhan menyertai Daud, dan Daud mampu mengalahkan raksasa. Hal yang sama pun bisa terjadi bagi kita. Sekali lagi, kuncinya adalah penyertaan Tuhan yang jauh lebih besar kuasanya dari apapun juga di dalam hidup kita. Yesus mengatakan "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:20a). Dan lewat Kristus kita pun telah dianugerahi Roh Kudus yang akan selalu menyertai kita. "Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya" (Yohanes 14:16). Ada Tuhan yang selalu bersama dengan kita, dan itu akan memampukan kita untuk menghadapi raksasa-raksasa dalam hidup kita.
Apapun raksasa yang anda hadapi hari ini, apakah itu beban masalah, konflik keluarga, kegagalan, masalah keuangan atau kebiasaan buruk yang sulit dilepaskan dan sebagainya, percayalah anda mampu menghadapi itu semua. Bukan dengan kuat dan gagah diri sendiri, tetapi dengan adanya penyertaan Tuhan. Firman Tuhan jelas berkata "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." (Lukas 1:37). Atau dalam bahasa Inggrisnya dikatakan lebih jelas lagi: "For WITH GOD nothing is ever impossible and no word from God shall be without power or impossible of fulfillment." Perhatikan kata "WITH GOD", alias "DENGAN ALLAH". Tidak ada yang mustahil jika kita bersama dengan Tuhan, termasuk menundukkan raksasa-raksasa yang tengah mempersulit hidup anda. Jangan biarkan raksasa manapun menakut-nakuti diri anda. Tuhan menjanjikan kemenangan, dan jangan biarkan siapapun merampas kemenangan itu dari diri anda. Raksasa mana yang saat ini menguasai diri anda? Kalahkanlah raksasa itu hari ini juga.
Tidak ada raksasa yang mampu mengalahkan kita jika kita berjalan bersama dengan Tuhan
Monday, May 17, 2010
Jangan Tunda Lagi
Ayat bacaan: Keluaran 8:9-10a
==========================
"Kata Musa kepada Firaun: "Silakanlah tuanku katakan kepadaku, bila aku akan berdoa untukmu, untuk pegawaimu dan rakyatmu, supaya katak-katak itu dilenyapkan dari padamu dan dari rumah-rumahmu, dan hanya tinggal di sungai Nil saja." Katanya: "Besok." Lalu kata Musa: "Jadilah seperti katamu itu.."
Tinggal di daerah yang jauh dari keramaian kota membuat saya mulai akrab dengan katak-katak kecil. Setiap hari katak-katak ini berlompatan di halaman rumah, bahkan tidak jarang ada yang masuk ke dalam rumah. Hampir setiap hari saya harus berkejar-kejaran dengan katak dan mengusirnya keluar. Hari ini pun sama, baru saja saya mengeluarkan dua ekor katak yang masuk dari dapur. Dan saya pun teringat dengan sebuah kisah mengenai Firaun dan katak-katak sebagai bentuk tulah kedua yang dijatuhkan Tuhan kepada Firaun dan bangsa yang dipimpinnya.
Pernahkah anda berkutat dengan satu masalah yang sepertinya tidak mau beranjak dari kehidupan anda? Sebuah masalah yang tampaknya kebal terhadap solusi apapun, dan meskipun anda berusaha mengusirnya dengan berbagai cara yang bisa terpikirkan, tapi tetap saja masalah itu menetap, bahkan mungkin meluas dan tidak lagi sanggup anda kendalikan? Ada saat-saat dimana kita bergumul dengan situasi seperti itu, dan itu bukanlah hal baru. Setidaknya ribuan tahun yang lalu ada seorang raja Mesir yang juga mengalami hal yang sama.
Firaun di jaman Musa pernah menentang Tuhan, membantah Tuhan mengenai masa depan umat Israel di negerinya. Tuhan mengingatkan, tapi Firaun berkali-kali pula mengeraskan hatinya. Maka pada suatu hari, Firaun mendapati seluruh negerinya dikerubungi katak. Itu tulah kedua dari Tuhan yang diturunkan lewat Harun. "Lalu Harun mengulurkan tangannya ke atas segala air di Mesir, maka bermunculanlah katak-katak, lalu menutupi tanah Mesir." (Keluaran 8:6). Bayangkan seisi negeri dipenuhi katak, berlompatan kemana-mana, penuh lendir, lumpur dan bau. Itu jelas merupakan masalah besar bukan? Bukan hanya satu atau dua katak berlompatan di teras rumah, tapi ada katak dimana-mana. Di kasur, diruang makan, di atas meja, di lantai, di lemari baju, dimana-mana. Sebutkan sebuah tempat, disana ada banyak katak. Saya tidak dapat membayangkan jika seandainya rumah saya berisi ratusan katak. Dan lewat ayat di atas, kita bukan berbicara mengenai ratusan, tetapi ribuan dan mungkin jutaan. Mengerikan.
Firaun lalu memanggil Musa dan Harun dan meminta mereka melenyapkan katak-katak itu. "Berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkan-Nya katak-katak itu dari padaku dan dari pada rakyatku; maka aku akan membiarkan bangsa itu pergi, supaya mereka mempersembahkan korban kepada TUHAN." (ay 8). Dan jawaban Musa berbunyi seperti ini: "Silakanlah tuanku katakan kepadaku, bila aku akan berdoa untukmu, untuk pegawaimu dan rakyatmu, supaya katak-katak itu dilenyapkan dari padamu dan dari rumah-rumahmu, dan hanya tinggal di sungai Nil saja." (ay 9). Dalam bahasa sederhana, Musa berkata: "kapan engkau mau katak-katak itu lenyap?" Lihatlah apa jawaban Firaun "Katanya: "Besok." (ay 10a). Besok! Dia sebenarnya bisa berkata "sekarang juga!" , "hari ini!", "detik ini juga!" Tapi ia justru mengatakan besok. Firaun kelihatannya masih mau melewatkan satu hari lagi bersama lautan katak-katak itu. Kita mungkin berpikir bahwa itu adalah keputusan bodoh. Sangat bodoh, atau bahkan terbodoh yang pernah kita dengar. Mengapa harus menunggu satu hari lagi, mengapa harus menunda-nunda? Entahlah. Tapi mungkin dengan alasan yang sama, kita pun seringkali bersikap seperti Firaun. Menunggu sampai besok untuk disembuhkan, dipulihkan, menunda-nunda untuk diselamatkan.
Kita seringkali terlena dalam dosa dan terus menunda untuk diselamatkan. Seperti Firaun, kita justru lebih memilih untuk berkubang dalam masalah, membiarkan jutaan "katak" yang menjijikkan untuk menimbun diri kita ketimbang mengambil keputusan untuk berbalik dan bertobat saat ini juga. Kita menganggap jawaban Firaun itu bodoh, tetapi tanpa sadar kita pun melakukan hal yang sama. Perhatikanlah apa yang dijawab Musa kepada Firaun setelahnya. "Jadilah seperti katamu itu". Jika memilih untuk terus menderita daripada bertobat, let it be as you say. Yang jelas Tuhan selalu memberikan kesempatan setiap saat bagi kita untuk bertobat dan menerima pemulihan, kesembuhan dan berkat-berkat, tetapi semua tergantung kita, apakah kita memilih untuk kembali saat ini juga atau lebih mau untuk terus tinggal bersama masalah-masalah karena tidak mau mendengarkan suara Tuhan yang terus menyerukan kita untuk bertobat.
Setiap saat kita bertobat, Tuhan siap memulihkan hidup kita sesegera mungkin. Ya, sesegera mungkin! Tuhan tidak sabar untuk itu. FirmanNya berkata: "Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!" (Yesaya 30:18). Menanti-nantikan. Expecting, looking and longing to be gracious to us. Seringkali kita berlaku mirip jemaat Laodikia yang suam-suam kuku seperti yang tertulis dalam kitab Wahyu. Di satu sisi kita beribadah dan mengaku sebagai pengikutNya, tetapi di sisi lain kita memberi toleransi-toleransi terhadap dosa, membiarkan diri kita untuk melanggar perintahNya dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri. Tidaklah heran jika hidup kita pun akan naik dan turun, bahkan teguran Tuhan bisa jadi pada suatu ketika terasa keras bagi kita. Dan Tuhan pun berkata "Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!" (Wahyu 3:19). Tuhan siap memulihkan jika kita siap untuk itu. Kalau demikian masalahnya bukan pada Tuhan, tapi pada kita. Siapkah kita untuk dipulihkan? Jika siap, jangan menunda-nunda lagi. Berbaliklah segera, dan Tuhan pun akan sesegera mungkin menurunkan jamahanNya.
Berapa lama lagi kita harus membiarkan masalah yang bandel dan kebal mengusik hidup kita? Berapa lama lagi kita harus menunggu untuk mengenyahkan katak-katak itu dari hidup kita? Kita harus menyadari bahwa masalah akan terus bertahan jika kita terus membiarkannya tinggal dalam hidup kita. Masalah itu akan terus mengusik dan merongrong hidup kita sampai kita mengambil keputusan penting untuk kembali kepada Tuhan, berjalan bersama Tuhan dan mengusirnya. Penulis Ibrani pun mengingatkan kita untuk tidak menunda-nunda lagi. "Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7). Jangan tunda lagi, sebelum masalah berkembang semakin besar dan akhirnya tidak lagi mampu anda kendalikan. Firaun sudah mengalami sendiri tidak ada gunanya menunda-nunda, eskalasi tulah yang dialaminya dan negerinya akan terus meningkat semakin mengerikan dengan keputusannya untuk terus mengeraskan hati dan menunda untuk tunduk pada Tuhan. Belajarlah dari apa yang dialami Firaun, dan mari kita tidak lagi menunda untuk bertobat. Mengapa tidak kita lakukan hari ini juga?
Menunda pertobatan akan membuat masalah berkembang semakin besar dan semakin menyakitkan
==========================
"Kata Musa kepada Firaun: "Silakanlah tuanku katakan kepadaku, bila aku akan berdoa untukmu, untuk pegawaimu dan rakyatmu, supaya katak-katak itu dilenyapkan dari padamu dan dari rumah-rumahmu, dan hanya tinggal di sungai Nil saja." Katanya: "Besok." Lalu kata Musa: "Jadilah seperti katamu itu.."
Tinggal di daerah yang jauh dari keramaian kota membuat saya mulai akrab dengan katak-katak kecil. Setiap hari katak-katak ini berlompatan di halaman rumah, bahkan tidak jarang ada yang masuk ke dalam rumah. Hampir setiap hari saya harus berkejar-kejaran dengan katak dan mengusirnya keluar. Hari ini pun sama, baru saja saya mengeluarkan dua ekor katak yang masuk dari dapur. Dan saya pun teringat dengan sebuah kisah mengenai Firaun dan katak-katak sebagai bentuk tulah kedua yang dijatuhkan Tuhan kepada Firaun dan bangsa yang dipimpinnya.
Pernahkah anda berkutat dengan satu masalah yang sepertinya tidak mau beranjak dari kehidupan anda? Sebuah masalah yang tampaknya kebal terhadap solusi apapun, dan meskipun anda berusaha mengusirnya dengan berbagai cara yang bisa terpikirkan, tapi tetap saja masalah itu menetap, bahkan mungkin meluas dan tidak lagi sanggup anda kendalikan? Ada saat-saat dimana kita bergumul dengan situasi seperti itu, dan itu bukanlah hal baru. Setidaknya ribuan tahun yang lalu ada seorang raja Mesir yang juga mengalami hal yang sama.
Firaun di jaman Musa pernah menentang Tuhan, membantah Tuhan mengenai masa depan umat Israel di negerinya. Tuhan mengingatkan, tapi Firaun berkali-kali pula mengeraskan hatinya. Maka pada suatu hari, Firaun mendapati seluruh negerinya dikerubungi katak. Itu tulah kedua dari Tuhan yang diturunkan lewat Harun. "Lalu Harun mengulurkan tangannya ke atas segala air di Mesir, maka bermunculanlah katak-katak, lalu menutupi tanah Mesir." (Keluaran 8:6). Bayangkan seisi negeri dipenuhi katak, berlompatan kemana-mana, penuh lendir, lumpur dan bau. Itu jelas merupakan masalah besar bukan? Bukan hanya satu atau dua katak berlompatan di teras rumah, tapi ada katak dimana-mana. Di kasur, diruang makan, di atas meja, di lantai, di lemari baju, dimana-mana. Sebutkan sebuah tempat, disana ada banyak katak. Saya tidak dapat membayangkan jika seandainya rumah saya berisi ratusan katak. Dan lewat ayat di atas, kita bukan berbicara mengenai ratusan, tetapi ribuan dan mungkin jutaan. Mengerikan.
Firaun lalu memanggil Musa dan Harun dan meminta mereka melenyapkan katak-katak itu. "Berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkan-Nya katak-katak itu dari padaku dan dari pada rakyatku; maka aku akan membiarkan bangsa itu pergi, supaya mereka mempersembahkan korban kepada TUHAN." (ay 8). Dan jawaban Musa berbunyi seperti ini: "Silakanlah tuanku katakan kepadaku, bila aku akan berdoa untukmu, untuk pegawaimu dan rakyatmu, supaya katak-katak itu dilenyapkan dari padamu dan dari rumah-rumahmu, dan hanya tinggal di sungai Nil saja." (ay 9). Dalam bahasa sederhana, Musa berkata: "kapan engkau mau katak-katak itu lenyap?" Lihatlah apa jawaban Firaun "Katanya: "Besok." (ay 10a). Besok! Dia sebenarnya bisa berkata "sekarang juga!" , "hari ini!", "detik ini juga!" Tapi ia justru mengatakan besok. Firaun kelihatannya masih mau melewatkan satu hari lagi bersama lautan katak-katak itu. Kita mungkin berpikir bahwa itu adalah keputusan bodoh. Sangat bodoh, atau bahkan terbodoh yang pernah kita dengar. Mengapa harus menunggu satu hari lagi, mengapa harus menunda-nunda? Entahlah. Tapi mungkin dengan alasan yang sama, kita pun seringkali bersikap seperti Firaun. Menunggu sampai besok untuk disembuhkan, dipulihkan, menunda-nunda untuk diselamatkan.
Kita seringkali terlena dalam dosa dan terus menunda untuk diselamatkan. Seperti Firaun, kita justru lebih memilih untuk berkubang dalam masalah, membiarkan jutaan "katak" yang menjijikkan untuk menimbun diri kita ketimbang mengambil keputusan untuk berbalik dan bertobat saat ini juga. Kita menganggap jawaban Firaun itu bodoh, tetapi tanpa sadar kita pun melakukan hal yang sama. Perhatikanlah apa yang dijawab Musa kepada Firaun setelahnya. "Jadilah seperti katamu itu". Jika memilih untuk terus menderita daripada bertobat, let it be as you say. Yang jelas Tuhan selalu memberikan kesempatan setiap saat bagi kita untuk bertobat dan menerima pemulihan, kesembuhan dan berkat-berkat, tetapi semua tergantung kita, apakah kita memilih untuk kembali saat ini juga atau lebih mau untuk terus tinggal bersama masalah-masalah karena tidak mau mendengarkan suara Tuhan yang terus menyerukan kita untuk bertobat.
Setiap saat kita bertobat, Tuhan siap memulihkan hidup kita sesegera mungkin. Ya, sesegera mungkin! Tuhan tidak sabar untuk itu. FirmanNya berkata: "Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!" (Yesaya 30:18). Menanti-nantikan. Expecting, looking and longing to be gracious to us. Seringkali kita berlaku mirip jemaat Laodikia yang suam-suam kuku seperti yang tertulis dalam kitab Wahyu. Di satu sisi kita beribadah dan mengaku sebagai pengikutNya, tetapi di sisi lain kita memberi toleransi-toleransi terhadap dosa, membiarkan diri kita untuk melanggar perintahNya dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri. Tidaklah heran jika hidup kita pun akan naik dan turun, bahkan teguran Tuhan bisa jadi pada suatu ketika terasa keras bagi kita. Dan Tuhan pun berkata "Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!" (Wahyu 3:19). Tuhan siap memulihkan jika kita siap untuk itu. Kalau demikian masalahnya bukan pada Tuhan, tapi pada kita. Siapkah kita untuk dipulihkan? Jika siap, jangan menunda-nunda lagi. Berbaliklah segera, dan Tuhan pun akan sesegera mungkin menurunkan jamahanNya.
Berapa lama lagi kita harus membiarkan masalah yang bandel dan kebal mengusik hidup kita? Berapa lama lagi kita harus menunggu untuk mengenyahkan katak-katak itu dari hidup kita? Kita harus menyadari bahwa masalah akan terus bertahan jika kita terus membiarkannya tinggal dalam hidup kita. Masalah itu akan terus mengusik dan merongrong hidup kita sampai kita mengambil keputusan penting untuk kembali kepada Tuhan, berjalan bersama Tuhan dan mengusirnya. Penulis Ibrani pun mengingatkan kita untuk tidak menunda-nunda lagi. "Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7). Jangan tunda lagi, sebelum masalah berkembang semakin besar dan akhirnya tidak lagi mampu anda kendalikan. Firaun sudah mengalami sendiri tidak ada gunanya menunda-nunda, eskalasi tulah yang dialaminya dan negerinya akan terus meningkat semakin mengerikan dengan keputusannya untuk terus mengeraskan hati dan menunda untuk tunduk pada Tuhan. Belajarlah dari apa yang dialami Firaun, dan mari kita tidak lagi menunda untuk bertobat. Mengapa tidak kita lakukan hari ini juga?
Menunda pertobatan akan membuat masalah berkembang semakin besar dan semakin menyakitkan
Subscribe to:
Posts (Atom)
Menjadi Anggur Yang Baik (1)
Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...