====================
"Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN,"

Salah satu keluarga seperti ini bisa kita lihat dalam Alkitab, yaitu keluarga imam Eli. Imam Eli merupakan imam yang terpandang. Tinggal di bait Allah. Tetapi lihatlah kelakuan anaknya justru tidak mencerminkan anak seorang imam besar sama sekali. Ketika imam Eli bisa mendidik umat dengan baik, dan juga mendidik Samuel dengan sukses, Hofni dan Pinehas justru lebih mirip preman ketimbang anak seorang imam. Alkitab sampai menyebutkannya seperti ini: "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN," (1 Samuel 2:12). Betapa ironisnya. Mengapa ini bisa terjadi? Sepertinya imam Eli salah meletakkan prioritas. Ia sibuk bekerja dan aktif melayani, tetapi kemudian lupa akan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga yang memiliki anak-anak untuk dibina, dibentuk, diasuh dan dibesarkan dalam takut akan Tuhan. Ia terlalu lembek dan tidak tegas. Kita bisa melihatnya dari ayat berikut: "Eli telah sangat tua. Apabila didengarnya segala sesuatu yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang Israel dan bahwa mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan, berkatalah ia kepada mereka: "Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan pelanggaran." (ay 22-24). Ia mengingatkan, tetapi tidak tegas memberi teguran. Tuhan pun tahu kesalahan Eli tersebut. "Sebab telah Kuberitahukan kepadanya, bahwa Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka!" (3:13). Dia tidak mendisiplinkan anak-anaknya dengan benar, bahkan hingga dikatakan lebih menghormati anaknya ketimbang Tuhan, "Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah Kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?" (2:29) Tidak mendisplinkan, terlalu lemah, terlalu memanjakan, bahkan dia terus membiarkan anak-anaknya menggemukkan diri dengan bagian terbaik dari korban yang disajikan di dalam Kemah Suci dan membiarkan mereka melakukan hal-hal yang tidak sopan, mengancam bahkan dosa percabulan. Dan akibatnya hukuman keras pun jatuh. Bacalah bagaimana kerasnya hukuman Tuhan itu dalam 1 Samuel 2:30-36. Ironis dan tragis, itu yang muncul di benak saya melihat kisah dari keluarga imam Eli ini.
Salah prioritas adalah satu lagi yang bisa kita lihat dari keluarga ini. Imam Eli terlalu sibuk bekerja dalam pelayanan sehingga sudah tidak cukup waktu dan tenaga lagi untuk mengasuh anak-anaknya. Jika kita perhatikan dalam kehidupan kita, bukankah banyak dari kita yang juga berbuat sama? Kita sibuk bekerja untuk mencari nafkah, kita terjun dalam pelayanan, lalu mengabaikan atau menomor duakan anak-anak, istri dan keluarga. Membagi waktu itu memang tidaklah mudah. Namun skala prioritas yang benar harus kita perhatikan baik-baik. Jika kebanyakan pria meletakkan keluarga tidak dalam posisi teratas dan harus selalu siap untuk dikorbankan demi tugas-tugas atau pekerjaan, Alkitab sama sekali tidak menyebutkan demikian. Salah satunya bisa kita lihat dari apa yang dikatakan Yesus berikut: "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8). Lihatlah ada sebuah urutan disana. Di Yerusalem, itu berbicara mengenai keluarga, lalu meningkat ke Yudea, menggambarkan lingkup regional, lalu ke Samaria yang mengacu kepada negara/nasional dan baru mencapai dunia. Artinya kita tidak akan bisa bermimpi untuk bisa menjadi berkat bagi dunia atau kota sekalipun jika kita tidak memulainya dari keluarga. Tidakkah ironis jika kita berhasil melayani orang lain tetapi justru gagal dalam keluarga sendiri, pintar mengajari orang tetapi tidak bisa mengajar anak sendiri? Keluarga harus menjadi prioritas utama di atas pekerjaan atau pelayanan sekalipun. Idealnya rumah tangga orang percaya seharusnya bisa menjadi rumah yang sejuk, nyaman dan damai, dan bisa menjadi teladan bahkan kesaksian tersendiri bagi orang lain. Terhadap anak kita para pria diminta untuk bisa meluangkan waktu bersama mereka dan mendidik mereka berulang-ulang. "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7) Bagaimana kita bisa mengajarkan berulang-ulang apabila kita jarang bersama mereka? Tetapi itupun belum cukup, sebab ayat selanjutnya berkata: "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Ini menggambarkan pentingnya kita untuk menjadi teladan. Bagaimana anak-anak bisa menerima apa yang kita ajarkan jika kita tidak menjadi teladan, dan bagaimana orang bisa percaya kepada apa yang kita katakan jika anak-anak kita tidak mencerminkan pribadi yang takut akan Tuhan?
Menetapkan skala prioritas adalah hal yang tidak boleh diabaikan, dan mulailah dari keluarga terlebih dahulu sebelum menjangkau sesuatu yang lebih luas. Jangan sampai pekerjaan atau pelayanan membuat keluarga justru terbengkalai atau berantakan, karena sesungguhnya keteladanan justru dimulai dari keluarga. Dari keluarga imam Eli kita bisa melihat konsekuensi dari ketidaktegasan, memanjakan hingga kesalahan dalam menetapkan skala prioritas. Para pria, mari kita lihat istri dan anak-anak kita, apakah mereka sudah mendapat cukup perhatian dari kita? Menjadi pria memang tidak mudah. It's never easy. Tetapi sadarilah bahwa keluarga membutuhkan figur ayah teladan yang mengasihi mereka dan rindu untuk meluangkan waktu bersama dengan mereka.
Ayah teladan adalah ayah yang tahu prioritas untuk menempatkan keluarga
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
No comments:
Post a Comment