======================
"Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya."
Sukacita. Seberapa besar kita merasakannya dalam hidup kita hari ini? Ada banyak orang yang sudah tidak lagi merasakan sukacita segera setelah mereka bangun. Tumpukan pekerjaan, agenda dan janji sudah langsung merebut pikiran dan perasaan. Kesulitan hidup menjadi hal yang juga memuramkan kondisi hati kita. Kalaupun berdoa, doa akan segera mengarah kepada permintaan pertolongan, bukan lagi sebuah sarana menyapa Tuhan dengan sebuah sukacita, sesuatu yang seharusnya menjadi sikap alami dari orang percaya mengingat Tuhan memberi rahmat yang selalu baru setiap pagi (Ratapan 3:23). Kalau kita menyadari rahmat yang tidak ada habis-habisnya itu maka seharusnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersukacita sejak awal kita bangun pagi. Tapi mengapa banyak orang sudah kehilangan sukacita tepat setelah mereka bangun, atau jangan-jangan tidur saja pun sudah tidak lagi nyaman, gelisah, dan sering terganggu oleh mimpi buruk? Penyebabnya, ada banyak perampas sukacita yang siap menelan semua rasa bahagia dan senang dari diri kita.
Hidup tidak mudah, itu benar. Terkadang dunia itu bisa begitu kejam bagaikan penuh dengan ranjau-ranjau yang bisa meledakkan kita dalam setiap langkah. Di dunia yang sulit ini pula kita bertemu dengan orang-orang yang siap membuat kita kehilangan kesabaran dan membuat situasi yang sudah buruk menjadi tambah buruk. Kita tidak bisa menghindarkan bertemu dengan semua itu setiap saat. Kita harus siap berhadapan dengan semua itu sewaktu-waktu. Benar bahwa sebagai manusia biasa, kesabaran dan ketahanan kita ada batasnya. Tetapi ada satu cara yang jitu untuk bisa mengatasinya, dan itu bermuara pada pemahaman kita tentang asal muasal dari sebuah sukacita itu.
Hilangnya sukacita seringkali berasal dari kekeliruan kita dalam meletakkan atau menumpukan sukacita kita. Jika kita mendasarkan sukacita kita kepada manusia maka cepat atau lambat kita akan kehilangan sukacita tersebut dari dalam diri kita. Manusia bisa mengecewakan, orang terdekat kita sekalipun pada suatu waktu bisa menyinggung perasaan kita lalu membuat kita terluka, merasa tidak dipeduli, dikhianati dan sebagainya. Situasi dan kondisi tidak akan pernah bisa sepenuhnya baik. Menggantungkan sukacita disana akan membuat sukacita kita pun bagai pendulum mengayun dari satu suasana hati kepada suasana hati lainnya tanpa henti. Sekarang senang, sebentar lagi sedih. Sebentar bahagia, sebentar lagi galau. Di sisi lain, Tuhan tidak akan pernah mengecewakan kita. Pemazmur adalah juga manusia seperti kita yang tentu saja tidak luput dari berbagai permasalahan termasuk di dalamnya berhadapan dengan orang-orang sulit yang siap membuat sukacita kita lenyap dari diri kita. Tapi lihatlah bagaimana ia berseru. "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti." (Mazmur 46:2). Tidak hanya dikatakan sebagai tempat perlindungan dan kekuatan dan penolong dalam kesesakan, tapi juga sangat terbukti.
Kalau memang sudah terbukti, bukankah jauh lebih baik untuk menggantungkan harapan dan sukacita kita kepada Tuhan? Sebuah sukacita yang sejati itu sesungguhnya berasal dari TUHAN, dan bukan dari manusia. Sukacita sejati bukan pula tergantung dari situasi, kondisi atau keadaan yang tengah kita alami. Sebuah sukacita sejati hanya bisa kita peroleh apabila kita menggantungkannya kepada Tuhan, Allah kita yang tidak akan pernah mengecewakan anak-anakNya. Ayat berikut ini menyatakan kunci tersebut dengan sangat jelas dan sederhana. "Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya." (Mazmur 33:21). Dari sini kita bisa melihat bahwa hati kita bersukacita bukan tergantung dari orang lain atau situasi yang kita hadapi, tapi tergantung dari sejauh mana kita percaya pada Tuhan dan mempercayakanNya sebagai sumber sukacita kita yang sejati. Kita tidak akan pernah bisa menghempang masalah, kita tidak akan bisa menghindari persinggungan dengan orang lain. Masalah boleh hadir, orang-orang yang sulit ini bisa kapan saja hadir di depan hidung kita, tapi sukacita tidak boleh hilang karenanya. Mengapa? Karena sukacita sesungguhnya berasal dari Tuhan, bukan dari orang atau situasi di sekeliling kita. Disanalah letak sebuah sukacita yang tidak mudah goyah oleh berbagai hal yang bisa setiap saat mencuri sukacita kita.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment