Saturday, January 10, 2015

The Greatest Poverty according to Mother Teresa (1)

Ayat bacaan: Amsal 21:13
========================
"Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru."

Kondisi seperti apa yang disebut dengan miskin? Tidak sanggup mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, itu miskin. Tidak punya tempat tinggal, itu dianggap orang juga artinya miskin. Tidak punya baju yang layak, itu juga katanya miskin. Kata miskin sekarang makin meluas, menyentuh kepada kebutuhan lainnya yang sebenarnya tidaklah penting-penting amat, setidaknya tidak se-vital kebutuhan pokok yang kalau tidak terpenuhi maka akan beresiko bagi hidup. Misalnya, orang yang tidak punya mobil dianggap miskin. Tidak punya kendaraan, bahkan motor sekalipun, itu lebih parah. Tidak punya gadget pintar minimal android dengan fitur seadanya, itu juga sudah dikatakan miskin. Bahkan ada orang-orang yang mengaku-ngaku miskin supaya tidak harus keluar uang buat sumbangan, buat menolong orang lain yang terdesak dan sebagainya. Lihatlah bahwa kata miskin memang semakin jauh meningkat penggunaannya dibanding sekedar memenuhi kebutuhan pokok saja.

Sebuah pertanyaan hadir hari ini. Kalau miskin itu relatif dan subyektif, seperti apakah kemiskinan yang termiskin? Kondisi seperti apa yang membuat orang bisa dikatakan sebagai yang paling miskin? What is the greatest poverty and how is it like? Lagi-lagi, jawabannya mungkin beragam. Tetapi menariknya, sebuah kalimat dari bunda Teresa setidaknya bisa membuka mata kita mengenai kemiskinan terberat atau terburuk yang bisa dialami manusia, dan menurut beliau itu justru jauh dari hal-hal finansial.

Apa yang digambarkan Bunda Teresa mengenai kemiskinan yang termiskin adalah berdasarkan pengalamannya sendiri. Sejarah mencatat bahwa hampir sepanjang hidupnya ia habiskan di Kalkuta, India, berada ditengah-tengah masyarakat yang sangat miskin di sana untuk melayani mereka. Ia menjadi wakil Tuhan, God's messenger, untuk mereka yang termiskin dan terbuang. Bunda Teresa melayani orang yang lapar, gelandangan, buta, pincang, lepra dan sakit penyakit lain, orang yang telanjang, sampai orang yang hidup tanpa ada yang mengasihi. The unwanted, orang-orang yang tidak diperhatikan atau orang-orang tertolak. Bayi-bayi hasil hubungan gelap yang kelahirannya tidak diinginkan. Tentu pengalaman menghadapi kenyataan seperti itu selama sekian dasawarsa membuat Bunda Teresa tahu betul apa yang dibutuhkan orang. Apa yang ia katakan? Demikian kutipan dari ucapan mendiang Bunda Teresa mengenai kemiskinan yang termiskin.

"We think sometimes that poverty is only being hungry, naked and homeless. But the poverty of being unwanted, unloved and uncared for is the greatest poverty. We must start in our own homes to remedy this kind of poverty."

Menurut beliau, kemiskinan terbesar bukanlah kelaparan, telanjang dan tidak punya rumah, melainkan rasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak dipedulikan. Itulah kemiskinan yang paling miskin. Kalau kita renungkan, apa yang ia katakan bisa jadi benar. Pada kenyataannya ada begitu banyak orang yang mengalami kepahitan bukan karena mereka tidak mampu secara finansial, tapi karena mereka merasa tertolak, merasa tidak dikasihi dan punya pengalaman pahit tentang cinta yang membuat mereka hambar atau bahkan sulit percaya kepada orang lain. Mereka hidup menyendiri dan menderita secara mental, jauh dari perasaan dikasihi atau dicintai. Saya sudah bertemu dengan beberapa orang yang mengalami hal seperti ini. Meski secara ekonomi mereka berkecukupan, hidup mereka sangat perih dan rata-rata membutuhkan waktu lama untuk memulihkan gambar dirinya.

Bersyukurlah apabila kita hari ini tidak mengalami kemiskinan yang termiskin menurut bunda Teresa. Tapi apakah sekedar merasa syukur itu sudah cukup? Itu jelas belum cukup, kalau kita tidak mensyukurinya dengan cara menjadi saluran kasih Tuhan kepada mereka yang tertolak dan terbuang. Amsal Salomo berkata: "Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru." (Amsal 21:13). Amsal ini mengingatkan kita untuk memiliki telinga peka terhadap jeritan orang yang membutuhkan pertolongan, itu kalau kita mau didengar Tuhan juga pada saat kita membutuhkan pertolongan daripadaNya.  Jika tidak, maka jeritan kita ketika membutuhkan pertolongan pun tidak akan didengar Tuhan.

(bersambung)


No comments:

Sukacita Kedua (3)

 (sambungan) Saya menyadari adanya sukacita kedua saat saya baru saja dihubungi oleh sahabat saya yang sudah melayani sebagai pendeta selama...