(sambungan)
Kitab Mazmur kembali mengingatkan hubungan penting antara orang tua dan pembentukan karakter anak. "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (Mazmur 127:4-5).
Dikatakan anak-anak pada masa muda, karena kita harus mulai mengarahkan mereka sejak di usia dini. Biasanya anak-anak sudah sulit diatur apabila sudah mulai beranjak dewasa atau memasuki masa puber, oleh karena itu yang terbaik adalah mengenalkan mereka kepada Tuhan dan kebenaran-kebenaran FirmanNya, mengajarkan etika, kesopanan dalam berbicara dan bertingkah laku dan nilai-nilai luhur lainnya sejak mereka masih kecil. Kita bisa melihat bahwa sesungguhnya peran orang tua terhadap masa depan anaknya sangatlah krusial.
Benar, jika kita melihat ayat sebelumnya Tuhan sudah mengingatkan bahwa anak adalah milik pusaka, pemberian atau anugerah dari Tuhan (ay 3), tetapi ingatlah bahwa kita yang dititipkan punya tanggungjawab besar untuk mengarahkan mereka menghadapi arus dunia yang penuh dengan kesesatan. Siapa anak-anak kita kelak akan sangat tergantung dari bagaimana kita mengarahkannya, apakah kita sudah menjadi sosok pahlawan seperti yang diinginkan Tuhan atau membiarkan mereka terseret arus dan menjadi orang-orang yang tidak berdampak atau malah mengganggu lingkungan. Dan kalau mereka tumbuh dewasa dengan karakter Ilahi yang kuat, ayat dalam Mazmur ini pun mengatakan bahwa orang tua pun kelak tidak akan mendapatkan malu melainkan bangga.
Membangun komunikasi dengan anak merupakan hal yang sangat penting agar orang tua bisa mentransfer nilai atau value Kerajaan kepada anak-anaknya. Banyak orang tua yang sudah terlalu lelah ketika sampai di rumah sehingga mereka tidak lagi mau mendengar cerita anak-anaknya. Belajarlah mendengar mereka, dengarkan cerita mereka tentang apa yang mereka alami seharian tadi, apa yang bisa anda ajarkan dari pengalaman mereka tersebut dan berikan nasihat. Jangan jadi orang tua yang hanya memerintah dan menegur atau marah, tetapi jadilah orang tua yang bisa bertindak sebagai teman. Bergembiralah bersama mereka, besarkan hati mereka di saat down, mereka sangat membutuhkan itu. Itu akan menjadikan anda sebagai orang tua yang peka terhaap suasana hati anak. Jangan hanya sambil lalu saat meluangkan waktu bersama mereka, alias sambil mengerjakan sesuatu yang lain. Fokuslah dengan mengarahkan semua perhatian anda pada mereka. Itu akan sangat mempermudah proses penanaman nilai-nilai tersebut. Yang tidak kalah pentingnya, para orang tua harus menjadi contoh nyata dari semua yang diajar atau ditanamkan. Tanpa demikian, niscaya nilai tersebut tidak akan kuat berakar di dalam diri anak-anak.
Masa yang sukar memang harus terjadi di akhir zaman. Tapi kita bisa berbuat sesuatu agar anak cucu kita bisa menjadi terang yang menyatakan Kristus di tengah kondisi itu. Semakin sukar masanya, semakin diperlukan agen-agen Kerajaan yang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik, menyatakan karakter Kristus secara benar dan membawa banyak jiwa untuk diselamatkan. Masa yang sukar bukan berarti kita juga harus ikut-ikutan sukar. Masa yang sukar menunjukkan bahwa kita tidak boleh santai dan lengah. Sekarang saatnya. Ingatlah bahwa pendidikan, pengajaran, penanaman nilai pada anak-anak dan pengenalan akan Tuhan kepada mereka adalah hal yang harus kita pertanggungjawabkan. Degradasi moral, kemerosotan nilai, rusaknya akhlak, budi pekerti dan etika merupakan lahan kerja yang harus kita seriusi. Dan anak-anak kita bagaikan anak panah di tangan pahlawan yang harus diarahkan untuk mencapai sasaran dengan tepat. Jangan sampai mereka malah ikut ke dalam arus penyesatan yang buruk, tapi pastikan keluarga menjadi benteng kokoh untuk membangun nilai dimana anda sebagai orang tua berperan aktif dalam membangun karakter mereka sesuai prinsip Kerajaan.
Make your children a blessing to the world in times of trouble
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sunday, January 31, 2016
Saturday, January 30, 2016
Membangun Anak dengan Nilai-Nilai Kebenaran (1)
Ayat bacaan: 2 Timotius 3:1
=======================
"Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar."
Saat menikmati saat-saat teduh kemarin, saya diingatkan akan ayat ini. "Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar." (2 Timotius 3:1). Masa yang sukar. Bukankah itu yang kita rasakan hari ini? Sukar, sulit, berat. Ketika mendengar kata 'masa yang sukar', sebagian besar orang akan segera berpikir akan kesulitan ekonomi yang memang paling menyita energi kebanyakan dari kita ketimbang kesulitan-kesulitan lainnya. Kesulitan ekonomi merupakan salah satu hal dari masa yang sukar? Boleh saja. Tetapi kalau anda baca kelanjutan dari ayat di atas, masa yang sukar sebenarnya bukan berbicara hanya mengenai kesulitan ekonomi atau bencana kelaparan yang terjadi di banyak tempat saja, tetapi jauh lebih luas dari itu. Mari kita lihat ayat-ayat berikutnya.
"Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu! Sebab di antara mereka terdapat orang-orang yang menyelundup ke rumah orang lain dan menjerat perempuan-perempuan lemah yang sarat dengan dosa dan dikuasai oleh berbagai-bagai nafsu, yang walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran." (ay 2-7).
Lihatlah bahwa apa yang dimaksud Paulus dengan masa yang sukar (perilous times of great stress and trouble, hard to deal with) bukanlah hanya soal ekonomi melainkan tentang kerusakan nilai-nilai moral. Dimanapun tempatnya, apabila nilai-nilai ini hancur atau merosot, maka masa yang sukar akan segera terjadi. Kalau kita perhatikan satu persatu hal yang disebutkan Paulus di atas, kita akan melihat bahwa semua itu sekarang terjadi di sekitar kita. Orang hanya peduli diri sendiri dan tidak lagi mempedulikan orang lain, menjadi hamba uang, omong besar, sombong, memfitnah, tidak menghormati orang tua, tidak tahu berterima kasih, menyingkirkan agama, tidak mengasihi, tidak mau berdamai dan sebagainya, semua itu bukan lagi hal yang langka. Semakin banyak orang yang bukannya menjauhi tapi malah mencintai dosa. Kondisi global saat ini menunjukkan hal yang sama. Nilai luhur tidak lagi menjadi prioritas, kalah dibanding pengejaran prestasi dan status. Pelajaran tentang budi pekerti, moral, etika menjadi sesuatu yang tidak lagi penting, bahkan sudah dihilangkan di banyak tempat. Membangun prestasi dan status lebih diutamakan daripada pembangunan karakter. Tidaklah mengherankan kalau kemudian manusia semakin jauh kehilangan nilai-nilai luhur atau integritas moral. Dan kalau demikian, benarlah kita sedang mengalami masa-masa yang sukar.
Bagaimana untuk melakukan upaya perbaikan? Banyak orang yang sudah lupa bahwa keluarga merupakan sumber utama yang dibutuhkan untuk membangun nilai-nilai moral. Di zaman sekarang banyak orang tua yang keduanya bekerja, atau kalaupun tidak dua-duanya, banyak yang hanya menyerahkan anak kepada orang lain untuk dididik. Sekolah dianggap paling bertanggungjawab terhadap pembangunan akhlak dan budi pekerti, mengajar moral dan etika, padahal keluarga lah sebenarnya yang merupakan benteng yang kuat untuk membangun nilai.
Alkitab sejak semula mengatakan bahwa tugas orang tua adalah untuk mengajarkan kebenaran Firman kepada anak-anaknya, bukan cuma sekali tapi berulang-ulang sehingga Firman itu bisa meresap betul ke dalam sendi-sendi kehidupan mereka. "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (Ulangan 6:7-8). Dalam versi English amplified disebutkan lebih rinci: "You shall whet and sharpen them so as to make them penetrate, and teach and impress them diligently upon the [minds and] hearts of your children, and shall talk of them when you sit in your house and when you walk by the way, and when you lie down and when you rise up."
Lihatlah bahwa peran orang tua bagi anak bukan cuma mencukupi kebutuhan makan, sekolah dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang bisa dipenuhi dengan kucuran finansial tetapi lebih dari itu, pendidikan moral dan nilai-nilai luhur pun merupakan tanggung jawab orang tua yang tidak boleh diabaikan. Masalahnya adalah, untuk bisa melakukan ini orang tua mau tidak mau, suka tidak suka harus rela meluangkan waktu kepada anak-anaknya secara khusus dan bukan hanya mempergunakan waktu sisa saja. Ada yang bilang kalau yang penting adalah waktu berkualitas, tapi jangan lupa bahwa waktu berkualitas itu pun harus diikuti oleh kuantitas yang cukup. Kalau di rumah saja jarang, ketemu anak saja susah, bagaimana bisa berharap bisa membekali anak?
Singkatnya, orang tua harus bisa meluangkan waktu dengan sengaja dan tidak hanya sibuk bekerja. Kalau kesibukan begitu padat, memasukkan waktu bersama anak dan keluarga ke dalam agenda kegiatan mungkin bisa menjadi solusi yang baik. Yang penting adalah anak-anak terutama mereka yang masih dalam masa pertumbuhan memiliki waktu-waktu khusus bersama orang tuanya dimana mereka bisa diajarkan tentang nilai-nilai kebenaran, prinsip-prinsip Kerajaan dan pengenalan yang benar akan Kristus. Itu akan menjadi sangat berguna bagi masa depan mereka. Itu akan membentuk pribadi mereka sebagai orang-orang berintegritas dengan karakter tangguh, kuat dan mencerminkan terang di manapun mereka ditempatkan.
(bersambung)
=======================
"Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar."
Saat menikmati saat-saat teduh kemarin, saya diingatkan akan ayat ini. "Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar." (2 Timotius 3:1). Masa yang sukar. Bukankah itu yang kita rasakan hari ini? Sukar, sulit, berat. Ketika mendengar kata 'masa yang sukar', sebagian besar orang akan segera berpikir akan kesulitan ekonomi yang memang paling menyita energi kebanyakan dari kita ketimbang kesulitan-kesulitan lainnya. Kesulitan ekonomi merupakan salah satu hal dari masa yang sukar? Boleh saja. Tetapi kalau anda baca kelanjutan dari ayat di atas, masa yang sukar sebenarnya bukan berbicara hanya mengenai kesulitan ekonomi atau bencana kelaparan yang terjadi di banyak tempat saja, tetapi jauh lebih luas dari itu. Mari kita lihat ayat-ayat berikutnya.
"Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu! Sebab di antara mereka terdapat orang-orang yang menyelundup ke rumah orang lain dan menjerat perempuan-perempuan lemah yang sarat dengan dosa dan dikuasai oleh berbagai-bagai nafsu, yang walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran." (ay 2-7).
Lihatlah bahwa apa yang dimaksud Paulus dengan masa yang sukar (perilous times of great stress and trouble, hard to deal with) bukanlah hanya soal ekonomi melainkan tentang kerusakan nilai-nilai moral. Dimanapun tempatnya, apabila nilai-nilai ini hancur atau merosot, maka masa yang sukar akan segera terjadi. Kalau kita perhatikan satu persatu hal yang disebutkan Paulus di atas, kita akan melihat bahwa semua itu sekarang terjadi di sekitar kita. Orang hanya peduli diri sendiri dan tidak lagi mempedulikan orang lain, menjadi hamba uang, omong besar, sombong, memfitnah, tidak menghormati orang tua, tidak tahu berterima kasih, menyingkirkan agama, tidak mengasihi, tidak mau berdamai dan sebagainya, semua itu bukan lagi hal yang langka. Semakin banyak orang yang bukannya menjauhi tapi malah mencintai dosa. Kondisi global saat ini menunjukkan hal yang sama. Nilai luhur tidak lagi menjadi prioritas, kalah dibanding pengejaran prestasi dan status. Pelajaran tentang budi pekerti, moral, etika menjadi sesuatu yang tidak lagi penting, bahkan sudah dihilangkan di banyak tempat. Membangun prestasi dan status lebih diutamakan daripada pembangunan karakter. Tidaklah mengherankan kalau kemudian manusia semakin jauh kehilangan nilai-nilai luhur atau integritas moral. Dan kalau demikian, benarlah kita sedang mengalami masa-masa yang sukar.
Bagaimana untuk melakukan upaya perbaikan? Banyak orang yang sudah lupa bahwa keluarga merupakan sumber utama yang dibutuhkan untuk membangun nilai-nilai moral. Di zaman sekarang banyak orang tua yang keduanya bekerja, atau kalaupun tidak dua-duanya, banyak yang hanya menyerahkan anak kepada orang lain untuk dididik. Sekolah dianggap paling bertanggungjawab terhadap pembangunan akhlak dan budi pekerti, mengajar moral dan etika, padahal keluarga lah sebenarnya yang merupakan benteng yang kuat untuk membangun nilai.
Alkitab sejak semula mengatakan bahwa tugas orang tua adalah untuk mengajarkan kebenaran Firman kepada anak-anaknya, bukan cuma sekali tapi berulang-ulang sehingga Firman itu bisa meresap betul ke dalam sendi-sendi kehidupan mereka. "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (Ulangan 6:7-8). Dalam versi English amplified disebutkan lebih rinci: "You shall whet and sharpen them so as to make them penetrate, and teach and impress them diligently upon the [minds and] hearts of your children, and shall talk of them when you sit in your house and when you walk by the way, and when you lie down and when you rise up."
Lihatlah bahwa peran orang tua bagi anak bukan cuma mencukupi kebutuhan makan, sekolah dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang bisa dipenuhi dengan kucuran finansial tetapi lebih dari itu, pendidikan moral dan nilai-nilai luhur pun merupakan tanggung jawab orang tua yang tidak boleh diabaikan. Masalahnya adalah, untuk bisa melakukan ini orang tua mau tidak mau, suka tidak suka harus rela meluangkan waktu kepada anak-anaknya secara khusus dan bukan hanya mempergunakan waktu sisa saja. Ada yang bilang kalau yang penting adalah waktu berkualitas, tapi jangan lupa bahwa waktu berkualitas itu pun harus diikuti oleh kuantitas yang cukup. Kalau di rumah saja jarang, ketemu anak saja susah, bagaimana bisa berharap bisa membekali anak?
Singkatnya, orang tua harus bisa meluangkan waktu dengan sengaja dan tidak hanya sibuk bekerja. Kalau kesibukan begitu padat, memasukkan waktu bersama anak dan keluarga ke dalam agenda kegiatan mungkin bisa menjadi solusi yang baik. Yang penting adalah anak-anak terutama mereka yang masih dalam masa pertumbuhan memiliki waktu-waktu khusus bersama orang tuanya dimana mereka bisa diajarkan tentang nilai-nilai kebenaran, prinsip-prinsip Kerajaan dan pengenalan yang benar akan Kristus. Itu akan menjadi sangat berguna bagi masa depan mereka. Itu akan membentuk pribadi mereka sebagai orang-orang berintegritas dengan karakter tangguh, kuat dan mencerminkan terang di manapun mereka ditempatkan.
(bersambung)
Friday, January 29, 2016
Antara Percaya atau Tidak
Ayat bacaan: Markus 9:24
=====================
"Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!"
Antara percaya atau tidak itu tipis sekali bedanya. Kita bisa percaya sekarang tapi sedetik kemudian menjadi ragu atau mendadak tidak lagi percaya. Kalau terhadap sesuatu yang nyata saja kita begitu, apalagi terhadap sesuatu yang tidak kelihatan. Iman, itu diperlukan karena Ibrani 11:1 mengatakan bahwa iman merupakan dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari sesuatu yang tidak kita lihat. Mengaku beriman belum tentu benar beriman, karena itu akan terlihat dari bagaimana reaksi kita ketika menghadapi persoalan. Ada yang imannya naik turun, dan yang seperti ini biasanya terombang-ambing antara percaya dan tidak. Begitu mudah mereka kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan, sedikit goyang dan iman pun nge-drop seketika. Doa biasanya menjadi sarana meminta pertolongan kepada Tuhan, tapi sayangnya saat terhimpit berat beban masalah, doa-doa kita pun tidak kita panjatkan dalam rasa percaya yang cukup. Antara percaya dan ragu, terombang ambing bagaikan berdiri di atas seutas tali tipis, antara putus asa dan harapan.
Ada sebuah kisah menarik akan hal ini yang ingin saya bagikan hari ini. Alkisah ada seorang ayah membawa anaknya yang kerasukan roh jahat ke hadapan Yesus. (Markus 9:14-29). Si ayah panik bukan kepalang, karena bukan saja roh itu membisukan anaknya sejak kecil, tapi juga menyerang anaknya dengan cukup parah seperti apa yang kita lihat di film-film horror. Seperti ini parahnya: "Dan setiap kali roh itu menyerang dia, roh itu membantingkannya ke tanah; lalu mulutnya berbusa, giginya bekertakan dan tubuhnya menjadi kejang." (Markus 9:18). Tidak satupun murid Yesus yang sanggup berbuat sesuatu. Si ayah pun berkata: "Dan seringkali roh itu menyeretnya ke dalam api ataupun ke dalam air untuk membinasakannya. Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami." (ay 22).
Perhatikan si ayah mengatakan "jika Engkau dapat berbuat sesuatu." Jika Tuhan dapat? Adakah hal yang tidak dapat dilakukan Tuhan? Tentu kita semua tahu jawabannya. Dan itu juga yang dikatakan Yesus. "Jawab Yesus: "Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" (ay 23). Ada hal menarik dari jawaban Yesus tersebut. Lihat bahwa Yesus menekankan kepada kata "percaya" dan bukan kepada kemampuanNya. Percaya, itu adalah salah satu kunci penting untuk mendapatkan jawaban atas doa. Dan jawaban selanjutnya dari si ayah pun tidak kalah menarik untuk kita simak. "Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" (ay 24). Pernyataan si ayah ditengah kepanikannya kalau diperhatikan aneh. Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini. Mana yang benar, percaya atau tidak percaya?
Aneh, tapi sesungguhnya apa yang dialami si ayah seringkali kita alami pula dalam hidup kita. Ketika beban pergumulan memuncak kita menjadi terombang-ambing antara keadaan ingin percaya tapi tidak cukup bisa untuk mempercayainya. Kita ingin ditolong tapi kita ragu apakah mungkin pertolongan itu bisa kita alami. Yang menjadi masalah bukanlah ketidak-inginan kita untuk percaya, tapi justru lebih kepada ketidaksanggupan kita untuk mengimaninya. Beban terkadang menimpa dengan sangat berat sehingga sulit bagi kita untuk tetap fokus dengan iman disertai rasa percaya yang penuh ketika kita memohon pertolongan Tuhan lewat doa kita. Maka teriakan si ayah pun mewakili apa yang sering kita alami hari ini.
"I want to believe, please help me to believe!" Sederhananya seperti itulah pergumulan si ayah menghadapi keadaan anaknya. Kabar baiknya, Tuhan bukanlah Allah yang kaku dan hanya menyuruh. Dia adalah Allah yang peduli akan pergumulan kita. Ketika kita diminta untuk percaya, dan kita belum cukup sanggup untuk itu, bukankah sangat melegakan ketika kita mengetahui bahwa Tuhan pun bersedia membantu kita untuk percaya, untuk mengatasi keraguan kita? Dan Tuhan mau melakukannya. Dia bersedia untuk itu. And that's a good news since we are only human with limited ability and full with weaknesses.
Kalau kita cermati dalam Injil, berulang kali Yesus menegur murid-muridNya yang kurang percaya. Termasuk si ayah pun ditegur karena tidak percaya. Kenyataannya, Yesus mau membantu sisi kurang percaya si ayah dan menyembuhkan anaknya. Kalau kita melihat kejadian lain ketika Yesus menyembuhkan orang sakit kusta (Lukas 5:12-16), kita melihat perbedaan iman dari orang kusta ini dengan ayah dari anak yang kerasukan tadi. Orang berpenyakit kusta ini berkata: "Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku." (ay 12). Itu perbedaan nyata antara imannya dengan iman si ayah. Si ayah berkata "jika Engkau dapat" sedang orang kusta bilang "jika Tuhan mau". Tuhan selalu dapat melakukan apapun dan bagi orang percaya tidak ada kata mustahil. Karena itu kita harus terus melatih diri kita untuk mampu memiliki iman yang dipenuhi rasa percaya. Jika kita masih tidak sanggup memilikinya, berdoalah dan minta Tuhan membantu kita untuk bisa percaya terlebih dahulu sebelum kita mulai memohon pertolonganNya.
Yesus sudah mengingatkan kita "Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku." (Yohanes 14:1), atau "Jangan takut, percaya saja!" (Markus 5:36) dan banyak lagi firman Tuhan yang menyuruh kita untuk memiliki sebentuk rasa percaya yang cukup untuk bisa mendapatkan jawaban atas permasalahan-permasalahan kita. "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24). Begitu pentingnya sebuah iman yang percaya dalam menerima uluran tangan Tuhan, maka dari itu marilah hari ini kita berdoa agar Tuhan meneguhkan kepercayaan kita kepadaNya. Dan tidak akan ada lagi hal yang mustahil bagi kita.
Jangan biarkan tekanan hidup membuat kepercayaan kita terombang-ambing. Trust God in full speed.
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=====================
"Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!"
Antara percaya atau tidak itu tipis sekali bedanya. Kita bisa percaya sekarang tapi sedetik kemudian menjadi ragu atau mendadak tidak lagi percaya. Kalau terhadap sesuatu yang nyata saja kita begitu, apalagi terhadap sesuatu yang tidak kelihatan. Iman, itu diperlukan karena Ibrani 11:1 mengatakan bahwa iman merupakan dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari sesuatu yang tidak kita lihat. Mengaku beriman belum tentu benar beriman, karena itu akan terlihat dari bagaimana reaksi kita ketika menghadapi persoalan. Ada yang imannya naik turun, dan yang seperti ini biasanya terombang-ambing antara percaya dan tidak. Begitu mudah mereka kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan, sedikit goyang dan iman pun nge-drop seketika. Doa biasanya menjadi sarana meminta pertolongan kepada Tuhan, tapi sayangnya saat terhimpit berat beban masalah, doa-doa kita pun tidak kita panjatkan dalam rasa percaya yang cukup. Antara percaya dan ragu, terombang ambing bagaikan berdiri di atas seutas tali tipis, antara putus asa dan harapan.
Ada sebuah kisah menarik akan hal ini yang ingin saya bagikan hari ini. Alkisah ada seorang ayah membawa anaknya yang kerasukan roh jahat ke hadapan Yesus. (Markus 9:14-29). Si ayah panik bukan kepalang, karena bukan saja roh itu membisukan anaknya sejak kecil, tapi juga menyerang anaknya dengan cukup parah seperti apa yang kita lihat di film-film horror. Seperti ini parahnya: "Dan setiap kali roh itu menyerang dia, roh itu membantingkannya ke tanah; lalu mulutnya berbusa, giginya bekertakan dan tubuhnya menjadi kejang." (Markus 9:18). Tidak satupun murid Yesus yang sanggup berbuat sesuatu. Si ayah pun berkata: "Dan seringkali roh itu menyeretnya ke dalam api ataupun ke dalam air untuk membinasakannya. Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami." (ay 22).
Perhatikan si ayah mengatakan "jika Engkau dapat berbuat sesuatu." Jika Tuhan dapat? Adakah hal yang tidak dapat dilakukan Tuhan? Tentu kita semua tahu jawabannya. Dan itu juga yang dikatakan Yesus. "Jawab Yesus: "Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" (ay 23). Ada hal menarik dari jawaban Yesus tersebut. Lihat bahwa Yesus menekankan kepada kata "percaya" dan bukan kepada kemampuanNya. Percaya, itu adalah salah satu kunci penting untuk mendapatkan jawaban atas doa. Dan jawaban selanjutnya dari si ayah pun tidak kalah menarik untuk kita simak. "Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" (ay 24). Pernyataan si ayah ditengah kepanikannya kalau diperhatikan aneh. Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini. Mana yang benar, percaya atau tidak percaya?
Aneh, tapi sesungguhnya apa yang dialami si ayah seringkali kita alami pula dalam hidup kita. Ketika beban pergumulan memuncak kita menjadi terombang-ambing antara keadaan ingin percaya tapi tidak cukup bisa untuk mempercayainya. Kita ingin ditolong tapi kita ragu apakah mungkin pertolongan itu bisa kita alami. Yang menjadi masalah bukanlah ketidak-inginan kita untuk percaya, tapi justru lebih kepada ketidaksanggupan kita untuk mengimaninya. Beban terkadang menimpa dengan sangat berat sehingga sulit bagi kita untuk tetap fokus dengan iman disertai rasa percaya yang penuh ketika kita memohon pertolongan Tuhan lewat doa kita. Maka teriakan si ayah pun mewakili apa yang sering kita alami hari ini.
"I want to believe, please help me to believe!" Sederhananya seperti itulah pergumulan si ayah menghadapi keadaan anaknya. Kabar baiknya, Tuhan bukanlah Allah yang kaku dan hanya menyuruh. Dia adalah Allah yang peduli akan pergumulan kita. Ketika kita diminta untuk percaya, dan kita belum cukup sanggup untuk itu, bukankah sangat melegakan ketika kita mengetahui bahwa Tuhan pun bersedia membantu kita untuk percaya, untuk mengatasi keraguan kita? Dan Tuhan mau melakukannya. Dia bersedia untuk itu. And that's a good news since we are only human with limited ability and full with weaknesses.
Kalau kita cermati dalam Injil, berulang kali Yesus menegur murid-muridNya yang kurang percaya. Termasuk si ayah pun ditegur karena tidak percaya. Kenyataannya, Yesus mau membantu sisi kurang percaya si ayah dan menyembuhkan anaknya. Kalau kita melihat kejadian lain ketika Yesus menyembuhkan orang sakit kusta (Lukas 5:12-16), kita melihat perbedaan iman dari orang kusta ini dengan ayah dari anak yang kerasukan tadi. Orang berpenyakit kusta ini berkata: "Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku." (ay 12). Itu perbedaan nyata antara imannya dengan iman si ayah. Si ayah berkata "jika Engkau dapat" sedang orang kusta bilang "jika Tuhan mau". Tuhan selalu dapat melakukan apapun dan bagi orang percaya tidak ada kata mustahil. Karena itu kita harus terus melatih diri kita untuk mampu memiliki iman yang dipenuhi rasa percaya. Jika kita masih tidak sanggup memilikinya, berdoalah dan minta Tuhan membantu kita untuk bisa percaya terlebih dahulu sebelum kita mulai memohon pertolonganNya.
Yesus sudah mengingatkan kita "Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku." (Yohanes 14:1), atau "Jangan takut, percaya saja!" (Markus 5:36) dan banyak lagi firman Tuhan yang menyuruh kita untuk memiliki sebentuk rasa percaya yang cukup untuk bisa mendapatkan jawaban atas permasalahan-permasalahan kita. "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24). Begitu pentingnya sebuah iman yang percaya dalam menerima uluran tangan Tuhan, maka dari itu marilah hari ini kita berdoa agar Tuhan meneguhkan kepercayaan kita kepadaNya. Dan tidak akan ada lagi hal yang mustahil bagi kita.
Jangan biarkan tekanan hidup membuat kepercayaan kita terombang-ambing. Trust God in full speed.
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, January 28, 2016
Fokus yang Keliru
Ayat bacaan: Matius 16:8
===================
"Dan ketika Yesus mengetahui apa yang mereka perbincangkan, Ia berkata: "Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Hai orang-orang yang kurang percaya!"
Tahun yang baru saja kita lalui bukanlah tahun yang gampang. Selain masalah ekonomi yang secara global dirasakan banyak negara, kondisi politik, sosial, keamanan dan sebagainya juga belumlah sesuai seperti yang kita harapkan. Jika kita mengacu kepada situasi saat ini, tentu akan mudah bagi kita untuk cemas, kuatir atau bahkan takut. Takut adalah sesuatu yang manusiawi? Mungkin benar. Ada kalanya rasa takut akan sesuatu bisa positif dalam artian membuat kita lebih hati-hati dan lebih giat berusaha. Tetapi rasa takut terus menerus secara berlebihan sama sekali tidak produktif dan hanya akan menambah masalah saja. Sayangnya ada banyak orang yang lebih suka memanjakan rasa takutnya, mempergunakan energi yang ada untuk merasa takut ketimbang memakainya untuk mencari solusi dan memperkuat hubungan dengan Tuhan. Kita terlalu sibuk melihat masalah dan lupa bahwa sepanjang hidup kita, campur tangan Tuhan ternyata sudah berulang kali melepaskan kita dari masalah tersebut. Kalau dulu Tuhan bisa, kenapa sekarang tidak? Kita melupakan itu. Kepanikan membuat iman kita justru melemah. Padahal sebagian besar kekuatiran biasanya tidak terbukti atau terjadi. Kalau itu kita biarkan, kita sendiri yang rugi. Bukan cuma kita tapi orang lain pun bisa terkena dampaknya. Alih-alih menjadi berkat, jangan-jangan kita malah jadi batu sandungan.
Masalah mudah takut lantas lupa akan pertolongan Tuhan di masa lalu agaknya klasik alias sudah terjadi sejak dahulu, tidak terkecuali para murid Yesus. Padahal kalau dipikir-pikir, apa yang harus mereka takutkan kalau Yesus ada tepat disamping mereka secara fisik? Tapi tetap saja mereka cepat merasa cemas. Mereka sudah begitu banyak menyaksikan mukjizat yang dilakukan Yesus. Misalnya, mereka pernah menyaksikan bagaimana Yesus mampu membuat 5 roti dan 2 ikan menjadi cukup untuk memberi makan 5000 orang laki-laki, belum termasuk wanita dan anak-anak. Tapi mereka masih juga memperbincangkan soal kelupaan mereka membawa roti ketika menyeberangi danau.
Kisah ini bisa dilihat dalam perikop pembuka di Matius 16. Ketika itu Yesus mengingatkan mereka agar waspada terhadap ragi orang Farisi dan Saduki. Para murid bereaksi seperti ini. "Maka mereka berpikir-pikir dan seorang berkata kepada yang lain: "Itu dikatakan-Nya karena kita tidak membawa roti." (Matius 16:7). Lihatlah, belum apa-apa mereka sudah menunjukkan kecemasannya dengan mengaitkan ucapan Yesus dengan kealpaan mereka membawa roti. Maka Yesus pun menegur mereka. "Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Hai orang-orang yang kurang percaya! Belum juga kamu mengerti? Tidak kamu ingat lagi akan lima roti untuk lima ribu orang itu dan berapa bakul roti kamu kumpulkan kemudian?" (ay :8-9).
Mari kita perhatikan perkataan Yesus "Hai orang-orang yang kurang percaya!" Kalimat yang sama dikatakan Yesus ketika angin ribut melanda perahu yang sedang Dia tumpangi bersama murid-muridNya. Para murid ketakutan melihat angin ribut dan gelombang badai. Dan Yesus menegur dengan kalimat yang sama: "Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?"(Matius 8:26). Berulang kali Yesus mengingatkan, berulang kali pula para murid ketakutan. Bukankah hal yang sama masih saja terjadi pada kita hari ini, masih sering diliputi ketakutan meski sudah menerima Yesus sebagai Juru Selamat? Coba bayangkan jika kita ada di pihak Yesus, tidakkah itu mengecewakan dan mendukakan hatiNya? Kita mengaku percaya, tetapi iman kita tidak cukup kuat untuk benar-benar percaya secara nyata. Kita mengaku punya Yesus, tapi kita terus saja dibelenggu ketakutan. Murid-murid Yesus seperti itu, kita pun sama. Meski kita sudah berulang kali menyaksikan kebaikan Tuhan melepaskan kita dari berbagai masalah, tetap saja kita takut dan takut lagi dalam menatap hidup. Itu tidak boleh kita biarkan berlarut-larut.
Benar, kita tidak boleh terbelenggu dengan masa lalu dan terus menatap ke depan. Tapi kita harus bisa belajar dari pengalaman-pengalaman di masa lalu. Termasuk pula didalamnya untuk jangan melupakan segala berkat dan mukjizat Tuhan yang sudah pernah Dia lakukan dalam sejarah panjang manusia, bahkan dalam kehidupan kita masing-masing atau orang-orang yang dekat dengan kita. Kalau Tuhan mampu melakukan itu di masa lalu, sekarang pun Dia sanggup, di masa depan pun Dia tetap sanggup. Tuhan pasti tahu kesulitan kita saat ini dan perjalanan menuju ke depan. Dia ingin agar kita tahu betul bahwa penyertaanNya lebih dari sanggup untuk mengangkat kita lebih tinggi dari persoalan dan krisis yang terjadi nyata saat ini. Bahkan Tuhan sudah mengatakan bahwa di dalam kelemahan kita justru kuasaNya menjadi sempurna. (2 Korintus 12:9). Dan itu seharusnya bisa menyadarkan kita betapa cukupnya karunia Tuhan bagi kita. Kalau mau lihat lebih banyak bukti, bacalah Alkitab anda. Berbagai kisah dalam Alkitab, seperti kisah bangsa Israel di masa Musa adalah bukti kuat akan kuasa Tuhan. Berbagai kesaksian yang dialami banyak orang hingga hari ini pun bisa menjadi bukti nyata bahwa Tuhan masih terus bekerja hingga kini.
Tuhan Yesus menegur para murid yang malah mengarahkan pandangan kepada tidak adanya roti lantas melupakan keberadaanNya. Ada Aku disini, kok kamu malah sibuk tentang tidak ada roti? Bukannya mendengar perkataanKu tapi malah melihat masalah. Seperti itu kira-kira kata Yesus. Mungkin memang sudah menjadi sifat dasar manusia untuk mudah cemas, tapi justru karena itulah baik bagi kita untuk mengingatkan diri sendiri tentang segala sesuatu yang pernah dibuat Tuhan di waktu lalu. Kita harus tetap percaya dengan iman yang teguh, terus bersyukur dan memuliakan Tuhan, bertekun dalam doa, rajin membaca, merenungi dan melakukan firman Tuhan, sambil terus melakukan pekerjaan dan tanggung jawab kita dengan sebaik mungkin. Percayalah, Tuhan tidak akan membiarkan satu pun anak-anakNya terlantar. Jika ada diantara anda yang diliputi kekuatiran hari ini, serahkanlah semuanya pada Tuhan dan pegang janjiNya. "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7). Mumpung masih di bulan pertama tahun yang baru, mari kita isi tahun ini dengan kepercayaan penuh kepadaNya. Hari ini juga, marilah kita belajar dari bukti penyertaan Tuhan di masa lalu agar kita kuat melangkah ke depan tanpa rasa takut dan gentar.
"Jangan takut, percaya saja!" (Markus 5:36)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
===================
"Dan ketika Yesus mengetahui apa yang mereka perbincangkan, Ia berkata: "Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Hai orang-orang yang kurang percaya!"
Tahun yang baru saja kita lalui bukanlah tahun yang gampang. Selain masalah ekonomi yang secara global dirasakan banyak negara, kondisi politik, sosial, keamanan dan sebagainya juga belumlah sesuai seperti yang kita harapkan. Jika kita mengacu kepada situasi saat ini, tentu akan mudah bagi kita untuk cemas, kuatir atau bahkan takut. Takut adalah sesuatu yang manusiawi? Mungkin benar. Ada kalanya rasa takut akan sesuatu bisa positif dalam artian membuat kita lebih hati-hati dan lebih giat berusaha. Tetapi rasa takut terus menerus secara berlebihan sama sekali tidak produktif dan hanya akan menambah masalah saja. Sayangnya ada banyak orang yang lebih suka memanjakan rasa takutnya, mempergunakan energi yang ada untuk merasa takut ketimbang memakainya untuk mencari solusi dan memperkuat hubungan dengan Tuhan. Kita terlalu sibuk melihat masalah dan lupa bahwa sepanjang hidup kita, campur tangan Tuhan ternyata sudah berulang kali melepaskan kita dari masalah tersebut. Kalau dulu Tuhan bisa, kenapa sekarang tidak? Kita melupakan itu. Kepanikan membuat iman kita justru melemah. Padahal sebagian besar kekuatiran biasanya tidak terbukti atau terjadi. Kalau itu kita biarkan, kita sendiri yang rugi. Bukan cuma kita tapi orang lain pun bisa terkena dampaknya. Alih-alih menjadi berkat, jangan-jangan kita malah jadi batu sandungan.
Masalah mudah takut lantas lupa akan pertolongan Tuhan di masa lalu agaknya klasik alias sudah terjadi sejak dahulu, tidak terkecuali para murid Yesus. Padahal kalau dipikir-pikir, apa yang harus mereka takutkan kalau Yesus ada tepat disamping mereka secara fisik? Tapi tetap saja mereka cepat merasa cemas. Mereka sudah begitu banyak menyaksikan mukjizat yang dilakukan Yesus. Misalnya, mereka pernah menyaksikan bagaimana Yesus mampu membuat 5 roti dan 2 ikan menjadi cukup untuk memberi makan 5000 orang laki-laki, belum termasuk wanita dan anak-anak. Tapi mereka masih juga memperbincangkan soal kelupaan mereka membawa roti ketika menyeberangi danau.
Kisah ini bisa dilihat dalam perikop pembuka di Matius 16. Ketika itu Yesus mengingatkan mereka agar waspada terhadap ragi orang Farisi dan Saduki. Para murid bereaksi seperti ini. "Maka mereka berpikir-pikir dan seorang berkata kepada yang lain: "Itu dikatakan-Nya karena kita tidak membawa roti." (Matius 16:7). Lihatlah, belum apa-apa mereka sudah menunjukkan kecemasannya dengan mengaitkan ucapan Yesus dengan kealpaan mereka membawa roti. Maka Yesus pun menegur mereka. "Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Hai orang-orang yang kurang percaya! Belum juga kamu mengerti? Tidak kamu ingat lagi akan lima roti untuk lima ribu orang itu dan berapa bakul roti kamu kumpulkan kemudian?" (ay :8-9).
Mari kita perhatikan perkataan Yesus "Hai orang-orang yang kurang percaya!" Kalimat yang sama dikatakan Yesus ketika angin ribut melanda perahu yang sedang Dia tumpangi bersama murid-muridNya. Para murid ketakutan melihat angin ribut dan gelombang badai. Dan Yesus menegur dengan kalimat yang sama: "Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?"(Matius 8:26). Berulang kali Yesus mengingatkan, berulang kali pula para murid ketakutan. Bukankah hal yang sama masih saja terjadi pada kita hari ini, masih sering diliputi ketakutan meski sudah menerima Yesus sebagai Juru Selamat? Coba bayangkan jika kita ada di pihak Yesus, tidakkah itu mengecewakan dan mendukakan hatiNya? Kita mengaku percaya, tetapi iman kita tidak cukup kuat untuk benar-benar percaya secara nyata. Kita mengaku punya Yesus, tapi kita terus saja dibelenggu ketakutan. Murid-murid Yesus seperti itu, kita pun sama. Meski kita sudah berulang kali menyaksikan kebaikan Tuhan melepaskan kita dari berbagai masalah, tetap saja kita takut dan takut lagi dalam menatap hidup. Itu tidak boleh kita biarkan berlarut-larut.
Benar, kita tidak boleh terbelenggu dengan masa lalu dan terus menatap ke depan. Tapi kita harus bisa belajar dari pengalaman-pengalaman di masa lalu. Termasuk pula didalamnya untuk jangan melupakan segala berkat dan mukjizat Tuhan yang sudah pernah Dia lakukan dalam sejarah panjang manusia, bahkan dalam kehidupan kita masing-masing atau orang-orang yang dekat dengan kita. Kalau Tuhan mampu melakukan itu di masa lalu, sekarang pun Dia sanggup, di masa depan pun Dia tetap sanggup. Tuhan pasti tahu kesulitan kita saat ini dan perjalanan menuju ke depan. Dia ingin agar kita tahu betul bahwa penyertaanNya lebih dari sanggup untuk mengangkat kita lebih tinggi dari persoalan dan krisis yang terjadi nyata saat ini. Bahkan Tuhan sudah mengatakan bahwa di dalam kelemahan kita justru kuasaNya menjadi sempurna. (2 Korintus 12:9). Dan itu seharusnya bisa menyadarkan kita betapa cukupnya karunia Tuhan bagi kita. Kalau mau lihat lebih banyak bukti, bacalah Alkitab anda. Berbagai kisah dalam Alkitab, seperti kisah bangsa Israel di masa Musa adalah bukti kuat akan kuasa Tuhan. Berbagai kesaksian yang dialami banyak orang hingga hari ini pun bisa menjadi bukti nyata bahwa Tuhan masih terus bekerja hingga kini.
Tuhan Yesus menegur para murid yang malah mengarahkan pandangan kepada tidak adanya roti lantas melupakan keberadaanNya. Ada Aku disini, kok kamu malah sibuk tentang tidak ada roti? Bukannya mendengar perkataanKu tapi malah melihat masalah. Seperti itu kira-kira kata Yesus. Mungkin memang sudah menjadi sifat dasar manusia untuk mudah cemas, tapi justru karena itulah baik bagi kita untuk mengingatkan diri sendiri tentang segala sesuatu yang pernah dibuat Tuhan di waktu lalu. Kita harus tetap percaya dengan iman yang teguh, terus bersyukur dan memuliakan Tuhan, bertekun dalam doa, rajin membaca, merenungi dan melakukan firman Tuhan, sambil terus melakukan pekerjaan dan tanggung jawab kita dengan sebaik mungkin. Percayalah, Tuhan tidak akan membiarkan satu pun anak-anakNya terlantar. Jika ada diantara anda yang diliputi kekuatiran hari ini, serahkanlah semuanya pada Tuhan dan pegang janjiNya. "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7). Mumpung masih di bulan pertama tahun yang baru, mari kita isi tahun ini dengan kepercayaan penuh kepadaNya. Hari ini juga, marilah kita belajar dari bukti penyertaan Tuhan di masa lalu agar kita kuat melangkah ke depan tanpa rasa takut dan gentar.
"Jangan takut, percaya saja!" (Markus 5:36)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, January 27, 2016
Tidak Percaya Membuat Tenggelam
Ayat bacaan: Matius 14:31
======================
"Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?"
Seorang anak mendatangi saya beberapa waktu lalu dan bertanya. "Saya sedang ingin punya sesuatu, kalau doa saya tambah banyak dan panjang, bakal dapat nggak ya?" Kalau soal boleh atau tidak, tentu boleh. Kita bisa meminta sesuatu kepada Tuhan lewat doa. Tapi sejauh mana doa itu memperoleh jawaban? Ada banyak orang yang berpikir seperti si anak tadi. Mereka menaikkan frekuensi berdoanya untuk memaksa Tuhan mendengar permintaan mereka. Ada yang terus berdoa dan mengira iman mereka otomatis bertumbuh, padahal kenyataannya sering berdoa ternyata tidak selalu menghasilkan pertumbuhan iman. Bukankah ada banyak orang yang berdoa tapi tidak merasakan atau mendapatkan apa-apa? Banyak orang yang melakukan doa hanya sebatas seremonial atau rutinitas semata. Mereka berdoa bukan karena kerinduan untuk bersekutu dengan Tuhan, mendengar suara Tuhan dan bersatu dalam hadiratNya, namun karena itu sudah menjadi sebuah kebiasaan belaka. Ada pula yang semata karena takut masuk neraka dan mengira bahwa dengan ritual berulang mereka sudah terbebas dari itu. Doa yang didasari alasan-alasan keliru seperti ini tentu sulit menghasilkan sesuatu. Doa sering, tapi percaya? Wah, itu soal lain. Karena pada kenyataannya, banyak orang yang tetap ragu akankah Tuhan mau menjawab doa mereka. Doa bukan lagi menjadi sarana membangun hubungan yang erat dan intim dengan Tuhan tapi sifatnya hanya karena kebiasaan atau keharusan saja. Sering berdoa, tapi tetap tidak percaya alias ragu. Berdoa, berharap, meminta sesuatu yang tentu saja bukan karena untuk pemuasan keinginan daging, jika tidak disertai dengan iman dan dipenuhi kebimbangan atau ketidakpercayaan akan kuasa Tuhan bukannya bermanfaat tapi malah akan membawa kita kepada kesia-siaan, bahkan kejatuhan.
Hari ini mari kita lihat sebuah kisah dalam Injil Matius 14:22-32. Pada sebuah subuh Yesus menghampiri murid-muridnya yang sudah berada di tengah laut dengan berjalan di atas air. (ay 25). Melihat itu, terkejutlah murid-muridNya. Reaksi mereka bukannya kagum melihat kuasa Yesus tetapi malah berteriak-teriak ketakutan, mengira yang datang itu hantu. (ay 26). Betapa ironis. Meskipun mereka sudah mengikuti Yesus dan melihat mukjizat-mukjizat dengan mata mereka sendiri, namun ternyata iman yang masih saja lemah membuat murid-murid Yesus masih gampang diombang-ambingkan ketakutan. Reaksi pertama mereka yang malah takut dan menyangka yang datang itu hantu menunjukkan betapa lemahnya keyakinan mereka.
Yesus lalu berkata: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" (ay 27). Beres? Belum. Karena meski sudah mendengar suara Yesus, mereka masih juga belum percaya. Maka Petrus berkata: "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." (ay 28). Yesus pun menyuruhnya datang. Petrus percaya dan turun dari perahu. Ajaib! Ia bisa melangkah, berjalan di atas air menuju Yesus. (ay 29). Setelah beberapa saat berjalan di atas air, rupanya angin kencang yang menerpa Petrus mulai membuatnya takut. Dan ketika ia mulai takut, Petrus pun mulai tenggelam. Maka berteriaklah Petrus minta tolong kepada Yesus. (ay 30). Yesus kemudian menolong dan menegur Petrus. "Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" (ay 31).
Kebimbangan bukanlah perasaan yang asing bagi manusia. Perasaan seperti ini kerap timbul dalam hati kita dan sadar atau tidak, kemunculannya seringkali menghambat pekerjaan Tuhan berlaku atas kita. Yesus mengajarkan, ketika kita meminta, memintalah dengan iman. Percayalah akan kuasa Tuhan yang memungkinkan sesuatu yang mustahil sekalipun untuk terjadi. "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24). Dari pengalaman Petrus kita bisa belajar mengenai hal ini. Ia pada awalnya percaya sehingga ia menerima mukjizat yang ajaib dengan berjalan di atas air. Tetapi ketika ia membiarkan rasa takut dalam dirinya mulai mengambil alih, ia pun menjadi bimbang dan imannya segera terkikis. Seketika itu pula ia mulai tenggelam, kehilangan mukjizat yang tadinya terjadi secara luar biasa atas dirinya.
Ketika logika kita bekerja, sulit rasanya percaya bahwa sesuatu yang diluar logika bisa terjadi. Oleh karena itulah kita harus mempergunakan iman untuk bisa percaya sepenuhnya kepada kuasa dan kasih Tuhan. Ingatlah bahwa Penulis Ibrani mengatakan bahwa "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Hal-hal luar biasa bisa terjadi ketika kita mengimani apa yang kita doakan. Sebaliknya kebimbangan hanyalah akan menghambat sesuatu yang besar berlaku atas diri kita.
"Yesus menjawab mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! hal itu akan terjadi." (Matius 21:21). Lalu apa yang dikatakan Yesus pada Petrus dan murid-murid lainnya pada kisah berjalan di atas air setelah Petrus jatuh :"Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" Keduanya mengambarkan diri kita yang seringkali diliputi keraguan ketika menghadapi masalah. Mungkin pada awalnya kita percaya, namun ketika angin mulai bertiup kencang, kita bisa menjadi bimbang, ragu, cemas atau takut bahkan panik, dan akibatnya kita bisa tenggelam. Yakobus pun menyinggung secara jelas akan hal ini. "Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7).
Kita harus selalu melatih diri kita agar memiliki iman yang teguh dan kokoh untuk menerima janji-janji Tuhan. Yakinkan diri anda bahwa tidak ada satu pun yang mustahil bagi Tuhan. Dia sanggup, bahkan lebih dari sanggup melakukan segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi diri kita. Berserulah kepada Tuhan dalam setiap permasalahan anda, teruslah tekun berdoa dalam nama Yesus, tanpa melupakan pentingnya mengucap syukur, dan lakukan semuanya dengan kepercayaan yang penuh didasari iman yang baik, setidaknya sebesar biji sesawi. Berdoalah karena kerinduan yang dalam akan Tuhan, bukan karena sebatas seremonial atau rutinitas belaka. Dan percayalah! Seperti gunung yang dapat dilemparkan ke laut dengan iman yang kecil sekalipun, demikian pula dengan masalah-masalah kita.
Agar tidak tercebur dan tenggelam, melangkahlah selalu dengan iman
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
======================
"Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?"
Seorang anak mendatangi saya beberapa waktu lalu dan bertanya. "Saya sedang ingin punya sesuatu, kalau doa saya tambah banyak dan panjang, bakal dapat nggak ya?" Kalau soal boleh atau tidak, tentu boleh. Kita bisa meminta sesuatu kepada Tuhan lewat doa. Tapi sejauh mana doa itu memperoleh jawaban? Ada banyak orang yang berpikir seperti si anak tadi. Mereka menaikkan frekuensi berdoanya untuk memaksa Tuhan mendengar permintaan mereka. Ada yang terus berdoa dan mengira iman mereka otomatis bertumbuh, padahal kenyataannya sering berdoa ternyata tidak selalu menghasilkan pertumbuhan iman. Bukankah ada banyak orang yang berdoa tapi tidak merasakan atau mendapatkan apa-apa? Banyak orang yang melakukan doa hanya sebatas seremonial atau rutinitas semata. Mereka berdoa bukan karena kerinduan untuk bersekutu dengan Tuhan, mendengar suara Tuhan dan bersatu dalam hadiratNya, namun karena itu sudah menjadi sebuah kebiasaan belaka. Ada pula yang semata karena takut masuk neraka dan mengira bahwa dengan ritual berulang mereka sudah terbebas dari itu. Doa yang didasari alasan-alasan keliru seperti ini tentu sulit menghasilkan sesuatu. Doa sering, tapi percaya? Wah, itu soal lain. Karena pada kenyataannya, banyak orang yang tetap ragu akankah Tuhan mau menjawab doa mereka. Doa bukan lagi menjadi sarana membangun hubungan yang erat dan intim dengan Tuhan tapi sifatnya hanya karena kebiasaan atau keharusan saja. Sering berdoa, tapi tetap tidak percaya alias ragu. Berdoa, berharap, meminta sesuatu yang tentu saja bukan karena untuk pemuasan keinginan daging, jika tidak disertai dengan iman dan dipenuhi kebimbangan atau ketidakpercayaan akan kuasa Tuhan bukannya bermanfaat tapi malah akan membawa kita kepada kesia-siaan, bahkan kejatuhan.
Hari ini mari kita lihat sebuah kisah dalam Injil Matius 14:22-32. Pada sebuah subuh Yesus menghampiri murid-muridnya yang sudah berada di tengah laut dengan berjalan di atas air. (ay 25). Melihat itu, terkejutlah murid-muridNya. Reaksi mereka bukannya kagum melihat kuasa Yesus tetapi malah berteriak-teriak ketakutan, mengira yang datang itu hantu. (ay 26). Betapa ironis. Meskipun mereka sudah mengikuti Yesus dan melihat mukjizat-mukjizat dengan mata mereka sendiri, namun ternyata iman yang masih saja lemah membuat murid-murid Yesus masih gampang diombang-ambingkan ketakutan. Reaksi pertama mereka yang malah takut dan menyangka yang datang itu hantu menunjukkan betapa lemahnya keyakinan mereka.
Yesus lalu berkata: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" (ay 27). Beres? Belum. Karena meski sudah mendengar suara Yesus, mereka masih juga belum percaya. Maka Petrus berkata: "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." (ay 28). Yesus pun menyuruhnya datang. Petrus percaya dan turun dari perahu. Ajaib! Ia bisa melangkah, berjalan di atas air menuju Yesus. (ay 29). Setelah beberapa saat berjalan di atas air, rupanya angin kencang yang menerpa Petrus mulai membuatnya takut. Dan ketika ia mulai takut, Petrus pun mulai tenggelam. Maka berteriaklah Petrus minta tolong kepada Yesus. (ay 30). Yesus kemudian menolong dan menegur Petrus. "Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" (ay 31).
Kebimbangan bukanlah perasaan yang asing bagi manusia. Perasaan seperti ini kerap timbul dalam hati kita dan sadar atau tidak, kemunculannya seringkali menghambat pekerjaan Tuhan berlaku atas kita. Yesus mengajarkan, ketika kita meminta, memintalah dengan iman. Percayalah akan kuasa Tuhan yang memungkinkan sesuatu yang mustahil sekalipun untuk terjadi. "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24). Dari pengalaman Petrus kita bisa belajar mengenai hal ini. Ia pada awalnya percaya sehingga ia menerima mukjizat yang ajaib dengan berjalan di atas air. Tetapi ketika ia membiarkan rasa takut dalam dirinya mulai mengambil alih, ia pun menjadi bimbang dan imannya segera terkikis. Seketika itu pula ia mulai tenggelam, kehilangan mukjizat yang tadinya terjadi secara luar biasa atas dirinya.
Ketika logika kita bekerja, sulit rasanya percaya bahwa sesuatu yang diluar logika bisa terjadi. Oleh karena itulah kita harus mempergunakan iman untuk bisa percaya sepenuhnya kepada kuasa dan kasih Tuhan. Ingatlah bahwa Penulis Ibrani mengatakan bahwa "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Hal-hal luar biasa bisa terjadi ketika kita mengimani apa yang kita doakan. Sebaliknya kebimbangan hanyalah akan menghambat sesuatu yang besar berlaku atas diri kita.
"Yesus menjawab mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! hal itu akan terjadi." (Matius 21:21). Lalu apa yang dikatakan Yesus pada Petrus dan murid-murid lainnya pada kisah berjalan di atas air setelah Petrus jatuh :"Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" Keduanya mengambarkan diri kita yang seringkali diliputi keraguan ketika menghadapi masalah. Mungkin pada awalnya kita percaya, namun ketika angin mulai bertiup kencang, kita bisa menjadi bimbang, ragu, cemas atau takut bahkan panik, dan akibatnya kita bisa tenggelam. Yakobus pun menyinggung secara jelas akan hal ini. "Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7).
Kita harus selalu melatih diri kita agar memiliki iman yang teguh dan kokoh untuk menerima janji-janji Tuhan. Yakinkan diri anda bahwa tidak ada satu pun yang mustahil bagi Tuhan. Dia sanggup, bahkan lebih dari sanggup melakukan segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi diri kita. Berserulah kepada Tuhan dalam setiap permasalahan anda, teruslah tekun berdoa dalam nama Yesus, tanpa melupakan pentingnya mengucap syukur, dan lakukan semuanya dengan kepercayaan yang penuh didasari iman yang baik, setidaknya sebesar biji sesawi. Berdoalah karena kerinduan yang dalam akan Tuhan, bukan karena sebatas seremonial atau rutinitas belaka. Dan percayalah! Seperti gunung yang dapat dilemparkan ke laut dengan iman yang kecil sekalipun, demikian pula dengan masalah-masalah kita.
Agar tidak tercebur dan tenggelam, melangkahlah selalu dengan iman
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, January 26, 2016
Percaya (2)
(sambungan)
Setelah mendengar jawaban Marta, Yesus pun kemudian datang kesana. Apakah kepercayaan Marta sudah benar-benar penuh? Ternyata belum. "Kata Yesus: "Angkat batu itu!" Marta, saudara dari Lazarus yang sudah meninggal itu, berkata kepada-Nya: "Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati." (ay 39). Lazarus sudah empat hari mati, itu artinya mayat sudah mengeluarkan bau busuk dan mengalami dekomposisi. Secara logika itu berarti semuanya sudah terlambat. Yesus mengetahui pikiran mereka dan kemudian berkata:"Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?" (ay 40). Dan benar, terjadilah mukjizat luar biasa. Lazarus bangkit kembali dari kematiannya.
Mengapa mukjizat atau keajaiban Tuhan tidak bisa terjadi pada diri kita? Mengapa kita tidak kunjung melihat kemuliaan Tuhan? Kata Yesus, itu "Karena kamu kurang percaya." (Matius 16:20a). Yesus tidak mengatakan bahwa Tuhan pilih-pilih dalam menurunkan mukjizatNya. Yesus tidak berkata itu tergantung giliran atau nasib baik, tetapi dengan singkat, padat dan jelas Yesus berkata itu terjadi karena kita kurang pecaya. Masih dalam ayat yang sama selanjutnya Yesus mengatakan: "Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (ay 20b). Dalam versi Markus, ucapan Yesus berbunyi: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya." (Markus 11:23). Perhatikanlah bahwa sesuatu yang mustahil, seperti melemparkan gunung ke dalam laut, itu bisa terjadi pada kita, tetapi kuncinya adalah tidak bimbang hatinya, melainkan percaya.
Ada banyak problema dalam hidup yang siap mendatangkan rasa takut. Tapi kalau kita membiarkan rasa takut berkecamuk dalam hidup kita, apakah ada gunanya? Tidak ada. Justru Yesus berkata bahwa takut itu berasal dari kurang atau tidak percayanya kita terhadap Tuhan. (Matius 8:26). Oleh sebab itu, kuncinya adalah percaya. Believe. Yesus juga sudah berkata "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24). Lihatlah betapa pentingnya percaya itu dalam menerima kuasa Tuhan yang ajaib yang jauh melebihi segalanya.
Seperti yang sudah saya sampaikan dalam renungan-renungan seminggu terakhir, dasar yang kuat untuk bisa percaya sesungguhnya sudah diberitahukan pula kepada kita, yaitu iman. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Iman merupakan dasar dari yang kita inginkan dan merupakan bukti dari apa yang belum kita lihat. Iman seharusnya bisa menjadi dasar bagi kita untuk percaya, tempat kita menggantungkan pengharapan tanpa putus kepada Tuhan. Meski sesuatu belum terjadi, bukti sebenarnya sudah ada lewat iman kita. Iman yang hanya seukuran biji sesawi saja sudah bisa memberikan perbedaan nyata dalam kehidupan orang percaya.
Logika boleh saja dipergunakan, tetapi jangan sampai logika membelenggu kepercayaan kita akan Tuhan. Kita mengaku sebagai orang percaya, tetapi sejauh mana sebenarnya kita percaya kepada Tuhan? Pada tahap mana kita hari ini, apakah masih menjadi orang yang tidak atau sulit percaya atau sudah percaya tapi masih kurang? Saya sudah mengalami begitu banyak mukjizat Tuhan secara langsung dan menyaksikan itu terjadi secara nyata pada banyak orang. Yang terbaru, kaki saya sempat tertancap paku besar berkarat yang menembus sendal. Darah berceceran tapi saya harus pergi rapat bersama bapak Gembala. Saya memutuskan untuk tetap berangkat meski bukan main sakitnya telapak kaki setiap melangkah. Tapi keesokan harinya saya mengalami mukjizat kesembuhan. Bukan hanya sembuh, bahkan bekas lukanya pun hilang. Mustahil? Tidak logis? Ya. Tapi bisa terjadi? Tentu saja. Because I believe in God and His power. I believe in God and His grace, His love and His care. Dan itu hanyalah satu dari sekian banyak mukjizat yang saya dan istri alami sepanjang perjalanan kami melayani.
Firman Tuhan itu ya dan amin. FirmanNya hidup dan punya kuasa. Believe that. Hari ini, marilah kita perbaharui keyakinan kita sepenuhnya kepada Tuhan. Jangan sampai anda luput dari itu semua hanya karena terus menghalanginya dengan ketidakpercayaan anda.
There can be miracle, when you believe
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Setelah mendengar jawaban Marta, Yesus pun kemudian datang kesana. Apakah kepercayaan Marta sudah benar-benar penuh? Ternyata belum. "Kata Yesus: "Angkat batu itu!" Marta, saudara dari Lazarus yang sudah meninggal itu, berkata kepada-Nya: "Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati." (ay 39). Lazarus sudah empat hari mati, itu artinya mayat sudah mengeluarkan bau busuk dan mengalami dekomposisi. Secara logika itu berarti semuanya sudah terlambat. Yesus mengetahui pikiran mereka dan kemudian berkata:"Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?" (ay 40). Dan benar, terjadilah mukjizat luar biasa. Lazarus bangkit kembali dari kematiannya.
Mengapa mukjizat atau keajaiban Tuhan tidak bisa terjadi pada diri kita? Mengapa kita tidak kunjung melihat kemuliaan Tuhan? Kata Yesus, itu "Karena kamu kurang percaya." (Matius 16:20a). Yesus tidak mengatakan bahwa Tuhan pilih-pilih dalam menurunkan mukjizatNya. Yesus tidak berkata itu tergantung giliran atau nasib baik, tetapi dengan singkat, padat dan jelas Yesus berkata itu terjadi karena kita kurang pecaya. Masih dalam ayat yang sama selanjutnya Yesus mengatakan: "Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (ay 20b). Dalam versi Markus, ucapan Yesus berbunyi: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya." (Markus 11:23). Perhatikanlah bahwa sesuatu yang mustahil, seperti melemparkan gunung ke dalam laut, itu bisa terjadi pada kita, tetapi kuncinya adalah tidak bimbang hatinya, melainkan percaya.
Ada banyak problema dalam hidup yang siap mendatangkan rasa takut. Tapi kalau kita membiarkan rasa takut berkecamuk dalam hidup kita, apakah ada gunanya? Tidak ada. Justru Yesus berkata bahwa takut itu berasal dari kurang atau tidak percayanya kita terhadap Tuhan. (Matius 8:26). Oleh sebab itu, kuncinya adalah percaya. Believe. Yesus juga sudah berkata "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24). Lihatlah betapa pentingnya percaya itu dalam menerima kuasa Tuhan yang ajaib yang jauh melebihi segalanya.
Seperti yang sudah saya sampaikan dalam renungan-renungan seminggu terakhir, dasar yang kuat untuk bisa percaya sesungguhnya sudah diberitahukan pula kepada kita, yaitu iman. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Iman merupakan dasar dari yang kita inginkan dan merupakan bukti dari apa yang belum kita lihat. Iman seharusnya bisa menjadi dasar bagi kita untuk percaya, tempat kita menggantungkan pengharapan tanpa putus kepada Tuhan. Meski sesuatu belum terjadi, bukti sebenarnya sudah ada lewat iman kita. Iman yang hanya seukuran biji sesawi saja sudah bisa memberikan perbedaan nyata dalam kehidupan orang percaya.
Logika boleh saja dipergunakan, tetapi jangan sampai logika membelenggu kepercayaan kita akan Tuhan. Kita mengaku sebagai orang percaya, tetapi sejauh mana sebenarnya kita percaya kepada Tuhan? Pada tahap mana kita hari ini, apakah masih menjadi orang yang tidak atau sulit percaya atau sudah percaya tapi masih kurang? Saya sudah mengalami begitu banyak mukjizat Tuhan secara langsung dan menyaksikan itu terjadi secara nyata pada banyak orang. Yang terbaru, kaki saya sempat tertancap paku besar berkarat yang menembus sendal. Darah berceceran tapi saya harus pergi rapat bersama bapak Gembala. Saya memutuskan untuk tetap berangkat meski bukan main sakitnya telapak kaki setiap melangkah. Tapi keesokan harinya saya mengalami mukjizat kesembuhan. Bukan hanya sembuh, bahkan bekas lukanya pun hilang. Mustahil? Tidak logis? Ya. Tapi bisa terjadi? Tentu saja. Because I believe in God and His power. I believe in God and His grace, His love and His care. Dan itu hanyalah satu dari sekian banyak mukjizat yang saya dan istri alami sepanjang perjalanan kami melayani.
Firman Tuhan itu ya dan amin. FirmanNya hidup dan punya kuasa. Believe that. Hari ini, marilah kita perbaharui keyakinan kita sepenuhnya kepada Tuhan. Jangan sampai anda luput dari itu semua hanya karena terus menghalanginya dengan ketidakpercayaan anda.
There can be miracle, when you believe
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, January 25, 2016
Percaya (1)
Ayat bacaan: Yohanes 11:40
====================
"Jawab Yesus: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?"
Dunia yang semakin jahat membuat manusia semakin sulit percaya satu sama lain. Jangankan kepada orang yang tidak dikenal baik, virus tidak bisa percaya ini sekarang sudah menjangkiti keluarga. Istri yang tidak percaya pada suami atau sebaliknya, anak-anak pada orang tua dan sebaliknya, antar teman, famili dan sebagainya, itu hal biasa hari ini. Bukan cuma pada sesama manusia, tapi celakanya Tuhan pun saat ini turut menjadi korban. Mengaku beriman tapi susah sekali untuk percaya. Rajin ke gereja tapi hidup tetap saja cemas dan tidak mengalami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Berdoa sih, tapi tidak merasakan apa-apa. Kalau berhadapan dengan masalah, buru-buru Tuhan yang disalahkan. Saat kita tidak mengalami mukjizat maka itu artinya Tuhan pilih kasih. Padahal tidakkah terpikir bahwa seringkali kita luput dari mengalami pengalaman-pengalaman spiritual apalagi merasakan kasih dan kemuliaan Allah bukan karena Tuhan menutup diri atau jahat melainkan karena kitalah yang tidak percaya?
Alkitab sudah berulang kali menegaskan agar kita menepis keraguan dari hati kita, Yesus berulang kali mengingatkan kita agar percaya, bahkan menegur kita yang tidak atau kurang percaya, tetapi kita masih saja sulit melangkah dengan iman, percaya kepada Tuhan dengan segenap hati, lalu lebih tertarik untuk terus membiarkan keraguan menguasai hidup kita. Logika-logika kita yang terbatas seringkali kita kedepankan, kita sibuk memandang dan menimbang beratnya masalah, lalu membatasi sendiri terjadinya kuasa-kuasa keajaiban Tuhan yang sesungguhnya justru tidak terbatas oleh apapun.
Jika anda membaca seluruh isi Alkitab, maka anda akan mendapati ribuan janji Tuhan tersebar dari awal sampai akhir. Begitu banyak janji-janjiNya yang luar biasa yang sanggup memberikan jaminan keselamatan hingga akhir, juga kehidupan yang berjalan dari satu kemenangan kepada kemenangan lain (from glory to glory) selama di dunia ini. Bukan cuma menebar janji, Alkitab juga membeberkan cara atau langkah agar semua itu bisa menjadi milik kita. Ada banyak orang yang kurang sabar, mengira bahwa seketika janji itu harus terjadi sesuai maunya mereka atau setiap kali mereka butuhkan. Mereka malas menunggu. Mereka tidak mengusahakan lewat pertumbuhan iman. Mereka membiarkan dirinya kosong tanpa asupan firman. Maka tidaklah mengherankan apabila akhirnya mereka tidak mengalami apa-apa. Kurangnya iman membuat sulit untuk percaya, dan akhirnya berdampak pada kehidupan yang berjalan tanpa adanya campur tangan Tuhan.
Mari kita mulai dengan melihat kisah Lazarus, Marta dan Maria dalam Yohanes 11:1-44. Pada saat itu Marta dan Maria berharap Yesus mau datang ketika Lazarus masih hidup dan terbaring sakit. Mereka tahu bahwa Yesus sanggup menyembuhkan. Sayangnyaiman mereka hanya sampai disitu saja. Bisa menyembuhkan but that's it, kalau sudah meninggal ya tidak ada lagi apapun yang bisa diperbuat. Lihat apa kata Marta. "Maka kata Marta kepada Yesus: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati." (ay 21). Maria pun berpikiran sama. "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati." (ay 32). Lihatlah bahwa mereka percaya, tapi sayangnya terbatas, hanya pada kesembuhan, dan bahwa Yesus akan membangkitkan orang-orang mati nanti pada akhir zaman. (ay 24). Tetapi membangkitkan orang yang sudah terlanjur meninggal? Itu sulit diterima akal. Oleh karena itulah kita kemudian mendapati seruan Yesus yang menegur rendahnya kepercayaan manusia akan kuasa Allah. "tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya." (ay 15). Kemudian Yesus berkata kepada Marta: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" (ay 25-26). Dan akhirnya Marta pun mengaku percaya.
(bersambung)
====================
"Jawab Yesus: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?"
Dunia yang semakin jahat membuat manusia semakin sulit percaya satu sama lain. Jangankan kepada orang yang tidak dikenal baik, virus tidak bisa percaya ini sekarang sudah menjangkiti keluarga. Istri yang tidak percaya pada suami atau sebaliknya, anak-anak pada orang tua dan sebaliknya, antar teman, famili dan sebagainya, itu hal biasa hari ini. Bukan cuma pada sesama manusia, tapi celakanya Tuhan pun saat ini turut menjadi korban. Mengaku beriman tapi susah sekali untuk percaya. Rajin ke gereja tapi hidup tetap saja cemas dan tidak mengalami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Berdoa sih, tapi tidak merasakan apa-apa. Kalau berhadapan dengan masalah, buru-buru Tuhan yang disalahkan. Saat kita tidak mengalami mukjizat maka itu artinya Tuhan pilih kasih. Padahal tidakkah terpikir bahwa seringkali kita luput dari mengalami pengalaman-pengalaman spiritual apalagi merasakan kasih dan kemuliaan Allah bukan karena Tuhan menutup diri atau jahat melainkan karena kitalah yang tidak percaya?
Alkitab sudah berulang kali menegaskan agar kita menepis keraguan dari hati kita, Yesus berulang kali mengingatkan kita agar percaya, bahkan menegur kita yang tidak atau kurang percaya, tetapi kita masih saja sulit melangkah dengan iman, percaya kepada Tuhan dengan segenap hati, lalu lebih tertarik untuk terus membiarkan keraguan menguasai hidup kita. Logika-logika kita yang terbatas seringkali kita kedepankan, kita sibuk memandang dan menimbang beratnya masalah, lalu membatasi sendiri terjadinya kuasa-kuasa keajaiban Tuhan yang sesungguhnya justru tidak terbatas oleh apapun.
Jika anda membaca seluruh isi Alkitab, maka anda akan mendapati ribuan janji Tuhan tersebar dari awal sampai akhir. Begitu banyak janji-janjiNya yang luar biasa yang sanggup memberikan jaminan keselamatan hingga akhir, juga kehidupan yang berjalan dari satu kemenangan kepada kemenangan lain (from glory to glory) selama di dunia ini. Bukan cuma menebar janji, Alkitab juga membeberkan cara atau langkah agar semua itu bisa menjadi milik kita. Ada banyak orang yang kurang sabar, mengira bahwa seketika janji itu harus terjadi sesuai maunya mereka atau setiap kali mereka butuhkan. Mereka malas menunggu. Mereka tidak mengusahakan lewat pertumbuhan iman. Mereka membiarkan dirinya kosong tanpa asupan firman. Maka tidaklah mengherankan apabila akhirnya mereka tidak mengalami apa-apa. Kurangnya iman membuat sulit untuk percaya, dan akhirnya berdampak pada kehidupan yang berjalan tanpa adanya campur tangan Tuhan.
Mari kita mulai dengan melihat kisah Lazarus, Marta dan Maria dalam Yohanes 11:1-44. Pada saat itu Marta dan Maria berharap Yesus mau datang ketika Lazarus masih hidup dan terbaring sakit. Mereka tahu bahwa Yesus sanggup menyembuhkan. Sayangnyaiman mereka hanya sampai disitu saja. Bisa menyembuhkan but that's it, kalau sudah meninggal ya tidak ada lagi apapun yang bisa diperbuat. Lihat apa kata Marta. "Maka kata Marta kepada Yesus: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati." (ay 21). Maria pun berpikiran sama. "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati." (ay 32). Lihatlah bahwa mereka percaya, tapi sayangnya terbatas, hanya pada kesembuhan, dan bahwa Yesus akan membangkitkan orang-orang mati nanti pada akhir zaman. (ay 24). Tetapi membangkitkan orang yang sudah terlanjur meninggal? Itu sulit diterima akal. Oleh karena itulah kita kemudian mendapati seruan Yesus yang menegur rendahnya kepercayaan manusia akan kuasa Allah. "tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya." (ay 15). Kemudian Yesus berkata kepada Marta: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" (ay 25-26). Dan akhirnya Marta pun mengaku percaya.
(bersambung)
Sunday, January 24, 2016
Iman Bartimeus (2)
(sambungan)
Mudah bagi kita untuk menyebut kata iman tetapi kenyataannya seringkali hal itu sulit untuk dilakukan. Mengapa begitu? Karena iman biasanya berhubungan dengan sebesar apa kepercayaan dan pengharapan kita kepada Tuhan pada saat jalan terasa buntu, sempit dan penuh situasi sulit. Dan itulah tepatnya yang diingatkan di dalam Alkitab. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Iman memegang peran yang sangat penting bagi kita. Bisa tidaknya kita menerima mukjizat Tuhan untuk menjawab permasalahan kita, termasuk yang sudah seperti tidak ada jalan keluar lagi sekalipun, itu akan sangat tergantung dari ukuran iman kita. Dan seperti yang saya tulis di awal maupun beberapa renungan terdahulu, Matius 17:20 mengatakan bahwa sebesar biji sesawi saja sudah bisa membuat tidak ada lagi apapun yang mustahil bagi kita. Jika kita masih belum memiliki iman yang cukup untuk menerima mukjizat-mukjizat ajaib Tuhan dalam hidup kita, jika kita masih saja hidup dalam kegelisahan, kekuatiran atau ketakutan dan kepanikan, itu artinya iman kita masih jauh lebih kecil dari biji sesawi yang ukurannya sudah sangat kecil itu.
Jika hari ini diantara anda ada yang mungkin sedang menghadapi jalan buntu yang terlihat seperti tidak lagi punya solusi atau harapan, ini saatnya untuk belajar mengambil keputusan seperti Bartimeus. Ia datang dan berseru-seru kepada Tuhan dengan mengedepankan imannya, dan lihatlah bagaimana Tuhan lantas merespon seruannya. Hal ini tepat seperti yang dikatakan Daud dalam salah satu Mazmurnya: "Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya." (Mazmur 34:7) dan "Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya." (ay 18). Iman akan menggerakkan kita untuk berseru kepadaNya, bergantung dan berpengharapan kepadaNya dalam kesesakan seberat apapun. Kita harus benar-benar paham bagaimana kedahsyatan Tuhan seperti yang tertulis dalam Mazmur berikut ini: "Sebab TUHAN maha besar dan terpuji sangat, Ia lebih dahsyat dari pada segala allah." (Mazmur 96:4).
Ini saatnya kita memandang Tuhan dan mengetahui kekuatanNya, menyadari bahwa tidak ada satupun masalah yang lebih besar dibanding kuasaNya. Bartimeus mengalami jamahan dan pemulihan Tuhan yang ajaib, dan itu karena ia memiliki iman yang berbeda dari orang-orang lain. Pola pikirnya positif, ia mengetahui dengan benar apa yang ia butuhkan dan ia mengenal betul bagaimana pribadi Tuhan. Firman Tuhan berkata: "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." (Yakobus 4:3). Bartimeus lolos dari ujian itu. Ia meminta sesuatu yang benar, dan ia memintanya kepada Yesus. Dan Yesus sudah berkata bahwa "Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya." (Yohanes 14:14). Kalau itu berlaku bagi Bartimeus, tentu bagi kita pun berlaku. Mari kita belajar dari iman yang dimiliki Bartimeus. Sadarilah bahwa apapun yang sudah dianggap buntu oleh dunia ini, atau ketika kita dianggap tidak cukup penting oleh dunia ini untuk memperoleh apa-apa, kita punya Tuhan yang tidak akan terbatas oleh kebuntuan separah apapun. Dia akan dengan senang hati mengulurkan tanganNya, menjawab iman kita dan membuat hal mustahil menjadi nyata, karena Dia sungguh mengasihi kita.
Berhentilah menghina Tuhan dengan kekuatiran kita, saatnya mengedepankan iman dalam kehidupan sehari-hari
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Mudah bagi kita untuk menyebut kata iman tetapi kenyataannya seringkali hal itu sulit untuk dilakukan. Mengapa begitu? Karena iman biasanya berhubungan dengan sebesar apa kepercayaan dan pengharapan kita kepada Tuhan pada saat jalan terasa buntu, sempit dan penuh situasi sulit. Dan itulah tepatnya yang diingatkan di dalam Alkitab. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Iman memegang peran yang sangat penting bagi kita. Bisa tidaknya kita menerima mukjizat Tuhan untuk menjawab permasalahan kita, termasuk yang sudah seperti tidak ada jalan keluar lagi sekalipun, itu akan sangat tergantung dari ukuran iman kita. Dan seperti yang saya tulis di awal maupun beberapa renungan terdahulu, Matius 17:20 mengatakan bahwa sebesar biji sesawi saja sudah bisa membuat tidak ada lagi apapun yang mustahil bagi kita. Jika kita masih belum memiliki iman yang cukup untuk menerima mukjizat-mukjizat ajaib Tuhan dalam hidup kita, jika kita masih saja hidup dalam kegelisahan, kekuatiran atau ketakutan dan kepanikan, itu artinya iman kita masih jauh lebih kecil dari biji sesawi yang ukurannya sudah sangat kecil itu.
Jika hari ini diantara anda ada yang mungkin sedang menghadapi jalan buntu yang terlihat seperti tidak lagi punya solusi atau harapan, ini saatnya untuk belajar mengambil keputusan seperti Bartimeus. Ia datang dan berseru-seru kepada Tuhan dengan mengedepankan imannya, dan lihatlah bagaimana Tuhan lantas merespon seruannya. Hal ini tepat seperti yang dikatakan Daud dalam salah satu Mazmurnya: "Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya." (Mazmur 34:7) dan "Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya." (ay 18). Iman akan menggerakkan kita untuk berseru kepadaNya, bergantung dan berpengharapan kepadaNya dalam kesesakan seberat apapun. Kita harus benar-benar paham bagaimana kedahsyatan Tuhan seperti yang tertulis dalam Mazmur berikut ini: "Sebab TUHAN maha besar dan terpuji sangat, Ia lebih dahsyat dari pada segala allah." (Mazmur 96:4).
Ini saatnya kita memandang Tuhan dan mengetahui kekuatanNya, menyadari bahwa tidak ada satupun masalah yang lebih besar dibanding kuasaNya. Bartimeus mengalami jamahan dan pemulihan Tuhan yang ajaib, dan itu karena ia memiliki iman yang berbeda dari orang-orang lain. Pola pikirnya positif, ia mengetahui dengan benar apa yang ia butuhkan dan ia mengenal betul bagaimana pribadi Tuhan. Firman Tuhan berkata: "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." (Yakobus 4:3). Bartimeus lolos dari ujian itu. Ia meminta sesuatu yang benar, dan ia memintanya kepada Yesus. Dan Yesus sudah berkata bahwa "Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya." (Yohanes 14:14). Kalau itu berlaku bagi Bartimeus, tentu bagi kita pun berlaku. Mari kita belajar dari iman yang dimiliki Bartimeus. Sadarilah bahwa apapun yang sudah dianggap buntu oleh dunia ini, atau ketika kita dianggap tidak cukup penting oleh dunia ini untuk memperoleh apa-apa, kita punya Tuhan yang tidak akan terbatas oleh kebuntuan separah apapun. Dia akan dengan senang hati mengulurkan tanganNya, menjawab iman kita dan membuat hal mustahil menjadi nyata, karena Dia sungguh mengasihi kita.
Berhentilah menghina Tuhan dengan kekuatiran kita, saatnya mengedepankan iman dalam kehidupan sehari-hari
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, January 23, 2016
Iman Bartimeus (1)
Ayat bacaan: Markus 10:52
=====================
"Lalu kata Yesus kepadanya: "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!" Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya."
Dalam menjalani hidup seringkali kita terbentur pada situasi-situasi sulit mulai dari yang relatif masih bisa diatasi, mendatangkan kerugian hingga keadaan yang secara logika sepertinya sudah sulit bahkan tidak lagi mungkin punya solusi. Disaat-saat seperti itu iman bisa jadi merupakan satu-satunya alternatif yang ada. Masalahnya yang sering terjadi adalah, di saat kita terpojok, iman kita bukannya menguat tapi malah makin lemah. Tidak jarang pula orang kemudian putus asa dan kehilangan imannya. Padahal Yesus sudah mengatakan bahwa iman yang meski sebesar biji sesawi saja, just as little as a mustard seed, itu sudah lebih dari cukup untuk mengubah kemustahilan menjadi sesuatu yang ternyata mungkin dan bisa terjadi.
Akan hal ini, hari ini mari kita lihat kisah tentang seorang pengemis buta bernama Bartimeus seperti yang ditulis dalam Markus 10:46-52. Bartimeus adalah seorang buta atau tuna netra. Karena kondisinya itu ia tidak bisa bekerja, sehingga ia pun terpaksa mengemis untuk bertahan hidup. Pada suatu hari Yesus lewat tepat didekatnya. "Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" (Markus 10:47). Bartimeus cuma seorang pengemis buta, yang bagi masyarakat pada masa itu dianggap terlalu rendah sehingga tidak pantas untuk berteriak-teriak memanggil Yesus. Karena itu mereka lantas memarahinya. "Banyak orang menegornya supaya ia diam. Kasihan benar Bartimeus. Tapi untunglah ia bukan tipe orang yang gampang putus asa. "Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" (ay 48). Bukannya berhenti karena dimarahi, Bartimeus malah mengencangkan suaranya lebih lagi. Ia sadar bahwa itu kesempatan baginya. Imannya membuatnya tidak menyerah. Ia tahu bahwa Yesus adalah jawaban atas permasalahan yang ia alami. Logika, pendapat orang dan lain-lain semua ia kesampingkan. Ia mengencangkan imannya lebih dari sebelumnya. Maka Bartimeus pun terus memanggil Yesus.
Ternyata teriakannya itu menggetarkan dan menggerakkan Yesus untuk bereaksi. Yesus pun lalu menyuruh orang-orang disana untuk memanggilnya. Mendengar itu, Bartimeus segera menanggalkan jubahnya dan bergegas menuju Yesus. Ketika mereka bertemu muka, inilah yang terjadi selanjutnya. "Tanya Yesus kepadanya: "Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" Jawab orang buta itu: "Rabuni, supaya aku dapat melihat!" (ay 51).
Sekarang mari kita perhatikan dengan cermat. Bartimeus bisa saja meminta kekayaan, meminta pekerjaan dan sebagainya selain matanya dicelikan. Bukankah kalau ia kaya maka ia tidak perlu lagi mengemis atau bekerja? Tapi Bartimeus tahu bahwa sumber masalahnya selama ini adalah ketidakmampuannya untuk melihat. Ia tahu bahwa apabila ia bisa melihat, ia tidak perlu jadi pengemis lagi dan bisa bekerja yang layak untuk hidup. Ia tahu betul akan hal itu, maka ia pun hanya meminta satu hal yang menjadi sumber permasalahan. Maka Yesus pun mengabulkan permintaannya dan menyembuhkannya. Alkitab mencatat jawaban Yesus ketika menyembuhkannya: "Lalu kata Yesus kepadanya: "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!" Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya." (ay 52).
Apa yang sesungguhnya menyembuhkan Bartimeus? Alkitab mengatakan bahwa apa yang menyembuhkannya ternyata adalah IMAN yang dimilikinya. Imannya yang percaya, yang tidak tergantung pada logika manusia, yang tidak tergantung apa kata orang. Ia tahu imannya tidaklah terletak pada pendapat manusia lainnya, atau tergantung tingkat kesulitan keadaan atau situasi yang tengah ia hadapi, tidak tergantung beratnya masalah yang harus ia pikul, berapa lama ia sudah menderita dan statusnya di tengah masyarakat, tetapi semata-mata merupakan koneksi/hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Bartimeus berpegang teguh akan hal itu, dan Yesus berkata besar imannya itulah yang menggerakkan Tuhan untuk kemudian menyelamatkannya. Iman seperti itu ternyata cukup sanggup menggerakkan Tuhan untuk turun tangan melakukan hal-hal yang ajaib dalam hidup kita. Iman, itulah yang kita butuhkan untuk menerima berkat dan mukjizat Tuhan kepada kita.
(bersambung)
=====================
"Lalu kata Yesus kepadanya: "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!" Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya."
Dalam menjalani hidup seringkali kita terbentur pada situasi-situasi sulit mulai dari yang relatif masih bisa diatasi, mendatangkan kerugian hingga keadaan yang secara logika sepertinya sudah sulit bahkan tidak lagi mungkin punya solusi. Disaat-saat seperti itu iman bisa jadi merupakan satu-satunya alternatif yang ada. Masalahnya yang sering terjadi adalah, di saat kita terpojok, iman kita bukannya menguat tapi malah makin lemah. Tidak jarang pula orang kemudian putus asa dan kehilangan imannya. Padahal Yesus sudah mengatakan bahwa iman yang meski sebesar biji sesawi saja, just as little as a mustard seed, itu sudah lebih dari cukup untuk mengubah kemustahilan menjadi sesuatu yang ternyata mungkin dan bisa terjadi.
Akan hal ini, hari ini mari kita lihat kisah tentang seorang pengemis buta bernama Bartimeus seperti yang ditulis dalam Markus 10:46-52. Bartimeus adalah seorang buta atau tuna netra. Karena kondisinya itu ia tidak bisa bekerja, sehingga ia pun terpaksa mengemis untuk bertahan hidup. Pada suatu hari Yesus lewat tepat didekatnya. "Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" (Markus 10:47). Bartimeus cuma seorang pengemis buta, yang bagi masyarakat pada masa itu dianggap terlalu rendah sehingga tidak pantas untuk berteriak-teriak memanggil Yesus. Karena itu mereka lantas memarahinya. "Banyak orang menegornya supaya ia diam. Kasihan benar Bartimeus. Tapi untunglah ia bukan tipe orang yang gampang putus asa. "Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" (ay 48). Bukannya berhenti karena dimarahi, Bartimeus malah mengencangkan suaranya lebih lagi. Ia sadar bahwa itu kesempatan baginya. Imannya membuatnya tidak menyerah. Ia tahu bahwa Yesus adalah jawaban atas permasalahan yang ia alami. Logika, pendapat orang dan lain-lain semua ia kesampingkan. Ia mengencangkan imannya lebih dari sebelumnya. Maka Bartimeus pun terus memanggil Yesus.
Ternyata teriakannya itu menggetarkan dan menggerakkan Yesus untuk bereaksi. Yesus pun lalu menyuruh orang-orang disana untuk memanggilnya. Mendengar itu, Bartimeus segera menanggalkan jubahnya dan bergegas menuju Yesus. Ketika mereka bertemu muka, inilah yang terjadi selanjutnya. "Tanya Yesus kepadanya: "Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" Jawab orang buta itu: "Rabuni, supaya aku dapat melihat!" (ay 51).
Sekarang mari kita perhatikan dengan cermat. Bartimeus bisa saja meminta kekayaan, meminta pekerjaan dan sebagainya selain matanya dicelikan. Bukankah kalau ia kaya maka ia tidak perlu lagi mengemis atau bekerja? Tapi Bartimeus tahu bahwa sumber masalahnya selama ini adalah ketidakmampuannya untuk melihat. Ia tahu bahwa apabila ia bisa melihat, ia tidak perlu jadi pengemis lagi dan bisa bekerja yang layak untuk hidup. Ia tahu betul akan hal itu, maka ia pun hanya meminta satu hal yang menjadi sumber permasalahan. Maka Yesus pun mengabulkan permintaannya dan menyembuhkannya. Alkitab mencatat jawaban Yesus ketika menyembuhkannya: "Lalu kata Yesus kepadanya: "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!" Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya." (ay 52).
Apa yang sesungguhnya menyembuhkan Bartimeus? Alkitab mengatakan bahwa apa yang menyembuhkannya ternyata adalah IMAN yang dimilikinya. Imannya yang percaya, yang tidak tergantung pada logika manusia, yang tidak tergantung apa kata orang. Ia tahu imannya tidaklah terletak pada pendapat manusia lainnya, atau tergantung tingkat kesulitan keadaan atau situasi yang tengah ia hadapi, tidak tergantung beratnya masalah yang harus ia pikul, berapa lama ia sudah menderita dan statusnya di tengah masyarakat, tetapi semata-mata merupakan koneksi/hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Bartimeus berpegang teguh akan hal itu, dan Yesus berkata besar imannya itulah yang menggerakkan Tuhan untuk kemudian menyelamatkannya. Iman seperti itu ternyata cukup sanggup menggerakkan Tuhan untuk turun tangan melakukan hal-hal yang ajaib dalam hidup kita. Iman, itulah yang kita butuhkan untuk menerima berkat dan mukjizat Tuhan kepada kita.
(bersambung)
Friday, January 22, 2016
Sesawi (3)
(sambungan)
Kerajaan Surga diumpamakan Yesus dalam Matius 13:31-35 tersebut adalah seperti biji sesawi dan ragi. Biji sesawi memang kecil, bahkan merupakan benih terkecil. Tapi saat sesawi tumbuh maka ukurannya jauh lebih besar dari sayuran lain. Pohonnya bukan saja tinggi dan rimbun tapi juga mampu menarik minat burung-burung untuk datang dan bersarang pada cabang-cabangnya. Lantas ragi meski sedikit jumlahnya, apabila diaduk ke dalam tepung terigu maka adonannya akan mekar.
Gereja, termasuk kita di dalamnya lewat semua pelayanan yang kita lakukan mungkin bermula dari hal yang sangat kecil. Tapi hal yang kecil itu pada suatu ketika bisa membawa dampak besar bahkan mampu menarik jiwa-jiwa dan mendatangkan berkat buat mereka serta membawa mereka masuk dalam keselamatan kekal. Persis seperti burung-burung yang kemudian datang dan bersarang di pohon sesawi yang rimbun.
Bukankah Injil Kerajaan pun diberitakan oleh Anak Manusia yang notabene awalnya dikenal sebagai tukang kayu dengan pengikut-pengikut yang terdiri dari nelayan, pemungut cukai dan orang-orang yang bukan terpelajar? Tapi lihatlah bagaimana dampaknya terhadap dunia secara luas hingga hari ini. Benih yang sangat kecil kemudian menjadi pohon yang rimbun yang sampai hari ini mampu memberi perlindungan, damai sejahtera, berkat dan keselamatan bagi semua orang tanpa terkecuali dimanapun berada. Permulaan Gereja amat kecil. Tetapi kemudian pertumbuhannya menghasilkan daya yang kuat, sehingga berkembang menjadi kelompok-kelompok yang besar. Dari kelompok yang kecil yang terdiri daripada para rasul dimulailah gereja yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hari ini lihatlah bagaimana menjadi luar biasanya benih kecil itu.
Kerajaan Surga yang seringkali dianggap sepele dibandingkan pengejaran manusia terhadap pemenuhan kebutuhan seperti yang diajarkan dunia beserta segala sistemnya apabila tertanam dan tumbuh dalam diri kita akan mampu membawa dampak besar bagi kehidupan, baik buat kita sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu kita harus terus tekun dalam menaburkan benih-benih Kerajaan Surga dimanapun kita ditempatkan. Meski kecil, tetapi pasti pada suatu saat akan bermakna besar bagi banyak orang.
Biji sesawi sangatlah kecil ukurannya. Diameternya tidak sampai 1 milimeter tapi saat ditanam maka pertumbuhannya sangat cepat, mampu menumbuhkan pohon setinggi 3 sampai 5 meter. Rimbun, sanggup menarik burung-burung untuk datang, tinggal dan bersarang disana. Sayurnya besar, kaya nutrisi bermanfaat pula bagi manusia. Betapa luar biasanya biji sesawi ini sehingga bukan saja tumbuhannya tapi dapat pula dipakai untuk berbagai macam perumpamaan yang kalau kita pahami bisa berdampak sangat besar bagi diri kita dan orang lain. Miliki iman setidaknya sebesar biji sesawi, dan tanamlah untuk memberkati orang lain. Awalnya kecil, tapi percayalah bahwa pada suatu ketika benih kecil yang anda tanam itu akan membawa dampak luar biasa bagi dunia dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Kerajaan Surga diumpamakan Yesus dalam Matius 13:31-35 tersebut adalah seperti biji sesawi dan ragi. Biji sesawi memang kecil, bahkan merupakan benih terkecil. Tapi saat sesawi tumbuh maka ukurannya jauh lebih besar dari sayuran lain. Pohonnya bukan saja tinggi dan rimbun tapi juga mampu menarik minat burung-burung untuk datang dan bersarang pada cabang-cabangnya. Lantas ragi meski sedikit jumlahnya, apabila diaduk ke dalam tepung terigu maka adonannya akan mekar.
Gereja, termasuk kita di dalamnya lewat semua pelayanan yang kita lakukan mungkin bermula dari hal yang sangat kecil. Tapi hal yang kecil itu pada suatu ketika bisa membawa dampak besar bahkan mampu menarik jiwa-jiwa dan mendatangkan berkat buat mereka serta membawa mereka masuk dalam keselamatan kekal. Persis seperti burung-burung yang kemudian datang dan bersarang di pohon sesawi yang rimbun.
Bukankah Injil Kerajaan pun diberitakan oleh Anak Manusia yang notabene awalnya dikenal sebagai tukang kayu dengan pengikut-pengikut yang terdiri dari nelayan, pemungut cukai dan orang-orang yang bukan terpelajar? Tapi lihatlah bagaimana dampaknya terhadap dunia secara luas hingga hari ini. Benih yang sangat kecil kemudian menjadi pohon yang rimbun yang sampai hari ini mampu memberi perlindungan, damai sejahtera, berkat dan keselamatan bagi semua orang tanpa terkecuali dimanapun berada. Permulaan Gereja amat kecil. Tetapi kemudian pertumbuhannya menghasilkan daya yang kuat, sehingga berkembang menjadi kelompok-kelompok yang besar. Dari kelompok yang kecil yang terdiri daripada para rasul dimulailah gereja yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hari ini lihatlah bagaimana menjadi luar biasanya benih kecil itu.
Kerajaan Surga yang seringkali dianggap sepele dibandingkan pengejaran manusia terhadap pemenuhan kebutuhan seperti yang diajarkan dunia beserta segala sistemnya apabila tertanam dan tumbuh dalam diri kita akan mampu membawa dampak besar bagi kehidupan, baik buat kita sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu kita harus terus tekun dalam menaburkan benih-benih Kerajaan Surga dimanapun kita ditempatkan. Meski kecil, tetapi pasti pada suatu saat akan bermakna besar bagi banyak orang.
Biji sesawi sangatlah kecil ukurannya. Diameternya tidak sampai 1 milimeter tapi saat ditanam maka pertumbuhannya sangat cepat, mampu menumbuhkan pohon setinggi 3 sampai 5 meter. Rimbun, sanggup menarik burung-burung untuk datang, tinggal dan bersarang disana. Sayurnya besar, kaya nutrisi bermanfaat pula bagi manusia. Betapa luar biasanya biji sesawi ini sehingga bukan saja tumbuhannya tapi dapat pula dipakai untuk berbagai macam perumpamaan yang kalau kita pahami bisa berdampak sangat besar bagi diri kita dan orang lain. Miliki iman setidaknya sebesar biji sesawi, dan tanamlah untuk memberkati orang lain. Awalnya kecil, tapi percayalah bahwa pada suatu ketika benih kecil yang anda tanam itu akan membawa dampak luar biasa bagi dunia dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Iman sebesar biji sesawi saja sudah mampu membuat tidak lagi ada yang mustahil bagi kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, January 21, 2016
Sesawi (2)
(sambungan)
Selanjutnya, Yesus mengambil perumpamaan sesawi untuk menjawab para murid mengenai masalah pengampunan. Meski mereka berjalan bersama Yesus yang hadir mengambil rupa dan fisik manusia sehingga dapat mereka sentuh, lihat dan dengar, mereka masih struggle terutama dalam masalah iman. Lukas 17:5 mencatat saat Yesus mengajarkan mereka untuk menaikkan level pengampunan bagi orang lain. Ternyata bagi para murid mengampuni itu merupakan hal yang susah. Menarik jika melihat bahwa murid-murid ini tahu bahwa akar penyebabnya ada pada iman mereka yang masih kurang. Karena itulah mereka berkata: "Tambahkanlah iman kami!" (Lukas 17:5).
Bagaimana reaksi Yesus? Yesus berkata bahwa dengan mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kita sudah bisa memiliki kuasa yang sungguh dahsyat. "Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (ay 6).
Para rasul menyadari kelemahan mereka terletak pada iman. Mereka tahu bahwa iman penting, karenanya penting pula untuk meminta Tuhan menambahkan iman mereka. Kita butuh iman, dan kita bisa berdoa agar iman kita ditambahkan. Tetapi itu tidak akan terjadi apabila kita tidak terus melatih diri kita untuk meletakkan pengharapan dengan kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan. Urusan iman bukanlah urusan yang instan. Kita memerlukan proses agar iman itu bisa tumbuh menjadi semakin besar dalam hidup kita. Itu adalah sesuatu yang harus ditanam, disiram dan dirawat, itu adalah sesuatu yang harus dilatih secara kontinu dan konsisten. Selain iman, kita pun bisa meminta Tuhan menambahkan hikmat agar kita bisa lebih bijaksana dalam memandang setiap permasalahan dengan cara pandang yang melibatkan Tuhan di dalamnya seperti yang tertulis dalam Yakobus 1:5.
Selain masalah iman, Yesus juga memakai sesawi untuk menggambarkan tentang Kerajaan Surga, eksistensi dan pertumbuhannya di dunia. Mari kita lihat perikopnya secara lengkap.
"Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya.Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya." Dan Ia menceriterakan perumpamaan ini juga kepada mereka: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya."Semuanya itu disampaikan Yesus kepada orang banyak dalam perumpamaan, dan tanpa perumpamaan suatupun tidak disampaikan-Nya kepada mereka,supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi: "Aku mau membuka mulut-Ku mengatakan perumpamaan, Aku mau mengucapkan hal yang tersembunyi sejak dunia dijadikan."
(Matius 13:31-35).
(bersambung)
Selanjutnya, Yesus mengambil perumpamaan sesawi untuk menjawab para murid mengenai masalah pengampunan. Meski mereka berjalan bersama Yesus yang hadir mengambil rupa dan fisik manusia sehingga dapat mereka sentuh, lihat dan dengar, mereka masih struggle terutama dalam masalah iman. Lukas 17:5 mencatat saat Yesus mengajarkan mereka untuk menaikkan level pengampunan bagi orang lain. Ternyata bagi para murid mengampuni itu merupakan hal yang susah. Menarik jika melihat bahwa murid-murid ini tahu bahwa akar penyebabnya ada pada iman mereka yang masih kurang. Karena itulah mereka berkata: "Tambahkanlah iman kami!" (Lukas 17:5).
Bagaimana reaksi Yesus? Yesus berkata bahwa dengan mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kita sudah bisa memiliki kuasa yang sungguh dahsyat. "Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (ay 6).
Para rasul menyadari kelemahan mereka terletak pada iman. Mereka tahu bahwa iman penting, karenanya penting pula untuk meminta Tuhan menambahkan iman mereka. Kita butuh iman, dan kita bisa berdoa agar iman kita ditambahkan. Tetapi itu tidak akan terjadi apabila kita tidak terus melatih diri kita untuk meletakkan pengharapan dengan kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan. Urusan iman bukanlah urusan yang instan. Kita memerlukan proses agar iman itu bisa tumbuh menjadi semakin besar dalam hidup kita. Itu adalah sesuatu yang harus ditanam, disiram dan dirawat, itu adalah sesuatu yang harus dilatih secara kontinu dan konsisten. Selain iman, kita pun bisa meminta Tuhan menambahkan hikmat agar kita bisa lebih bijaksana dalam memandang setiap permasalahan dengan cara pandang yang melibatkan Tuhan di dalamnya seperti yang tertulis dalam Yakobus 1:5.
Selain masalah iman, Yesus juga memakai sesawi untuk menggambarkan tentang Kerajaan Surga, eksistensi dan pertumbuhannya di dunia. Mari kita lihat perikopnya secara lengkap.
"Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya.Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya." Dan Ia menceriterakan perumpamaan ini juga kepada mereka: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya."Semuanya itu disampaikan Yesus kepada orang banyak dalam perumpamaan, dan tanpa perumpamaan suatupun tidak disampaikan-Nya kepada mereka,supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi: "Aku mau membuka mulut-Ku mengatakan perumpamaan, Aku mau mengucapkan hal yang tersembunyi sejak dunia dijadikan."
(Matius 13:31-35).
(bersambung)
Wednesday, January 20, 2016
Sesawi (1)
Ayat bacaan: Matius 17:20
===================
"Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu."
Kalau kita bicara iman, biasanya kita langsung teringat tentang biji sesawi. Yesus mengambil perumpamaan atau contoh tentang biji sesawi beberapa kali dalam kesempatan berbeda. Kita semua tentu tahu bahwa iman sebesar biji sesawi saja sudah bisa mendatangkan mukjizat diluar akal sehat. Bukankah Yesus berkata, seperti ayat bacaan kita hari ini, bahwa kalau kita punya iman seukuran biji sesawi saja gunung pun bisa kita pindahkan atau lemparkan? Ya, itu kita tahu. Pertanyaannya adalah, seperti apa sih biji sesawi itu? Sekecil apa ukurannya dan apa yang istimewa dari biji yang dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan mustard seed, sehingga Yesus merasa tepat untuk mengambil biji jenis ini sebagai perumpamaan dalam banyak kesempatan?
Anda bisa lihat pada gambar ilustrasi di atas seperti apa ukuran biji sesawi dibandingkan ukuran jari telunjuk orang dewasa. Ukuran biji sesawi yang asli diameternya paling besar cuma 1 milimeter saja. Tanaman ini mudah tumbuh di sembarang tempat sehingga di daerah panas pada masa Yesus tanaman ini mudah ditemukan.
Apa yang menarik adalah, meski ukuran bijinya teramat sangat kecil, sesawi tumbuh dengan cepat dan mendatangkan manfaat, baik sayurnya maupun minyak yang dipakai untuk kebutuhan memasak. Bicara soal tumbuh dengan cepat, anda akan kaget bila mengetahui bahwa biji sesawi yang ukuran maksimalnya cuma 1 milimeter ini ternyata bisa tumbuh mencapai 3 sampai 5 meter! Gambar ilustrasi di atas menunjukkan perbandingan antara biji dengan pohon. Luar biasa bukan? Ukuran sayurnya pun lebih besar dari sayur lainnya. Lantas mengenai kandungan nutrisi, tanaman ini mengandung begitu banyak nutrisi bermanfaat. Oleh karenanya sangatlah tepat jika Yesus mempergunakan biji ini untuk menerangkan beberapa pesan Tuhan yang penting termasuk diantaranya tentang iman.
Ayat bacaan kita hari ini menunjukkan bagaimana Yesus memakai contoh biji sesawi untuk menggambarkan besaran iman yang diperlukan untuk mendatangkan mukjizat dalam hidup kita. Matius 17:14-21 menceritakan tentang seorang anak muda yang sangat menderita akibat penyakit ayan. Berkali-kali ia terjatuh ke api maupun ke air. Murid-murid Yesus ternyata tidak mampu menyembuhkan si anak. Maka Yesus pun menegur para murid, lantas memerintahkan roh jahat untuk keluar dari anak muda dan seketika ia pun sembuh. "Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (Matius 7:20). Apa yang menyebabkan para murid gagal mengusir roh jahat menurut Yesus terletak pada kurangnya iman mereka.
Iman sebesar apa yang diperlukan? Sebesar rumah? gunung? dunia? semesta? Ternyata iman yang ukurannya sekitar 1 mm seperti biji sesawi saja sudah bisa membuat tidak ada lagi yang mustahil bagi kita. Dan perhatikan pula bahwa masalah yang dialami oleh para murid itu bukanlah tidak percaya sama sekali, melainkan kurang percaya alias lack of faith. Mereka ada bersama Yesus yang tengah hadir secara fisik mengambil rupa manusia. Bisa diajak bicara, bisa disentuh, bisa dilihat, tetapi tetap saja mereka kekurangan iman. Dan kalau iman sebesar biji sesawi saja sudah sanggup untuk membuat kata mustahil hilang dari perbendaharaan kita, berarti iman mereka belumlah sampai seukuran kecil sekalipun seperti sesawi. Ini menunjukkan bahwa masalah memiliki iman bukanlah hal yang mudah. Karenanya kita harus benar-benar memperhatikan aspek ini kalau mau memiliki hidup yang berkemenangan.
(bersambung)
===================
"Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu."
Anda bisa lihat pada gambar ilustrasi di atas seperti apa ukuran biji sesawi dibandingkan ukuran jari telunjuk orang dewasa. Ukuran biji sesawi yang asli diameternya paling besar cuma 1 milimeter saja. Tanaman ini mudah tumbuh di sembarang tempat sehingga di daerah panas pada masa Yesus tanaman ini mudah ditemukan.
Apa yang menarik adalah, meski ukuran bijinya teramat sangat kecil, sesawi tumbuh dengan cepat dan mendatangkan manfaat, baik sayurnya maupun minyak yang dipakai untuk kebutuhan memasak. Bicara soal tumbuh dengan cepat, anda akan kaget bila mengetahui bahwa biji sesawi yang ukuran maksimalnya cuma 1 milimeter ini ternyata bisa tumbuh mencapai 3 sampai 5 meter! Gambar ilustrasi di atas menunjukkan perbandingan antara biji dengan pohon. Luar biasa bukan? Ukuran sayurnya pun lebih besar dari sayur lainnya. Lantas mengenai kandungan nutrisi, tanaman ini mengandung begitu banyak nutrisi bermanfaat. Oleh karenanya sangatlah tepat jika Yesus mempergunakan biji ini untuk menerangkan beberapa pesan Tuhan yang penting termasuk diantaranya tentang iman.
Ayat bacaan kita hari ini menunjukkan bagaimana Yesus memakai contoh biji sesawi untuk menggambarkan besaran iman yang diperlukan untuk mendatangkan mukjizat dalam hidup kita. Matius 17:14-21 menceritakan tentang seorang anak muda yang sangat menderita akibat penyakit ayan. Berkali-kali ia terjatuh ke api maupun ke air. Murid-murid Yesus ternyata tidak mampu menyembuhkan si anak. Maka Yesus pun menegur para murid, lantas memerintahkan roh jahat untuk keluar dari anak muda dan seketika ia pun sembuh. "Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (Matius 7:20). Apa yang menyebabkan para murid gagal mengusir roh jahat menurut Yesus terletak pada kurangnya iman mereka.
Iman sebesar apa yang diperlukan? Sebesar rumah? gunung? dunia? semesta? Ternyata iman yang ukurannya sekitar 1 mm seperti biji sesawi saja sudah bisa membuat tidak ada lagi yang mustahil bagi kita. Dan perhatikan pula bahwa masalah yang dialami oleh para murid itu bukanlah tidak percaya sama sekali, melainkan kurang percaya alias lack of faith. Mereka ada bersama Yesus yang tengah hadir secara fisik mengambil rupa manusia. Bisa diajak bicara, bisa disentuh, bisa dilihat, tetapi tetap saja mereka kekurangan iman. Dan kalau iman sebesar biji sesawi saja sudah sanggup untuk membuat kata mustahil hilang dari perbendaharaan kita, berarti iman mereka belumlah sampai seukuran kecil sekalipun seperti sesawi. Ini menunjukkan bahwa masalah memiliki iman bukanlah hal yang mudah. Karenanya kita harus benar-benar memperhatikan aspek ini kalau mau memiliki hidup yang berkemenangan.
(bersambung)
Tuesday, January 19, 2016
Nuh dan Imannya (2)
(sambungan)
Karena belum pernah ada kapal sebelumnya, tentu sulit rasanya bagi siapapun untuk bisa membuat bahtera apalagi yang berukuran besar. Dibuat dari kayu yang berat, tapi harus bisa mengapung. Itu mungkin butuh ahli fisika. Luar biasanya, Nuh pada saat itu mendapat hikmat Allah, dimana Allah sendirilah yang secara langsung memberitahukan detail-detail untuk membangun sebuah kapal. Dan itu tertulis dalam kitab Kejadian. "Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dengan pakal dari luar dan dari dalam. Beginilah engkau harus membuat bahtera itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya dan tiga puluh hasta tingginya.Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas." (Kejadian 6:15-17).
Ukurannya tidak main-main. Kalau dalam satuan ukuran yang umum buat kita, bahtera itu berukuran sekitar 133 meter panjangnya, 22 meter lebarnya dan 13 meter tingginya. Saat itu rasanya belum pernah ada yang namanya hujan lebat yang begitu lama yang akan membuat seluruh bumi tenggelam. Nuh belum pernah melihat hal tersebut sebelumnya, sehingga saya yakin logikanya tidak akan mampu menggambarkan hal tersebut. Tapi sekali lagi, Nuh taat dan mengerjakan seluruhnya sesuai perintah Tuhan. Nuh percaya bahwa sesuatu yang belum pernah terjadi bukan berarti tidak akan terjadi. Dia memilih untuk patuh. "Lalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya." (ay 22). Setelah selesai, Tuhan pun berkata: "Masuklah ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, sebab engkaulah yang Kulihat benar di hadapan-Ku di antara orang zaman ini." (7:1). Dan terjadilah malapetaka besar. Hujan pun turun selama 40 hari dan 40 malam menenggelamkan segalanya. Singkat cerita, kita tahu seperti apa kemudian akhir ceritanya. Nuh selamat, keluarganya pun diselamatkan. Apakah karena Nuh orang yang selalu baik? Bukan demikian yang dicatat Alkitab. Allah menyelamatkan Nuh bukan karena Nuh orang baik, melainkan karena Nuh adalah orang benar.
Karena iman, Nuh melakukan segala sesuatu yang belum pernah atau bisa dia lihat dengan ketaatan penuh. Iman yang dimiliki Nuh membuat ia dinyatakan benar di hadapan Tuhan, dan karenanya diselamatkan. Kembali kepada kitab Ibrani yang menjadi sumber renungan dalam beberapa hari terakhir, inilah yang dijelaskan Penulisnya mengenai Nuh. "Karena iman, maka Nuh--dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan--dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran, sesuai dengan imannya." (Ibrani 11:7). Dengan kata lain, Ketaatan Nuh berasal dari imannya, dan karena imannya itulah ia diperhitungkan Tuhan sebagai orang yang benar.
Sudahkah, atau mampukah kita memiliki iman seperti Nuh? Sanggupkah kita terus memegang teguh janji Tuhan, meski mungkin saat ini kita belum melihat jawaban apapun atas permasalahan kita? Masihkah kita tetap percaya dan terus bersyukur meski gelombang kesulitan masih terus bergejolak? Masihkah kita tetap taat walaupun tantangannya tidak mudah? Apakah kita akan tetap memegang teguh iman saat berada dalam lingkungan yang mungkin bukan saja sulit tapi mungkin kejam? Nuh membuktikan bisa, dan lihatlah hasilnya. Miliki iman yang teguh, tetaplah percaya bahkan ketika anda belum melihat apa-apa. Iman akan membuat anda bisa melihat sesuatu yang belum terjadi dan membuat anda mempunyai dasar dari semua yang diharapkan. Bukankah itu kita perlukan terlebih saat kehidupan terus berlanjut menjadi semakin tidak mudah saat ini?
Dengan iman Nuh dibenarkan dan diselamatkan beserta keluarganya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Karena belum pernah ada kapal sebelumnya, tentu sulit rasanya bagi siapapun untuk bisa membuat bahtera apalagi yang berukuran besar. Dibuat dari kayu yang berat, tapi harus bisa mengapung. Itu mungkin butuh ahli fisika. Luar biasanya, Nuh pada saat itu mendapat hikmat Allah, dimana Allah sendirilah yang secara langsung memberitahukan detail-detail untuk membangun sebuah kapal. Dan itu tertulis dalam kitab Kejadian. "Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dengan pakal dari luar dan dari dalam. Beginilah engkau harus membuat bahtera itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya dan tiga puluh hasta tingginya.Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas." (Kejadian 6:15-17).
Ukurannya tidak main-main. Kalau dalam satuan ukuran yang umum buat kita, bahtera itu berukuran sekitar 133 meter panjangnya, 22 meter lebarnya dan 13 meter tingginya. Saat itu rasanya belum pernah ada yang namanya hujan lebat yang begitu lama yang akan membuat seluruh bumi tenggelam. Nuh belum pernah melihat hal tersebut sebelumnya, sehingga saya yakin logikanya tidak akan mampu menggambarkan hal tersebut. Tapi sekali lagi, Nuh taat dan mengerjakan seluruhnya sesuai perintah Tuhan. Nuh percaya bahwa sesuatu yang belum pernah terjadi bukan berarti tidak akan terjadi. Dia memilih untuk patuh. "Lalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya." (ay 22). Setelah selesai, Tuhan pun berkata: "Masuklah ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, sebab engkaulah yang Kulihat benar di hadapan-Ku di antara orang zaman ini." (7:1). Dan terjadilah malapetaka besar. Hujan pun turun selama 40 hari dan 40 malam menenggelamkan segalanya. Singkat cerita, kita tahu seperti apa kemudian akhir ceritanya. Nuh selamat, keluarganya pun diselamatkan. Apakah karena Nuh orang yang selalu baik? Bukan demikian yang dicatat Alkitab. Allah menyelamatkan Nuh bukan karena Nuh orang baik, melainkan karena Nuh adalah orang benar.
Karena iman, Nuh melakukan segala sesuatu yang belum pernah atau bisa dia lihat dengan ketaatan penuh. Iman yang dimiliki Nuh membuat ia dinyatakan benar di hadapan Tuhan, dan karenanya diselamatkan. Kembali kepada kitab Ibrani yang menjadi sumber renungan dalam beberapa hari terakhir, inilah yang dijelaskan Penulisnya mengenai Nuh. "Karena iman, maka Nuh--dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan--dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran, sesuai dengan imannya." (Ibrani 11:7). Dengan kata lain, Ketaatan Nuh berasal dari imannya, dan karena imannya itulah ia diperhitungkan Tuhan sebagai orang yang benar.
Sudahkah, atau mampukah kita memiliki iman seperti Nuh? Sanggupkah kita terus memegang teguh janji Tuhan, meski mungkin saat ini kita belum melihat jawaban apapun atas permasalahan kita? Masihkah kita tetap percaya dan terus bersyukur meski gelombang kesulitan masih terus bergejolak? Masihkah kita tetap taat walaupun tantangannya tidak mudah? Apakah kita akan tetap memegang teguh iman saat berada dalam lingkungan yang mungkin bukan saja sulit tapi mungkin kejam? Nuh membuktikan bisa, dan lihatlah hasilnya. Miliki iman yang teguh, tetaplah percaya bahkan ketika anda belum melihat apa-apa. Iman akan membuat anda bisa melihat sesuatu yang belum terjadi dan membuat anda mempunyai dasar dari semua yang diharapkan. Bukankah itu kita perlukan terlebih saat kehidupan terus berlanjut menjadi semakin tidak mudah saat ini?
Dengan iman Nuh dibenarkan dan diselamatkan beserta keluarganya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, January 18, 2016
Nuh dan Imannya (1)
Ayat bacaan: Ibrani 11:7
===================
"Karena iman, maka Nuh--dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan--dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran, sesuai dengan imannya."
Kemarin kita sudah melihat sebuah defenisi iman dalam Alkitab yang sesungguhnya memiliki manfaat sangat besar bagi perjalanan hidup kita, baik saat ini maupun yang akan datang. Kita juga sudah melihat serangkaian contoh menarik mengenai iman lewat sosok Abraham yang juga dikenal sebagai 'bapa orang beriman'. Dalam begitu banyak kesempatan Yesus berulang kali mengingatkan sepenting apa iman itu sebenarnya dan berkali-kali pula menegur murid yang kekurangan iman sehingga kurang percaya.
Penulis Ibrani memberi sebuah definisi iman dalam kalimat sederhana tetapi sesungguhnya luar biasa besar maknanya. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Dalam bahasa Inggris, dikatakan demikian: "NOW FAITH is the assurance of the things we hope for, being the proof of things we do not see and the conviction of their reality" Iman adalah jaminan atas segala sesuatu yang kita harapkan, bukti dari segala sesuatu yang tidak/belum kita lihat, dan mempunyai kepastian sebagai sesuatu yang nyata, meski tidak atau belum terlihat sekalipun. Hidup kita akan berbeda apabila kita memahami apa yang terkandung dalam iman sesuai dengan definisinya tersebut.
Setelah definisi iman tersebut, Penulis Ibrani kemudian menulis "Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat." (Ay 2-3). Berbagai kesaksian luar biasa yang dialami begitu banyak nabi dalam Perjanjian Lama semuanya oleh karena iman mereka. Dan iman lah yang membuat kita bisa mengerti bahwa alam semesta yang bisa kita lihat saat ini, semua terjadi karena firman Tuhan, yang tidak dapat kita lihat. Selain kisah Abraham ada begitu banyak lagi contoh saksi iman yang seharusnya bisa memperkuat kita dalam mengerti dan mengaplikasikan iman ini dalam kehidupan nyata. Hari ini mari kita lihat contoh lainnya yaitu mengenai Nuh.
Di usia senjanya, suatu hari Nuh mendapat tugas dari Tuhan. Bukan tugas biasa, tetapi tugas yang sungguh luar biasa aneh. Kenapa aneh? Pertama, dia diminta untuk membangun sebuah bahtera super besar, yang harus mampu memuat seluruh keluarganya beserta sepasang dari segala jenis hewan. Nuh bukanlah seorang tukang pembuat kapal. Jangankan tukang kapal, sepertinya pada masa itu hujan belum pernah turun sehingga keberadaan kapal pun mungkin belum ada. kita bisa membayangkan, bagaimana jika kita menjadi Nuh pada saat itu. Perintah untuk membangun kapal besar, di usia senjanya, padahal dia belum pernah melihat apa yang digambarkan sebagai sebuah bahtera. Lantas harus membangun bahtera dengan ukuran raksasa? Seorang kakek seperti dia, membangun sesuatu berukuran super besar? Tidakkah itu aneh?
Tentu aneh. Dan kita akan beranggapan masuk akal kalau Nuh kemudian menolak atau mengabaikan saja tugas itu. Tapi bukan demikian yang terjadi. Nuh ternyata memutuskan untuk taat melakukan perintah Tuhan tanpa membantah sedikitpun. Coba bayangkan. Seorang kakek yang kemungkinan dibantu oleh anak-anaknya, sibuk bertahun-tahun membangun sesuatu yang ganjil bentuknya. Dan kalau ada yang bertanya dan mendengar penjelasan Nuh, tentu mereka merasa lebih aneh lagi.Saya membayangkan, mungkin bertahun-tahun selama masa ia membangun ia sudah kenyang ditertawakan dan diolok-olok. Tapi Nuh tetap taat melakukan tepat seperti yang diperintahkan Tuhan.
(bersambung)
===================
"Karena iman, maka Nuh--dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan--dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran, sesuai dengan imannya."
Kemarin kita sudah melihat sebuah defenisi iman dalam Alkitab yang sesungguhnya memiliki manfaat sangat besar bagi perjalanan hidup kita, baik saat ini maupun yang akan datang. Kita juga sudah melihat serangkaian contoh menarik mengenai iman lewat sosok Abraham yang juga dikenal sebagai 'bapa orang beriman'. Dalam begitu banyak kesempatan Yesus berulang kali mengingatkan sepenting apa iman itu sebenarnya dan berkali-kali pula menegur murid yang kekurangan iman sehingga kurang percaya.
Penulis Ibrani memberi sebuah definisi iman dalam kalimat sederhana tetapi sesungguhnya luar biasa besar maknanya. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Dalam bahasa Inggris, dikatakan demikian: "NOW FAITH is the assurance of the things we hope for, being the proof of things we do not see and the conviction of their reality" Iman adalah jaminan atas segala sesuatu yang kita harapkan, bukti dari segala sesuatu yang tidak/belum kita lihat, dan mempunyai kepastian sebagai sesuatu yang nyata, meski tidak atau belum terlihat sekalipun. Hidup kita akan berbeda apabila kita memahami apa yang terkandung dalam iman sesuai dengan definisinya tersebut.
Setelah definisi iman tersebut, Penulis Ibrani kemudian menulis "Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat." (Ay 2-3). Berbagai kesaksian luar biasa yang dialami begitu banyak nabi dalam Perjanjian Lama semuanya oleh karena iman mereka. Dan iman lah yang membuat kita bisa mengerti bahwa alam semesta yang bisa kita lihat saat ini, semua terjadi karena firman Tuhan, yang tidak dapat kita lihat. Selain kisah Abraham ada begitu banyak lagi contoh saksi iman yang seharusnya bisa memperkuat kita dalam mengerti dan mengaplikasikan iman ini dalam kehidupan nyata. Hari ini mari kita lihat contoh lainnya yaitu mengenai Nuh.
Di usia senjanya, suatu hari Nuh mendapat tugas dari Tuhan. Bukan tugas biasa, tetapi tugas yang sungguh luar biasa aneh. Kenapa aneh? Pertama, dia diminta untuk membangun sebuah bahtera super besar, yang harus mampu memuat seluruh keluarganya beserta sepasang dari segala jenis hewan. Nuh bukanlah seorang tukang pembuat kapal. Jangankan tukang kapal, sepertinya pada masa itu hujan belum pernah turun sehingga keberadaan kapal pun mungkin belum ada. kita bisa membayangkan, bagaimana jika kita menjadi Nuh pada saat itu. Perintah untuk membangun kapal besar, di usia senjanya, padahal dia belum pernah melihat apa yang digambarkan sebagai sebuah bahtera. Lantas harus membangun bahtera dengan ukuran raksasa? Seorang kakek seperti dia, membangun sesuatu berukuran super besar? Tidakkah itu aneh?
Tentu aneh. Dan kita akan beranggapan masuk akal kalau Nuh kemudian menolak atau mengabaikan saja tugas itu. Tapi bukan demikian yang terjadi. Nuh ternyata memutuskan untuk taat melakukan perintah Tuhan tanpa membantah sedikitpun. Coba bayangkan. Seorang kakek yang kemungkinan dibantu oleh anak-anaknya, sibuk bertahun-tahun membangun sesuatu yang ganjil bentuknya. Dan kalau ada yang bertanya dan mendengar penjelasan Nuh, tentu mereka merasa lebih aneh lagi.Saya membayangkan, mungkin bertahun-tahun selama masa ia membangun ia sudah kenyang ditertawakan dan diolok-olok. Tapi Nuh tetap taat melakukan tepat seperti yang diperintahkan Tuhan.
(bersambung)
Sunday, January 17, 2016
What is Faith? (3)
(sambungan)
Suatu hari datanglah perintah Tuhan agar ia mengorbankan anak yang dijanjikan Tuhan sebelumnya itu sebagai korban persembahan. Jika ini kita alami, bagaimana reaksi kita? Kita mungkin akan mengamuk dan menuduh Tuhan mempermainkan kita sesuka hatinya dengan sangat kejam. Sudah dikasih, kok malah harus dibunuh? Maksud Tuhan apa sih? Kita mungkin berpikir seperti itu. Tapi Abraham tidak bersikap begitu. Penulis Ibrani menuliskan jelas alasannya. "Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu." Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali." (ay 17-19).
Abraham tahu bahwa Tuhan tidak terbatas kuasaNya, dan ia tahu persis bahwa Tuhan bukanlah sosok kejam dan bermaksud jahat. Semua itu pasti ada alasannya, dimana rancangan Tuhan itu akan selalu baik pada waktunya. Oleh karena itu ia memutuskan untuk taat. Dan kitapun tahu apa yang terjadi selanjutnya. Penulis Ibrani dengan jelas mengatakan bahwa itu "karena iman." Abraham mampu karena berpedoman pada iman yang memberi bukti akan sesuatu yang belum ia ketahui. Meski ia belum melihat langsung, ia sudah mendapat segala bukti terhadap apa yang belum ia lihat lewat imannya. Dia bisa memiliki visi yang jelas di masa depan karena ia percaya sepenuhnya kepada janji Tuhan, dan ia memiliki bukti nyata karena ia memandang dengan iman. Betapa luar biasa besar iman Abraham. Tidaklah mengherankan apabila gelar bapa orang beriman disematkan kepadanya.
Iman seringkali mudah untuk diucapkan namun sulit untuk dipraktekkan. Semua orang boleh saja mengaku sudah memiliki iman, tetapi benar tidaknya atau besar kecilnya akan terlihat jelas dari bagaimana reaksi kita dalam menghadapi situasi sulit atau bagaimana cara kita memandang masa depan yang penuh ketidakpastian. Reaksi dan pandangan kita akan menunjukkan dengan jelas sebesar apa sesungguhnya iman kita hari ini. Sebab iman adalah dasar dan bukti dari bagaimana kita memandang masa depan, yang tidak atau belum kita lihat.
Sebagai manusia kita memang terbatas kemampuannya. Tetapi jangan lupa bahwa kita punya Allah yang tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi oleh apapun. Aplikasi dan implikasi iman sesungguhnya sangatlah luas. Iman mampu menjadi dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan menjadi bukti kuat dari apapun yang belum kita lihat. Yesus berkata "Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya." (Matius 21:22). Kuncinya hanya satu: percaya. Dan percaya akan hadir lewat iman.
Jangan lupa karena iman dalam Kristus pula kita dibenarkan, sehingga kita bisa hidup tenang dalam damai sejahtera. "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah." (Roma 5:1-2). Kita memang tidak tahu apa yang bisa terjadi di depan sana. Hidup memang tidak mudah. Tetapi maukah kita percaya bahwa Tuhan akan selalu berada bersama kita dan melindungi kita? Bisakah kita memiliki visi seperti Abraham yang bisa melihat janji Tuhan dinyatakan jauh sebelum itu terjadi? Iman menjadi dasar dan bukti untuk itu. Kalau begitu, sudahkah kita memiliki kacamata iman? Bagaimana kita hidup akan sangat ditentukan oleh iman seperti apa yang ada pada kita saat ini. Your faith determines your future.
"Faith is belief in what you cannot see or prove or touch. Faith is walking face first and full speed into the dark." - Elizabeth Gilbert (penulis)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Suatu hari datanglah perintah Tuhan agar ia mengorbankan anak yang dijanjikan Tuhan sebelumnya itu sebagai korban persembahan. Jika ini kita alami, bagaimana reaksi kita? Kita mungkin akan mengamuk dan menuduh Tuhan mempermainkan kita sesuka hatinya dengan sangat kejam. Sudah dikasih, kok malah harus dibunuh? Maksud Tuhan apa sih? Kita mungkin berpikir seperti itu. Tapi Abraham tidak bersikap begitu. Penulis Ibrani menuliskan jelas alasannya. "Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu." Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali." (ay 17-19).
Abraham tahu bahwa Tuhan tidak terbatas kuasaNya, dan ia tahu persis bahwa Tuhan bukanlah sosok kejam dan bermaksud jahat. Semua itu pasti ada alasannya, dimana rancangan Tuhan itu akan selalu baik pada waktunya. Oleh karena itu ia memutuskan untuk taat. Dan kitapun tahu apa yang terjadi selanjutnya. Penulis Ibrani dengan jelas mengatakan bahwa itu "karena iman." Abraham mampu karena berpedoman pada iman yang memberi bukti akan sesuatu yang belum ia ketahui. Meski ia belum melihat langsung, ia sudah mendapat segala bukti terhadap apa yang belum ia lihat lewat imannya. Dia bisa memiliki visi yang jelas di masa depan karena ia percaya sepenuhnya kepada janji Tuhan, dan ia memiliki bukti nyata karena ia memandang dengan iman. Betapa luar biasa besar iman Abraham. Tidaklah mengherankan apabila gelar bapa orang beriman disematkan kepadanya.
Iman seringkali mudah untuk diucapkan namun sulit untuk dipraktekkan. Semua orang boleh saja mengaku sudah memiliki iman, tetapi benar tidaknya atau besar kecilnya akan terlihat jelas dari bagaimana reaksi kita dalam menghadapi situasi sulit atau bagaimana cara kita memandang masa depan yang penuh ketidakpastian. Reaksi dan pandangan kita akan menunjukkan dengan jelas sebesar apa sesungguhnya iman kita hari ini. Sebab iman adalah dasar dan bukti dari bagaimana kita memandang masa depan, yang tidak atau belum kita lihat.
Sebagai manusia kita memang terbatas kemampuannya. Tetapi jangan lupa bahwa kita punya Allah yang tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi oleh apapun. Aplikasi dan implikasi iman sesungguhnya sangatlah luas. Iman mampu menjadi dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan menjadi bukti kuat dari apapun yang belum kita lihat. Yesus berkata "Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya." (Matius 21:22). Kuncinya hanya satu: percaya. Dan percaya akan hadir lewat iman.
Jangan lupa karena iman dalam Kristus pula kita dibenarkan, sehingga kita bisa hidup tenang dalam damai sejahtera. "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah." (Roma 5:1-2). Kita memang tidak tahu apa yang bisa terjadi di depan sana. Hidup memang tidak mudah. Tetapi maukah kita percaya bahwa Tuhan akan selalu berada bersama kita dan melindungi kita? Bisakah kita memiliki visi seperti Abraham yang bisa melihat janji Tuhan dinyatakan jauh sebelum itu terjadi? Iman menjadi dasar dan bukti untuk itu. Kalau begitu, sudahkah kita memiliki kacamata iman? Bagaimana kita hidup akan sangat ditentukan oleh iman seperti apa yang ada pada kita saat ini. Your faith determines your future.
"Faith is belief in what you cannot see or prove or touch. Faith is walking face first and full speed into the dark." - Elizabeth Gilbert (penulis)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, January 16, 2016
What is Faith? (2)
(sambungan)
Abraham dikenal luas sebagai bapa orang beriman. Berlebihan? Tentu tidak, karena lewat kesaksian hidupnya ada beberapa kali kejadian yang membuktikan bagaimana hebatnya ia mempergunakan iman dalam menanti penggenapan janji Tuhan, meski situasi aktual ketika itu sama sekali tidak mendukung. Kitab Ibrani menuliskannya dengan jelas. Pertama: "Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui." (Ibrani 11:8).
Bayangkan apabila anda berada di posisi Abraham, maukah kita pergi ke sebuah tempat yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, di saat hidup sedang baik-baik saja? Meninggalkan sesuatu yang jelas, mapan menuju kepada sebuah tempat asing yang tidak jelas? Pada saat itu Abraham tentu tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Tapi lihatlah bahwa ia taat mengikuti perintah Tuhan dan berangkat sesuai dengan perintah Tuhan. Itu ia lakukan karena ia memandang dengan kacamata iman. Meski tidak ada yang pasti, dan pada saat itu ia belum mendapat penjelasan apa-apa mengenai tujuan Tuhan, kenyataannya ia tetap pergi dan berdiam di tanah asing yang dijanjikan Tuhan kepadanya. (ay 9).
Kalau iman merupakan dasar dari yang diharapkan dan bukti dari apa yang tidak atau belum kita lihat, apa yang mendasari iman Abraham tersebut? Apa visi yang ia lihat lewat imannya? Adakah Alkitab menuliskan hal itu? Ya, ada. Demikian ayatnya: "Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah." (ay 10). Abraham ternyata memiliki visi tentang masa depan, sesuatu yang belum ia lihat secara nyata, namun ia memiliki buktinya yaitu lewat iman. Orang lain mungkin tidak melihat hal tersebut, tapi Abraham mampu melihatnya dengan kacamata imannya.
Kisah di atas barulah ujian pertama iman Abraham. Selanjutnya Abraham diuji keteguhan imannya lewat janji untuk memiliki keturunan di usia yang sebenarnya sudah tidak lagi memungkinkan. Ibrani pasal 11 kembali melanjutkan cerita Abraham ini. "Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia." (ay 11). Pada saat itu Abraham dan Sara adalah pasangan usia senja yang sudah sangat tua. Kakek dan nenek diberi janji keturunan? Itu tidak masuk akal. Tetapi mereka bisa memegang janji Tuhan yang mungkin terdengar sangat aneh atau bahkan mustahil tersebut.
Kalau punya momongan saja sudah tidak masuk akal, Tuhan malah menjanjikan keturunan besar seperti bintang di langit dan pasir di laut. Bagaimana reaksi kita kalau kita jadi Abraham? Kita mungkin akan tertawa ketika memperoleh janji yang bunyinya seperti itu, tetapi Abraham menerima janji itu sebagai sebuah kebenaran dan memegangnya teguh. Yang lebih berat, pembuktian janji itu ternyata tidak langsung datang seketika. Ternyata janji itu masih membutuhkan bertahun-tahun setelahnya untuk digenapi. Dan kita tahu janji Tuhan itu pada akhirnya nyata terbukti. Abraham sudah mengetahuinya terlebih dahulu meski belum melihatnya, dan kembali itu karena kacamata iman yang ia pakai.
Ujian imannya tidak berhenti disitu tapi justru semakin berat pada saat Ishak sudah lahir.
(bersambung)
Abraham dikenal luas sebagai bapa orang beriman. Berlebihan? Tentu tidak, karena lewat kesaksian hidupnya ada beberapa kali kejadian yang membuktikan bagaimana hebatnya ia mempergunakan iman dalam menanti penggenapan janji Tuhan, meski situasi aktual ketika itu sama sekali tidak mendukung. Kitab Ibrani menuliskannya dengan jelas. Pertama: "Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui." (Ibrani 11:8).
Bayangkan apabila anda berada di posisi Abraham, maukah kita pergi ke sebuah tempat yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, di saat hidup sedang baik-baik saja? Meninggalkan sesuatu yang jelas, mapan menuju kepada sebuah tempat asing yang tidak jelas? Pada saat itu Abraham tentu tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Tapi lihatlah bahwa ia taat mengikuti perintah Tuhan dan berangkat sesuai dengan perintah Tuhan. Itu ia lakukan karena ia memandang dengan kacamata iman. Meski tidak ada yang pasti, dan pada saat itu ia belum mendapat penjelasan apa-apa mengenai tujuan Tuhan, kenyataannya ia tetap pergi dan berdiam di tanah asing yang dijanjikan Tuhan kepadanya. (ay 9).
Kalau iman merupakan dasar dari yang diharapkan dan bukti dari apa yang tidak atau belum kita lihat, apa yang mendasari iman Abraham tersebut? Apa visi yang ia lihat lewat imannya? Adakah Alkitab menuliskan hal itu? Ya, ada. Demikian ayatnya: "Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah." (ay 10). Abraham ternyata memiliki visi tentang masa depan, sesuatu yang belum ia lihat secara nyata, namun ia memiliki buktinya yaitu lewat iman. Orang lain mungkin tidak melihat hal tersebut, tapi Abraham mampu melihatnya dengan kacamata imannya.
Kisah di atas barulah ujian pertama iman Abraham. Selanjutnya Abraham diuji keteguhan imannya lewat janji untuk memiliki keturunan di usia yang sebenarnya sudah tidak lagi memungkinkan. Ibrani pasal 11 kembali melanjutkan cerita Abraham ini. "Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia." (ay 11). Pada saat itu Abraham dan Sara adalah pasangan usia senja yang sudah sangat tua. Kakek dan nenek diberi janji keturunan? Itu tidak masuk akal. Tetapi mereka bisa memegang janji Tuhan yang mungkin terdengar sangat aneh atau bahkan mustahil tersebut.
Kalau punya momongan saja sudah tidak masuk akal, Tuhan malah menjanjikan keturunan besar seperti bintang di langit dan pasir di laut. Bagaimana reaksi kita kalau kita jadi Abraham? Kita mungkin akan tertawa ketika memperoleh janji yang bunyinya seperti itu, tetapi Abraham menerima janji itu sebagai sebuah kebenaran dan memegangnya teguh. Yang lebih berat, pembuktian janji itu ternyata tidak langsung datang seketika. Ternyata janji itu masih membutuhkan bertahun-tahun setelahnya untuk digenapi. Dan kita tahu janji Tuhan itu pada akhirnya nyata terbukti. Abraham sudah mengetahuinya terlebih dahulu meski belum melihatnya, dan kembali itu karena kacamata iman yang ia pakai.
Ujian imannya tidak berhenti disitu tapi justru semakin berat pada saat Ishak sudah lahir.
(bersambung)
Friday, January 15, 2016
What is Faith? (1)
Ayat bacaan: Ibrani 11:1
====================
"Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat."
Tahun 2015 merupakan tahun yang sangat sulit buat banyak orang. Situasi politik yang panas, perekonomian dihantam badai besar, toleransi beragama menjadi makin dilupakan hanyalah secuil dari problematika negeri kita yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Badut-badut politik terang-terangan membuat aksi tak lucu yang menghina nalar kita yang paling sederhana sekalipun, oknum-oknum yang terus mempermalukan korpsnya dengan perilaku menyimpang, banyaknya usaha yang gulung tikar, tenaga kerja yang dirumahkan, kriminalitas yang terus meningkat, semua menjadi potret buram tahun yang baru saja kita lewati. Seakan semua itu belum cukup, kemarau panjang menambah derita bangsa, ditambah banyaknya bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah. Dari satu tahun ke tahun berikutnya kondisi tampaknya tidak cenderung membaik tapi malah memburuk. Tapi semua itu seharusnya tidak membuat kita patah semangat apalagi kehilangan harapan.
Seperti kebanyakan dari anda, saya dan keluarga pun merasakan betul betapa sulitnya berjalan melalui 2015. Sulit, tapi saya melewatinya dengan rasa syukur dan tidak kuatir. Pengencangan ikat pinggang, itu jelas. Secara manusiawi pikiran saya mungkin tergoda untuk takut, tapi saya tidak membiarkannya. Saya terus mengisi setiap hari dengan rasa syukur, percaya bahwa bersama Tuhan saya tidak perlu takut dan lihatlah, sampai hari ini Tuhan memang tetap menjaga saya dan keluarga. Itu nyata dan terbukti, persis seperti yang saya yakini saat melewati masa-masa yang tidak mudah itu. Masih akan ada kesulitan lagi di depan, dan saat ini pun sebenarnya kondisi belumlah terlalu signifikan membaik. Tapi saya tetap melangkah dengan sukacita. Mengapa? Karena ketimbang melihat dengan kacamata dunia atau kondisi faktual, saya memilih untuk menggunakan kacamata lain yang terbukti efektif, yaitu iman.
Kata iman tidaklah asing bagi kita. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan iman? What is faith? Jawabannya bisa kita lihat dalam kitab Ibrani. Ayat pembuka dalam pasal 11 berkata: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1).
Firman Tuhan secara jelas mengatakan bahwa iman adalah:
(1) dasar dari segala sesuatu, dari apapun yang kita harapkan dan
(2) bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat, dari yang belum kita alami.
Jadi bukan saja dasar, tapi juga bukti. Ketidaktahuan kita akan apa yang akan terjadi di depan bisa dengan mudah membuat kita khawatir atau malah takut karena ketidakmampuan kita untuk melihat atau mengetahui apa yang belum terjadi. Karena itulah kita membutuhkan kacamata iman, yang mampu bertindak sebagai dasar dari yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang belum terlihat itu. Tanpa iman hidup akan mudah diombang-ambingkan berbagai hal yang dapat membuat kita terus berada dalam kegelisahan, kebingungan hingga ketakutan. Tanpa iman kita akan ragu atau cemas menghadapi hari depan. Tapi dengan iman, yang bisa menjadi dasar dan bukti meski menghadapi yang belum terjadi sekalipun, kita bisa mendapatkan keyakinan akan hari esok. Singkatnya, dengan iman kita bisa tenang menatap hari depan dengan penuh keyakinan dan penuh sukacita.
Sangatlah menarik kalau melihat bahwa penjelasan atau definisi tentang iman ini kemudian dilanjutkan dengan kisah tentang banyak saksi iman. Mari ambil satu contoh yaitu Abraham.
(bersambung)
====================
"Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat."
Tahun 2015 merupakan tahun yang sangat sulit buat banyak orang. Situasi politik yang panas, perekonomian dihantam badai besar, toleransi beragama menjadi makin dilupakan hanyalah secuil dari problematika negeri kita yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Badut-badut politik terang-terangan membuat aksi tak lucu yang menghina nalar kita yang paling sederhana sekalipun, oknum-oknum yang terus mempermalukan korpsnya dengan perilaku menyimpang, banyaknya usaha yang gulung tikar, tenaga kerja yang dirumahkan, kriminalitas yang terus meningkat, semua menjadi potret buram tahun yang baru saja kita lewati. Seakan semua itu belum cukup, kemarau panjang menambah derita bangsa, ditambah banyaknya bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah. Dari satu tahun ke tahun berikutnya kondisi tampaknya tidak cenderung membaik tapi malah memburuk. Tapi semua itu seharusnya tidak membuat kita patah semangat apalagi kehilangan harapan.
Seperti kebanyakan dari anda, saya dan keluarga pun merasakan betul betapa sulitnya berjalan melalui 2015. Sulit, tapi saya melewatinya dengan rasa syukur dan tidak kuatir. Pengencangan ikat pinggang, itu jelas. Secara manusiawi pikiran saya mungkin tergoda untuk takut, tapi saya tidak membiarkannya. Saya terus mengisi setiap hari dengan rasa syukur, percaya bahwa bersama Tuhan saya tidak perlu takut dan lihatlah, sampai hari ini Tuhan memang tetap menjaga saya dan keluarga. Itu nyata dan terbukti, persis seperti yang saya yakini saat melewati masa-masa yang tidak mudah itu. Masih akan ada kesulitan lagi di depan, dan saat ini pun sebenarnya kondisi belumlah terlalu signifikan membaik. Tapi saya tetap melangkah dengan sukacita. Mengapa? Karena ketimbang melihat dengan kacamata dunia atau kondisi faktual, saya memilih untuk menggunakan kacamata lain yang terbukti efektif, yaitu iman.
Kata iman tidaklah asing bagi kita. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan iman? What is faith? Jawabannya bisa kita lihat dalam kitab Ibrani. Ayat pembuka dalam pasal 11 berkata: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1).
Firman Tuhan secara jelas mengatakan bahwa iman adalah:
(1) dasar dari segala sesuatu, dari apapun yang kita harapkan dan
(2) bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat, dari yang belum kita alami.
Jadi bukan saja dasar, tapi juga bukti. Ketidaktahuan kita akan apa yang akan terjadi di depan bisa dengan mudah membuat kita khawatir atau malah takut karena ketidakmampuan kita untuk melihat atau mengetahui apa yang belum terjadi. Karena itulah kita membutuhkan kacamata iman, yang mampu bertindak sebagai dasar dari yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang belum terlihat itu. Tanpa iman hidup akan mudah diombang-ambingkan berbagai hal yang dapat membuat kita terus berada dalam kegelisahan, kebingungan hingga ketakutan. Tanpa iman kita akan ragu atau cemas menghadapi hari depan. Tapi dengan iman, yang bisa menjadi dasar dan bukti meski menghadapi yang belum terjadi sekalipun, kita bisa mendapatkan keyakinan akan hari esok. Singkatnya, dengan iman kita bisa tenang menatap hari depan dengan penuh keyakinan dan penuh sukacita.
Sangatlah menarik kalau melihat bahwa penjelasan atau definisi tentang iman ini kemudian dilanjutkan dengan kisah tentang banyak saksi iman. Mari ambil satu contoh yaitu Abraham.
(bersambung)
Thursday, January 14, 2016
Sumber Daya bagi Iman (2)
(sambungan)
Yang Paulus jelaskan sesungguhnya tidaklah sulit untuk dicerna. Apa yang memiliki arti, yang penting, bukanlah berbagai tata cara, ritual dan sejenisnya, melainkan kasih. Kata "iman yang bekerja oleh kasih" dalam versi bahasa Inggris amplified-nya dijabarkan dengan "...faith activated and energized and expressed and working through love." Iman diaktivasi, diberi tenaga dan diekspresikan lewat kasih. Jadi setelah benih-benih Firman Tuhan mulai menghasilkan tunas dan buah, kita harus memiliki sebuah sumber daya yang bisa menggerakkan iman agar tetap bekerja dalam hidup kita. Dan sumber daya itu ialah kasih.
Apa yang terjadi jika tidak ada kasih dalam diri kita? Tanpa kasih iman akan segera kehilangan motor yang mengaktivasi atau menjalankannya. Iman tidak lagi memiliki aliran energi yang bisa membuatnya hidup atau menyala. Lalu lihat pula bagaimana efeknya dalam hidup kita. Jika kita hidup tanpa kasih, tidak perlu waktu lama untuk kita kemudian mengalami degradasi moral dan spiritual. Kita akan mudah membenci, dendam, iri kepada orang lain. Kita akan menjadi orang yang tidak punya empati dan akan tega mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri. Dan ini akan menjadi pintu masuk bagi begitu banyak perbuatan jahat lainnya, seperti yang dikatakan dalam Yakobus 3:16 "Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Bayangkan apabila hidup kita menjadi sebuah tempat bermain yang mengasyikkan bagi iblis untuk memasukkan segala hasutan jahatnya. Menghancurkan kita dan menghancurkan orang lain. Menghancurkan peradaban dan menghancurkan kesempatan kita untuk menerima keselamatan yang kekal. Lihatlah betapa berbahayanya hidup tanpa didasari kasih.
Perhatikanlah bahwa kasih termasuk salah satu buah Roh (Galatia 5:22) dan segala keinginan daging akan selalu berlawanan dengan keinginan Roh. (ay 17). Artinya ketika kita hidup tanpa kasih dan memilih untuk memuaskan keinginan-keinginan daging, maka iman tidak akan ada lagi bekerja di dalam hidup kita. Jika itu yang terjadi maka kita akan terus dikuasai oleh hal-hal yang merugikan bahkan mematikan. "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut" (ay 14).
Sebuah kesimpulan akan pentingnya kasih disampaikan pula oleh Petrus. Katanya: "kasih bisa menutupi banyak sekali dosa" (1 Petrus 4:8). Kalau begitu kasih merupakan sumber daya iman yang akan menghindarkan kita dari banyak sekali dosa, sehingga dengan demikian kita terhindar dari maut dan tetap bisa berjalan menuju keselamatan yang telah dianugerahkan Tuhan lewat Kristus.
Ini saatnya bagi kita untuk memeriksa apakah kita mendengar dan membaca Firman Tuhan secara teratur hingga iman sudah timbul dalam diri kita, apakah kita sudah menerapkannya dalam kehidupan kita, lalu memastikan apakah kabel kasih masih terpasang dalam diri kita agar bisa mengalirkan sumber daya bagi iman tersebut untuk terus hidup, bertumbuh dan bekerja. Kasih merupakan esensi dari seluruh Firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, kasih merupakan dasar Kekristenan. Oleh karenanya jauhi hidup tanpa kasih agar iman yang ada pada kita bisa hidup dan bekerja dengan baik.
Kita tidak akan bisa berharap hidup dengan iman tanpa memiliki kasih
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Yang Paulus jelaskan sesungguhnya tidaklah sulit untuk dicerna. Apa yang memiliki arti, yang penting, bukanlah berbagai tata cara, ritual dan sejenisnya, melainkan kasih. Kata "iman yang bekerja oleh kasih" dalam versi bahasa Inggris amplified-nya dijabarkan dengan "...faith activated and energized and expressed and working through love." Iman diaktivasi, diberi tenaga dan diekspresikan lewat kasih. Jadi setelah benih-benih Firman Tuhan mulai menghasilkan tunas dan buah, kita harus memiliki sebuah sumber daya yang bisa menggerakkan iman agar tetap bekerja dalam hidup kita. Dan sumber daya itu ialah kasih.
Apa yang terjadi jika tidak ada kasih dalam diri kita? Tanpa kasih iman akan segera kehilangan motor yang mengaktivasi atau menjalankannya. Iman tidak lagi memiliki aliran energi yang bisa membuatnya hidup atau menyala. Lalu lihat pula bagaimana efeknya dalam hidup kita. Jika kita hidup tanpa kasih, tidak perlu waktu lama untuk kita kemudian mengalami degradasi moral dan spiritual. Kita akan mudah membenci, dendam, iri kepada orang lain. Kita akan menjadi orang yang tidak punya empati dan akan tega mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri. Dan ini akan menjadi pintu masuk bagi begitu banyak perbuatan jahat lainnya, seperti yang dikatakan dalam Yakobus 3:16 "Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Bayangkan apabila hidup kita menjadi sebuah tempat bermain yang mengasyikkan bagi iblis untuk memasukkan segala hasutan jahatnya. Menghancurkan kita dan menghancurkan orang lain. Menghancurkan peradaban dan menghancurkan kesempatan kita untuk menerima keselamatan yang kekal. Lihatlah betapa berbahayanya hidup tanpa didasari kasih.
Perhatikanlah bahwa kasih termasuk salah satu buah Roh (Galatia 5:22) dan segala keinginan daging akan selalu berlawanan dengan keinginan Roh. (ay 17). Artinya ketika kita hidup tanpa kasih dan memilih untuk memuaskan keinginan-keinginan daging, maka iman tidak akan ada lagi bekerja di dalam hidup kita. Jika itu yang terjadi maka kita akan terus dikuasai oleh hal-hal yang merugikan bahkan mematikan. "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut" (ay 14).
Sebuah kesimpulan akan pentingnya kasih disampaikan pula oleh Petrus. Katanya: "kasih bisa menutupi banyak sekali dosa" (1 Petrus 4:8). Kalau begitu kasih merupakan sumber daya iman yang akan menghindarkan kita dari banyak sekali dosa, sehingga dengan demikian kita terhindar dari maut dan tetap bisa berjalan menuju keselamatan yang telah dianugerahkan Tuhan lewat Kristus.
Ini saatnya bagi kita untuk memeriksa apakah kita mendengar dan membaca Firman Tuhan secara teratur hingga iman sudah timbul dalam diri kita, apakah kita sudah menerapkannya dalam kehidupan kita, lalu memastikan apakah kabel kasih masih terpasang dalam diri kita agar bisa mengalirkan sumber daya bagi iman tersebut untuk terus hidup, bertumbuh dan bekerja. Kasih merupakan esensi dari seluruh Firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, kasih merupakan dasar Kekristenan. Oleh karenanya jauhi hidup tanpa kasih agar iman yang ada pada kita bisa hidup dan bekerja dengan baik.
Kita tidak akan bisa berharap hidup dengan iman tanpa memiliki kasih
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, January 13, 2016
Sumber Daya bagi Iman (1)
Ayat bacaan: Galatia 5:6
===================
"Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih." (Galatia 5:6)
Dalam renungan terdahulu saya sudah menyampaikan dari mana iman sebenarnya timbul. Iman dikatakan "timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Iman yang memungkinkan kita hidup tanpa rasa gentar, kuatir, cemas dan sebagainya, iman yang membuat kita tidak mudah kehilangan pengharapan tak peduli sebesar apa badai menerpa, iman mampu melemparkannya jauh-jauh bak melemparkan gunung ke laut. Iman akan membawa kita untuk dibenarkan dan diselamatkan. Bayangkan apa jadinya kita tanpa iman. Dan kabar baiknya, itu bisa kita peroleh dengan mendengar, membaca firman Tuhan. Merenungkannya, memperkatakannya, dan melakukannya. Membuat iman itu tertanam, berakar dan tumbuh subur dalam perjalanan kehidupan kita.
Pertanyaannya sekarang, kalau kita sudah tahu dari mana iman itu timbul, adakah sesuatu yang menjadi 'sumber daya' yang bisa menggerakkan iman agar tetap menyala dalam diri kita sehingga kita bisa terus mengaplikasikan iman tersebut secara nyata dalam hidup secara berkesinambungan? How to make our faith stay alive and working? Is there any such thing? Yes, there is.
Hari ini mari kita lihat Galatia pasal 5. "Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih." (Galatia 5:6). Faith is activated and energized, and expressed and working, through love. Kasih ternyata merupakan sumber daya yang mengaktivasi, memberi tenaga, mengekspresikan dan membuat iman menjadi aktif bekerja. Kasih, itulah yang menjadi sumber daya iman.
Saya akan beri sebuah ilustrasi sederhana. Tidak satupun dari kita yang keberatan bahwa kehidupan mayoritas manusia termasuk kita saat ini begitu tergantung dari listrik. Hampir semua peralatan di rumah kita memerlukan sumber energi listrik agar bisa menyala dan berfungsi. Di dapur, di kamar, di ruang kerja, bahkan di kamar mandi. Coba lihat, begitu listrik padam, maka kita pun langsung bingung karena hampir seluruh kegiatan kita menjadi tidak lagi bisa dilakukan. Semakin besar rumah, semakin banyak peralatan yang menggunakan listrik. Dan yang sering terjadi adalah banyak rumah yang perlu lebih banyak lagi daya supaya listriknya tidak bolak balik ngejepret. Rumah butuh lebih dan lebih banyak lagi colokan listrik, kita selalu mencari cafe atau tempat hangout yang menyediakan colokan supaya kita bisa betah berlama-lama disana. Semua ini menunjukkan bahwa kita sangatlah tergantung pada sumber energi listrik agar bisa beraktivitas.
Seperti itu pula iman kita. Dari ayat di atas kita harus menyadari bahwa ada sesuatu yang terus menggerakkan iman untuk bekerja. Dalam surat Galatia Paulus banyak mengingatkan jemaat tentang apa yang penting atau punya makna menyangkut keselamatan. Ia menyinggung tentang banyaknya orang yang lebih bergantung kepada prosesi, tata cara atau ritual-ritual lengkap dengan perulangannya. Banyak yang kemudian melenceng dari kebenaran dengan menganggap itu lebih penting dalam mendatangkan keselamatan. Paulus pun memperbaiki pemikiran seperti itu.
(bersambung)
===================
"Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih." (Galatia 5:6)
Dalam renungan terdahulu saya sudah menyampaikan dari mana iman sebenarnya timbul. Iman dikatakan "timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Iman yang memungkinkan kita hidup tanpa rasa gentar, kuatir, cemas dan sebagainya, iman yang membuat kita tidak mudah kehilangan pengharapan tak peduli sebesar apa badai menerpa, iman mampu melemparkannya jauh-jauh bak melemparkan gunung ke laut. Iman akan membawa kita untuk dibenarkan dan diselamatkan. Bayangkan apa jadinya kita tanpa iman. Dan kabar baiknya, itu bisa kita peroleh dengan mendengar, membaca firman Tuhan. Merenungkannya, memperkatakannya, dan melakukannya. Membuat iman itu tertanam, berakar dan tumbuh subur dalam perjalanan kehidupan kita.
Pertanyaannya sekarang, kalau kita sudah tahu dari mana iman itu timbul, adakah sesuatu yang menjadi 'sumber daya' yang bisa menggerakkan iman agar tetap menyala dalam diri kita sehingga kita bisa terus mengaplikasikan iman tersebut secara nyata dalam hidup secara berkesinambungan? How to make our faith stay alive and working? Is there any such thing? Yes, there is.
Hari ini mari kita lihat Galatia pasal 5. "Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih." (Galatia 5:6). Faith is activated and energized, and expressed and working, through love. Kasih ternyata merupakan sumber daya yang mengaktivasi, memberi tenaga, mengekspresikan dan membuat iman menjadi aktif bekerja. Kasih, itulah yang menjadi sumber daya iman.
Saya akan beri sebuah ilustrasi sederhana. Tidak satupun dari kita yang keberatan bahwa kehidupan mayoritas manusia termasuk kita saat ini begitu tergantung dari listrik. Hampir semua peralatan di rumah kita memerlukan sumber energi listrik agar bisa menyala dan berfungsi. Di dapur, di kamar, di ruang kerja, bahkan di kamar mandi. Coba lihat, begitu listrik padam, maka kita pun langsung bingung karena hampir seluruh kegiatan kita menjadi tidak lagi bisa dilakukan. Semakin besar rumah, semakin banyak peralatan yang menggunakan listrik. Dan yang sering terjadi adalah banyak rumah yang perlu lebih banyak lagi daya supaya listriknya tidak bolak balik ngejepret. Rumah butuh lebih dan lebih banyak lagi colokan listrik, kita selalu mencari cafe atau tempat hangout yang menyediakan colokan supaya kita bisa betah berlama-lama disana. Semua ini menunjukkan bahwa kita sangatlah tergantung pada sumber energi listrik agar bisa beraktivitas.
Seperti itu pula iman kita. Dari ayat di atas kita harus menyadari bahwa ada sesuatu yang terus menggerakkan iman untuk bekerja. Dalam surat Galatia Paulus banyak mengingatkan jemaat tentang apa yang penting atau punya makna menyangkut keselamatan. Ia menyinggung tentang banyaknya orang yang lebih bergantung kepada prosesi, tata cara atau ritual-ritual lengkap dengan perulangannya. Banyak yang kemudian melenceng dari kebenaran dengan menganggap itu lebih penting dalam mendatangkan keselamatan. Paulus pun memperbaiki pemikiran seperti itu.
(bersambung)
Tuesday, January 12, 2016
Jeruk dan Iman
Ayat bacaan: Roma 10:17
==============
"Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus."
Kesibukan yang meningkat beberapa waktu terakhir ini membuat stamina saya sepertinya terkuras habis. Bukan hanya merasa lelah, tapi tubuh pun mulai terasa kurang enak. Teman saya menyarankan agar saya secepatnya mengkonsumsi vitamin C supaya saya tidak sampai jatuh sakit. Vitamin C memang bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan daya tahan tubuh maupun stamina. Dari mana kita mendapatkan vitamin C? Pikiran saya langsung menuju kepada buah-buahan, terutama jeruk yang kaya akan vitamin ini. Yang bikin asyik, bukan saja jeruk punya manfaat yang sangat baik buat kesehatan, tapi jeruk pun enak rasanya. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan akan vitamin sebenarnya tidaklah sulit, bahkan menyenangkan.
Ketika berpikir akan jeruk, saya melihat sebuah hubungan paralel dengan iman. Jika anda membaca kitab Roma pasal 10, anda akan menemukan sebuah ayat yang menunjukkan dari mana sebenarnya iman itu timbul. "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Paulus menunjukkan bahwa seperti halnya kebutuhan kita akan vitamin C dari jeruk, iman yang justru jauh lebih kita butuhkan tidaklah sulit untuk kita dapatkan. Dari mana? Dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus. Faith comes by hearing and what is heard comes by the preaching of Christ.
Ada beberapa hal yang penting untuk kita lihat mengenai iman. Pertaa, iman bukanlah sesuatu yang otomatis ada, melainkan timbul dan bertumbuh lewat pendengaran akan firman Kristus. Ini tentu saja bukan berarti kita cukup hanya satu kali mendengar, tetapi harus menjadi sebuah proses berkesinambungan, kontinu, terus menerus.
Ayat selanjutnya kemudian berkata sebagai berikut: "Tetapi aku bertanya: Adakah mereka tidak mendengarnya? Memang mereka telah mendengarnya: "Suara mereka sampai ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi." Tetapi aku bertanya: Adakah Israel menanggapnya?" (ay 18-19a). Ayat ini dengan jelas mengingatkan bahwa meski iman timbul dari pendengaran akan Firman Tuhan, kita jangan sampai berpuas diri dan berhenti pada mendengar saja, tetapi juga harus menanggapinya dengan menerapkan firman Tuhan itu dalam setiap sisi kehidupan kita. Practice the faith and do something in your every day life based on faith. Itu akan membuat iman tertanam kuat dan bertumbuh dalam diri kita.
Masih dari pasal yang sama, Paulus mengatakan demikian: "Tetapi apakah katanya? Ini: "Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." Itulah firman iman, yang kami beritakan. Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (ay 8-10). Perhatikan bahwa Firman itu dekat, sedekat dalam mulut dan hati. Percaya dalam hati, sesuai Firman yang didengar dan dibaca, maka kita orang percaya akan dibenarkan. Dan Firman yang diperkatakan dengan mulut akan membuat kita diselamatkan.
Dalam Ibrani tertulis bahwa "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Lihatlah bahwa iman sangatlah penting bagi kita. Tanpa iman kita akan sulit untuk menjalani hidup dengan tenang, tanpa rasa kuatir, takut dan tanpa harus kehilangan sukacita. Meski apa yang kita hadapi masih kurang baik saat ini, iman akan memampukan kita untuk melihat jauh ke depan, tidak kehilangan pengharapan. Iman akan membuat kita bisa memegang teguh janji Tuhan meski kita belum melihatnya saat ini. Iman sebesar biji sesawi sekalipun bahkan dikatakan Yesus sanggup memindahkan gunung. Kalau iman begitu penting, maka kita perlu tahu bagaimana kita bisa memperolehnya, dan Paulus lewat ayat bacaan hari ini sudah memberitahukan caranya.
Anda tahu bahwa anda bisa mendapatkan vitamin C lewat buah jeruk bukan? Anda tentu tidak usah pusing untuk memilah mana yang air, daging dan sebagainya dari buah jeruk. Anda cukup tahu di dalam jeruk ada kandungan vitamin C yang besar, dan itu bisa anda peroleh cukup dengan mengkonsumsinya saja. Mau dimakan langsung, mau diperas, di jus, silahkan saja. Iman pun seperti itu. Iman akan timbul dari pendengaran, dan pendengaran akan firman Kristus. Faith comes by hearing and what is heard comes by the preaching of Christ. Semakin banyak anda dengar, maka iman anda akan semakin bertumbuh. Roh Kudus kemudian akan memindahkan firman (logos) yang anda baca dan dengar itu ke dalam hati menjadi rhema.
Terus baca, dengar, kemudian percaya, perkatakan dan terapkan dalam hidup sehari-hari. Jika anda melakukannya, anda akan melihat bahwa setiap rhema yang anda dapat dari Roh Kudus lewat logos yang terus anda dengar dan baca akan membuat anda punya lebih dari cukup amunisi untuk menjalani kehidupan yang tidak mudah, bahkan punya kekuatan merubah hidup anda secara luar biasa.
Miliki iman dan alami pertumbuhannya lewat pendengaran akan firman Kristus
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==============
"Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus."
Kesibukan yang meningkat beberapa waktu terakhir ini membuat stamina saya sepertinya terkuras habis. Bukan hanya merasa lelah, tapi tubuh pun mulai terasa kurang enak. Teman saya menyarankan agar saya secepatnya mengkonsumsi vitamin C supaya saya tidak sampai jatuh sakit. Vitamin C memang bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan daya tahan tubuh maupun stamina. Dari mana kita mendapatkan vitamin C? Pikiran saya langsung menuju kepada buah-buahan, terutama jeruk yang kaya akan vitamin ini. Yang bikin asyik, bukan saja jeruk punya manfaat yang sangat baik buat kesehatan, tapi jeruk pun enak rasanya. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan akan vitamin sebenarnya tidaklah sulit, bahkan menyenangkan.
Ketika berpikir akan jeruk, saya melihat sebuah hubungan paralel dengan iman. Jika anda membaca kitab Roma pasal 10, anda akan menemukan sebuah ayat yang menunjukkan dari mana sebenarnya iman itu timbul. "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Paulus menunjukkan bahwa seperti halnya kebutuhan kita akan vitamin C dari jeruk, iman yang justru jauh lebih kita butuhkan tidaklah sulit untuk kita dapatkan. Dari mana? Dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus. Faith comes by hearing and what is heard comes by the preaching of Christ.
Ada beberapa hal yang penting untuk kita lihat mengenai iman. Pertaa, iman bukanlah sesuatu yang otomatis ada, melainkan timbul dan bertumbuh lewat pendengaran akan firman Kristus. Ini tentu saja bukan berarti kita cukup hanya satu kali mendengar, tetapi harus menjadi sebuah proses berkesinambungan, kontinu, terus menerus.
Ayat selanjutnya kemudian berkata sebagai berikut: "Tetapi aku bertanya: Adakah mereka tidak mendengarnya? Memang mereka telah mendengarnya: "Suara mereka sampai ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi." Tetapi aku bertanya: Adakah Israel menanggapnya?" (ay 18-19a). Ayat ini dengan jelas mengingatkan bahwa meski iman timbul dari pendengaran akan Firman Tuhan, kita jangan sampai berpuas diri dan berhenti pada mendengar saja, tetapi juga harus menanggapinya dengan menerapkan firman Tuhan itu dalam setiap sisi kehidupan kita. Practice the faith and do something in your every day life based on faith. Itu akan membuat iman tertanam kuat dan bertumbuh dalam diri kita.
Masih dari pasal yang sama, Paulus mengatakan demikian: "Tetapi apakah katanya? Ini: "Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." Itulah firman iman, yang kami beritakan. Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (ay 8-10). Perhatikan bahwa Firman itu dekat, sedekat dalam mulut dan hati. Percaya dalam hati, sesuai Firman yang didengar dan dibaca, maka kita orang percaya akan dibenarkan. Dan Firman yang diperkatakan dengan mulut akan membuat kita diselamatkan.
Dalam Ibrani tertulis bahwa "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Lihatlah bahwa iman sangatlah penting bagi kita. Tanpa iman kita akan sulit untuk menjalani hidup dengan tenang, tanpa rasa kuatir, takut dan tanpa harus kehilangan sukacita. Meski apa yang kita hadapi masih kurang baik saat ini, iman akan memampukan kita untuk melihat jauh ke depan, tidak kehilangan pengharapan. Iman akan membuat kita bisa memegang teguh janji Tuhan meski kita belum melihatnya saat ini. Iman sebesar biji sesawi sekalipun bahkan dikatakan Yesus sanggup memindahkan gunung. Kalau iman begitu penting, maka kita perlu tahu bagaimana kita bisa memperolehnya, dan Paulus lewat ayat bacaan hari ini sudah memberitahukan caranya.
Anda tahu bahwa anda bisa mendapatkan vitamin C lewat buah jeruk bukan? Anda tentu tidak usah pusing untuk memilah mana yang air, daging dan sebagainya dari buah jeruk. Anda cukup tahu di dalam jeruk ada kandungan vitamin C yang besar, dan itu bisa anda peroleh cukup dengan mengkonsumsinya saja. Mau dimakan langsung, mau diperas, di jus, silahkan saja. Iman pun seperti itu. Iman akan timbul dari pendengaran, dan pendengaran akan firman Kristus. Faith comes by hearing and what is heard comes by the preaching of Christ. Semakin banyak anda dengar, maka iman anda akan semakin bertumbuh. Roh Kudus kemudian akan memindahkan firman (logos) yang anda baca dan dengar itu ke dalam hati menjadi rhema.
Terus baca, dengar, kemudian percaya, perkatakan dan terapkan dalam hidup sehari-hari. Jika anda melakukannya, anda akan melihat bahwa setiap rhema yang anda dapat dari Roh Kudus lewat logos yang terus anda dengar dan baca akan membuat anda punya lebih dari cukup amunisi untuk menjalani kehidupan yang tidak mudah, bahkan punya kekuatan merubah hidup anda secara luar biasa.
Miliki iman dan alami pertumbuhannya lewat pendengaran akan firman Kristus
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, January 11, 2016
Awal Pemulihan Ketaatan
Ayat bacaan: Lukas 5:5
==================
"Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga."
Dogs are man's best friend, demikian kata pepatah. Kenapa? Karena anjing setia sampai mati. Selain itu anjing juga bisa diajar berbagai hal, dan mereka bisa sangat disiplin dan patuh kalau dididik dengan baik. Anjing yang terlatih bisa mengekang keinginan-keinginan termasuk yang secara naluriah seperti saat berhadapan dengan anjing lain, kucing atau hewan lain.
Pertanyaannya, kalau anjing yang tidak berakal budi bisa, mengapa sebagai manusia kita sulit sekali untuk taat? Kalau dihadapkan pada posisi harus tetap taat atau menikmati keinginan daging, kebanyakan orang akan segera memilih kesenangan tanpa pikir panjang, meski tahu bahaya yang mengancam disana. Atau, mungkin mudah bagi kita untuk taat ketika kita sedang baik-baik saja, tetapi lihatlah betapa mudahnya kita menyimpang ketika sedang berhadapan dengan situasi yang pelik. Ada banyak orang yang tergiur untuk mengambil jalan pintas ketika berada dalam keadaan tertekan meski mereka tahu bahwa alternatif-alternatif tersebut mengarah pada kejahatan di mata Tuhan.Dalam kehidupan kita tidak akan pernah selamanya berada dalam keadaan tenang. Ada waktu dimana kita mengalami kesulitan, dan disanalah sebenarnya iman kita akan diuji. Mampukah kita terus taat, tetap bersabar dan mempercayakan sepenuhnya kepada Tuhan, atau kita justru semakin tersesat akibat ketidaksabaran kita dalam menghadapi masalah? Kita sering melihat orang-orang yang terdesak secara ekonomi akhirnya mencuri atau korupsi, atau orang yang dengan santai pergi menemui dukun atau paranormal ketika kehilangan sesuatu.
Untuk itu mari kita lihat sepenggal kisah yang dialami Simon Petrus ketika masih berprofesi sebagai seorang nelayan. Siapa Simon Petrus sebelum mengikut Yesus sebagai murid? Simon jelas adalah nelayan ulung, yang sudah hidup dengan menangkap ikan sejak lama. Tetapi pada suatu hari Simon mengalami kesulitan. Sepanjang malam ia berusaha membentangkan jalanya di laut tapi anehnya ia tidak mendapatkan apa-apa. Sebagai nelayan ulung tentu ia tahu persis kapan waktu yang terbaik untuk menangkap ikan, yaitu di malam hari. Aneh rasanya jika ada nelayan yang pergi melaut di pagi atau siang hari. Di pagi itu para nelayan baru saja turun dari perahu mereka dan sedang mencuci jala mereka dengan tangkapan nihil.
Simon kemudian mengutarakan kesulitannya kepada Yesus. Lalu dengarlah apa kata Yesus berikut. "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." (Lukas 5:4). Apa yang dikatakan Yesus tentu aneh bagi seorang nelayan yang tahu persis bahwa pagi hari itu bukanlah waktu yang ideal untuk menjala ikan. Tapi sungguh menarik melihat apa jawaban Simon. "Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." (ay 5). Dalam bahasa sehari-hari Simon kira-kira menjawab begini: "malam saja kami mencoba dengan keras kami tidak menangkap apapun, apalagi pagi.. tapi jika Engkau yang menyuruh, aku akan patuh." Dan itulah yang dilakukan Simon. Ia memilih untuk taat sepenuhnya, tanpa banyak tanya, tanpa berbantah-bantah dan bertolak kembali ke tengah dan menebarkan jalanya. Kita tahu apa yang terjadi kemudian. "Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak." (ay 6). Begitu banyak yang ia dapatkan sehingga ia masih bisa membagi-bagikan hasil tangkapannya kepada teman-temannya. Akankah Petrus bisa memperoleh ikan sebegitu banyak hingga jalanya terkoyak jika ia tidak taat? Tentu ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Tapi pilihan yang dia ambil adalah untuk percaya dan taat sepenuhnya tanpa banyak tanya sehingga ia pun menuai berkat Tuhan.
Dari kisah ini kita melihat bahwa ketaatan bukan saja membuka pintu berkat tetapi juga merupakan sebuah kunci dari terjadinya pemulihan. Yesus tentu bisa memberikan langsung ikan langsung pada saat itu juga, tapi ternyata Yesus ingin melihat terlebih dahulu sampai sejauh mana ketaatan dari seorang nelayan kawakan bernama Simon Petrus. Dan ketaatannya itulah yang akhirnya mendatangkan mukjizat baginya. Contoh sebaliknya, jika menilik perjalanan bangsa Israel pada Perjanjian Lama, maka kita akan melihat bahwa ketidaktaatan bangsa ini kemudian justru membuat mereka harus mengalami banyak kesulitan. Mereka harus mengalami masa penjajahan tidak kurang dari 430 tahun, dan harus pula melewati masa padang gurun selama 40 tahun lamanya. Ini semua harus mereka alami akibat ketidaktaatan mereka. Sedikit saja mengalami kendala, mereka akan segera bersungut-sungut, mengeluarkan sindiran dan ejekan, mengeluh, mengomel bahkan sempat berkata ingin kembali lagi ke Mesir. "dan mereka berkata kepada Musa: "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:11-12). Inilah bentuk ketidaktaatan dari bangsa Israel yang masih sering pula kita lakukan hingga saat ini.
Ketaatan sungguh penting dan merupakan kunci penting untuk terjadinya pemulihan dalam hidup kita. Dalam keadaan seperti apapun kita tetap dituntut untuk taat dan setia sepenuhnya kepaa Tuhan. Dia mampu melepaskan kita pada waktunya dan selalu sanggup melakukan hal-hal yang mustahil sekalipun, seperti halnya yang terjadi pada Petrus. Tetapi ingatlah bahwa dari sisi kita dituntut sebuah bentuk ketaatan yang sepenuhnya. Ketaatan dianggap Tuhan sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah. "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah." (Efesus 5:2).
Bentuk ketaatan penuh bisa kita teladani dari sosok Yesus sendiri. "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Inilah bentuk keteladanan dari Yesus yang hendaknya bisa kita jadikan sebuah cerminan seperti apa sebenarnya bentuk ketaatan kepada Tuhan yang tanpa syarat itu. Ketaatan Yesus kepada kehendak Tuhan hingga akhir membuat kita semua diselamatkan. Dan karenanya sudah sepantasnya jika kita pun harus taat penuh kepadaNya agar kita semua dilayakkan untuk memperoleh keselamatan kekal tepat seperti yang dijanjikan Tuhan. "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya." (Ibrani 5:9-10). Ada waktu-waktu dimana kita diijinkan Tuhan untuk mengalami ujian. Janganlah itu membuat kita patah semangat. Jangan menyerah, jangan putus pengharapan, tapi jadikanlah itu sebagai sebuah momentum untuk membuktikan iman kita. Tetaplah taat, percayalah sepenuhnya, maka pada saatnya apapun yang kita alami saat ini akan dipulihkan Tuhan dengan luar biasa.
Jadikan ketaatan sebagai kunci dari proses pemulihan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
==================
"Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga."
Dogs are man's best friend, demikian kata pepatah. Kenapa? Karena anjing setia sampai mati. Selain itu anjing juga bisa diajar berbagai hal, dan mereka bisa sangat disiplin dan patuh kalau dididik dengan baik. Anjing yang terlatih bisa mengekang keinginan-keinginan termasuk yang secara naluriah seperti saat berhadapan dengan anjing lain, kucing atau hewan lain.
Pertanyaannya, kalau anjing yang tidak berakal budi bisa, mengapa sebagai manusia kita sulit sekali untuk taat? Kalau dihadapkan pada posisi harus tetap taat atau menikmati keinginan daging, kebanyakan orang akan segera memilih kesenangan tanpa pikir panjang, meski tahu bahaya yang mengancam disana. Atau, mungkin mudah bagi kita untuk taat ketika kita sedang baik-baik saja, tetapi lihatlah betapa mudahnya kita menyimpang ketika sedang berhadapan dengan situasi yang pelik. Ada banyak orang yang tergiur untuk mengambil jalan pintas ketika berada dalam keadaan tertekan meski mereka tahu bahwa alternatif-alternatif tersebut mengarah pada kejahatan di mata Tuhan.Dalam kehidupan kita tidak akan pernah selamanya berada dalam keadaan tenang. Ada waktu dimana kita mengalami kesulitan, dan disanalah sebenarnya iman kita akan diuji. Mampukah kita terus taat, tetap bersabar dan mempercayakan sepenuhnya kepada Tuhan, atau kita justru semakin tersesat akibat ketidaksabaran kita dalam menghadapi masalah? Kita sering melihat orang-orang yang terdesak secara ekonomi akhirnya mencuri atau korupsi, atau orang yang dengan santai pergi menemui dukun atau paranormal ketika kehilangan sesuatu.
Untuk itu mari kita lihat sepenggal kisah yang dialami Simon Petrus ketika masih berprofesi sebagai seorang nelayan. Siapa Simon Petrus sebelum mengikut Yesus sebagai murid? Simon jelas adalah nelayan ulung, yang sudah hidup dengan menangkap ikan sejak lama. Tetapi pada suatu hari Simon mengalami kesulitan. Sepanjang malam ia berusaha membentangkan jalanya di laut tapi anehnya ia tidak mendapatkan apa-apa. Sebagai nelayan ulung tentu ia tahu persis kapan waktu yang terbaik untuk menangkap ikan, yaitu di malam hari. Aneh rasanya jika ada nelayan yang pergi melaut di pagi atau siang hari. Di pagi itu para nelayan baru saja turun dari perahu mereka dan sedang mencuci jala mereka dengan tangkapan nihil.
Simon kemudian mengutarakan kesulitannya kepada Yesus. Lalu dengarlah apa kata Yesus berikut. "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." (Lukas 5:4). Apa yang dikatakan Yesus tentu aneh bagi seorang nelayan yang tahu persis bahwa pagi hari itu bukanlah waktu yang ideal untuk menjala ikan. Tapi sungguh menarik melihat apa jawaban Simon. "Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." (ay 5). Dalam bahasa sehari-hari Simon kira-kira menjawab begini: "malam saja kami mencoba dengan keras kami tidak menangkap apapun, apalagi pagi.. tapi jika Engkau yang menyuruh, aku akan patuh." Dan itulah yang dilakukan Simon. Ia memilih untuk taat sepenuhnya, tanpa banyak tanya, tanpa berbantah-bantah dan bertolak kembali ke tengah dan menebarkan jalanya. Kita tahu apa yang terjadi kemudian. "Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak." (ay 6). Begitu banyak yang ia dapatkan sehingga ia masih bisa membagi-bagikan hasil tangkapannya kepada teman-temannya. Akankah Petrus bisa memperoleh ikan sebegitu banyak hingga jalanya terkoyak jika ia tidak taat? Tentu ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Tapi pilihan yang dia ambil adalah untuk percaya dan taat sepenuhnya tanpa banyak tanya sehingga ia pun menuai berkat Tuhan.
Dari kisah ini kita melihat bahwa ketaatan bukan saja membuka pintu berkat tetapi juga merupakan sebuah kunci dari terjadinya pemulihan. Yesus tentu bisa memberikan langsung ikan langsung pada saat itu juga, tapi ternyata Yesus ingin melihat terlebih dahulu sampai sejauh mana ketaatan dari seorang nelayan kawakan bernama Simon Petrus. Dan ketaatannya itulah yang akhirnya mendatangkan mukjizat baginya. Contoh sebaliknya, jika menilik perjalanan bangsa Israel pada Perjanjian Lama, maka kita akan melihat bahwa ketidaktaatan bangsa ini kemudian justru membuat mereka harus mengalami banyak kesulitan. Mereka harus mengalami masa penjajahan tidak kurang dari 430 tahun, dan harus pula melewati masa padang gurun selama 40 tahun lamanya. Ini semua harus mereka alami akibat ketidaktaatan mereka. Sedikit saja mengalami kendala, mereka akan segera bersungut-sungut, mengeluarkan sindiran dan ejekan, mengeluh, mengomel bahkan sempat berkata ingin kembali lagi ke Mesir. "dan mereka berkata kepada Musa: "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:11-12). Inilah bentuk ketidaktaatan dari bangsa Israel yang masih sering pula kita lakukan hingga saat ini.
Ketaatan sungguh penting dan merupakan kunci penting untuk terjadinya pemulihan dalam hidup kita. Dalam keadaan seperti apapun kita tetap dituntut untuk taat dan setia sepenuhnya kepaa Tuhan. Dia mampu melepaskan kita pada waktunya dan selalu sanggup melakukan hal-hal yang mustahil sekalipun, seperti halnya yang terjadi pada Petrus. Tetapi ingatlah bahwa dari sisi kita dituntut sebuah bentuk ketaatan yang sepenuhnya. Ketaatan dianggap Tuhan sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah. "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah." (Efesus 5:2).
Bentuk ketaatan penuh bisa kita teladani dari sosok Yesus sendiri. "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Inilah bentuk keteladanan dari Yesus yang hendaknya bisa kita jadikan sebuah cerminan seperti apa sebenarnya bentuk ketaatan kepada Tuhan yang tanpa syarat itu. Ketaatan Yesus kepada kehendak Tuhan hingga akhir membuat kita semua diselamatkan. Dan karenanya sudah sepantasnya jika kita pun harus taat penuh kepadaNya agar kita semua dilayakkan untuk memperoleh keselamatan kekal tepat seperti yang dijanjikan Tuhan. "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya." (Ibrani 5:9-10). Ada waktu-waktu dimana kita diijinkan Tuhan untuk mengalami ujian. Janganlah itu membuat kita patah semangat. Jangan menyerah, jangan putus pengharapan, tapi jadikanlah itu sebagai sebuah momentum untuk membuktikan iman kita. Tetaplah taat, percayalah sepenuhnya, maka pada saatnya apapun yang kita alami saat ini akan dipulihkan Tuhan dengan luar biasa.
Jadikan ketaatan sebagai kunci dari proses pemulihan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Subscribe to:
Posts (Atom)
Menjadi Anggur Yang Baik (1)
Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...