(sambungan)
Berapa kali kita harus mengampuni? Saat Petrus bertanya berapa kali ia harus siap mengampuni, Yesus menjawab demikian: "Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." (Matius 18:22). Tujuh puluh kali tujuh menggambarkan keharusan kita untuk bisa terus mengampuni tanpa batas. Yesus mengingatkan bahwa kita harus siap memberi pengampunan terus menerus agar jangan sampai ada dendam, kebencian, kepahitan yang tersisa dalam hati kita.
Dalam doa yang diajarkan Yesus pun kita diingatkan akan hal itu. "dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami." (Matius 6:12) Perihal memberi pengampunan sangat penting dan sangat berkaitan erat dengan pengampunan yang kita terima dari Tuhan. Jika kita mengampuni orang, maka Tuhan pun akan mengampuni kita. Hal ini disebutkan Yesus baik dalam Matius 6:12 dan Markus 11:25. Kalau kita membereskan segala ganjalan yang ada dalam hati kita terhadap orang lain, maka permintaan kita dalam doa pun Dia dikabulkan.(ay 24). Tapi hal sebaliknya pun berlaku. "Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (ay 26).
Kembali ke ayat bacaan kita hari ini, Yesus menopang kedua kalimat itu beriringan dengan sengaja. Yesus ingin kita tahu bahwa memberi pengampunan adalah landasan untuk mendapat pengampunan Tuhan dan untuk menerima segala sesuatu dari Tuhan. Dia ingin mengingatkan kita bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk menerima pengabulan doa jika kita masih menyimpan dendam di dalam hati kita pada waktu yang sama. Sikap tidak mau mengampuni akan menghambat saluran iman dan membuat kita tidak mampu melangkah maju. Dengan menyimpan dendam atau ganjalan terhadap seseorang, hidup kita akan terganggu, sulit maju bahkan menderita. Kalau itu saja sudah buruk, di hadapan Tuhan pun kita tidak berkenan.
Saya sangat sadar bahwa dalam kasus-kasus tertentu tidak mudah bagi kita untuk mengampuni seseorang. Mungkin hidup kita sudah hancur karena perbuatan mereka, mungkin kerugian sudah terlalu banyak, mungkin tidak akan bisa mengembalikan sesuatu yang terlanjur hilang dari hidup kita. Saya pun pernah mengalami hal itu. Tapi kita tetap harus sanggup melepasnya agar kita bisa melangkah maju. Kita perlu membebaskan diri kita dari belenggu dendam, mengampuni mereka yang bersalah kepada kita, agar kita bisa memerdekakan iman kita sepenuhnya.
Kemampuan kita mungkin terbatas untuk itu, tapi Roh Kudus akan memampukan kita untuk memberikan pengampunan dan memerdekakan iman kita selama kita mengijinkan Roh Allah tersebut bekerja dalam diri kita. Apabila diantara teman-teman ada yang masih menyimpan ganjalan, sakit hati atau dendam terhadap seseorang, masih memiliki ganjalan terhadap seseorang yang belum dibereskan, berdoalah hari ini dan ijinkan Roh Kudus bekerja untuk menguatkan kita hingga dapat mengampuni orang-orang itu dan dengan demikian iman anda pun bisa dimerdekakan. Buanglah sumbatan pada saluran iman anda, maka anda akan menyaksikan bagaimana hidup anda akan terasa begitu ringan dan kembali dipenuhi sukacita tanpa harus terganggu lagi oleh sakit hati, kebencian dan dendam.
"Forgiveness is not an occasional act, it is a permanent attitude" - Martin Luther King, Jr
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, September 30, 2016
Thursday, September 29, 2016
Hubungan Menerima dan Pengampunan (1)
Ayat bacaan: Markus 11:24-25
========================
"Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu."
Mudahkah memaafkan? Kalau untuk soal-soal sepele mungkin masih mudah, tapi kalau untuk masalah yang berat, wah nanti dulu. Masih lumayan kalau yang menyinggung atau bersalah menyadari kesalahannya lalu menyesal dan minta maaf. Tapi bagaimana kalau orangnya saja tidak sadar sudah menyinggung, menyakiti perasaan kita? Atau mereka mungkin sadar tapi terlalu gengsi untuk meminta maaf? Sementara kita tahu bahwa kita diwajibkan untuk mengampuni. Jika situasinya seperti ini, maka mengampuni menjadi sangat susah. Ada yang berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama. Dimaafkan, bikin lagi, dimaafkan, bikin lagi, begitu seterusnya. Belum lagi untuk kesalahan-kesalahan yang fatal yang mungkin sulit atau bahkan tidak bisa dipulihkan. Kita bisa kehabisan alasan untuk mengampuni.Apakah melepaskan pengampunan tergantung dari permintaan maaf si pelaku, tergantung dari berat tidaknya masalah, dan apakah keputusan kita untuk memaafkan atau tidak itu menentukan bagaimana hidup kita dalam hubungannya dengan Tuhan?
Kalau mengacu pada firman Tuhan, kita harus siap mengampuni tanpa menimbang berat-ringannya kesalahan mereka terhadap kita dan tanpa melihat apakah orangnya meminta maaf atau tidak. Ayat yang menyatakan hal ini sangat banyak, terutama yang berasal dari pengajaran Yesus langsung. Masalah sakit hati apalagi dendam justru berdampak negatif bagi kita sendiri kalau dibiarkan berlarut-larut dalam diri kita. Ada banyak orang yang terikat pada kepahitan terhadap seseorang sehingga sulit maju. Ada banyak orang yang terikat pada trauma masa lalu akibat perlakuan seseorang sehingga sulit bagi mereka untuk menatap masa depan. Ada banyak yang membiarkan dendam membara sehingga sukacita mereka pun hilang. Berbagai penyakit bisa timbul akibat hal ini, mulai dari penyakit ringan sampai yang mematikan. Masalahnya, dendam dan kebencian ini bagaikan tanaman. Mulanya mungkin sedikit, tapi kalau sudah tertanam bisa berakar dan semakin lama semakin sulit dicabut. Kalau dipikir-pikir, betapa ironisnya ketika kita disakiti orang, kita pula yang menderita kerugian lebih lanjut akibat ulah mereka. Orangnya mungkin tidak sadar sudah menyakiti kita dan tidak merasa apa-apa, kita yang malah mengalami banyak penderitaan karena tidak kunjung melepaskan pengampunan.
Tidak banyak orang yang menyadari bahwa kebencian, sakit hati atau dendam ini bisa memenjarakan iman kita sehingga sulit berkembang. Tidak banyak orang yang sadar bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara iman dan pengampunan, antara menerima sesuatu dari Tuhan termasuk permohonan-permohonan kita dengan mengampuni orang yang bersalah pada kita.
Seperti apa hubungannya? Mari kita lihat rangkaian ayat dalam Markus pasal 11 berikut ini yang mengutip perkataan Yesus sendiri:
"Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (ay 25).
"Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (ay 26).
Perhatikan bagaimana Yesus merangkai kedua kalimat tersebut. Apakah dua kalimat ini diucapkan dalam konteks berbeda? Saya yakin tidak. Saya percaya Yesus sengaja mengatakan kedua kalimat ini bukan dalam dua konteks berbeda. Dan, apakah hanya kebetulan saja kalimat ini disandingkan? Saya pun yakin tidak. Kedua ayat ini secara berurutan dikatakan Yesus, dan itu bukanlah suatu kebetulan.
Saya merenungkan ayat ini cukup lama, dan saya percaya yang Yesus ingin katakan adalah, Dia mau kita tahu dan mengerti bahwa pengampunan merupakan landasan untuk bisa menerima dari Tuhan. Sebelum berdoa, kita harus terlebih dahulu mengampuni orang-orang yang masih mengganjal di hati kita. Bereskan dulu itu, baru kemudian berdoa, karena kalau tidak, iman kita masih terbelenggu dan doa yang kita panjatkan pun tidak akan bisa membawa hasil apa-apa. Kita tidak akan menerima jawaban doa, kita tidak akan menerima apa-apa dari Tuhan.
Perhatikan pula bahwa sebelum Yesus mengatakan kedua kalimat di atas, Dia baru saja menjelaskan bahwa iman yang teguh akan mampu mencampakkan gunung sekalipun untuk terlempar ke laut. (ay 23). Dikatakan bahwa iman yang sekecil biji sesawi sekalipun akan mampu melakukan itu. Tuhan siap memberikan apapun yang kita minta dan doakan dengan disertai rasa percaya. Tapi sebelum itu semua terjadi, agar itu bisa terjadi, kita terlebih dahulu harus mengampuni orang-orang yang bersalah kepada kita, orang yang telah menyakiti hati kita, orang yang telah melukai perasaan kita. Sebab tanpa itu, iman kita masih terperangkap sehingga kita terhambat untuk menerima segala sesuatu dari Tuhan. Lalu, kalau kitanya sulit mengampuni, iman yang sebesar biji sesawi sekalipun seharusnya bisa memampukan kita untuk bisa melepaskan pengampunan.
(bersambung)
========================
"Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu."
Mudahkah memaafkan? Kalau untuk soal-soal sepele mungkin masih mudah, tapi kalau untuk masalah yang berat, wah nanti dulu. Masih lumayan kalau yang menyinggung atau bersalah menyadari kesalahannya lalu menyesal dan minta maaf. Tapi bagaimana kalau orangnya saja tidak sadar sudah menyinggung, menyakiti perasaan kita? Atau mereka mungkin sadar tapi terlalu gengsi untuk meminta maaf? Sementara kita tahu bahwa kita diwajibkan untuk mengampuni. Jika situasinya seperti ini, maka mengampuni menjadi sangat susah. Ada yang berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama. Dimaafkan, bikin lagi, dimaafkan, bikin lagi, begitu seterusnya. Belum lagi untuk kesalahan-kesalahan yang fatal yang mungkin sulit atau bahkan tidak bisa dipulihkan. Kita bisa kehabisan alasan untuk mengampuni.Apakah melepaskan pengampunan tergantung dari permintaan maaf si pelaku, tergantung dari berat tidaknya masalah, dan apakah keputusan kita untuk memaafkan atau tidak itu menentukan bagaimana hidup kita dalam hubungannya dengan Tuhan?
Kalau mengacu pada firman Tuhan, kita harus siap mengampuni tanpa menimbang berat-ringannya kesalahan mereka terhadap kita dan tanpa melihat apakah orangnya meminta maaf atau tidak. Ayat yang menyatakan hal ini sangat banyak, terutama yang berasal dari pengajaran Yesus langsung. Masalah sakit hati apalagi dendam justru berdampak negatif bagi kita sendiri kalau dibiarkan berlarut-larut dalam diri kita. Ada banyak orang yang terikat pada kepahitan terhadap seseorang sehingga sulit maju. Ada banyak orang yang terikat pada trauma masa lalu akibat perlakuan seseorang sehingga sulit bagi mereka untuk menatap masa depan. Ada banyak yang membiarkan dendam membara sehingga sukacita mereka pun hilang. Berbagai penyakit bisa timbul akibat hal ini, mulai dari penyakit ringan sampai yang mematikan. Masalahnya, dendam dan kebencian ini bagaikan tanaman. Mulanya mungkin sedikit, tapi kalau sudah tertanam bisa berakar dan semakin lama semakin sulit dicabut. Kalau dipikir-pikir, betapa ironisnya ketika kita disakiti orang, kita pula yang menderita kerugian lebih lanjut akibat ulah mereka. Orangnya mungkin tidak sadar sudah menyakiti kita dan tidak merasa apa-apa, kita yang malah mengalami banyak penderitaan karena tidak kunjung melepaskan pengampunan.
Tidak banyak orang yang menyadari bahwa kebencian, sakit hati atau dendam ini bisa memenjarakan iman kita sehingga sulit berkembang. Tidak banyak orang yang sadar bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara iman dan pengampunan, antara menerima sesuatu dari Tuhan termasuk permohonan-permohonan kita dengan mengampuni orang yang bersalah pada kita.
Seperti apa hubungannya? Mari kita lihat rangkaian ayat dalam Markus pasal 11 berikut ini yang mengutip perkataan Yesus sendiri:
"Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (ay 25).
"Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (ay 26).
Perhatikan bagaimana Yesus merangkai kedua kalimat tersebut. Apakah dua kalimat ini diucapkan dalam konteks berbeda? Saya yakin tidak. Saya percaya Yesus sengaja mengatakan kedua kalimat ini bukan dalam dua konteks berbeda. Dan, apakah hanya kebetulan saja kalimat ini disandingkan? Saya pun yakin tidak. Kedua ayat ini secara berurutan dikatakan Yesus, dan itu bukanlah suatu kebetulan.
Saya merenungkan ayat ini cukup lama, dan saya percaya yang Yesus ingin katakan adalah, Dia mau kita tahu dan mengerti bahwa pengampunan merupakan landasan untuk bisa menerima dari Tuhan. Sebelum berdoa, kita harus terlebih dahulu mengampuni orang-orang yang masih mengganjal di hati kita. Bereskan dulu itu, baru kemudian berdoa, karena kalau tidak, iman kita masih terbelenggu dan doa yang kita panjatkan pun tidak akan bisa membawa hasil apa-apa. Kita tidak akan menerima jawaban doa, kita tidak akan menerima apa-apa dari Tuhan.
Perhatikan pula bahwa sebelum Yesus mengatakan kedua kalimat di atas, Dia baru saja menjelaskan bahwa iman yang teguh akan mampu mencampakkan gunung sekalipun untuk terlempar ke laut. (ay 23). Dikatakan bahwa iman yang sekecil biji sesawi sekalipun akan mampu melakukan itu. Tuhan siap memberikan apapun yang kita minta dan doakan dengan disertai rasa percaya. Tapi sebelum itu semua terjadi, agar itu bisa terjadi, kita terlebih dahulu harus mengampuni orang-orang yang bersalah kepada kita, orang yang telah menyakiti hati kita, orang yang telah melukai perasaan kita. Sebab tanpa itu, iman kita masih terperangkap sehingga kita terhambat untuk menerima segala sesuatu dari Tuhan. Lalu, kalau kitanya sulit mengampuni, iman yang sebesar biji sesawi sekalipun seharusnya bisa memampukan kita untuk bisa melepaskan pengampunan.
(bersambung)
Wednesday, September 28, 2016
The Greatest Poverty (2)
(sambungan)
Kita harus bersyukur apabila hari ini kita tidak sampai mengalami kemiskinan yang termiskin menurut bunda Teresa. Tapi apakah sekedar merasa syukur itu sudah cukup? Tentu saja belum. Kita harus bersyukur, tapi juga harus menyatakan rasa syukur kita lewat menjadi saluran kasih Tuhan kepada mereka yang tertolak dan terbuang. Amsal Salomo berkata: "Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru." (Amsal 21:13). Amsal ini mengingatkan kita untuk memiliki telinga peka terhadap jeritan orang yang membutuhkan pertolongan, itu kalau kita mau didengar Tuhan juga pada saat kita membutuhkan pertolongan daripadaNya. Jika tidak, maka jeritan kita ketika membutuhkan pertolongan pun tidak akan didengar Tuhan.
Yohanes mengatakan "Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (1 Yohanes 4:11). Bentuk kasih seperti ini merupakan esensi dasar kekristenan. Karena Tuhan adalah kasih itu sendiri, dan kasihNya kepada manusia sangat besar, begitu besar sampai Dia rela mengorbankan Kristus untuk menebus kita, maka sudah sepantasnya kita tidak menutup mata dan hati dari mereka yang membutuhkan lalu bergerak, mulai membagi kasih kepada sesama kita. Yesus meminta kita untuk mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:39), lantas juga memberikan perintah baru kepada kita yaitu "... supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Seperti besarnya kasih Tuhan kepada kita, seperti itu pula kita harus mengasihi orang lain. Itu bukan anjuran tetapi dikatakan perintah. Kalau namanya perintah, itu artinya sesuatu yang harus atau wajib kita laksanakan.
Mengasihi tidaklah harus selalu berbentuk pemberian sedekah lewat materi, tapi juga bisa lewat perhatian, lewat membagikan sebagian waktu kita untuk mendengarkan mereka yang membutuhkan pertolongan, lewat menunjukkan bahwa kita mengasihi atau peduli kepada mereka, bahkan seringkali sebuah senyum tulus bisa berarti besar bagi sebagian orang.
Kita harus bisa menjadi saluran kasih Tuhan untuk menjangkau mereka yang tidak lagi merasakan kasih dari orang lain dalam hidupnya. Mari kita periksa diri kita masing-masing. Sudahkah kita perduli kepada saudara-saudara kita yang tengah menjerit meminta pertolongan? Pedulikah kita kepada orang-orang yang merasa kesepian dan tidak punya siapa-siapa lagi untuk menolong mereka? Jika pengabdian seperti Bunda Teresa yang meluangkan sepenuh waktunya di tempat kumuh, bersama orang-orang menderita di kota yang jauh dari kemewahan dan jauh pula letaknya terasa begitu jauh dan sulit, sudahkah kita memperhatikan orang-orang yang sangat dekat di sekitar kita? Maukah kita menyisihkan sebagian dari apa yang ada pada kita untuk mereka, atau kita malah bersungut-sungut karena merasa terganggu dengan kehadiran mereka? Yesus berkata: "..sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40). Artinya ini adalah sesuatu yang penting dan wajib untuk kita lakukan.
Banyak orang disekitar kita yang sudah sangat terluka dan hidup dengan kesedihan dan kesepian. Banyak orang yang tidak lagi bisa merasakan hangatnya kasih Tuhan karena mereka setiap harinya bergumul sendirian tanpa ada yang peduli. Kita seharusnya bisa berperan disana, membantu mereka untuk kembali merasakan kasih Tuhan lewat keberadaan kita di dekat mereka. Bunda Teresa menjalankan panggilannya untuk terjun langsung ke salah satu pusat kemiskinan terparah di dunia, dan ia melihat bahwa yang terparah ternyata bukanlah masalah pemenuhan kebutuhan pokok tetapi justru perasaan terbuang, tertolak, tidak diinginkan, tidak diakui dan tidak ada yang mengasihi. Tidak perlu jauh-jauh ke Kalkuta karena disekitar kita pun sebenarnya ada banyak orang yang tengah mengalami kemiskinan termiskin ini.
Saat ini juga, marilah berperan secara langsung dengan menyatakan kasih kepada mereka. Kita harus menyatakan bahwa mereka tidaklah sendirian, dan kita harus membawa mereka untuk merasakan kasih Tuhan lewat diri kita. Meskipun anda mulai dari sesuatu yang kecil, anda sudah bisa menyaksikan sebuah pemulihan Ilahi turun atas mereka lewat kasih yang anda curahkan ke dalam hidup mereka.
"The biggest disease this day and age is that of people feeling unloved." - Princess Diana
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Kita harus bersyukur apabila hari ini kita tidak sampai mengalami kemiskinan yang termiskin menurut bunda Teresa. Tapi apakah sekedar merasa syukur itu sudah cukup? Tentu saja belum. Kita harus bersyukur, tapi juga harus menyatakan rasa syukur kita lewat menjadi saluran kasih Tuhan kepada mereka yang tertolak dan terbuang. Amsal Salomo berkata: "Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru." (Amsal 21:13). Amsal ini mengingatkan kita untuk memiliki telinga peka terhadap jeritan orang yang membutuhkan pertolongan, itu kalau kita mau didengar Tuhan juga pada saat kita membutuhkan pertolongan daripadaNya. Jika tidak, maka jeritan kita ketika membutuhkan pertolongan pun tidak akan didengar Tuhan.
Yohanes mengatakan "Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (1 Yohanes 4:11). Bentuk kasih seperti ini merupakan esensi dasar kekristenan. Karena Tuhan adalah kasih itu sendiri, dan kasihNya kepada manusia sangat besar, begitu besar sampai Dia rela mengorbankan Kristus untuk menebus kita, maka sudah sepantasnya kita tidak menutup mata dan hati dari mereka yang membutuhkan lalu bergerak, mulai membagi kasih kepada sesama kita. Yesus meminta kita untuk mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:39), lantas juga memberikan perintah baru kepada kita yaitu "... supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Seperti besarnya kasih Tuhan kepada kita, seperti itu pula kita harus mengasihi orang lain. Itu bukan anjuran tetapi dikatakan perintah. Kalau namanya perintah, itu artinya sesuatu yang harus atau wajib kita laksanakan.
Mengasihi tidaklah harus selalu berbentuk pemberian sedekah lewat materi, tapi juga bisa lewat perhatian, lewat membagikan sebagian waktu kita untuk mendengarkan mereka yang membutuhkan pertolongan, lewat menunjukkan bahwa kita mengasihi atau peduli kepada mereka, bahkan seringkali sebuah senyum tulus bisa berarti besar bagi sebagian orang.
Kita harus bisa menjadi saluran kasih Tuhan untuk menjangkau mereka yang tidak lagi merasakan kasih dari orang lain dalam hidupnya. Mari kita periksa diri kita masing-masing. Sudahkah kita perduli kepada saudara-saudara kita yang tengah menjerit meminta pertolongan? Pedulikah kita kepada orang-orang yang merasa kesepian dan tidak punya siapa-siapa lagi untuk menolong mereka? Jika pengabdian seperti Bunda Teresa yang meluangkan sepenuh waktunya di tempat kumuh, bersama orang-orang menderita di kota yang jauh dari kemewahan dan jauh pula letaknya terasa begitu jauh dan sulit, sudahkah kita memperhatikan orang-orang yang sangat dekat di sekitar kita? Maukah kita menyisihkan sebagian dari apa yang ada pada kita untuk mereka, atau kita malah bersungut-sungut karena merasa terganggu dengan kehadiran mereka? Yesus berkata: "..sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40). Artinya ini adalah sesuatu yang penting dan wajib untuk kita lakukan.
Banyak orang disekitar kita yang sudah sangat terluka dan hidup dengan kesedihan dan kesepian. Banyak orang yang tidak lagi bisa merasakan hangatnya kasih Tuhan karena mereka setiap harinya bergumul sendirian tanpa ada yang peduli. Kita seharusnya bisa berperan disana, membantu mereka untuk kembali merasakan kasih Tuhan lewat keberadaan kita di dekat mereka. Bunda Teresa menjalankan panggilannya untuk terjun langsung ke salah satu pusat kemiskinan terparah di dunia, dan ia melihat bahwa yang terparah ternyata bukanlah masalah pemenuhan kebutuhan pokok tetapi justru perasaan terbuang, tertolak, tidak diinginkan, tidak diakui dan tidak ada yang mengasihi. Tidak perlu jauh-jauh ke Kalkuta karena disekitar kita pun sebenarnya ada banyak orang yang tengah mengalami kemiskinan termiskin ini.
Saat ini juga, marilah berperan secara langsung dengan menyatakan kasih kepada mereka. Kita harus menyatakan bahwa mereka tidaklah sendirian, dan kita harus membawa mereka untuk merasakan kasih Tuhan lewat diri kita. Meskipun anda mulai dari sesuatu yang kecil, anda sudah bisa menyaksikan sebuah pemulihan Ilahi turun atas mereka lewat kasih yang anda curahkan ke dalam hidup mereka.
"The biggest disease this day and age is that of people feeling unloved." - Princess Diana
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, September 27, 2016
The greatest poverty (1)
Ayat bacaan: Amsal 21:13
========================
"Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru."
Apa sebenarnya yang menjadi tolok ukur kemiskinan? Kalau ditanyakan kepada orang, jawaban kemungkinan besar mengarah kepada faktor-faktor ekonomi atau finansial. Tidak sanggup mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, itu miskin. Tidak punya tempat tinggal, itu dianggap orang juga sebagai miskin. Tidak punya baju yang layak pakai, itu juga katanya miskin. Di jaman sekarang kata miskin justru semakin meluas, yaitu menyentuh kepada kebutuhan lainnya yang sebenarnya tidaklah penting-penting amat, setidaknya tidak seperti kebutuhan pokok yang kalau tidak terpenuhi maka akan beresiko bagi hidup. Misalnya, orang yang tidak punya mobil dikatakan miskin. Mobil biasa bukan mewah, apalagi keluaran lama, itu miskin. Tidak punya kendaraan, bahkan motor sekalipun, itu lebih parah. Tidak punya smart phone minimal android dengan fitur seadanya, itu juga sudah dianggap miskin. Ada orang yang lebih dari cukup tapi tetap merasa miskin dan terus mengejar uang dan harta. Lucunya ada banyak orang yang memakai kata miskin sebagai excuse. Misalnya mengaku-ngaku miskin supaya tidak harus keluar uang buat sumbangan, buat menolong orang lain yang terdesak dan sebagainya. Lihatlah bahwa kata miskin memang semakin jauh meningkat penggunaannya dibanding sekedar memenuhi kebutuhan pokok saja. Miskin ternyata relatif dan subyektif sifatnya.
Kalau miskin itu relatif dan subyektif, seperti apakah kemiskinan yang termiskin itu sebenarnya? Kondisi seperti apa sebenarnya yang membuat orang bisa dikatakan sebagai yang paling miskin? Jawabannya pun pasti beragam dan kebanyakan akan mengarah kepada kesulitan finansial dalam tingkat tinggi atau ekstrim. Tapi kalau pertanyaan ini diberikan kepada mendiang Bunda Teresa, jawaban beliau sangatlah berbeda. Apa yang menurutnya kemiskinan termiskin justru jauh dari hal-hal finansial. Ia pernah ditanya tentang hal ini, dan demikian jawabannya.
"We think sometimes that poverty is only being hungry, naked and homeless. But the poverty of being unwanted, unloved and uncared for is the greatest poverty. We must start in our own homes to remedy this kind of poverty."
Ada versi lainnya yang berbunyi sebagai berikut:
"Being unwanted, unloved, uncared for, forgotten by everybody, I think that is a much greater hunger, a much greater poverty than the person who has nothing to eat."
Apa yang digambarkan Bunda Teresa mengenai kemiskinan yang termiskin adalah berdasarkan pengalamannya sendiri dalam melayani para orang miskin jauh dari negara asalnya. Sejarah mencatat bahwa hampir sepanjang hidupnya ia habiskan di Kalkuta, India, berada ditengah-tengah masyarakat yang dianggap sebagai yang termiskin dari yang miskin untuk melayani mereka. Ia menjadi wakil Tuhan untuk mereka yang termiskin dan terbuang. Bunda Teresa melayani orang yang lapar, gelandangan, buta, pincang, dan mereka yang menderita penyakit-penyakit yang bagi orang dianggap menjijikkan seperti lepra atau kusta dan sakit penyakit lainnya. Dia berhadapan setiap hari dengan mereka ini. Tapi dari pengalamannya sendiri, ia berkata bahwa the greatest poverty justru adalah orang-orang yang tidak ada yang mengasihi. The unloved, unwanted and uncared. orang-orang yang tidak diperhatikan, tidak ada yang mencintai dan orang-orang tertolak. Bayi-bayi hasil hubungan gelap yang kelahirannya tidak diinginkan, mereka yang terbuang. Tentu pengalaman menghadapi kenyataan seperti itu selama sekian dasawarsa membuat Bunda Teresa tahu betul apa sebenarnya yang paling menyedihkan, atau apa yang sebenarnya paling dibutuhkan orang. Apa yang beliau katakan seharusnya membuka mata kita mengenai kemiskinan terberat atau terburuk yang bisa dialami manusia.
Kemiskinan terparah bukanlah kelaparan, telanjang dan tidak punya rumah, melainkan rasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak dipedulikan. Kalau kita renungkan, apa yang ia katakan bisa jadi benar. Pada kenyataannya ada begitu banyak orang yang menderita dan bermasalah bukan karena mereka tidak mampu secara finansial, tapi karena mereka merasa tertolak, merasa tidak dikasihi dan punya pengalaman pahit tentang cinta yang membuat mereka hambar atau bahkan sulit percaya kepada orang lain. Mereka hidup menyendiri dan menderita secara mental, jauh dari perasaan dikasihi atau dicintai. Saya sudah bertemu dengan beberapa orang yang mengalami hal seperti ini. Ada beberapa orang yang melakukan banyak hal buruk termasuk mencoba bunuh diri tanpa tahu kenapa, tapi setelah ditelusuri mereka ternyata mengalami penolakan di masa kecilnya atau selamat dari percobaan aborsi. Meski secara ekonomi mereka berkecukupan, hidup mereka sangat perih dan rata-rata membutuhkan waktu lama untuk memulihkan gambar dirinya.
(bersambung)
========================
"Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru."
Apa sebenarnya yang menjadi tolok ukur kemiskinan? Kalau ditanyakan kepada orang, jawaban kemungkinan besar mengarah kepada faktor-faktor ekonomi atau finansial. Tidak sanggup mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, itu miskin. Tidak punya tempat tinggal, itu dianggap orang juga sebagai miskin. Tidak punya baju yang layak pakai, itu juga katanya miskin. Di jaman sekarang kata miskin justru semakin meluas, yaitu menyentuh kepada kebutuhan lainnya yang sebenarnya tidaklah penting-penting amat, setidaknya tidak seperti kebutuhan pokok yang kalau tidak terpenuhi maka akan beresiko bagi hidup. Misalnya, orang yang tidak punya mobil dikatakan miskin. Mobil biasa bukan mewah, apalagi keluaran lama, itu miskin. Tidak punya kendaraan, bahkan motor sekalipun, itu lebih parah. Tidak punya smart phone minimal android dengan fitur seadanya, itu juga sudah dianggap miskin. Ada orang yang lebih dari cukup tapi tetap merasa miskin dan terus mengejar uang dan harta. Lucunya ada banyak orang yang memakai kata miskin sebagai excuse. Misalnya mengaku-ngaku miskin supaya tidak harus keluar uang buat sumbangan, buat menolong orang lain yang terdesak dan sebagainya. Lihatlah bahwa kata miskin memang semakin jauh meningkat penggunaannya dibanding sekedar memenuhi kebutuhan pokok saja. Miskin ternyata relatif dan subyektif sifatnya.
Kalau miskin itu relatif dan subyektif, seperti apakah kemiskinan yang termiskin itu sebenarnya? Kondisi seperti apa sebenarnya yang membuat orang bisa dikatakan sebagai yang paling miskin? Jawabannya pun pasti beragam dan kebanyakan akan mengarah kepada kesulitan finansial dalam tingkat tinggi atau ekstrim. Tapi kalau pertanyaan ini diberikan kepada mendiang Bunda Teresa, jawaban beliau sangatlah berbeda. Apa yang menurutnya kemiskinan termiskin justru jauh dari hal-hal finansial. Ia pernah ditanya tentang hal ini, dan demikian jawabannya.
"We think sometimes that poverty is only being hungry, naked and homeless. But the poverty of being unwanted, unloved and uncared for is the greatest poverty. We must start in our own homes to remedy this kind of poverty."
Ada versi lainnya yang berbunyi sebagai berikut:
"Being unwanted, unloved, uncared for, forgotten by everybody, I think that is a much greater hunger, a much greater poverty than the person who has nothing to eat."
Apa yang digambarkan Bunda Teresa mengenai kemiskinan yang termiskin adalah berdasarkan pengalamannya sendiri dalam melayani para orang miskin jauh dari negara asalnya. Sejarah mencatat bahwa hampir sepanjang hidupnya ia habiskan di Kalkuta, India, berada ditengah-tengah masyarakat yang dianggap sebagai yang termiskin dari yang miskin untuk melayani mereka. Ia menjadi wakil Tuhan untuk mereka yang termiskin dan terbuang. Bunda Teresa melayani orang yang lapar, gelandangan, buta, pincang, dan mereka yang menderita penyakit-penyakit yang bagi orang dianggap menjijikkan seperti lepra atau kusta dan sakit penyakit lainnya. Dia berhadapan setiap hari dengan mereka ini. Tapi dari pengalamannya sendiri, ia berkata bahwa the greatest poverty justru adalah orang-orang yang tidak ada yang mengasihi. The unloved, unwanted and uncared. orang-orang yang tidak diperhatikan, tidak ada yang mencintai dan orang-orang tertolak. Bayi-bayi hasil hubungan gelap yang kelahirannya tidak diinginkan, mereka yang terbuang. Tentu pengalaman menghadapi kenyataan seperti itu selama sekian dasawarsa membuat Bunda Teresa tahu betul apa sebenarnya yang paling menyedihkan, atau apa yang sebenarnya paling dibutuhkan orang. Apa yang beliau katakan seharusnya membuka mata kita mengenai kemiskinan terberat atau terburuk yang bisa dialami manusia.
Kemiskinan terparah bukanlah kelaparan, telanjang dan tidak punya rumah, melainkan rasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak dipedulikan. Kalau kita renungkan, apa yang ia katakan bisa jadi benar. Pada kenyataannya ada begitu banyak orang yang menderita dan bermasalah bukan karena mereka tidak mampu secara finansial, tapi karena mereka merasa tertolak, merasa tidak dikasihi dan punya pengalaman pahit tentang cinta yang membuat mereka hambar atau bahkan sulit percaya kepada orang lain. Mereka hidup menyendiri dan menderita secara mental, jauh dari perasaan dikasihi atau dicintai. Saya sudah bertemu dengan beberapa orang yang mengalami hal seperti ini. Ada beberapa orang yang melakukan banyak hal buruk termasuk mencoba bunuh diri tanpa tahu kenapa, tapi setelah ditelusuri mereka ternyata mengalami penolakan di masa kecilnya atau selamat dari percobaan aborsi. Meski secara ekonomi mereka berkecukupan, hidup mereka sangat perih dan rata-rata membutuhkan waktu lama untuk memulihkan gambar dirinya.
(bersambung)
Monday, September 26, 2016
Sulit Tidur?
Ayat bacaan: Mazmur 4:9
=====================
"Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman."
Siapapun kita pasti butuh tidur. Bukan cuma sekedar tidur, tapi tidur nyenyak yang berkualitas. Kalau handphone anda butuh di charge, tubuh kita pun butuh. Tidur dibutuhkan agar tubuh kita dapat berfungsi dengan baik dan maksimal, baik secara fisik maupun mental. Kurang tidur bikin tubuh kita tidak fit, mudah sakit dan jadi tidak produktif. Secara mental orang yang kurang tidur biasanya emosinya labil, kurang konsentrasi dan sulit fokus. Coba perhatikan ketika kita kurang tidur. Selain tubuh terasa lemas dan gemetar, biasanya emosi juga terganggu, menjadi gampang kesal dan marah. Ketika tidur, ada proses regenerasi dan perbaikan sel-sel dalam tubuh yang dilakukan oleh hormon-hormon yang diproduksi tubuh. Selain itu anggota-anggota tubuh pun mendapatkan waktu untuk istirahat.
Begitu pentingnya tidur bagi semua orang, namun tidak sedikit pula dari kita yang mengalami kesulitan tidur dengan berbagai sebab. Mulai dari susah tidur yang tidak terlalu parah sampai menderita penyakit yang disebut dengan insomnia. Penyebabnya bisa beragam. Ada yang diakibatkan faktor pikiran. Rasa takut, khawatir, kegagalan-kegagalan, memikirkan pekerjaan dan sebagainya bisa mempengaruhi pikiran dan psikis kita. Stres dan depresi muncul akibat banyaknya tekanan bertubi-tubi sehingga membuat kita sulit tidur. Ada pula yang terlalu sibuk bekerja sehingga lama-lama menjadi sulit untuk tidur. Selain itu bisa juga akibat faktor lingkungan yang tidak mendukung, atau akibat gaya hidup yang buruk. Bahkan rasa kesepian pun bisa membuat orang menjadi sulit tidur. Ada begitu banyak faktor yang bisa menyebabkan manusia sulit tidur. Kalau sekedar untuk tidur saja sulit, apalagi mendapatkan tidur yang berkualitas.
Saya termasuk orang yang mudah tidur. Menurut istri saya, saya hanya butuh kurang dari semenit untuk terlelap. Apakah itu artinya saya selalu tanpa masalah? Tentu saja tidak. Dahulu saya sempat susah untuk tidur, karena saya aslinya tipikal orang yang gampang kuatir dan cenderung berpikir terlalu jauh. Saya mudah cemas. Pikiran saya kerap mengembara jauh memikirkan hal-hal yang negatif yang belum terjadi, padahal kebanyakan dari yang saya takutkan tidak terjadi. Saya bisa butuh waktu lebih dari satu jam, hanya berputar-putar di tempat tidur tapi tidak kunjung terlelap. Setelah saya lahir baru, saya belajar dari sebuah ayat yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27). Rangkaian ayat dalam Matius 6:25-34 menguatkan saya dan membuat saya menyadari bahwa kekuatiran bukannya menambah umur tapi malah mengganggu kesehatan dan memperpendek hidup. Sejak saat itu saya hidup jauh lebih tenang, terus melatih diri saya agar tidak kuatir dan itu ternyata berpengaruh terhadap tidur saya.
Mari kita lihat kisah Daud. Perjalanan hidup Daud bukannya tanpa masalah. Daud berulang kali mendapatkan ancaman dan masalah. Ia manusia juga sama seperti kita yang bisa dicekam rasa takut pada saat-saat tertentu. Tapi lihatlah apa kata Daud pada ayat bacaan hari ini. "Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman." (Mazmur 4:9).
Meski Daud mengalami situasi-situasi sulit yang bahkan mengancam nyawanya, ia ternyata bisa tetap tidur dengan tentram dalam damai. Bagaimana rahasianya? Rahasianya sederhana saja, karena Daud tahu pasti ada Tuhan yang menjaga dirinya, memastikan bahwa hidupnya ada dalam keadaan aman. Pada ayat sebelumnya kita juga membaca bahwa Daud merasakan sukacita yang diberikan Tuhan kepadanya (ay 8), ada sinar cahaya wajah Tuhan menyinarinya (ay 7), perlunya mempersembahkan korban yang benar dan percaya sepenuhnya pada Tuhan yang mampu melepaskan dari jerat masalah seberat apapun (ay 6), tidak membawa emosi atau kemarahan berlarut-larut ke tempat tidur (ay 5). Daud juga menyadari bahwa Tuhan selalu mendengarkan orang yang berseru padaNya (ay 4) dan selalu siap memberikan kelegaan dalam kesesakan. (ay 2).
Singkatnya, Daud menyadari dengan sepenuhnya bahwa Tuhan penuh kasih setia menyertai anak-anakNya dan punya kuasa jauh lebih besar dari masalah terbesar sekalipun. Jika demikian, ia tidak perlu merasa sulit tidur. Daud pun bisa tidur nyenyak dengan tentram. Daud pun berkata: "Aku membaringkan diri, lalu tidur; aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!" (Mazmur 3:6).
Perhatikanlah bayi dan anak yang masih sangat kecil. Lihat bagaimana mereka bisa tidur dengan damai saat digendong orang tua atau orang yang mereka kenal baik. Bagaimana mereka bisa tidur nyenyak seperti itu? Itu karena mereka merasa tenang dan aman karena berada dalam tangan orang yang mereka sayang dan percaya. Bayi tidak punya pikiran rumit seperti kita. Mereka menyerahkan atau menggantungkan hidup mereka kepada orang-orang yang mereka anggap pasti melindungi dan menyayangi mereka. Kalau kita sayang dan percaya kepada Tuhan, bukankah kita seharusnya pun sama seperti bayi? Tuhan selalu siap menggendong anak-anakNya, menjaga anak-anakNya agar tetap selamat dalam kondisi seperti apapun. Kalau kita menyadari hal ini, seharusnya kita tidak perlu harus mengalami masalah sulit tidur dan seharusnya bisa memiliki pikiran yang tenang bersama Tuhan yang akan selalu ada bersama kita.
Dimanapun, kapanpun, kita bisa berhadapan dengan masalah. Meski demikian, ingatlah bahwa Tuhan punya kuasa yang jauh melebihi apapun itu. Yesus sendiri berkata "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28). Ada jaminan dari Tuhan untuk terus menopang kita. Masalah boleh hadir, namun janganlah masalah itu membebani pikiran kita secara berlebihan sehingga membuat kita sulit tidur dan akhirnya justru mengalami lebih banyak masalah. Ketakutan yang terus dibiarkan berlarut-larut, rasa cemas, kuatir akan sesuatu termasuk akan hari depan bisa merampas sukacita dan membuat kita kehilangan pengharapan. Bagaimanapun juga tidur sehat berkualitas itu sangat kita butuhkan.
Jika di antara teman-teman ada yang mengalami timbunan masalah, beban pikiran, gangguan secara psikologis dan sebagainya, ingatlah ada Tuhan Yesus yang selalu siap memberi kelegaan dan mampu menjaga anda. Berserahlah kepadaNya dan ijinkan Dia berkerja dalam diri anda. Malam ini datanglah padaNya dan rasakan jamahan Tuhan memberi anda kelegaan. Lepaskan beban pikiran dan lain-lain yang membuat anda sulit beristirahat. Selamat beristirahat, sweet dream.
Jangan ijinkan pikiran mengganggu anda. Tidurlah dengan nyenyak dalam damai Tuhan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=====================
"Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman."
Siapapun kita pasti butuh tidur. Bukan cuma sekedar tidur, tapi tidur nyenyak yang berkualitas. Kalau handphone anda butuh di charge, tubuh kita pun butuh. Tidur dibutuhkan agar tubuh kita dapat berfungsi dengan baik dan maksimal, baik secara fisik maupun mental. Kurang tidur bikin tubuh kita tidak fit, mudah sakit dan jadi tidak produktif. Secara mental orang yang kurang tidur biasanya emosinya labil, kurang konsentrasi dan sulit fokus. Coba perhatikan ketika kita kurang tidur. Selain tubuh terasa lemas dan gemetar, biasanya emosi juga terganggu, menjadi gampang kesal dan marah. Ketika tidur, ada proses regenerasi dan perbaikan sel-sel dalam tubuh yang dilakukan oleh hormon-hormon yang diproduksi tubuh. Selain itu anggota-anggota tubuh pun mendapatkan waktu untuk istirahat.
Begitu pentingnya tidur bagi semua orang, namun tidak sedikit pula dari kita yang mengalami kesulitan tidur dengan berbagai sebab. Mulai dari susah tidur yang tidak terlalu parah sampai menderita penyakit yang disebut dengan insomnia. Penyebabnya bisa beragam. Ada yang diakibatkan faktor pikiran. Rasa takut, khawatir, kegagalan-kegagalan, memikirkan pekerjaan dan sebagainya bisa mempengaruhi pikiran dan psikis kita. Stres dan depresi muncul akibat banyaknya tekanan bertubi-tubi sehingga membuat kita sulit tidur. Ada pula yang terlalu sibuk bekerja sehingga lama-lama menjadi sulit untuk tidur. Selain itu bisa juga akibat faktor lingkungan yang tidak mendukung, atau akibat gaya hidup yang buruk. Bahkan rasa kesepian pun bisa membuat orang menjadi sulit tidur. Ada begitu banyak faktor yang bisa menyebabkan manusia sulit tidur. Kalau sekedar untuk tidur saja sulit, apalagi mendapatkan tidur yang berkualitas.
Saya termasuk orang yang mudah tidur. Menurut istri saya, saya hanya butuh kurang dari semenit untuk terlelap. Apakah itu artinya saya selalu tanpa masalah? Tentu saja tidak. Dahulu saya sempat susah untuk tidur, karena saya aslinya tipikal orang yang gampang kuatir dan cenderung berpikir terlalu jauh. Saya mudah cemas. Pikiran saya kerap mengembara jauh memikirkan hal-hal yang negatif yang belum terjadi, padahal kebanyakan dari yang saya takutkan tidak terjadi. Saya bisa butuh waktu lebih dari satu jam, hanya berputar-putar di tempat tidur tapi tidak kunjung terlelap. Setelah saya lahir baru, saya belajar dari sebuah ayat yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27). Rangkaian ayat dalam Matius 6:25-34 menguatkan saya dan membuat saya menyadari bahwa kekuatiran bukannya menambah umur tapi malah mengganggu kesehatan dan memperpendek hidup. Sejak saat itu saya hidup jauh lebih tenang, terus melatih diri saya agar tidak kuatir dan itu ternyata berpengaruh terhadap tidur saya.
Mari kita lihat kisah Daud. Perjalanan hidup Daud bukannya tanpa masalah. Daud berulang kali mendapatkan ancaman dan masalah. Ia manusia juga sama seperti kita yang bisa dicekam rasa takut pada saat-saat tertentu. Tapi lihatlah apa kata Daud pada ayat bacaan hari ini. "Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman." (Mazmur 4:9).
Meski Daud mengalami situasi-situasi sulit yang bahkan mengancam nyawanya, ia ternyata bisa tetap tidur dengan tentram dalam damai. Bagaimana rahasianya? Rahasianya sederhana saja, karena Daud tahu pasti ada Tuhan yang menjaga dirinya, memastikan bahwa hidupnya ada dalam keadaan aman. Pada ayat sebelumnya kita juga membaca bahwa Daud merasakan sukacita yang diberikan Tuhan kepadanya (ay 8), ada sinar cahaya wajah Tuhan menyinarinya (ay 7), perlunya mempersembahkan korban yang benar dan percaya sepenuhnya pada Tuhan yang mampu melepaskan dari jerat masalah seberat apapun (ay 6), tidak membawa emosi atau kemarahan berlarut-larut ke tempat tidur (ay 5). Daud juga menyadari bahwa Tuhan selalu mendengarkan orang yang berseru padaNya (ay 4) dan selalu siap memberikan kelegaan dalam kesesakan. (ay 2).
Singkatnya, Daud menyadari dengan sepenuhnya bahwa Tuhan penuh kasih setia menyertai anak-anakNya dan punya kuasa jauh lebih besar dari masalah terbesar sekalipun. Jika demikian, ia tidak perlu merasa sulit tidur. Daud pun bisa tidur nyenyak dengan tentram. Daud pun berkata: "Aku membaringkan diri, lalu tidur; aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!" (Mazmur 3:6).
Perhatikanlah bayi dan anak yang masih sangat kecil. Lihat bagaimana mereka bisa tidur dengan damai saat digendong orang tua atau orang yang mereka kenal baik. Bagaimana mereka bisa tidur nyenyak seperti itu? Itu karena mereka merasa tenang dan aman karena berada dalam tangan orang yang mereka sayang dan percaya. Bayi tidak punya pikiran rumit seperti kita. Mereka menyerahkan atau menggantungkan hidup mereka kepada orang-orang yang mereka anggap pasti melindungi dan menyayangi mereka. Kalau kita sayang dan percaya kepada Tuhan, bukankah kita seharusnya pun sama seperti bayi? Tuhan selalu siap menggendong anak-anakNya, menjaga anak-anakNya agar tetap selamat dalam kondisi seperti apapun. Kalau kita menyadari hal ini, seharusnya kita tidak perlu harus mengalami masalah sulit tidur dan seharusnya bisa memiliki pikiran yang tenang bersama Tuhan yang akan selalu ada bersama kita.
Dimanapun, kapanpun, kita bisa berhadapan dengan masalah. Meski demikian, ingatlah bahwa Tuhan punya kuasa yang jauh melebihi apapun itu. Yesus sendiri berkata "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28). Ada jaminan dari Tuhan untuk terus menopang kita. Masalah boleh hadir, namun janganlah masalah itu membebani pikiran kita secara berlebihan sehingga membuat kita sulit tidur dan akhirnya justru mengalami lebih banyak masalah. Ketakutan yang terus dibiarkan berlarut-larut, rasa cemas, kuatir akan sesuatu termasuk akan hari depan bisa merampas sukacita dan membuat kita kehilangan pengharapan. Bagaimanapun juga tidur sehat berkualitas itu sangat kita butuhkan.
Jika di antara teman-teman ada yang mengalami timbunan masalah, beban pikiran, gangguan secara psikologis dan sebagainya, ingatlah ada Tuhan Yesus yang selalu siap memberi kelegaan dan mampu menjaga anda. Berserahlah kepadaNya dan ijinkan Dia berkerja dalam diri anda. Malam ini datanglah padaNya dan rasakan jamahan Tuhan memberi anda kelegaan. Lepaskan beban pikiran dan lain-lain yang membuat anda sulit beristirahat. Selamat beristirahat, sweet dream.
Jangan ijinkan pikiran mengganggu anda. Tidurlah dengan nyenyak dalam damai Tuhan
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sunday, September 25, 2016
Patuhi Papan Peringatan dan Rambu
Ayat bacaan: Amsal 13:14
=====================
"Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut."
Di beberapa pantai ada papan peringatan awas hiu. Biasanya papan ini dipasang pada bagian pantai dimana hiu sering dijumpai atau terlihat. Ada juga beberapa pantai yang menerapkan sistum pasang-cabut, memasang papan peringatan pada saat ada hiu terlihat oleh penjaga pantai. Kalau bandel? Ya, siap-siap kehilangan nyawa digigit hiu. Ada pantai yang mungkin tidak terindikasi ada hiunya tapi punya ombak yang besar dan ganas. Di pantai seperti ini pun papan larangan agar tidak berenang dipasang. Ada papan yang dipasang sebagai penanda batas aman untuk bermain air, dan lain sebagainya. Meski banyak yang suka ke pantai untuk bermain air, namun papan peringatan yang ada haruslah diperhatikan dengan baik. Takutnya kalau penjaga pantai sedang lengah dan anda tidak hati-hati melihat papan, nyawa yang menjadi taruhannya. Pindah lokasi dari pantai ke jalan raya, kita pun akan menemukan banyak rambu. Ada rambu yang mengatur ketertiban umum, ada juga rambu yang dibuat untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas yang juga bisa mengorbankan nyawa.
Demikan pula halnya dengan hidup kita. Agar bisa masuk ke dalam kehidupan yang kekal nanti dengan selamat, ada sejumlah "papan peringatan" atau rambu-rambu yang telah sejak awal Tuhan ingatkan pada kita. 'Papan-papan peringatan' atau 'rambu' ini bertujuan untuk melindungi kita dan menjaga agar kita tidak terjatuh ke dalam berbagai jerat maut dan karenanya kehilangan kesempatan untuk beroleh keselamatan. Dalam Amsal ada ayat yang berbunyi: "Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut." (Amsal 13:14).
Ayat ini berbicara mengenai nasihat agar kita mendengarkan ajaran-ajaran yang bijaksana baik dari orang tua kita, kakak, guru, dosen, pendeta dan orang lainnya yang bijaksana. Ayat ini sungguh penting terutama untuk mengingatkan kita agar berhati-hati terhadap jerat-jerat yang dipasang oleh iblis dan mengingatkan kita untuk terus mencari hikmat yang berasal dari Tuhan. Seperti halnya jika kita tidak peduli terhadap papan larangan di pantai sehingga kita bisa terancam oleh maut atau saat kita tidak menaati rambu lalu lintas, kehidupan rohani kita bisa terancam oleh jerat-jerat maut apabila kita tidak mengindahkan rambu-rambu yang sudah ditetapkan oleh Tuhan.
Paulus memberikan cara agar kita terhindar dari jerat-jerat maut ini seperti yang tertulis dalam suratnya kepada jemaat Efesus. "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis." (Efesus 6:11) Berbagai perlengkapan senjata Allah itu bisa dibaca pada ayat 14 hingga ayat ke 17. Kita harus tetap waspada terhadap berbagai siasat iblis yang siap menjerat kita setiap waktu. Berhati-hatilah karena ada jalan yang disangka lurus tapi ujungnya menuju maut. (Amsal 16:25). Kita harus benar-benar waspada karena iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat Terang. (2 Korintus 11:14). Begitu pintarnya iblis mempergunakan tipu muslihatnya untuk menjerat dan menjerumuskan kita lewat berbagai hal. Masih mending kalau iblis cuma menakut-nakuti, iblis bisa melancarkan serangan lewat sesuatu yang tampaknya menyenangkan, menarik atau memikat.
Oleh karena itu kita perlu terus memperlengkapi diri dengan perlengkapan senjata Allah dan tidak menutup telinga kita terhadap ajaran orang-orang yang lebih bijaksana dari kita. Dan jangan lupa teruslah perkaya diri dengan firman Tuhan dan rajin-rajin bersekutu denganNya. Hari-hari ini ada begitu banyak jerat yang dipasang iblis dimana-mana. Perhatikan baik-baik berbagai "papan peringatan" atau "rambu-rambu" dari Tuhan dan taatilah. Jangan melanggar atau melawan agar jangan sampai satu pun dari kita terjebak menuju maut dan kehilangan kesempatan untuk menerima anugerah keselamatan yang sudah diberikan lewat Yesus.
Patuhi rambu dari Tuhan agar selamat
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=====================
"Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut."
Di beberapa pantai ada papan peringatan awas hiu. Biasanya papan ini dipasang pada bagian pantai dimana hiu sering dijumpai atau terlihat. Ada juga beberapa pantai yang menerapkan sistum pasang-cabut, memasang papan peringatan pada saat ada hiu terlihat oleh penjaga pantai. Kalau bandel? Ya, siap-siap kehilangan nyawa digigit hiu. Ada pantai yang mungkin tidak terindikasi ada hiunya tapi punya ombak yang besar dan ganas. Di pantai seperti ini pun papan larangan agar tidak berenang dipasang. Ada papan yang dipasang sebagai penanda batas aman untuk bermain air, dan lain sebagainya. Meski banyak yang suka ke pantai untuk bermain air, namun papan peringatan yang ada haruslah diperhatikan dengan baik. Takutnya kalau penjaga pantai sedang lengah dan anda tidak hati-hati melihat papan, nyawa yang menjadi taruhannya. Pindah lokasi dari pantai ke jalan raya, kita pun akan menemukan banyak rambu. Ada rambu yang mengatur ketertiban umum, ada juga rambu yang dibuat untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas yang juga bisa mengorbankan nyawa.
Demikan pula halnya dengan hidup kita. Agar bisa masuk ke dalam kehidupan yang kekal nanti dengan selamat, ada sejumlah "papan peringatan" atau rambu-rambu yang telah sejak awal Tuhan ingatkan pada kita. 'Papan-papan peringatan' atau 'rambu' ini bertujuan untuk melindungi kita dan menjaga agar kita tidak terjatuh ke dalam berbagai jerat maut dan karenanya kehilangan kesempatan untuk beroleh keselamatan. Dalam Amsal ada ayat yang berbunyi: "Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut." (Amsal 13:14).
Ayat ini berbicara mengenai nasihat agar kita mendengarkan ajaran-ajaran yang bijaksana baik dari orang tua kita, kakak, guru, dosen, pendeta dan orang lainnya yang bijaksana. Ayat ini sungguh penting terutama untuk mengingatkan kita agar berhati-hati terhadap jerat-jerat yang dipasang oleh iblis dan mengingatkan kita untuk terus mencari hikmat yang berasal dari Tuhan. Seperti halnya jika kita tidak peduli terhadap papan larangan di pantai sehingga kita bisa terancam oleh maut atau saat kita tidak menaati rambu lalu lintas, kehidupan rohani kita bisa terancam oleh jerat-jerat maut apabila kita tidak mengindahkan rambu-rambu yang sudah ditetapkan oleh Tuhan.
Paulus memberikan cara agar kita terhindar dari jerat-jerat maut ini seperti yang tertulis dalam suratnya kepada jemaat Efesus. "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis." (Efesus 6:11) Berbagai perlengkapan senjata Allah itu bisa dibaca pada ayat 14 hingga ayat ke 17. Kita harus tetap waspada terhadap berbagai siasat iblis yang siap menjerat kita setiap waktu. Berhati-hatilah karena ada jalan yang disangka lurus tapi ujungnya menuju maut. (Amsal 16:25). Kita harus benar-benar waspada karena iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat Terang. (2 Korintus 11:14). Begitu pintarnya iblis mempergunakan tipu muslihatnya untuk menjerat dan menjerumuskan kita lewat berbagai hal. Masih mending kalau iblis cuma menakut-nakuti, iblis bisa melancarkan serangan lewat sesuatu yang tampaknya menyenangkan, menarik atau memikat.
Oleh karena itu kita perlu terus memperlengkapi diri dengan perlengkapan senjata Allah dan tidak menutup telinga kita terhadap ajaran orang-orang yang lebih bijaksana dari kita. Dan jangan lupa teruslah perkaya diri dengan firman Tuhan dan rajin-rajin bersekutu denganNya. Hari-hari ini ada begitu banyak jerat yang dipasang iblis dimana-mana. Perhatikan baik-baik berbagai "papan peringatan" atau "rambu-rambu" dari Tuhan dan taatilah. Jangan melanggar atau melawan agar jangan sampai satu pun dari kita terjebak menuju maut dan kehilangan kesempatan untuk menerima anugerah keselamatan yang sudah diberikan lewat Yesus.
Patuhi rambu dari Tuhan agar selamat
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, September 24, 2016
Ciptaan yang Istimewa (2)
(sambungan)
Dari kedua ayat ini kita bisa melihat bahwa sebagai mahluk ciptaan Tuhan kita tidak boleh meletakkan harapan kekuatan sendiri atau orang lain, tetapi sudah seharusnya kepada Tuhan, Bapa yang membentuk kita, hasil buatan tanganNya yang istimewa. Kita harus menyadari bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya, dan kita hanyalah ciptaanNya yang dibentuk dengan tanah liat dan diberi nyawa lewat hembusan nafasNya sendiri. Dia sudah memberi rancangan atau rencana terbaik bagi kita hingga mencapai garis akhir menuju hidup yang kekal. Jika demikian, sangatlah keliru apabila kita hanya menggantungkan harapan kepada yang lain selain Tuhan. Seharusnya kita mencari tahu apa panggilan kita, menjalani hidup sesuai sekuens Tuhan dan merendahkan diri kita agar Tuhan tetap ditinggikan atas apapun yang kita lakukan. Itu akan membuat kita bisa memiliki sebuah kualitas kehidupan yang tinggi, tidak mudah tergoncang, penuh damai sukacita tanpa tergantung pada situasi dan kondisi. Itu akan memampukan kita menuai segala rencana terbaik Tuhan atas kita.
Mari kita lihat lebih jauh status kita dibanding Tuhan yang disampaikan lewat Yeremia. Dalam pembuka Yeremia 18 kita membaca bahwa Tuhan menyuruh Yeremia ke tukang periuk untuk mendapat pelajaran penting mengenai hakekat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Jika kita adalah tanah liat, maka Tuhan adalah Penjunan kita. Sebagai tanah liat tentu kita tidak punya kehebatan atau kuasa apa-apa. Tanah liat tidak pernah bisa mengatur pembuatnya untuk membentuk dirinya sesuai dengan keinginannya. Tapi si pembuatlah yang pasti mengenal jenis tanah liat dan seperti apa ia bisa dibentuk agar hasilnya bisa seindah mungkin. Demikianlah sebuah pelajaran yang dipetik oleh Yeremia lewat seorang tukang periuk. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4).
Itulah hasil pengamatan Yeremia. Lalu Tuhan berkata: "Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!" (ay 6). Tuhanlah sang Pembuat, sedang kita adalah tanah liat yang berada di tangan sang Pembuatnya. Karenanya bukan segala kuat, hebat dan harta kita yang bisa membuat kita menjadi baik, berkelimpahan dan selamat, namun semata-mata karena kehebatan Tuhan membentuk kita-lah maka kita bisa menjadi bejana-bejana yang indah. Menyombongkan diri atau berlindung di belakang orang lain adalah sebuah sikap yang memalukan, karena itu artinya si orang tersebut tidak menyadari betul siapa dia sebenarnya. Malah Alkitab mencatat demikian "Beginilah firman TUHAN: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5).
Tuhan sebagai sang Penjunan atau sang Pembuat periuk/bejana tentu mengenal karakter ciptaanNya, para "tanah liat", dengan sangat baik dan tahu pula apa yang terbaik buat kita masing-masing. Saat Dia ingin mereparasi bagian yang rusak, disana kita akan melewati sebuah proses pembentukan ulang karakter. Proses itu seringkali tidak nyaman bahkan menyakitkan. Tapi lihatlah nanti, sebuah bejana yang sangat indah akan terbentuk.
Kita hanyalah tanah liat yang tidak lebih dari hembusan nafas. Tidak seharusnya kita bersikap paling hebat di atas segala-galanya dan hidup seenaknya dengan kekuatan diri kita sendiri maupun orang lain dan merasa lebih hebat atau lebih tahu dari Sang Penjunan. Ingatlah bahwa di atas sana ada Tuhan yang begitu mengasihi kita, menganggap setiap kita sebagai ciptaanNya yang teristimewa dan tidak ingin satupun dari kita binasa. Hiduplah sesuai rencanaNya. Muliakan Tuhan dalam segala yang kita lakukan dan terus menjadi terang dan garam bagi sesama. Tuhan akan bangga atas hasil ciptaanNya yang istimewa, dan senang bahwa semua yang terbaik yang Dia inginkan tidak luput dari kita.
God knows what's the best for us more than others say about us
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Dari kedua ayat ini kita bisa melihat bahwa sebagai mahluk ciptaan Tuhan kita tidak boleh meletakkan harapan kekuatan sendiri atau orang lain, tetapi sudah seharusnya kepada Tuhan, Bapa yang membentuk kita, hasil buatan tanganNya yang istimewa. Kita harus menyadari bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya, dan kita hanyalah ciptaanNya yang dibentuk dengan tanah liat dan diberi nyawa lewat hembusan nafasNya sendiri. Dia sudah memberi rancangan atau rencana terbaik bagi kita hingga mencapai garis akhir menuju hidup yang kekal. Jika demikian, sangatlah keliru apabila kita hanya menggantungkan harapan kepada yang lain selain Tuhan. Seharusnya kita mencari tahu apa panggilan kita, menjalani hidup sesuai sekuens Tuhan dan merendahkan diri kita agar Tuhan tetap ditinggikan atas apapun yang kita lakukan. Itu akan membuat kita bisa memiliki sebuah kualitas kehidupan yang tinggi, tidak mudah tergoncang, penuh damai sukacita tanpa tergantung pada situasi dan kondisi. Itu akan memampukan kita menuai segala rencana terbaik Tuhan atas kita.
Mari kita lihat lebih jauh status kita dibanding Tuhan yang disampaikan lewat Yeremia. Dalam pembuka Yeremia 18 kita membaca bahwa Tuhan menyuruh Yeremia ke tukang periuk untuk mendapat pelajaran penting mengenai hakekat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Jika kita adalah tanah liat, maka Tuhan adalah Penjunan kita. Sebagai tanah liat tentu kita tidak punya kehebatan atau kuasa apa-apa. Tanah liat tidak pernah bisa mengatur pembuatnya untuk membentuk dirinya sesuai dengan keinginannya. Tapi si pembuatlah yang pasti mengenal jenis tanah liat dan seperti apa ia bisa dibentuk agar hasilnya bisa seindah mungkin. Demikianlah sebuah pelajaran yang dipetik oleh Yeremia lewat seorang tukang periuk. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4).
Itulah hasil pengamatan Yeremia. Lalu Tuhan berkata: "Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!" (ay 6). Tuhanlah sang Pembuat, sedang kita adalah tanah liat yang berada di tangan sang Pembuatnya. Karenanya bukan segala kuat, hebat dan harta kita yang bisa membuat kita menjadi baik, berkelimpahan dan selamat, namun semata-mata karena kehebatan Tuhan membentuk kita-lah maka kita bisa menjadi bejana-bejana yang indah. Menyombongkan diri atau berlindung di belakang orang lain adalah sebuah sikap yang memalukan, karena itu artinya si orang tersebut tidak menyadari betul siapa dia sebenarnya. Malah Alkitab mencatat demikian "Beginilah firman TUHAN: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5).
Tuhan sebagai sang Penjunan atau sang Pembuat periuk/bejana tentu mengenal karakter ciptaanNya, para "tanah liat", dengan sangat baik dan tahu pula apa yang terbaik buat kita masing-masing. Saat Dia ingin mereparasi bagian yang rusak, disana kita akan melewati sebuah proses pembentukan ulang karakter. Proses itu seringkali tidak nyaman bahkan menyakitkan. Tapi lihatlah nanti, sebuah bejana yang sangat indah akan terbentuk.
Kita hanyalah tanah liat yang tidak lebih dari hembusan nafas. Tidak seharusnya kita bersikap paling hebat di atas segala-galanya dan hidup seenaknya dengan kekuatan diri kita sendiri maupun orang lain dan merasa lebih hebat atau lebih tahu dari Sang Penjunan. Ingatlah bahwa di atas sana ada Tuhan yang begitu mengasihi kita, menganggap setiap kita sebagai ciptaanNya yang teristimewa dan tidak ingin satupun dari kita binasa. Hiduplah sesuai rencanaNya. Muliakan Tuhan dalam segala yang kita lakukan dan terus menjadi terang dan garam bagi sesama. Tuhan akan bangga atas hasil ciptaanNya yang istimewa, dan senang bahwa semua yang terbaik yang Dia inginkan tidak luput dari kita.
God knows what's the best for us more than others say about us
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, September 23, 2016
Ciptaan yang Istimewa (1)
Ayat bacaan: Yesaya 64:8
======================
"Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu."
Hari ini saya teringat pada sebuah kreasi yang pernah saya buat waktu kecil. Sewaktu masih di sekolah dasar saya pernah mengerjakan tugas membuat ruang tamu dari kotak korek api dan beberapa bahan sederhana lainnya. Dengan dibantu ayah saya, saya pun merancang kreasi menurut imajinasi saya yang terbaik pada masa itu. Ada bagian yang dicat, ada yang ditempel dengan kertas, yang penting saya bisa menumpahkan ide dan imajinasi saya sedapat-dapatnya dan berusaha membuatnya seindah mungkin. Setelah jadi, hasilnya memuaskan saya. Untuk waktu yang lama kreasi saya itu saya pajang di sebuah tempat. Suatu kali entah tersenggol siapa atau apa, ada beberapa bagian yang rusak. Betapa kecewanya saya waktu itu. Saya ingat apa yang saya lakukan: mencoba sebisanya memperbaikinya lagi. Menghabiskan waktu untuk mengembalikan ke bentuk semula. Ada bagian yang diganti, ada yang cukup di lem saja, ada yang harus ditambal, dibungkus ulang dan sebagainya. Saya masih mengingat hal ini dengan jelas karena itu adalah kreasi saya yang pertama, dan terasa sangat membanggakan.
Pengalaman masa kecil saya itu mengingatkan saya tentang bagaimana Tuhan menciptakan dan menginginkan yang terbaik buat ciptaanNya. Tuhan mencurahkan hatiNya untuk membuat yang terbaik, dan merencanakan segala sesuatu yang terbaik pula bagi manusia, His masterpiece of creation, ciptaanNya yang teristimewa. Semua ciptaanNya Dia katakan dibuat dengan sungguh amat baik, suitable, pleasant, menyenangkan dan membanggakan hatiNya, tetapi manusia mendapat perlakuan khusus dalam pembuatannya. Kita diciptakan Allah secara istimewa dengan mengambil gambar dan rupanya sendiri (Kejadian 1:26-27) dengan mengambil bahan dasar tanah dan membuatnya hidup dengan menghembuskan nafas ke dalam hidungnya (2:7). Itu adalah sebuah awal yang indah dari manusia, yang juga menggambarkan sebuah hubungan yang lekat dengan Penciptanya.
Ketika manusia jatuh dalam dosa, manusia pun rusak dan terputus hubungannya dengan Tuhan. Tuhan menganggap penting untuk melakukan langkah atau misi penyelamatan dengan mengorbankan AnakNya yang tunggal agar tidak satupun dari kita binasa melainkan beroleh kehidupan kekal. (Yohanes 3:16). Kepada kita semua Tuhan sudah merencanakan yang terbaik, "... rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Artinya, Tuhan ingin memberi yang terbaik bagi kita, menjamin hidup orang-orang yang hidup seturut kehendak dan rencanaNya, baik dalam kehidupan pada fase dunia menuju keselamatan yang kekal, bersamaNya kelak di Surga. Dia berkepentingan memperbaiki bagian-bagian yang rusak dari diri kita untuk dikembalikan kepada keindahan semula sesuai saat Dia membentuk kita.
Jika melihat ini semua, alangkah ironis ketika manusia merasa berhak untuk bersikap sombong, memamerkan harta kekayaan, kekuatan, status, pangkat, jabatan, koneksi dengan orang-orang berkuasa dan lain-lain. Sesombong-sombongnya manusia, pada saatnya kelak semuanya harus menghadapi Sang Pencipta, dan tidak akan ada satupun yang bisa mengelak dari pertanggungjawaban sepenuhnya atas perbuatan selama hidup. Siapapun kita, tak peduli sebesar apa kekuasaan atau kekayaan kita saat ini, kita tidaklah lebih dari sosok yang kata Alkitab hanya dibentuk dari tanah liat.
Dalam kitab Yesaya dikatakan: "Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu." (Yesaya 64:8). Dalam ayat lain Yesaya mengatakan bahwa manusia tidaklah lebih dari hembusan nafas semata, sehingga kita jangan pernah menaruh harapan terlalu tinggi pada sebuah figur atau sosok manusia. "Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22).
(bersambung)
======================
"Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu."
Hari ini saya teringat pada sebuah kreasi yang pernah saya buat waktu kecil. Sewaktu masih di sekolah dasar saya pernah mengerjakan tugas membuat ruang tamu dari kotak korek api dan beberapa bahan sederhana lainnya. Dengan dibantu ayah saya, saya pun merancang kreasi menurut imajinasi saya yang terbaik pada masa itu. Ada bagian yang dicat, ada yang ditempel dengan kertas, yang penting saya bisa menumpahkan ide dan imajinasi saya sedapat-dapatnya dan berusaha membuatnya seindah mungkin. Setelah jadi, hasilnya memuaskan saya. Untuk waktu yang lama kreasi saya itu saya pajang di sebuah tempat. Suatu kali entah tersenggol siapa atau apa, ada beberapa bagian yang rusak. Betapa kecewanya saya waktu itu. Saya ingat apa yang saya lakukan: mencoba sebisanya memperbaikinya lagi. Menghabiskan waktu untuk mengembalikan ke bentuk semula. Ada bagian yang diganti, ada yang cukup di lem saja, ada yang harus ditambal, dibungkus ulang dan sebagainya. Saya masih mengingat hal ini dengan jelas karena itu adalah kreasi saya yang pertama, dan terasa sangat membanggakan.
Pengalaman masa kecil saya itu mengingatkan saya tentang bagaimana Tuhan menciptakan dan menginginkan yang terbaik buat ciptaanNya. Tuhan mencurahkan hatiNya untuk membuat yang terbaik, dan merencanakan segala sesuatu yang terbaik pula bagi manusia, His masterpiece of creation, ciptaanNya yang teristimewa. Semua ciptaanNya Dia katakan dibuat dengan sungguh amat baik, suitable, pleasant, menyenangkan dan membanggakan hatiNya, tetapi manusia mendapat perlakuan khusus dalam pembuatannya. Kita diciptakan Allah secara istimewa dengan mengambil gambar dan rupanya sendiri (Kejadian 1:26-27) dengan mengambil bahan dasar tanah dan membuatnya hidup dengan menghembuskan nafas ke dalam hidungnya (2:7). Itu adalah sebuah awal yang indah dari manusia, yang juga menggambarkan sebuah hubungan yang lekat dengan Penciptanya.
Ketika manusia jatuh dalam dosa, manusia pun rusak dan terputus hubungannya dengan Tuhan. Tuhan menganggap penting untuk melakukan langkah atau misi penyelamatan dengan mengorbankan AnakNya yang tunggal agar tidak satupun dari kita binasa melainkan beroleh kehidupan kekal. (Yohanes 3:16). Kepada kita semua Tuhan sudah merencanakan yang terbaik, "... rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Artinya, Tuhan ingin memberi yang terbaik bagi kita, menjamin hidup orang-orang yang hidup seturut kehendak dan rencanaNya, baik dalam kehidupan pada fase dunia menuju keselamatan yang kekal, bersamaNya kelak di Surga. Dia berkepentingan memperbaiki bagian-bagian yang rusak dari diri kita untuk dikembalikan kepada keindahan semula sesuai saat Dia membentuk kita.
Jika melihat ini semua, alangkah ironis ketika manusia merasa berhak untuk bersikap sombong, memamerkan harta kekayaan, kekuatan, status, pangkat, jabatan, koneksi dengan orang-orang berkuasa dan lain-lain. Sesombong-sombongnya manusia, pada saatnya kelak semuanya harus menghadapi Sang Pencipta, dan tidak akan ada satupun yang bisa mengelak dari pertanggungjawaban sepenuhnya atas perbuatan selama hidup. Siapapun kita, tak peduli sebesar apa kekuasaan atau kekayaan kita saat ini, kita tidaklah lebih dari sosok yang kata Alkitab hanya dibentuk dari tanah liat.
Dalam kitab Yesaya dikatakan: "Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu." (Yesaya 64:8). Dalam ayat lain Yesaya mengatakan bahwa manusia tidaklah lebih dari hembusan nafas semata, sehingga kita jangan pernah menaruh harapan terlalu tinggi pada sebuah figur atau sosok manusia. "Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22).
(bersambung)
Thursday, September 22, 2016
Taatlah pada Aturan (2)
(sambungan)
Sudah sedemikian besar janji Tuhan, tapi bagaimana respon bangsa Israel? Mereka membandel, dan kebebalan mereka membuat mereka menolak untuk patuh. Firman Tuhan selanjutnya berbunyi: "Tetapi umat-Ku tidak mendengarkan suara-Ku, dan Israel tidak suka kepada-Ku." (ay 12). Seperti yang saya sebutkan dalam beberapa renungan terdahulu, perbuatan bangsa ini sungguh kelewatan. Bayangkan, bangsa Israel sudah merasakan sendiri bagaimana Tuhan menuntun mereka keluar dari tanah perbudakan untuk menuju tanah terjanji yang melimpah susu dan madunya, dan Tuhan pun telah melakukan begitu banyak mukjizat buat mereka sepanjang perjalanan. Tapi agaknya mereka meremehkan, mengabaikan dan melupakan itu semua. Bukannya patuh tapi malah membandel dan mengatakan tidak suka kepada Allah seperti apa yang ditulis dalam ayat 12 tadi. Mereka menganggap Tuhan sebagai Pribadi yang egois, penuntut atau tidak suka melihat mereka senang.
Yang terjadi selanjutnya, Tuhan pun membiarkan mereka dengan pilihannya. "Sebab itu Aku membiarkan dia dalam kedegilan hatinya; biarlah mereka berjalan mengikuti rencananya sendiri!" (ay 13). Seandainya saja mereka mau mendengar, lihatlah apa yang disediakan Tuhan itu. "Sekiranya umat-Ku mendengarkan Aku! Sekiranya Israel hidup menurut jalan yang Kutunjukkan! Seketika itu juga musuh mereka Aku tundukkan, dan terhadap para lawan mereka Aku balikkan tangan-Ku. Orang-orang yang membenci TUHAN akan tunduk menjilat kepada-Nya, dan itulah nasib mereka untuk selama-lamanya. Tetapi umat-Ku akan Kuberi makan gandum yang terbaik dan dengan madu dari gunung batu Aku akan mengenyangkannya." (ay 14-17).
Bukankah semua itu merupakan janji yang sungguh luar biasa? Sayangnya mereka tetap bandel dan memilih sendiri jalan mereka. Dan yang terjadi sangat menyedihkan. Sejarah mencatat bahwa keputusan Israel itu kemudian membawa konsekuensi buruk buat mereka. Perilaku bandel itu membuat mereka terpuruk. Dijajah musuh, hancur berantakan, jauh dari apa yang sebenarnya telah disediakan Tuhan bagi mereka.
Kebandelan tidak akan pernah membawa manfaat sebaliknya justru akan berdampak buruk bagi kita. Resikonya jelas, konsekuensinya nyata, bisa jadi membawa akibat sangat fatal dan sukar untuk diperbaiki lagi. Kita menganggap bahwa sifat tidak suka dilarang, anti peraturan dan cepat tersinggung ketika diingatkan itu adalah manusiawi dan bisa ditoleransi. Tetapi Tuhan sesungguhnya tidak menginginkan kita menjadi pribadi-pribadi yang keras kepala atau degil seperti itu. Tuhan rindu agar kita memiliki hati yang lembut yang siap dibentuk, setia dan taat terhadap peraturan terutama ketetapanNya.
Firman Tuhan berkata: "Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu." (Ulangan 10:12-13). Bangsa Israel sudah merasakan sendiri konsekuensi yang harus mereka hadapi akibat kedegilan mereka melawan Tuhan dalam begitu banyak kesempatan. Hanya gara-gara ingin dianggap keren orang-orang yang mengemplang peraturan berlalu lintas tidak sadar bahwa mereka bisa membahayakan jiwa banyak orang. Padahal tidak ada keren-kerennya sama sekali, justru itu menunjukkan sikap yang tidak terdidik dan terpuji.
Sebuah larangan memang bisa terlihat seperti membatasi pergerakan kita dan membuat kita seolah tidak bisa menikmati hal-hal yang tampaknya menarik dan menyenangkan di dunia. Sebuah peraturan bisa terlihat bagaikan menghalangi kita untuk bersenang-senang. Tetapi itu semua bertujuan baik, agar kita bisa terhindar dari masalah dan penderitaan yang dapat berujung pada kebinasaan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Apakah itu langsung dari Tuhan, lewat hati nurani kita, atau lewat orang tua, saudara atau sahabat yang peduli kepada kita, bersyukurlah dan berterima kasihlah jika diingatkan. Jangan keraskan hati apalagi menuduh, sebab larangan atau peringatan yang baik yang kita terima sesungguhnya bisa menghindarkan kita dari kejadian-kejadian yang kelak akan kita sesali sendiri.
Tuhan memberi larangan bukan untuk kepuasanNya melainkan demi kebaikan kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sudah sedemikian besar janji Tuhan, tapi bagaimana respon bangsa Israel? Mereka membandel, dan kebebalan mereka membuat mereka menolak untuk patuh. Firman Tuhan selanjutnya berbunyi: "Tetapi umat-Ku tidak mendengarkan suara-Ku, dan Israel tidak suka kepada-Ku." (ay 12). Seperti yang saya sebutkan dalam beberapa renungan terdahulu, perbuatan bangsa ini sungguh kelewatan. Bayangkan, bangsa Israel sudah merasakan sendiri bagaimana Tuhan menuntun mereka keluar dari tanah perbudakan untuk menuju tanah terjanji yang melimpah susu dan madunya, dan Tuhan pun telah melakukan begitu banyak mukjizat buat mereka sepanjang perjalanan. Tapi agaknya mereka meremehkan, mengabaikan dan melupakan itu semua. Bukannya patuh tapi malah membandel dan mengatakan tidak suka kepada Allah seperti apa yang ditulis dalam ayat 12 tadi. Mereka menganggap Tuhan sebagai Pribadi yang egois, penuntut atau tidak suka melihat mereka senang.
Yang terjadi selanjutnya, Tuhan pun membiarkan mereka dengan pilihannya. "Sebab itu Aku membiarkan dia dalam kedegilan hatinya; biarlah mereka berjalan mengikuti rencananya sendiri!" (ay 13). Seandainya saja mereka mau mendengar, lihatlah apa yang disediakan Tuhan itu. "Sekiranya umat-Ku mendengarkan Aku! Sekiranya Israel hidup menurut jalan yang Kutunjukkan! Seketika itu juga musuh mereka Aku tundukkan, dan terhadap para lawan mereka Aku balikkan tangan-Ku. Orang-orang yang membenci TUHAN akan tunduk menjilat kepada-Nya, dan itulah nasib mereka untuk selama-lamanya. Tetapi umat-Ku akan Kuberi makan gandum yang terbaik dan dengan madu dari gunung batu Aku akan mengenyangkannya." (ay 14-17).
Bukankah semua itu merupakan janji yang sungguh luar biasa? Sayangnya mereka tetap bandel dan memilih sendiri jalan mereka. Dan yang terjadi sangat menyedihkan. Sejarah mencatat bahwa keputusan Israel itu kemudian membawa konsekuensi buruk buat mereka. Perilaku bandel itu membuat mereka terpuruk. Dijajah musuh, hancur berantakan, jauh dari apa yang sebenarnya telah disediakan Tuhan bagi mereka.
Kebandelan tidak akan pernah membawa manfaat sebaliknya justru akan berdampak buruk bagi kita. Resikonya jelas, konsekuensinya nyata, bisa jadi membawa akibat sangat fatal dan sukar untuk diperbaiki lagi. Kita menganggap bahwa sifat tidak suka dilarang, anti peraturan dan cepat tersinggung ketika diingatkan itu adalah manusiawi dan bisa ditoleransi. Tetapi Tuhan sesungguhnya tidak menginginkan kita menjadi pribadi-pribadi yang keras kepala atau degil seperti itu. Tuhan rindu agar kita memiliki hati yang lembut yang siap dibentuk, setia dan taat terhadap peraturan terutama ketetapanNya.
Firman Tuhan berkata: "Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu." (Ulangan 10:12-13). Bangsa Israel sudah merasakan sendiri konsekuensi yang harus mereka hadapi akibat kedegilan mereka melawan Tuhan dalam begitu banyak kesempatan. Hanya gara-gara ingin dianggap keren orang-orang yang mengemplang peraturan berlalu lintas tidak sadar bahwa mereka bisa membahayakan jiwa banyak orang. Padahal tidak ada keren-kerennya sama sekali, justru itu menunjukkan sikap yang tidak terdidik dan terpuji.
Sebuah larangan memang bisa terlihat seperti membatasi pergerakan kita dan membuat kita seolah tidak bisa menikmati hal-hal yang tampaknya menarik dan menyenangkan di dunia. Sebuah peraturan bisa terlihat bagaikan menghalangi kita untuk bersenang-senang. Tetapi itu semua bertujuan baik, agar kita bisa terhindar dari masalah dan penderitaan yang dapat berujung pada kebinasaan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Apakah itu langsung dari Tuhan, lewat hati nurani kita, atau lewat orang tua, saudara atau sahabat yang peduli kepada kita, bersyukurlah dan berterima kasihlah jika diingatkan. Jangan keraskan hati apalagi menuduh, sebab larangan atau peringatan yang baik yang kita terima sesungguhnya bisa menghindarkan kita dari kejadian-kejadian yang kelak akan kita sesali sendiri.
Tuhan memberi larangan bukan untuk kepuasanNya melainkan demi kebaikan kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Wednesday, September 21, 2016
Taatlah pada Aturan (1)
Ayat bacaan: Mazmur 81:9
====================
"Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!"
"Seandainya saya mendengar kata orang tua, saya tentu tidak harus begini." Itu kata seseorang tentang kecelakaan yang dahulu ia alami saat masih remaja yang mengakibatkan ia harus rela kehilangan sebelah kakinya. Meski sudah diingatkan, ditegur bahkan ibunya memohon, ia tetap saja ikut balap liar bersama teman-temannya. Pada suatu hari terjadilah kecelakaan naas itu. Ia pun harus rela kakinya diamputasi. "Saya beruntung masih diberi kesempatan hidup, dan saya tidak mau lagi menyia-nyiakannya." katanya.
Orang ini mendapat pelajaran yang mahal harganya. Ada begitu banyak orang yang baru mau belajar setelah mengalami musibah atau permasalahan dalam hidupnya. Turning point mereka harus melalui sesuatu yang berat dan mendatangkan korban seperti cacat atau bahkan hal-hal yang lebih parah lagi. Banyak anak-anak muda yang merasa keren kalau bisa melanggar aturan, melakukan hal-hal berbahaya seolah nyawanya lebih dari satu. Bahkan dengan enteng orang bisa mengatakan bahwa 'peraturan itu ada untuk dilanggar.' Semakin dilarang, semakin getol melakukannya. Bukankah itu menjadi paradigma berpikir begitu banyak orang terutama yang masih remaja saat ini?
Peraturan atau larangan dibuat bertujuan baik, agar jangan sampai orang celaka atau mengalami kerugian kalau melanggarnya. Lampu merah dipasang di simpang supaya jangan sampai terjadi tabrakan yang bisa menghilangkan nyawa. Tapi lihatlah betapa banyaknya orang yang melanggar lampu merah kalau tidak ada polisi terlihat disana. Bagaimana kalau tabrakan? Alasan mau buru-buru, apakah itu sebanding dengan potensi kecelakaan yang bisa terjadi? Hukuman berat mengancam orang-orang yang menjadi bandar obat-obatan terlarang. Ancamannya idak tanggung-tanggung, hukuman mati. Tapi lihatlah tetap saja ada yang mau jadi bandar. Pemakai bisa mendapat hukuman berat juga, toh tetap saja ada banyak.
Sebuah peraturan dibuat dengan tujuan untuk membuat tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih teratur. Meski ada banyak peraturan yang seiring perkembangan waktu menjadi ketinggalan jaman alias tidak lagi tepat untuk diterapkan dan disisi lain ada banyak pula peraturan yang justru menjadi kontroversi karena hanya mengacu kepada kepentingan sekelompok golongan saja lalu merampas hak golongan lainnya. Tapi pada hakekatnya semua tentu bertujuan baik. Sayangnya tetap saja banyak yang melanggar dengan berbagai alasan, bahkan atas alasan-alasan yang sangat tidak penting seperti cuma kepingin, ingin terlihat hebat dan sebagainya. Demikianlah sifat manusia yang agaknya susah diatur dan bangga melanggar aturan. Seperti yang saya sebutkan di atas, banyak orang yang menganggap bahwa peraturan itu ada untuk dilanggar, bukan untuk suatu tujuan yang baik. Padahal lihatlah bagaimana kebandelan itu bisa merusak atau bahkan membahayakan baik diri kita sendiri maupun orang lain.
Terhadap peraturan di dunia kita terbiasa membangkang, terhadap peraturan Tuhan apalagi. Tuhan sudah memberikan dengan jelas tuntunan hidup yang akan membawa kita kedalam kehidupan yang indah seperti yang diinginkanNya yang mengarah kepada keselamatan yang kekal. Tuhan memberikan batasan-batasan dan larangan-larangan, tapi sejauh mana kita mau mendengarnya? Yang sering terjadi justru sikap membangkang dari kita. Menuduh bahwa Tuhan tidak ingin kita menikmati sesuatu yang menyenangkan, terlalu mengekang, bersikap otoriter atau malah lebih jauh lagi menuduh Tuhan suka melihat kita menderita. Banyak orang yang memilah-milah peraturan Tuhan, hanya melakukan selama tidak bertabrakan dengan kesenangan. Padahal sadarkah kita bahwa itu pun sebenarnya demi kebaikan kita sendiri dan bukan untuk kepuasan Tuhan?
Sikap manusia seperti ini sebenarnya sudah merupakan masalah klasik yang turun temurun sejak jaman dahulu kala. Dari sekian banyak contoh, kita bisa lihat Mazmur 81 yang mencatat bagaimana kesalnya Tuhan dalam menyikapi kebandelan bangsa Israel. Dengan tegas Tuhan sudah mengingatkan: "Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!" (Mazmur 81:9). Teguran ini menunjukkan besarnya kepedulian Tuhan. Dia memberi peringatan bukan demi kepentinganNya melainkan demi kebaikan bangsa Israel sendiri. 'Dengarlah kalau mau', itu kata Tuhan. Apa yang diingatkan Tuhan adalah agar bangsa Israel berhenti menyembah allah-allah asing. "Janganlah ada di antaramu allah lain, dan janganlah engkau menyembah kepada allah asing. Akulah TUHAN, Allahmu, yang menuntun engkau keluar dari tanah Mesir: bukalah mulutmu lebar-lebar, maka Aku akan membuatnya penuh." (ay 10-11).
(bersambung)
====================
"Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!"
"Seandainya saya mendengar kata orang tua, saya tentu tidak harus begini." Itu kata seseorang tentang kecelakaan yang dahulu ia alami saat masih remaja yang mengakibatkan ia harus rela kehilangan sebelah kakinya. Meski sudah diingatkan, ditegur bahkan ibunya memohon, ia tetap saja ikut balap liar bersama teman-temannya. Pada suatu hari terjadilah kecelakaan naas itu. Ia pun harus rela kakinya diamputasi. "Saya beruntung masih diberi kesempatan hidup, dan saya tidak mau lagi menyia-nyiakannya." katanya.
Orang ini mendapat pelajaran yang mahal harganya. Ada begitu banyak orang yang baru mau belajar setelah mengalami musibah atau permasalahan dalam hidupnya. Turning point mereka harus melalui sesuatu yang berat dan mendatangkan korban seperti cacat atau bahkan hal-hal yang lebih parah lagi. Banyak anak-anak muda yang merasa keren kalau bisa melanggar aturan, melakukan hal-hal berbahaya seolah nyawanya lebih dari satu. Bahkan dengan enteng orang bisa mengatakan bahwa 'peraturan itu ada untuk dilanggar.' Semakin dilarang, semakin getol melakukannya. Bukankah itu menjadi paradigma berpikir begitu banyak orang terutama yang masih remaja saat ini?
Peraturan atau larangan dibuat bertujuan baik, agar jangan sampai orang celaka atau mengalami kerugian kalau melanggarnya. Lampu merah dipasang di simpang supaya jangan sampai terjadi tabrakan yang bisa menghilangkan nyawa. Tapi lihatlah betapa banyaknya orang yang melanggar lampu merah kalau tidak ada polisi terlihat disana. Bagaimana kalau tabrakan? Alasan mau buru-buru, apakah itu sebanding dengan potensi kecelakaan yang bisa terjadi? Hukuman berat mengancam orang-orang yang menjadi bandar obat-obatan terlarang. Ancamannya idak tanggung-tanggung, hukuman mati. Tapi lihatlah tetap saja ada yang mau jadi bandar. Pemakai bisa mendapat hukuman berat juga, toh tetap saja ada banyak.
Sebuah peraturan dibuat dengan tujuan untuk membuat tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih teratur. Meski ada banyak peraturan yang seiring perkembangan waktu menjadi ketinggalan jaman alias tidak lagi tepat untuk diterapkan dan disisi lain ada banyak pula peraturan yang justru menjadi kontroversi karena hanya mengacu kepada kepentingan sekelompok golongan saja lalu merampas hak golongan lainnya. Tapi pada hakekatnya semua tentu bertujuan baik. Sayangnya tetap saja banyak yang melanggar dengan berbagai alasan, bahkan atas alasan-alasan yang sangat tidak penting seperti cuma kepingin, ingin terlihat hebat dan sebagainya. Demikianlah sifat manusia yang agaknya susah diatur dan bangga melanggar aturan. Seperti yang saya sebutkan di atas, banyak orang yang menganggap bahwa peraturan itu ada untuk dilanggar, bukan untuk suatu tujuan yang baik. Padahal lihatlah bagaimana kebandelan itu bisa merusak atau bahkan membahayakan baik diri kita sendiri maupun orang lain.
Terhadap peraturan di dunia kita terbiasa membangkang, terhadap peraturan Tuhan apalagi. Tuhan sudah memberikan dengan jelas tuntunan hidup yang akan membawa kita kedalam kehidupan yang indah seperti yang diinginkanNya yang mengarah kepada keselamatan yang kekal. Tuhan memberikan batasan-batasan dan larangan-larangan, tapi sejauh mana kita mau mendengarnya? Yang sering terjadi justru sikap membangkang dari kita. Menuduh bahwa Tuhan tidak ingin kita menikmati sesuatu yang menyenangkan, terlalu mengekang, bersikap otoriter atau malah lebih jauh lagi menuduh Tuhan suka melihat kita menderita. Banyak orang yang memilah-milah peraturan Tuhan, hanya melakukan selama tidak bertabrakan dengan kesenangan. Padahal sadarkah kita bahwa itu pun sebenarnya demi kebaikan kita sendiri dan bukan untuk kepuasan Tuhan?
Sikap manusia seperti ini sebenarnya sudah merupakan masalah klasik yang turun temurun sejak jaman dahulu kala. Dari sekian banyak contoh, kita bisa lihat Mazmur 81 yang mencatat bagaimana kesalnya Tuhan dalam menyikapi kebandelan bangsa Israel. Dengan tegas Tuhan sudah mengingatkan: "Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!" (Mazmur 81:9). Teguran ini menunjukkan besarnya kepedulian Tuhan. Dia memberi peringatan bukan demi kepentinganNya melainkan demi kebaikan bangsa Israel sendiri. 'Dengarlah kalau mau', itu kata Tuhan. Apa yang diingatkan Tuhan adalah agar bangsa Israel berhenti menyembah allah-allah asing. "Janganlah ada di antaramu allah lain, dan janganlah engkau menyembah kepada allah asing. Akulah TUHAN, Allahmu, yang menuntun engkau keluar dari tanah Mesir: bukalah mulutmu lebar-lebar, maka Aku akan membuatnya penuh." (ay 10-11).
(bersambung)
Tuesday, September 20, 2016
Tergerak Lalu Bergerak (2)
(sambungan)
Bagaimana reaksi orang-orang Israel waktu itu setelah mendengar perintah Tuhan yang disampaikan lewat Musa? Mereka segera bergegas pulang dan melakukan tepat seperti apa yang mereka dengar dari Musa. "Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, setiap orang yang terdorong jiwanya, membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan dan untuk segala ibadah di dalamnya dan untuk pakaian kudus itu. Maka datanglah mereka, baik laki-laki maupun perempuan, setiap orang yang terdorong hatinya, dengan membawa anting-anting hidung, anting-anting telinga, cincin meterai dan kerongsang, segala macam barang emas; demikian juga setiap orang yang mempersembahkan persembahan unjukan dari emas bagi TUHAN." (ay 21-22). Ayat-ayat selanjutnya melanjutkan apa saja jenis persembahan khusus yang mereka serahkan sebagai respon perintah Tuhan tersebut. "Semua laki-laki dan perempuan, yang terdorong hatinya akan membawa sesuatu untuk segala pekerjaan yang diperintahkan TUHAN dengan perantaraan Musa untuk dilakukan--mereka itu, yakni orang Israel, membawanya sebagai pemberian sukarela bagi TUHAN." (ay 29).
Sebuah persembahan atau pemberian yang benar pada hakekatnya lahir dari kerelaan untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan tanpa menonjolkan diri atau mengharap imbalan. Ada banyak yang memberi, tapi sedikit yang benar motivasinya. Ada banyak orang yang memberi persembahan seolah seperti sogokan agar bisnis lancar, agar bisa berhasil, agar diberkati terutama secara finansial dan lain-lain. Mereka ini menganggap Tuhan seolah bank yang membuka deposito atau bahkan asuransi dengan premi tertentu. Makin besar yang diberi, makin besar pula yang diperoleh. Meski Tuhan bisa memberi kelimpahan dan kepenuhan, cara kita memperolehnya bukanlah seperti itu.
Kerelaan yang lahir dari kerinduan untuk memberi yang terbaik kepada Tuhan sebagai wujud ucapan syukur dan mengasihi Tuhan seharusnya tidak boleh terkontaminasi oleh kekeliruan-kekeliruan cara berpikir seperti itu. Dalam hal memberi kepada orang lain, banyak yang menjadikan itu sebagai sarana untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Ingin dilancarkan urusan, ingin naik pangkat, ingin menang dalam pemilihan untuk jadi pemimpin atau anggota dewan dan banyak motivasi keliru lainnya. Sebuah pemberian yang baik bukanlah pemberian yang punya motivasi terselubung atau agenda-agenda dibelakangnya, bahkan dikatakan bahwa kalau kita memberi, seharusnya itu kita lakukan diam-diam saja bukan harus dipublikasikan atau ditunjukkan ke orang lain untuk mendapatkan pujian.
Jangan lupa pula bahwa Firman Tuhan mengajarkan kita untuk tidak menahan-nahan kebaikan selagi kita sanggup atau bisa melakukannya. "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." (Amsal 3:27). Saat banyak orang berpikir bahwa itu melulu soal memberi sedekah dalam bentuk materi, sesungguhnya kebaikan tidak selalu harus seperti itu. Ada banyak hal-hal yang sederhana dan kecil yang tidak kalah penting dan bisa sangat berarti baik bagi orang lain maupun bagi Tuhan. Tuhan sendiri tidak mementingkan besar kecilnya, melainkan ketulusan dan keikhlasan kita dalam memberi, sebab "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7). Hanya berhenti pada rasa iba, tidak berbuat apa-apa belumlah cukup. Ketika tergerak untuk melakukan sesuatu itu lebih baik tapi tetap masih kurang. Kalau dilanjutkan dengan bergerak melakukan tindakan nyata, disanalah kita baru bisa memberkati orang lain.
Kita tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk memberi yang besar kalau memang belum mampu, tapi kita harus melihat apa yang bisa kita berikan terlebih saat hati kita sudah tergerak. kita hanya diminta untuk memberi sesuai kemampuan kita. Jika hati sudah tergerak, bergeraklah segera dengan melakukan perbuatan nyata sesuai kesanggupan kita. Baik dalam hal persembahan maupun pemberian/sumbangan kepada sesama baik materi maupun tenaga, pikiran, keahlian dan sebagainya, selama itu kita lakukan dengan tulus dan ikhlas yang didasari oleh kasih kita kepada Tuhan, semua itu akan sangat besar nilainya bagi Tuhan dan mampu menjadi saluran berkat sekaligus memberi pengenalan yang benar akan Tuhan.
Apakah hati anda tergerak akan sesuatu hari ini? Apakah itu mengenai rasa iba atau kasihan terhadap seseorang, tergerak untuk berhenti dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan sebagainya, jangan tahan, jangan tunda. Saat Tuhan sudah mengetuk hati anda, jawablah segera dengan bergerak melakukan tindakan nyata/
Kalau hati sudah 'tergerak', segera tindaklanjuti dengan 'bergerak'
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Bagaimana reaksi orang-orang Israel waktu itu setelah mendengar perintah Tuhan yang disampaikan lewat Musa? Mereka segera bergegas pulang dan melakukan tepat seperti apa yang mereka dengar dari Musa. "Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, setiap orang yang terdorong jiwanya, membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan dan untuk segala ibadah di dalamnya dan untuk pakaian kudus itu. Maka datanglah mereka, baik laki-laki maupun perempuan, setiap orang yang terdorong hatinya, dengan membawa anting-anting hidung, anting-anting telinga, cincin meterai dan kerongsang, segala macam barang emas; demikian juga setiap orang yang mempersembahkan persembahan unjukan dari emas bagi TUHAN." (ay 21-22). Ayat-ayat selanjutnya melanjutkan apa saja jenis persembahan khusus yang mereka serahkan sebagai respon perintah Tuhan tersebut. "Semua laki-laki dan perempuan, yang terdorong hatinya akan membawa sesuatu untuk segala pekerjaan yang diperintahkan TUHAN dengan perantaraan Musa untuk dilakukan--mereka itu, yakni orang Israel, membawanya sebagai pemberian sukarela bagi TUHAN." (ay 29).
Sebuah persembahan atau pemberian yang benar pada hakekatnya lahir dari kerelaan untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan tanpa menonjolkan diri atau mengharap imbalan. Ada banyak yang memberi, tapi sedikit yang benar motivasinya. Ada banyak orang yang memberi persembahan seolah seperti sogokan agar bisnis lancar, agar bisa berhasil, agar diberkati terutama secara finansial dan lain-lain. Mereka ini menganggap Tuhan seolah bank yang membuka deposito atau bahkan asuransi dengan premi tertentu. Makin besar yang diberi, makin besar pula yang diperoleh. Meski Tuhan bisa memberi kelimpahan dan kepenuhan, cara kita memperolehnya bukanlah seperti itu.
Kerelaan yang lahir dari kerinduan untuk memberi yang terbaik kepada Tuhan sebagai wujud ucapan syukur dan mengasihi Tuhan seharusnya tidak boleh terkontaminasi oleh kekeliruan-kekeliruan cara berpikir seperti itu. Dalam hal memberi kepada orang lain, banyak yang menjadikan itu sebagai sarana untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Ingin dilancarkan urusan, ingin naik pangkat, ingin menang dalam pemilihan untuk jadi pemimpin atau anggota dewan dan banyak motivasi keliru lainnya. Sebuah pemberian yang baik bukanlah pemberian yang punya motivasi terselubung atau agenda-agenda dibelakangnya, bahkan dikatakan bahwa kalau kita memberi, seharusnya itu kita lakukan diam-diam saja bukan harus dipublikasikan atau ditunjukkan ke orang lain untuk mendapatkan pujian.
Jangan lupa pula bahwa Firman Tuhan mengajarkan kita untuk tidak menahan-nahan kebaikan selagi kita sanggup atau bisa melakukannya. "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." (Amsal 3:27). Saat banyak orang berpikir bahwa itu melulu soal memberi sedekah dalam bentuk materi, sesungguhnya kebaikan tidak selalu harus seperti itu. Ada banyak hal-hal yang sederhana dan kecil yang tidak kalah penting dan bisa sangat berarti baik bagi orang lain maupun bagi Tuhan. Tuhan sendiri tidak mementingkan besar kecilnya, melainkan ketulusan dan keikhlasan kita dalam memberi, sebab "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7). Hanya berhenti pada rasa iba, tidak berbuat apa-apa belumlah cukup. Ketika tergerak untuk melakukan sesuatu itu lebih baik tapi tetap masih kurang. Kalau dilanjutkan dengan bergerak melakukan tindakan nyata, disanalah kita baru bisa memberkati orang lain.
Kita tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk memberi yang besar kalau memang belum mampu, tapi kita harus melihat apa yang bisa kita berikan terlebih saat hati kita sudah tergerak. kita hanya diminta untuk memberi sesuai kemampuan kita. Jika hati sudah tergerak, bergeraklah segera dengan melakukan perbuatan nyata sesuai kesanggupan kita. Baik dalam hal persembahan maupun pemberian/sumbangan kepada sesama baik materi maupun tenaga, pikiran, keahlian dan sebagainya, selama itu kita lakukan dengan tulus dan ikhlas yang didasari oleh kasih kita kepada Tuhan, semua itu akan sangat besar nilainya bagi Tuhan dan mampu menjadi saluran berkat sekaligus memberi pengenalan yang benar akan Tuhan.
Apakah hati anda tergerak akan sesuatu hari ini? Apakah itu mengenai rasa iba atau kasihan terhadap seseorang, tergerak untuk berhenti dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan sebagainya, jangan tahan, jangan tunda. Saat Tuhan sudah mengetuk hati anda, jawablah segera dengan bergerak melakukan tindakan nyata/
Kalau hati sudah 'tergerak', segera tindaklanjuti dengan 'bergerak'
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, September 19, 2016
Tergerak Lalu Bergerak (1)
Ayat bacaan: Keluaran 35:21-22
=====================
"Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, setiap orang yang terdorong jiwanya, membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan dan untuk segala ibadah di dalamnya dan untuk pakaian kudus itu. Maka datanglah mereka, baik laki-laki maupun perempuan, setiap orang yang terdorong hatinya, dengan membawa anting-anting hidung, anting-anting telinga, cincin meterai dan kerongsang, segala macam barang emas; demikian juga setiap orang yang mempersembahkan persembahan unjukan dari emas bagi TUHAN."
Suatu kali saya sedang duduk-duduk di sebuah lokasi yang ramai orang lalu lalang. Ada seorang anak gadis yang jongkok di depan seorang peminta-minta tidak jauh dari tempat saya santai. Anak gadis ini menanyakan kepada bapak tua peminta-minta itu apakah ia boleh makan rendang. Si bapak terlihat kaget dan berkata boleh. "Sebentar ya pak", kata gadis ini. Tidak lama kemudian ia kembali menjumpai si bapak dan memberikan nasi bungkus. "Pak, dimakan ya, semoga bapak suka." katanya. Si bapak terlihat antara bingung dan senang, langsung membuka bungkusan dan makan dengan lahapnya. Apalagi si gadis bukan cuma memberikan nasi bungkus tapi juga teh dalam plastik.
Apa yang saya lihat ini membuat saya berpikir tentang perbedaan antara sekedar iba atau kasihan dengan sebuah tindakan nyata. Antara 'tergerak' dan 'bergerak'. Awalan 'ter' pada kata 'gerak' menunjukkan sebuah bentuk kata kerja yang pasif, sedang 'ber' membuat kata tersebut menjadi bentuk aktif. Ambil satu contoh sederhana saja. Seandainya anda berperan sebagai seorang kiper. Hati anda tergerak untuk melompat ke kiri menghalau bola yang menghujam ke gawang anda, tetapi anda tidak melakukan apa-apa. Diam di tempat, berdiri tak bergerak tanpa melakukan sesuatu, apakah itu akan berguna? Yang ada gawang anda akan terus dibobol tanpa ampun. Tapi ketika tergerak itu kemudian disertai dengan bergerak, maka disanalah si kiper bisa berperan penting bagi timnya.
Seperti itulah kira-kira apabila kita hanya diam meski hati nurani sudah diketuk. Betapa seringnya kita merasa iba terhadap kesusahan yang diderita orang lain tapi berhenti sebatas itu saja. Dengan kata lain, banyak yang tergerak tapi sedikit yang bergerak. Ketika hati kita tergerak, seharusnya kita menindaklanjuti rasa tergerak yang timbul di hati untuk bergerak dengan melakukan tindakan nyata.
Dari ilustrasi di atas kita bisa melihat hal tersebut dengan sangat jelas. Betapa seringnya hal ini terjadi dalam hidup kita. Ada yang tergerak untuk berhenti berbuat dosa dan bertobat, tapi tidak kunjung bergerak melakukan tindakan-tindakan pertobatan. Ada yang tergerak untuk mengampuni, tapi tidak bergerak untuk memberi pengampunan. Ada yang tergerak menolong orang kesusahan, tapi tidak bergerak mengulurkan tangan. Tergerak tanpa bergerak tidaklah menghasilkan apa-apa. Tapi kalau tergerak dilanjutkan dengan bergerak, maka akan banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memberkati orang lain. 'Tergerak' merupakan awal yang baik, dan harus dilanjutkan dengan 'bergerak'.
Ada contoh menarik yang bisa kita lihat tentang hal ini, yaitu pada jaman Musa seperti yang dicatat dalam kitab Keluaran pasal 35. Disana ada sebuah perikop yang menceritakan saat Musa menyampaikan perintah Tuhan agar jemaah Israel yang ia pimpin turut serta untuk mendirikan Kemah Suci dengan memberikan persembahan khusus (ayat 4 sampai dengan 29). Tuhan menyuruh Musa meminta jemaah untuk memberikan persembahan khusus yang berasal dari barang kepunyaan mereka sendiri. Mereka melakukan itu dengan didasari oleh dorongan atau gerakan yang timbul dalam hati mereka. "Ambillah bagi TUHAN persembahan khusus dari barang kepunyaanmu; setiap orang yang terdorong hatinya harus membawanya sebagai persembahan khusus kepada TUHAN..." (ay 5). Berbagai jenis kain, kulit, kayu, logam mulia, minyak untuk lampu, minyak urapan, minyak ukupan wangi, permata sampai menyumbang sesuatu yang non materil seperti keahlian, semua itu diperlukan agar Kemah Suci sebagai tempat kebaktian mereka.
Perhatikan bahwa dalam ayat 5 ini secara spesifik Tuhan mengatakan agar mereka memberi berdasarkan dorongan hati, alias saat hati mereka tergerak. Bukan karena terpaksa, bukan paksaan apalagi disertai ancaman, melainkan dari dorongan hati. Artinya saat hati tergerak, mereka hendaknya melanjutkan kepada langkah selanjutnya, yaitu bergerak melakukan tindakan nyata, memberi persembahan khusus dan tidak diam saja tanpa melakukan apapun. Hati bisa tergerak, tapi keputusan kita masing-masing akan menentukan apakah kita akan bergeral melakukan langkah berikutnya yaitu melakukan sesuatu yang nyata berdasarkan dorongan hati atau membiarkan saja tanpa ada aksi sedikitpun. Singkatnya, Tuhan sudah menyebutkan apa yang Dia mau, Dia sudah menyentuh hati kita agar tergerak, tapi kemudian diperlukan tindakan atau gerakan nyata dari kita untuk menjawab keinginan Tuhan tersebut.
(bersambung)
=====================
"Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, setiap orang yang terdorong jiwanya, membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan dan untuk segala ibadah di dalamnya dan untuk pakaian kudus itu. Maka datanglah mereka, baik laki-laki maupun perempuan, setiap orang yang terdorong hatinya, dengan membawa anting-anting hidung, anting-anting telinga, cincin meterai dan kerongsang, segala macam barang emas; demikian juga setiap orang yang mempersembahkan persembahan unjukan dari emas bagi TUHAN."
Suatu kali saya sedang duduk-duduk di sebuah lokasi yang ramai orang lalu lalang. Ada seorang anak gadis yang jongkok di depan seorang peminta-minta tidak jauh dari tempat saya santai. Anak gadis ini menanyakan kepada bapak tua peminta-minta itu apakah ia boleh makan rendang. Si bapak terlihat kaget dan berkata boleh. "Sebentar ya pak", kata gadis ini. Tidak lama kemudian ia kembali menjumpai si bapak dan memberikan nasi bungkus. "Pak, dimakan ya, semoga bapak suka." katanya. Si bapak terlihat antara bingung dan senang, langsung membuka bungkusan dan makan dengan lahapnya. Apalagi si gadis bukan cuma memberikan nasi bungkus tapi juga teh dalam plastik.
Apa yang saya lihat ini membuat saya berpikir tentang perbedaan antara sekedar iba atau kasihan dengan sebuah tindakan nyata. Antara 'tergerak' dan 'bergerak'. Awalan 'ter' pada kata 'gerak' menunjukkan sebuah bentuk kata kerja yang pasif, sedang 'ber' membuat kata tersebut menjadi bentuk aktif. Ambil satu contoh sederhana saja. Seandainya anda berperan sebagai seorang kiper. Hati anda tergerak untuk melompat ke kiri menghalau bola yang menghujam ke gawang anda, tetapi anda tidak melakukan apa-apa. Diam di tempat, berdiri tak bergerak tanpa melakukan sesuatu, apakah itu akan berguna? Yang ada gawang anda akan terus dibobol tanpa ampun. Tapi ketika tergerak itu kemudian disertai dengan bergerak, maka disanalah si kiper bisa berperan penting bagi timnya.
Seperti itulah kira-kira apabila kita hanya diam meski hati nurani sudah diketuk. Betapa seringnya kita merasa iba terhadap kesusahan yang diderita orang lain tapi berhenti sebatas itu saja. Dengan kata lain, banyak yang tergerak tapi sedikit yang bergerak. Ketika hati kita tergerak, seharusnya kita menindaklanjuti rasa tergerak yang timbul di hati untuk bergerak dengan melakukan tindakan nyata.
Dari ilustrasi di atas kita bisa melihat hal tersebut dengan sangat jelas. Betapa seringnya hal ini terjadi dalam hidup kita. Ada yang tergerak untuk berhenti berbuat dosa dan bertobat, tapi tidak kunjung bergerak melakukan tindakan-tindakan pertobatan. Ada yang tergerak untuk mengampuni, tapi tidak bergerak untuk memberi pengampunan. Ada yang tergerak menolong orang kesusahan, tapi tidak bergerak mengulurkan tangan. Tergerak tanpa bergerak tidaklah menghasilkan apa-apa. Tapi kalau tergerak dilanjutkan dengan bergerak, maka akan banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memberkati orang lain. 'Tergerak' merupakan awal yang baik, dan harus dilanjutkan dengan 'bergerak'.
Ada contoh menarik yang bisa kita lihat tentang hal ini, yaitu pada jaman Musa seperti yang dicatat dalam kitab Keluaran pasal 35. Disana ada sebuah perikop yang menceritakan saat Musa menyampaikan perintah Tuhan agar jemaah Israel yang ia pimpin turut serta untuk mendirikan Kemah Suci dengan memberikan persembahan khusus (ayat 4 sampai dengan 29). Tuhan menyuruh Musa meminta jemaah untuk memberikan persembahan khusus yang berasal dari barang kepunyaan mereka sendiri. Mereka melakukan itu dengan didasari oleh dorongan atau gerakan yang timbul dalam hati mereka. "Ambillah bagi TUHAN persembahan khusus dari barang kepunyaanmu; setiap orang yang terdorong hatinya harus membawanya sebagai persembahan khusus kepada TUHAN..." (ay 5). Berbagai jenis kain, kulit, kayu, logam mulia, minyak untuk lampu, minyak urapan, minyak ukupan wangi, permata sampai menyumbang sesuatu yang non materil seperti keahlian, semua itu diperlukan agar Kemah Suci sebagai tempat kebaktian mereka.
Perhatikan bahwa dalam ayat 5 ini secara spesifik Tuhan mengatakan agar mereka memberi berdasarkan dorongan hati, alias saat hati mereka tergerak. Bukan karena terpaksa, bukan paksaan apalagi disertai ancaman, melainkan dari dorongan hati. Artinya saat hati tergerak, mereka hendaknya melanjutkan kepada langkah selanjutnya, yaitu bergerak melakukan tindakan nyata, memberi persembahan khusus dan tidak diam saja tanpa melakukan apapun. Hati bisa tergerak, tapi keputusan kita masing-masing akan menentukan apakah kita akan bergeral melakukan langkah berikutnya yaitu melakukan sesuatu yang nyata berdasarkan dorongan hati atau membiarkan saja tanpa ada aksi sedikitpun. Singkatnya, Tuhan sudah menyebutkan apa yang Dia mau, Dia sudah menyentuh hati kita agar tergerak, tapi kemudian diperlukan tindakan atau gerakan nyata dari kita untuk menjawab keinginan Tuhan tersebut.
(bersambung)
Sunday, September 18, 2016
Delegasi dan Manajeman Waktu (2)
(sambungan)
Yitro kemudian memberi masukan kepada Musa, memberi usulan agar Musa bisa memakai strategi yang lebih baik, menyusun struktur kepemimpinan yang akan bisa membantu Musa dalam menyelesaikan setiap permasalahan secara lebih cepat, efektif dan efisien. "Di samping itu kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang. Dan sewaktu-waktu mereka harus mengadili di antara bangsa; maka segala perkara yang besar haruslah dihadapkan mereka kepadamu, tetapi segala perkara yang kecil diadili mereka sendiri; dengan demikian mereka meringankan pekerjaanmu, dan mereka bersama-sama dengan engkau turut menanggungnya." (ay 21-22).
Yitro memberi usulan yang sangat baik agar Musa membuat sebuah sistem dengan membentuk kelompok-kelompok yang bertingkat yang masing-masing punya pimpinannya sendiri. Itu tentu akan jauh lebih mempermudah Musa dalam menjalankan perintah Tuhan. Inilah gambaran struktur kepemimpinan terawal yang dicatat dalam Alkitab. Musa terbukti merupakan pribadi yang rendah hati dan mau menerima masukan. Ia tidak menolak dan mendengarkan nasihat mertuanya. "Musa mendengarkan perkataan mertuanya itu dan dilakukannyalah segala yang dikatakannya." (ay 24). Yitro pun bisa melihat langsung bagaimana menantunya memperbaiki sistem pelayanannya dengan melibatkan orang-orang yang cakap sebagai rekan sekerja sebelum ia pulang kembali ke negerinya. (ay 27).
Menariknya, dalam salah satu doa Musa di kemudian hari ia meminta Tuhan memberi hikmat kepadanya untuk mampu menghitung hari-hari. "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana." (Mazmur 90:12) Musa menyadari pentingnya meminta hikmat agar ia bisa membagi dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Musa belajar dari mertuanya dan menjadi lebih baik dengan pendelegasian, manajemen waktu (menghitung hari) dan penetapan skala prioritas dengan struktur yang baik. Kita pun tentu bisa belajar dari sana.
Apa yang penting adalah menyadari terlebih dahulu bahwa kita tidak akan sanggup mengerjakan semuanya sendirian. Kita perlu menyiasati banyak hal agar bisa memanfaatkan waktu secara optimal. Mungkin tidak mudah, apalagi bagi yang perfeksionis, tetapi itu harus kita lakukan agar hasil yang diperoleh bisa lebih baik lagi dalam banyak hal dan kita tidak harus mengorbankan banyak hal yang justru akan merugikan diri dan masa depan kita.
Paulus juga sudah mengingatkan kita untuk mempergunakan waktu yang ada sebaik-baiknya, karena sesungguhnya hari-hari yang kita lalui ini adalah jahat. (Efesus 5:16). Kemampuan memanajemen waktu akan sangat berkaitan erat dengan kemampuan kita mendelegasikan tugas-tugas. Kita tidak akan bisa menyelesaikan semuanya sendirian, dan disaat yang sama meluangkan waktu yang cukup untuk keluarga dan terutama untuk menikmati hadirat Tuhan. Kalau begitu caranya, mau 100 jam sehari pun tidak akan pernah cukup.
Hitung kemampuan anda dan tingkat prioritas, mana yang bisa anda lakukan, mana yang bisa diwakilkan. Atur skala prioritas dengan benar dan pastikan tidak tumpang tindih atau acak-acakan. Tanpa itu kita tidak akan bisa mengalami peningkatan. Waktu memang terbatas, tapi bukan berarti tidak cukup. Kita terbatas, tetapi bukan berarti kita harus jalan di tempat. Bersama Tuhan, milikilah hikmat untuk bisa menyusun jadwal perencanaan yang baik dan belajarlah untuk mempercayakan sebagian dari beban-beban anda kepada orang lain. Dalam banyak hal, itu justru akan mendatangkan manfaat bagi orang lain karena mereka bisa belajar dan bertumbuh untuk lebih baik pula. Memberi hasil terbaik itu tidak salah, bahkan merupakan sebuah keharusan bagi orang percaya. Tapi bukan berarti untuk itu kita harus menjadi perfeksionis 'mentok' tanpa kompromi. Itu justru merugikan pada akhirnya.
Apakah anda merupakan salah satu dari orang-orang yang hari ini sedang kelabakan dengan tugas-tugas karena merasa harus mengerjakan semuanya sendirian atau sudah melihat bahwa ada banyak hal lain diluar pekerjaan yang mulai terbengkalai atau retak sana sini? Anda mulai kelelahan karena masih melakukan semuanya sendirian, atau mulai lemah karena kondisi tidak fit akibat dari itu? Apakah anda merasa sulit mengalami peningkatan karena tidak sanggup melakukan lebih sebab masih terjebak melakukan semuanya sendirian? Anda bisa mulai memperbaikinya dari sekarang sebelum semuanya bertambah parah.
Kemampuan mendelegasikan merupakan bagian yang penting dalam manajemen waktu
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Yitro kemudian memberi masukan kepada Musa, memberi usulan agar Musa bisa memakai strategi yang lebih baik, menyusun struktur kepemimpinan yang akan bisa membantu Musa dalam menyelesaikan setiap permasalahan secara lebih cepat, efektif dan efisien. "Di samping itu kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang. Dan sewaktu-waktu mereka harus mengadili di antara bangsa; maka segala perkara yang besar haruslah dihadapkan mereka kepadamu, tetapi segala perkara yang kecil diadili mereka sendiri; dengan demikian mereka meringankan pekerjaanmu, dan mereka bersama-sama dengan engkau turut menanggungnya." (ay 21-22).
Yitro memberi usulan yang sangat baik agar Musa membuat sebuah sistem dengan membentuk kelompok-kelompok yang bertingkat yang masing-masing punya pimpinannya sendiri. Itu tentu akan jauh lebih mempermudah Musa dalam menjalankan perintah Tuhan. Inilah gambaran struktur kepemimpinan terawal yang dicatat dalam Alkitab. Musa terbukti merupakan pribadi yang rendah hati dan mau menerima masukan. Ia tidak menolak dan mendengarkan nasihat mertuanya. "Musa mendengarkan perkataan mertuanya itu dan dilakukannyalah segala yang dikatakannya." (ay 24). Yitro pun bisa melihat langsung bagaimana menantunya memperbaiki sistem pelayanannya dengan melibatkan orang-orang yang cakap sebagai rekan sekerja sebelum ia pulang kembali ke negerinya. (ay 27).
Menariknya, dalam salah satu doa Musa di kemudian hari ia meminta Tuhan memberi hikmat kepadanya untuk mampu menghitung hari-hari. "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana." (Mazmur 90:12) Musa menyadari pentingnya meminta hikmat agar ia bisa membagi dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Musa belajar dari mertuanya dan menjadi lebih baik dengan pendelegasian, manajemen waktu (menghitung hari) dan penetapan skala prioritas dengan struktur yang baik. Kita pun tentu bisa belajar dari sana.
Apa yang penting adalah menyadari terlebih dahulu bahwa kita tidak akan sanggup mengerjakan semuanya sendirian. Kita perlu menyiasati banyak hal agar bisa memanfaatkan waktu secara optimal. Mungkin tidak mudah, apalagi bagi yang perfeksionis, tetapi itu harus kita lakukan agar hasil yang diperoleh bisa lebih baik lagi dalam banyak hal dan kita tidak harus mengorbankan banyak hal yang justru akan merugikan diri dan masa depan kita.
Paulus juga sudah mengingatkan kita untuk mempergunakan waktu yang ada sebaik-baiknya, karena sesungguhnya hari-hari yang kita lalui ini adalah jahat. (Efesus 5:16). Kemampuan memanajemen waktu akan sangat berkaitan erat dengan kemampuan kita mendelegasikan tugas-tugas. Kita tidak akan bisa menyelesaikan semuanya sendirian, dan disaat yang sama meluangkan waktu yang cukup untuk keluarga dan terutama untuk menikmati hadirat Tuhan. Kalau begitu caranya, mau 100 jam sehari pun tidak akan pernah cukup.
Hitung kemampuan anda dan tingkat prioritas, mana yang bisa anda lakukan, mana yang bisa diwakilkan. Atur skala prioritas dengan benar dan pastikan tidak tumpang tindih atau acak-acakan. Tanpa itu kita tidak akan bisa mengalami peningkatan. Waktu memang terbatas, tapi bukan berarti tidak cukup. Kita terbatas, tetapi bukan berarti kita harus jalan di tempat. Bersama Tuhan, milikilah hikmat untuk bisa menyusun jadwal perencanaan yang baik dan belajarlah untuk mempercayakan sebagian dari beban-beban anda kepada orang lain. Dalam banyak hal, itu justru akan mendatangkan manfaat bagi orang lain karena mereka bisa belajar dan bertumbuh untuk lebih baik pula. Memberi hasil terbaik itu tidak salah, bahkan merupakan sebuah keharusan bagi orang percaya. Tapi bukan berarti untuk itu kita harus menjadi perfeksionis 'mentok' tanpa kompromi. Itu justru merugikan pada akhirnya.
Apakah anda merupakan salah satu dari orang-orang yang hari ini sedang kelabakan dengan tugas-tugas karena merasa harus mengerjakan semuanya sendirian atau sudah melihat bahwa ada banyak hal lain diluar pekerjaan yang mulai terbengkalai atau retak sana sini? Anda mulai kelelahan karena masih melakukan semuanya sendirian, atau mulai lemah karena kondisi tidak fit akibat dari itu? Apakah anda merasa sulit mengalami peningkatan karena tidak sanggup melakukan lebih sebab masih terjebak melakukan semuanya sendirian? Anda bisa mulai memperbaikinya dari sekarang sebelum semuanya bertambah parah.
Kemampuan mendelegasikan merupakan bagian yang penting dalam manajemen waktu
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, September 17, 2016
Delegasi dan Manajeman Waktu (1)
Ayat bacaan: Keluaran 18:18
=======================
"Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja."
Menjadi orang yang perfeksionis itu tidak mudah. Saya bisa mengatakan itu karena saya termasuk orang yang seperti itu. Dahulu saya lebih suka melakukan semuanya sendirian karena saya merasa tidak akan ada orang yang bisa mengerjakan sebaik saya. Kemampuan yang terbatas ternyata membuat saya sulit untuk berkembang kalau melakukan pekerjaan sendirian. Waktu yang terbatas membatasi saya untuk bisa memperoleh lebih banyak proyek atau tugas dibanding kalau saya punya tim. Saya kemudian belajar untuk mempercayakan pekerjaan kepada orang lain. Untuk itu saya perlu mmengajarkan mereka tentang seluk beluk pekerjaan terlebih dahulu dan bagaimana cara melakukannya satu demi satu. Dan itu ternyata jauh lebih baik daripada menjadi single fighter.
Menjadi perfeksionis itu ada baik buruknya. Sisi baiknya, kita bisa mengharapkan hasil terbaik dari mereka. Soal keseriusan jangan ditanya lagi, tidak perlu diragukan. Mereka akan mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk menghasilkan sesuatu. Tapi sisi buruknya, manajemen waktu dari orang-orang perfeksionis benar-benar harus mendapat perhatian khusus kalau tidak mau semuanya menjadi berantakan. Selain bisa membuat orangnya mengalami gangguan kesehatan karena terlalu memforsir tenaga, mereka pun terbatas untuk bisa melakukan hal-hal lebih banyak. Orang yang perfeksionis cenderung mau mengerjakan semuanya sendirian karena sulit mempercayakan tugas kepada orang lain. Kalaupun punya bawahan, semua harus diperiksa secara teliti satu persatu supaya sempurna. Banyak karyawan yang mengeluh kalau kebetulan punya pimpinan perfeksionis karena itu artinya mereka harus bekerja ekstra, baik ekstra serius, ekstra jam alias lembur, sering pula harus bisa dihubungi kapan saja dan siap melakukan revisi, koreksi atau perubahan ini dan itu sesuai keinginan pimpinan dengan tipe perfeksionis.
Saya dahulu sulit mengatur waktu agar semua berjalan sesuai ekspektasi. Waktu 24 jam akan terasa sangat kurang karena semua sepertinya harus dikerjakan sendiri. Kelabakan, harus mengorbankan banyak waktu seperti waktu beristirahat, waktu untuk keluarga. Saya sering bertanya, bagaimana mungkin ada orang-orang yang sanggup mengerjakan jumlah kegiatan yang jauh lebih banyak dari saya tapi masih punya waktu untuk hal-hal lain yang sebenarnya tidak kalah penting dalam hidup? Apa rahasia mereka sehingga bisa bekerja di beberapa bidang sekaligus, membagi waktu untuk keluarga, berolahraga atau bahkan masih punya waktu untuk melayani? Dari sekian banyak orang seperti itu yang saya tanyakan saya menyimpulkan bahwa ada 3 hal penting yang mereka lakukan: Kemampuan membagi waktu alias manajemen waktu, penetapan prioritas yang terarah dan pendelegasian.
Tiga hal ini sulit dimiliki oleh orang yang perfeksionis, tapi sangatlah penting sebelum kondisi tersebut memakan kesehatan kita dan merusak kehidupan kita. Pekerjaan baik, hasil maksimal, tapi keluarga berantakan, waktu untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap fit dikorbankan, waktu untuk bersosialisasi terpangkas sehingga sulit punya teman, terlebih hubungan dengan Sang Pencipta akan renggang atau bahkan terputus sama sekali. Itu bisa terjadi karena semuanya kalah prioritas, dilakukan tanpa manajemen waktu yang baik dan kebiasaan untuk memilih mengerjakan semuanya sendirian ketimbang membaginya kepada orang lain alias melupakan pentingnya delegasi tugas. Seorang pengusaha pernah memberikan nasihat yang membuka carkawala berpikir saya. "Anda harus belajar percaya kepada pekerjaan orang lain. Mungkin tidak persis seperti yang anda harapkan, tapi belum tentu hasilnya lebih buruk." Seperti itulah kira-kira katanya yang masih saya ingat sampai hari ini. Saya harus mampu melihat mana yang bisa diwakilkan dan mana yang benar-benar harus dilakukan sendiri. Mana yang menjadi prioritas dan seperti apa manajemen yang terbaik dari segi waktu. Itu merupakan hal-hal yang penting untuk dicermati terlebih bagi kita yang sangat sibuk.
Dalam Alkitab kita bisa belajar akan hal ini lewat Musa dan mertuanya, Yitro. Kita tahu bahwa Musa dipilih Allah secara langsung untuk sebuah tugas besar yang sangat berat, yaitu membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dan ditunjuk untuk menuntun mereka mencapai tanah terjanji yang telah dijanjikan Tuhan kepada Abraham. Bukan satu-dua orang yang harus ia tuntun tapi jumlahnya sangat besar. Masalah bertambah karena yang ia pimpin itu bukanlah sekumpulan orang yang tunduk dan taat, tapi pembangkang, tidak sabaran dan keras kepala. Itu sama sekali tidak mudah.
Dalam prakteknya Musa kerap menjadi penyambung lidah Tuhan untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk Tuhan kepada seluruh orang Israel yang ia pimpin dalam sebuah perjalanan yang menempuh rentang waktu sangat lama. Bukan cuma sehari dua hari atau seminggu, tapi mencapai 40 tahun. Musa menjiwai tugasnya dengan terjun langsung mengurus segalanya sendirian. Apa-apa ia yang harus turun tangan langsung. Menangani perselisihan, pertikaian, pertengkaran dan sebagainya. Bayangkan jumlah orang yang banyak dengan sifat umum keras kepala, kita sudah bisa memastikan bahwa masalah akan sangat sering muncul disana dan sangat banyak pula ragam dan jumlahnya. Musa turun tangan langsung menyelesaikan sendiri satu persatu. Dan itu jelas disebutkan dalam ayat berikut: "Keesokan harinya duduklah Musa mengadili di antara bangsa itu; dan bangsa itu berdiri di depan Musa, dari pagi sampai petang." (Keluaran 18:13). Musa bertindak sendirian menjadi hakim mengatasi perselisihan yang terjadi di antara sesama orang Israel yang memang hobi berseteru dan ribut tanpa ada habisnya. Kapan selesainya kalau seperti itu terus? Kalau kita yang menjalani mungkin kita bisa stres, depresi, darah tinggi atau bahkan mati muda.
Mertua Musa, Yitro memperhatikan hal tersebut dan prihatin melihat menantunya. Meski ia tahu bahwa apa yang dilakukan Musa itu merupakan hal yang baik, tapi ia pun tahu bahwa itu tidaklah efektif. Dia pun menanyakan "Apakah ini yang kaulakukan kepada bangsa itu? Mengapakah engkau seorang diri saja yang duduk, sedang seluruh bangsa itu berdiri di depanmu dari pagi sampai petang?" (ay 14). Musa menjelaskan bahwa sebagai yang ditunjuk Tuhan, ia harus memberitahukan ketetapan dan keputusan Allah kepada masing-masing orang. Benar, tapi bukan begitu juga caranya. Itulah kira-kira yang disampaikan Yitro. Katanya: "Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja." (ay 18). Yitro mengatakan bahwa bekerja sendirian seperti itu dalam mengelola masalah bangsa Israel yang begitu banyak adalah tidak baik. (ay 17).
(berrsambung)
=======================
"Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja."
Menjadi orang yang perfeksionis itu tidak mudah. Saya bisa mengatakan itu karena saya termasuk orang yang seperti itu. Dahulu saya lebih suka melakukan semuanya sendirian karena saya merasa tidak akan ada orang yang bisa mengerjakan sebaik saya. Kemampuan yang terbatas ternyata membuat saya sulit untuk berkembang kalau melakukan pekerjaan sendirian. Waktu yang terbatas membatasi saya untuk bisa memperoleh lebih banyak proyek atau tugas dibanding kalau saya punya tim. Saya kemudian belajar untuk mempercayakan pekerjaan kepada orang lain. Untuk itu saya perlu mmengajarkan mereka tentang seluk beluk pekerjaan terlebih dahulu dan bagaimana cara melakukannya satu demi satu. Dan itu ternyata jauh lebih baik daripada menjadi single fighter.
Menjadi perfeksionis itu ada baik buruknya. Sisi baiknya, kita bisa mengharapkan hasil terbaik dari mereka. Soal keseriusan jangan ditanya lagi, tidak perlu diragukan. Mereka akan mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk menghasilkan sesuatu. Tapi sisi buruknya, manajemen waktu dari orang-orang perfeksionis benar-benar harus mendapat perhatian khusus kalau tidak mau semuanya menjadi berantakan. Selain bisa membuat orangnya mengalami gangguan kesehatan karena terlalu memforsir tenaga, mereka pun terbatas untuk bisa melakukan hal-hal lebih banyak. Orang yang perfeksionis cenderung mau mengerjakan semuanya sendirian karena sulit mempercayakan tugas kepada orang lain. Kalaupun punya bawahan, semua harus diperiksa secara teliti satu persatu supaya sempurna. Banyak karyawan yang mengeluh kalau kebetulan punya pimpinan perfeksionis karena itu artinya mereka harus bekerja ekstra, baik ekstra serius, ekstra jam alias lembur, sering pula harus bisa dihubungi kapan saja dan siap melakukan revisi, koreksi atau perubahan ini dan itu sesuai keinginan pimpinan dengan tipe perfeksionis.
Saya dahulu sulit mengatur waktu agar semua berjalan sesuai ekspektasi. Waktu 24 jam akan terasa sangat kurang karena semua sepertinya harus dikerjakan sendiri. Kelabakan, harus mengorbankan banyak waktu seperti waktu beristirahat, waktu untuk keluarga. Saya sering bertanya, bagaimana mungkin ada orang-orang yang sanggup mengerjakan jumlah kegiatan yang jauh lebih banyak dari saya tapi masih punya waktu untuk hal-hal lain yang sebenarnya tidak kalah penting dalam hidup? Apa rahasia mereka sehingga bisa bekerja di beberapa bidang sekaligus, membagi waktu untuk keluarga, berolahraga atau bahkan masih punya waktu untuk melayani? Dari sekian banyak orang seperti itu yang saya tanyakan saya menyimpulkan bahwa ada 3 hal penting yang mereka lakukan: Kemampuan membagi waktu alias manajemen waktu, penetapan prioritas yang terarah dan pendelegasian.
Tiga hal ini sulit dimiliki oleh orang yang perfeksionis, tapi sangatlah penting sebelum kondisi tersebut memakan kesehatan kita dan merusak kehidupan kita. Pekerjaan baik, hasil maksimal, tapi keluarga berantakan, waktu untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap fit dikorbankan, waktu untuk bersosialisasi terpangkas sehingga sulit punya teman, terlebih hubungan dengan Sang Pencipta akan renggang atau bahkan terputus sama sekali. Itu bisa terjadi karena semuanya kalah prioritas, dilakukan tanpa manajemen waktu yang baik dan kebiasaan untuk memilih mengerjakan semuanya sendirian ketimbang membaginya kepada orang lain alias melupakan pentingnya delegasi tugas. Seorang pengusaha pernah memberikan nasihat yang membuka carkawala berpikir saya. "Anda harus belajar percaya kepada pekerjaan orang lain. Mungkin tidak persis seperti yang anda harapkan, tapi belum tentu hasilnya lebih buruk." Seperti itulah kira-kira katanya yang masih saya ingat sampai hari ini. Saya harus mampu melihat mana yang bisa diwakilkan dan mana yang benar-benar harus dilakukan sendiri. Mana yang menjadi prioritas dan seperti apa manajemen yang terbaik dari segi waktu. Itu merupakan hal-hal yang penting untuk dicermati terlebih bagi kita yang sangat sibuk.
Dalam Alkitab kita bisa belajar akan hal ini lewat Musa dan mertuanya, Yitro. Kita tahu bahwa Musa dipilih Allah secara langsung untuk sebuah tugas besar yang sangat berat, yaitu membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dan ditunjuk untuk menuntun mereka mencapai tanah terjanji yang telah dijanjikan Tuhan kepada Abraham. Bukan satu-dua orang yang harus ia tuntun tapi jumlahnya sangat besar. Masalah bertambah karena yang ia pimpin itu bukanlah sekumpulan orang yang tunduk dan taat, tapi pembangkang, tidak sabaran dan keras kepala. Itu sama sekali tidak mudah.
Dalam prakteknya Musa kerap menjadi penyambung lidah Tuhan untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk Tuhan kepada seluruh orang Israel yang ia pimpin dalam sebuah perjalanan yang menempuh rentang waktu sangat lama. Bukan cuma sehari dua hari atau seminggu, tapi mencapai 40 tahun. Musa menjiwai tugasnya dengan terjun langsung mengurus segalanya sendirian. Apa-apa ia yang harus turun tangan langsung. Menangani perselisihan, pertikaian, pertengkaran dan sebagainya. Bayangkan jumlah orang yang banyak dengan sifat umum keras kepala, kita sudah bisa memastikan bahwa masalah akan sangat sering muncul disana dan sangat banyak pula ragam dan jumlahnya. Musa turun tangan langsung menyelesaikan sendiri satu persatu. Dan itu jelas disebutkan dalam ayat berikut: "Keesokan harinya duduklah Musa mengadili di antara bangsa itu; dan bangsa itu berdiri di depan Musa, dari pagi sampai petang." (Keluaran 18:13). Musa bertindak sendirian menjadi hakim mengatasi perselisihan yang terjadi di antara sesama orang Israel yang memang hobi berseteru dan ribut tanpa ada habisnya. Kapan selesainya kalau seperti itu terus? Kalau kita yang menjalani mungkin kita bisa stres, depresi, darah tinggi atau bahkan mati muda.
Mertua Musa, Yitro memperhatikan hal tersebut dan prihatin melihat menantunya. Meski ia tahu bahwa apa yang dilakukan Musa itu merupakan hal yang baik, tapi ia pun tahu bahwa itu tidaklah efektif. Dia pun menanyakan "Apakah ini yang kaulakukan kepada bangsa itu? Mengapakah engkau seorang diri saja yang duduk, sedang seluruh bangsa itu berdiri di depanmu dari pagi sampai petang?" (ay 14). Musa menjelaskan bahwa sebagai yang ditunjuk Tuhan, ia harus memberitahukan ketetapan dan keputusan Allah kepada masing-masing orang. Benar, tapi bukan begitu juga caranya. Itulah kira-kira yang disampaikan Yitro. Katanya: "Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja." (ay 18). Yitro mengatakan bahwa bekerja sendirian seperti itu dalam mengelola masalah bangsa Israel yang begitu banyak adalah tidak baik. (ay 17).
(berrsambung)
Friday, September 16, 2016
Naik Jabatan (2)
(sambungan)
Pasti? Ya, pasti. Kenapa saya katakan pasti? Karena Alkitab jelas-jelas berkata bahwa apa yang diinginkan Tuhan untuk terjadi kepada anak-anakNya sesungguhnya bukanlah sesuatu yang kecil atau pas-pasan saja melainkan telah ditetapkan untuk menjadi kepala dan bukan ekor, terus naik dan bukan turun. Namun kita harus tahu bahwa untuk itu ada syarat yang ditetapkan Tuhan untuk kita lakukan dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu. Itu tertulis dalam kitab Ulangan. "TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia, dan apabila engkau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya." (Ulangan 28:13-14).
Melakukan kecurangan-kecurangan demi kenaikan jabatan mungkin sepintas terlihat menjanjikan solusi cepat, namun ketika itu bukan berasal dari Tuhan, maka cepat atau lambat keruntuhan pun akan membuat semuanya sia-sia bahkan menghancurkan hidup pelaku, keluarganya hingga merugikan banyak orang. Lihatlah 'parade' banyak koruptor yang kehilangan gaya dan layu setelah vonis dijatuhkan. Benar, masih banyak juga yang tanpa rasa malu pamer senyuman di depan kamera. Mungkin karena mereka berpikir bisa tetap menyuap untuk bebas atau setidaknya bisa menjalani hukuman dengan lebih nyaman bak di hotel mewah. Tapi meski sikapnya seperti itu, pada suatu hari nanti di hadapan Tuhan tidak ada penyuapan atau apapun lagi yang bisa dibuat. Disanalah letak pertanggungjawaban sebenarnya. Tidak ada satupun kejahatan di muka bumi ini yang luput dari hukuman Tuhan, dengan alasan apapun. Di dunia ini semua bisa diusahakan lewat segala cara, tapi di hadapan Tuhan nanti tidak ada cara lagi yang bisa dipergunakan. Kalau begitu, buat apa harus melegalkan segala bentuk pelanggaran hanya untuk naik pangkat? Untuk apa mengorbankan sesuatu yang kekal hanya untuk mengejar sesuatu yang fana?
Apa yang dituntut dari kita sebenarnya hanyalah kesungguhan kita dalam bekerja. "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan, itu bagian kita. Masalah berkat, termasuk di dalamnya kenaikan pangkat atau jabatan, itu adalah bagian Tuhan. Mungkin tidak mudah untuk bisa tetap hidup lurus di tengah dunia yang bengkok, namun bukan berarti kita harus menyerah dan berkompromi. Justru Tuhan menjanjikan begitu banyak berkat jika kita mau mendengarkan firman Tuhan baik-baik dan melakukan dengan setia semua perintahNya tersebut, seperti yang diuraikan panjang lebar dalam Ulangan 28:1-14.
Kita harus berhati-hati agar jangan sampai masuk ke dalam jebakan dunia dengan segala permainan dan kecurangan yang ada di dalamnya. Kita bisa memaksakan kenaikan sesuai keinginan kita, tapi semua itu akan berakhir sia-sia dan menghancurkan hidup maupun janji keselamatan kita jika itu bukan berasal daripadaNya. Tuhan sudah menjanjikan bahwa kita akan terus meningkat. Tuhan menjanjikan kita sebagai kepala dan bukan ekor, tetap naik dan bukan turun, tetapi itu hanya berlaku jika kita mendengarkan dan melakukan firmanNya dengan setia, tidak menyimpang dan tidak menghambakan diri kepada hal lain apapun selain kepada Tuhan.
Jika anda memberikan kesungguhan secara penuh dalam pekerjaan, sekecil apapun itu, biar bagaimanapun, itu akan memberikan nilai tersendiri bagi tempat di mana anda bekerja. Mau perusahaannya berbasis kolusi mau tidak, mau di perusahaan sogok menyogok dihalalkan, perusahaan mana yang mau kehilangan pegawai terbaiknya? Dan perusahaan mana yang mau mengambil resiko menempatka npegawai yang tidak qualified di tempat yang penting?
Oleh karena itu, tetaplah bekerja dengan baik, tekun dan sepenuh hati, seakan-akan anda melakukannya untuk Tuhan, maka soal peningkatan hanyalah soal waktu saja. Tuhan sudah menetapkan kita untuk berada di posisi tinggi. Lakukan bagian kita, dan pada waktunya Tuhan akan mengerjakan bagianNya.
Kepala, bukan ekor, itu bagian kita apabila kita melakukan kehendak Tuhan dengan setia
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Pasti? Ya, pasti. Kenapa saya katakan pasti? Karena Alkitab jelas-jelas berkata bahwa apa yang diinginkan Tuhan untuk terjadi kepada anak-anakNya sesungguhnya bukanlah sesuatu yang kecil atau pas-pasan saja melainkan telah ditetapkan untuk menjadi kepala dan bukan ekor, terus naik dan bukan turun. Namun kita harus tahu bahwa untuk itu ada syarat yang ditetapkan Tuhan untuk kita lakukan dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu. Itu tertulis dalam kitab Ulangan. "TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia, dan apabila engkau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya." (Ulangan 28:13-14).
Melakukan kecurangan-kecurangan demi kenaikan jabatan mungkin sepintas terlihat menjanjikan solusi cepat, namun ketika itu bukan berasal dari Tuhan, maka cepat atau lambat keruntuhan pun akan membuat semuanya sia-sia bahkan menghancurkan hidup pelaku, keluarganya hingga merugikan banyak orang. Lihatlah 'parade' banyak koruptor yang kehilangan gaya dan layu setelah vonis dijatuhkan. Benar, masih banyak juga yang tanpa rasa malu pamer senyuman di depan kamera. Mungkin karena mereka berpikir bisa tetap menyuap untuk bebas atau setidaknya bisa menjalani hukuman dengan lebih nyaman bak di hotel mewah. Tapi meski sikapnya seperti itu, pada suatu hari nanti di hadapan Tuhan tidak ada penyuapan atau apapun lagi yang bisa dibuat. Disanalah letak pertanggungjawaban sebenarnya. Tidak ada satupun kejahatan di muka bumi ini yang luput dari hukuman Tuhan, dengan alasan apapun. Di dunia ini semua bisa diusahakan lewat segala cara, tapi di hadapan Tuhan nanti tidak ada cara lagi yang bisa dipergunakan. Kalau begitu, buat apa harus melegalkan segala bentuk pelanggaran hanya untuk naik pangkat? Untuk apa mengorbankan sesuatu yang kekal hanya untuk mengejar sesuatu yang fana?
Apa yang dituntut dari kita sebenarnya hanyalah kesungguhan kita dalam bekerja. "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan, itu bagian kita. Masalah berkat, termasuk di dalamnya kenaikan pangkat atau jabatan, itu adalah bagian Tuhan. Mungkin tidak mudah untuk bisa tetap hidup lurus di tengah dunia yang bengkok, namun bukan berarti kita harus menyerah dan berkompromi. Justru Tuhan menjanjikan begitu banyak berkat jika kita mau mendengarkan firman Tuhan baik-baik dan melakukan dengan setia semua perintahNya tersebut, seperti yang diuraikan panjang lebar dalam Ulangan 28:1-14.
Kita harus berhati-hati agar jangan sampai masuk ke dalam jebakan dunia dengan segala permainan dan kecurangan yang ada di dalamnya. Kita bisa memaksakan kenaikan sesuai keinginan kita, tapi semua itu akan berakhir sia-sia dan menghancurkan hidup maupun janji keselamatan kita jika itu bukan berasal daripadaNya. Tuhan sudah menjanjikan bahwa kita akan terus meningkat. Tuhan menjanjikan kita sebagai kepala dan bukan ekor, tetap naik dan bukan turun, tetapi itu hanya berlaku jika kita mendengarkan dan melakukan firmanNya dengan setia, tidak menyimpang dan tidak menghambakan diri kepada hal lain apapun selain kepada Tuhan.
Jika anda memberikan kesungguhan secara penuh dalam pekerjaan, sekecil apapun itu, biar bagaimanapun, itu akan memberikan nilai tersendiri bagi tempat di mana anda bekerja. Mau perusahaannya berbasis kolusi mau tidak, mau di perusahaan sogok menyogok dihalalkan, perusahaan mana yang mau kehilangan pegawai terbaiknya? Dan perusahaan mana yang mau mengambil resiko menempatka npegawai yang tidak qualified di tempat yang penting?
Oleh karena itu, tetaplah bekerja dengan baik, tekun dan sepenuh hati, seakan-akan anda melakukannya untuk Tuhan, maka soal peningkatan hanyalah soal waktu saja. Tuhan sudah menetapkan kita untuk berada di posisi tinggi. Lakukan bagian kita, dan pada waktunya Tuhan akan mengerjakan bagianNya.
Kepala, bukan ekor, itu bagian kita apabila kita melakukan kehendak Tuhan dengan setia
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, September 15, 2016
Naik Jabatan (1)
Ayat bacaan: Mazmur 75:7-8
==========================
"Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu,tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain."
Ada beberapa teman yang memprioritaskan mencari kerja yang ada jenjang karirnya. Menurut mereka sistem pekerjaan seperti ini menantang dan bisa memotivasi mereka untuk melakukan yang terbaik. Tipe pekerjaan memang macam-macam. Ada yang suka wiraswasta dan tidak peduli terhadap jenjang karir. Tapi tipe seperti inipun sesungguhnya menginginkan peningkatan dari usahanya. Apapun pekerjaannya, tidak ada orang yang tidak ingin meningkat. Dan peningkatan tentu baik, bahkan sejalan dengan keinginan Tuhan atas diri kita. Tetapi pertanyaannya, bagaimana caranya agar bisa naik?
Nah, disini kita menemukan masalah. Banyak orang hari ini yang hanya mengejar peningkatan lewat jalan-jalan yang serong. Semakin lama semakin banyak orang yang ingin cepat, lewat cara instan. Mementingkan hasil dan tidak lagi menganggap penting proses. Banyak yang percaya bahwa di jaman sekarang, bekerja sebaik mungkin dengan menghasilkan prestasi cemerlang saja tidaklah cukup, atau malah tidak penting sama sekali lagi. Ada banyak orang yang harus pakai 'pelicin' agar lajunya mantap meluncur dengan licin ke arah yang diinginkan. Kalau takut ketahuan dan ketangkap tangan, bisa lewat banyak cara lainnya seperti pemberian diputar lewat banyak tangan perantara misalnya. Kalau bukan lewat uang ya bisa juga lewat rajin memberi bingkisan di hari-hari besar dengan tujuan agar namanya diingat pimpinan. Atau ada juga yang rajin menjilat agar bisa naik. Dan berbagai cara lainnya.
Bagaimana kalau ada pesaing yang sama-sama memperebutkan jabatan yang sama? Saling sikut pun dihalalkan. Mau teman, mau lawan, semua sikat saja yang penting menang. Ada pula yang bahkan rela menggadaikan hak kesulungannya agar tidak terhambat untuk naik pangkat. Semua itu sudah dianggap sebagai hal yang lumrah untuk dilakukan di jaman sekarang, apalagi di negara-negara berkembang seperti negara kita.
Ada banyak orang berpikir bahwa itu terpaksa dilakukan. Kalau kita tidak melakukan, ya kita tidak akan bisa berhasil naik jabatan atau mengalami peningkatan. Take it or leave it, do or die. Kira-kira seperti itu pola pikir kebanyakan orang. Kenapa harus tabu? Bukankah itu memang sudah menjadi kebiasaan di mana-mana? Sebab kalau tidak demikian, lupakan saja soal mendapat promosi. Itu akan menjadi landasan untuk melakukan pembenaran atas perbuatan curang tersebut. Kita seringkali ikut kebiasaan dunia dan cenderung menyerah mengikutinya. Kita malah memilih untuk tidak mematuhi Tuhan dan menuruti cara serong dunia. Dan lama-lama percaya bahwa soal naik dan turun tidak ada urusannya dengan Tuhan.
Apa benar demikian? Apakah masalah mengalami peningkatan atau tidak itu sesungguhnya tergantung dari dunia, atau dari manusia lain dan bukan berasal dari Tuhan? Apakah benar tanpa berlaku curang kita tidak akan bisa mengalami peningkatan karir? Alkitab menyatakan sebaliknya. Kita diingatkan untuk tidak curang. Tanpa berlaku curang dan berkompromi dengan hal buruk yang sudah dianggap lumrah di dunia ini, kita tetap bisa mengalami peningkatan karir, dan saya bisa katakan itu akan terasa luar biasa indahnya jika itu berasal dari Tuhan.
Apakah ada ayat yang menyatakan hal ini? Tentu saja. Mari kita lihat salah satunya. Pemazmur mengatakannya seperti ini: "Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain." (Mazmur 75:7-8). Dalam bahasa Inggris Amplified-nya dikatakan "For not from the east nor from the west nor from the south come promotion and lifting up. But God is the Judge! He puts down one and lifts up another."
Inilah hal yang sering kita lupakan. Kita sering tergiur dengan jabatan dan mengira bahwa kita perlu mati-matian menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Kita lupa bahwa peningkatan yang sesungguhnya justru berasal dari Tuhan dan bukan dari manusia. Kita seringkali terburu nafsu untuk secepatnya menggapai sebuah jabatan, padahal Tuhan tidak
pernah menyarankan kita untuk terburu-buru. Ketekunan, kesabaran, keuletan, kesungguhan, itulah yang akan bernilai di mata Tuhan. Proses itu penting menurut Tuhan. Dan bukan dari kiri atau kanan, bukan dari mana-mana, tapi dari Tuhan. Kalau memang dari Tuhan, pada saatnya, sesuai takaran dan waktu Tuhan, kita pasti akan naik walau tanpa melakukan kecurangan-kecurangan yang jahat di mata Tuhan.
(bersambung)
==========================
"Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu,tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain."
Ada beberapa teman yang memprioritaskan mencari kerja yang ada jenjang karirnya. Menurut mereka sistem pekerjaan seperti ini menantang dan bisa memotivasi mereka untuk melakukan yang terbaik. Tipe pekerjaan memang macam-macam. Ada yang suka wiraswasta dan tidak peduli terhadap jenjang karir. Tapi tipe seperti inipun sesungguhnya menginginkan peningkatan dari usahanya. Apapun pekerjaannya, tidak ada orang yang tidak ingin meningkat. Dan peningkatan tentu baik, bahkan sejalan dengan keinginan Tuhan atas diri kita. Tetapi pertanyaannya, bagaimana caranya agar bisa naik?
Nah, disini kita menemukan masalah. Banyak orang hari ini yang hanya mengejar peningkatan lewat jalan-jalan yang serong. Semakin lama semakin banyak orang yang ingin cepat, lewat cara instan. Mementingkan hasil dan tidak lagi menganggap penting proses. Banyak yang percaya bahwa di jaman sekarang, bekerja sebaik mungkin dengan menghasilkan prestasi cemerlang saja tidaklah cukup, atau malah tidak penting sama sekali lagi. Ada banyak orang yang harus pakai 'pelicin' agar lajunya mantap meluncur dengan licin ke arah yang diinginkan. Kalau takut ketahuan dan ketangkap tangan, bisa lewat banyak cara lainnya seperti pemberian diputar lewat banyak tangan perantara misalnya. Kalau bukan lewat uang ya bisa juga lewat rajin memberi bingkisan di hari-hari besar dengan tujuan agar namanya diingat pimpinan. Atau ada juga yang rajin menjilat agar bisa naik. Dan berbagai cara lainnya.
Bagaimana kalau ada pesaing yang sama-sama memperebutkan jabatan yang sama? Saling sikut pun dihalalkan. Mau teman, mau lawan, semua sikat saja yang penting menang. Ada pula yang bahkan rela menggadaikan hak kesulungannya agar tidak terhambat untuk naik pangkat. Semua itu sudah dianggap sebagai hal yang lumrah untuk dilakukan di jaman sekarang, apalagi di negara-negara berkembang seperti negara kita.
Ada banyak orang berpikir bahwa itu terpaksa dilakukan. Kalau kita tidak melakukan, ya kita tidak akan bisa berhasil naik jabatan atau mengalami peningkatan. Take it or leave it, do or die. Kira-kira seperti itu pola pikir kebanyakan orang. Kenapa harus tabu? Bukankah itu memang sudah menjadi kebiasaan di mana-mana? Sebab kalau tidak demikian, lupakan saja soal mendapat promosi. Itu akan menjadi landasan untuk melakukan pembenaran atas perbuatan curang tersebut. Kita seringkali ikut kebiasaan dunia dan cenderung menyerah mengikutinya. Kita malah memilih untuk tidak mematuhi Tuhan dan menuruti cara serong dunia. Dan lama-lama percaya bahwa soal naik dan turun tidak ada urusannya dengan Tuhan.
Apa benar demikian? Apakah masalah mengalami peningkatan atau tidak itu sesungguhnya tergantung dari dunia, atau dari manusia lain dan bukan berasal dari Tuhan? Apakah benar tanpa berlaku curang kita tidak akan bisa mengalami peningkatan karir? Alkitab menyatakan sebaliknya. Kita diingatkan untuk tidak curang. Tanpa berlaku curang dan berkompromi dengan hal buruk yang sudah dianggap lumrah di dunia ini, kita tetap bisa mengalami peningkatan karir, dan saya bisa katakan itu akan terasa luar biasa indahnya jika itu berasal dari Tuhan.
Apakah ada ayat yang menyatakan hal ini? Tentu saja. Mari kita lihat salah satunya. Pemazmur mengatakannya seperti ini: "Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain." (Mazmur 75:7-8). Dalam bahasa Inggris Amplified-nya dikatakan "For not from the east nor from the west nor from the south come promotion and lifting up. But God is the Judge! He puts down one and lifts up another."
Inilah hal yang sering kita lupakan. Kita sering tergiur dengan jabatan dan mengira bahwa kita perlu mati-matian menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Kita lupa bahwa peningkatan yang sesungguhnya justru berasal dari Tuhan dan bukan dari manusia. Kita seringkali terburu nafsu untuk secepatnya menggapai sebuah jabatan, padahal Tuhan tidak
pernah menyarankan kita untuk terburu-buru. Ketekunan, kesabaran, keuletan, kesungguhan, itulah yang akan bernilai di mata Tuhan. Proses itu penting menurut Tuhan. Dan bukan dari kiri atau kanan, bukan dari mana-mana, tapi dari Tuhan. Kalau memang dari Tuhan, pada saatnya, sesuai takaran dan waktu Tuhan, kita pasti akan naik walau tanpa melakukan kecurangan-kecurangan yang jahat di mata Tuhan.
(bersambung)
Wednesday, September 14, 2016
Melupakan Tuhan setelah Makmur
Ayat bacaan: Ulangan 32:15
=======================
"Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, --bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun--dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya."
Seorang teman geleng-geleng kepala melihat temannya. Dulu waktu sama-sama susah mereka berjuang bareng. Mereka kerap berdoa bersama-sama dan saling topang agar bisa sama-sama maju. Tahun demi tahun berlalu. Saat temannya mulai sukses, sikapnya pun berubah. Ia menjadi tinggi hati dan tidak lagi peduli kepada sahabat-sahabatnya. Kalau dulu ia rajin melayani, sekarang jangankan melayani, ke gereja saja tidak. Kalau ditanya, ia berkata bahwa ia sibuk kerja meski hari Minggu dan tidak punya waktu untuk duduk-duduk di gereja. Baginya itu adalah kegiatan yang buang-buang waktu. Dulu meminta, begitu diberi kemudian melupakan. Ironis sekali, dan sikapnya ini mewakili banyak orang lainnya yang segera melupakan Tuhan saat mereka sudah terbebas dari masalah yang membelenggu mereka.
Ada sebuah peribahasa "bagai kacang lupa kulitnya", mengacu kepada sebuah sikap manusia yang lupa akan asal-usulnya. Selain melupakan jasa orang lain yang pernah membantu, jasa orang tua, guru dan sanak saudara, peribahasa ini juga mengacu kepada orang yang melupakan daerah asal usulnya setelah mereka sukses. Kiasan lainnya yang sering pula dipakai adalah lupa daratan.
Seperti yang bisa kita baca dalam renungan kemarin, sikap melupakan Tuhan sudah terjadi sejak jaman dahulu. Bangsa Israel di jaman Musa menjadi contoh nyata mengenai kelakuan yang memalukan ini. Dalam Ulangan dikatakan: "Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, --bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun--dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya." (Ulangan 32:15). Kalau kita mundur sedikit, kita bisa lihat bagaimana kebaikan Tuhan telah menyertai dan memberkati mereka seperti yang tertulis dalam ayat 10-14. Tapi begitu mereka mendapat kelimpahan berkat, apa yang terjadi? Lihatlah sikap buruk ini. Bukannya bersyukur atas berkat Tuhan, mereka malah berubah sikap setelah menjadi gemuk kekenyangan. Segera mereka melupakan Pribadi yang telah menyediakan itu semua. Betapa kejinya, "Mereka membangkitkan cemburu-Nya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hati-Nya dengan dewa kekejian, mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah, kepada allah yang tidak mereka kenal, allah baru yang belum lama timbul, yang kepadanya nenek moyangmu tidak gentar." (ay 16-17). Mereka melupakan Tuhan yang telah begitu baik kepada mereka. "Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau." (ay 18).
Sangatlah wajar jika Tuhan pun kemudian murka menghadapi "angkatan yang bengkok, anak-anak yang tidak mempunyai kesetiaan." (ay 20) ini. Dalam ayat-ayat selanjutnya kita mendapati kemurkaan Tuhan yang begitu mengerikan. Kapok kah mereka? Ternyata tidak. Bukan sekali dua kali bangsa ini melupakan Tuhannya. Kita melihat dalam banyak kesempatan mereka berulang kali menyakiti hati Tuhan yang telah melepaskan mereka dari perbudakan dan memberkati mereka secara dahsyat dalam perjalanan mereka menuju tanah terjanji. Dalam kitab Hakim Hakim kembali kita temukan sikap buruk mereka. "Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, mereka melupakan TUHAN, Allah mereka, dan beribadah kepada para Baal dan para Asyera." (Hakim Hakim 3:7). Dan hukuman Tuhan pun kembali jatuh atas mereka. Diberkati, melupakan Tuhan, melakukan kejahatan yang membuat Tuhan marah, lalu dihukum, itu terus terjadi berulang-ulang sepanjang sejarah bangsa Israel pada masa itu.
Apa yang terjadi pada bangsa Israel seharusnya bisa dijadikan peringatan. Manusia mendekat kepada Tuhan ketika sedang mengalami penderitaan. Tapi setelah berada dalam keadaan baik dan berkecukupan, seketika itu pula Tuhan dengan mudahnya dilupakan. Padahal tidakkah semua itu kita dapatkan sebagai berkat dari Tuhan? Bukankah tanpa Tuhan kita bukan apa-apa?
Kalau kita menyadari hal itu, mengapa kita tega melupakan Tuhan dan bahkan menyakiti hatiNya? Mazmur Daud mengingatkan kita untuk selalu mengingat kebaikan Tuhan dalam hidup kita. "Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!" (Mazmur 103:1-2). Seperti kasih seorang bapa kepada anaknya, seperti itu pula kasih Tuhan yang tidak berkesudahan selalu menaungi kita. "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia....kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." (ay 13, 17-18).
Apabila hari ini anda diberkati hingga memiliki kehidupan yang makmur tak kurang suatu apapun, dalam segala sisi kehidupan, keluarga dan pekerjaan, jangan lupakan Tuhan. Tetaplah ingat kepada Tuhan yang telah memberikan itu semua. Puji dan sembah Dia, penuhi diri anda dengan ucapan syukur. Ingatlah selalu bahwa apa yang kita raih bukanlah semata-mata karena kerja keras atau hasil jerih payah kita sendiri, tetapi terutama merupakan berkat Tuhan. Tanpa Tuhan semua akan sia-sia. Karenanya jangan pernah lupakan kebaikanNya, jangan menjadi kacang yang lupa kulit, jangan jadi orang yang lupa daratan. Mari kita terus bersyukur, menaati dan melakukan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan terus memuji dan menyembah Dia dengan segenap diri kita.
"Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan , dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini." (Ulangan 8:18)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
=======================
"Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, --bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun--dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya."
Seorang teman geleng-geleng kepala melihat temannya. Dulu waktu sama-sama susah mereka berjuang bareng. Mereka kerap berdoa bersama-sama dan saling topang agar bisa sama-sama maju. Tahun demi tahun berlalu. Saat temannya mulai sukses, sikapnya pun berubah. Ia menjadi tinggi hati dan tidak lagi peduli kepada sahabat-sahabatnya. Kalau dulu ia rajin melayani, sekarang jangankan melayani, ke gereja saja tidak. Kalau ditanya, ia berkata bahwa ia sibuk kerja meski hari Minggu dan tidak punya waktu untuk duduk-duduk di gereja. Baginya itu adalah kegiatan yang buang-buang waktu. Dulu meminta, begitu diberi kemudian melupakan. Ironis sekali, dan sikapnya ini mewakili banyak orang lainnya yang segera melupakan Tuhan saat mereka sudah terbebas dari masalah yang membelenggu mereka.
Ada sebuah peribahasa "bagai kacang lupa kulitnya", mengacu kepada sebuah sikap manusia yang lupa akan asal-usulnya. Selain melupakan jasa orang lain yang pernah membantu, jasa orang tua, guru dan sanak saudara, peribahasa ini juga mengacu kepada orang yang melupakan daerah asal usulnya setelah mereka sukses. Kiasan lainnya yang sering pula dipakai adalah lupa daratan.
Seperti yang bisa kita baca dalam renungan kemarin, sikap melupakan Tuhan sudah terjadi sejak jaman dahulu. Bangsa Israel di jaman Musa menjadi contoh nyata mengenai kelakuan yang memalukan ini. Dalam Ulangan dikatakan: "Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, --bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun--dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya." (Ulangan 32:15). Kalau kita mundur sedikit, kita bisa lihat bagaimana kebaikan Tuhan telah menyertai dan memberkati mereka seperti yang tertulis dalam ayat 10-14. Tapi begitu mereka mendapat kelimpahan berkat, apa yang terjadi? Lihatlah sikap buruk ini. Bukannya bersyukur atas berkat Tuhan, mereka malah berubah sikap setelah menjadi gemuk kekenyangan. Segera mereka melupakan Pribadi yang telah menyediakan itu semua. Betapa kejinya, "Mereka membangkitkan cemburu-Nya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hati-Nya dengan dewa kekejian, mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah, kepada allah yang tidak mereka kenal, allah baru yang belum lama timbul, yang kepadanya nenek moyangmu tidak gentar." (ay 16-17). Mereka melupakan Tuhan yang telah begitu baik kepada mereka. "Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau." (ay 18).
Sangatlah wajar jika Tuhan pun kemudian murka menghadapi "angkatan yang bengkok, anak-anak yang tidak mempunyai kesetiaan." (ay 20) ini. Dalam ayat-ayat selanjutnya kita mendapati kemurkaan Tuhan yang begitu mengerikan. Kapok kah mereka? Ternyata tidak. Bukan sekali dua kali bangsa ini melupakan Tuhannya. Kita melihat dalam banyak kesempatan mereka berulang kali menyakiti hati Tuhan yang telah melepaskan mereka dari perbudakan dan memberkati mereka secara dahsyat dalam perjalanan mereka menuju tanah terjanji. Dalam kitab Hakim Hakim kembali kita temukan sikap buruk mereka. "Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, mereka melupakan TUHAN, Allah mereka, dan beribadah kepada para Baal dan para Asyera." (Hakim Hakim 3:7). Dan hukuman Tuhan pun kembali jatuh atas mereka. Diberkati, melupakan Tuhan, melakukan kejahatan yang membuat Tuhan marah, lalu dihukum, itu terus terjadi berulang-ulang sepanjang sejarah bangsa Israel pada masa itu.
Apa yang terjadi pada bangsa Israel seharusnya bisa dijadikan peringatan. Manusia mendekat kepada Tuhan ketika sedang mengalami penderitaan. Tapi setelah berada dalam keadaan baik dan berkecukupan, seketika itu pula Tuhan dengan mudahnya dilupakan. Padahal tidakkah semua itu kita dapatkan sebagai berkat dari Tuhan? Bukankah tanpa Tuhan kita bukan apa-apa?
Kalau kita menyadari hal itu, mengapa kita tega melupakan Tuhan dan bahkan menyakiti hatiNya? Mazmur Daud mengingatkan kita untuk selalu mengingat kebaikan Tuhan dalam hidup kita. "Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!" (Mazmur 103:1-2). Seperti kasih seorang bapa kepada anaknya, seperti itu pula kasih Tuhan yang tidak berkesudahan selalu menaungi kita. "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia....kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." (ay 13, 17-18).
Apabila hari ini anda diberkati hingga memiliki kehidupan yang makmur tak kurang suatu apapun, dalam segala sisi kehidupan, keluarga dan pekerjaan, jangan lupakan Tuhan. Tetaplah ingat kepada Tuhan yang telah memberikan itu semua. Puji dan sembah Dia, penuhi diri anda dengan ucapan syukur. Ingatlah selalu bahwa apa yang kita raih bukanlah semata-mata karena kerja keras atau hasil jerih payah kita sendiri, tetapi terutama merupakan berkat Tuhan. Tanpa Tuhan semua akan sia-sia. Karenanya jangan pernah lupakan kebaikanNya, jangan menjadi kacang yang lupa kulit, jangan jadi orang yang lupa daratan. Mari kita terus bersyukur, menaati dan melakukan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan terus memuji dan menyembah Dia dengan segenap diri kita.
"Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan , dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini." (Ulangan 8:18)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, September 13, 2016
Jangan Lupakan Tuhan (2)
(sambungan)
Lihatlah betapa kecewanya Tuhan atas perilaku mereka. "Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau." (Ulangan 32:18). Apa yang mereka perbuat? Di ayat sebelumnya kita melihat apa yang diperbuat Israel. "Lalu menjadi gemuklah Yesyurun (Israel), dan menendang ke belakang, --bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun--dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya. Mereka membangkitkan cemburu-Nya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hati-Nya dengan dewa kekejian. mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah, kepada allah yang tidak mereka kenal, allah baru yang belum lama timbul, yang kepadanya nenek moyangmu tidak gentar." (ay 15-17). Bukankah itu sudah sangat keterlaluan?
Selanjutnya dalam kitab Hakim-Hakim kita bisa melihat bagaimana sikap yang sangat jahat dilakukan oleh mereka. "Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, mereka melupakan TUHAN, Allah mereka, dan beribadah kepada para Baal dan para Asyera." (Hakim Hakim 3:7). Kurang apa lagi kebaikan Tuhan kepada mereka? Tapi ternyata segala berkat dan perlindungan Tuhan itu malah membuat mereka lupa diri. Bukannya semakin taat pada Tuhan, tapi mereka malah terlena dan membuat segala sesuatu yang jahat, yang dinilai Tuhan sebagai kekejian.
Pesan ini diberikan kepada bangsa Israel, itu benar. Tapi pesan yang sama juga berlaku bagi kita. Jika saat ini hidup anda sedang tenang, dalam keadaan baik, jika kini kita menjadi orang yang berhasil dan serba cukup, bersyukurlah senantiasa kepada Tuhan. Itu seharusnya membuat anda semakin dekat pada Tuhan dan bukan malah mengabaikannya. Lewat ayat bacaan hari ini kita diingatkan dengan tegas agar tidak melupakan Tuhan yang telah menyediakan segalanya itu bagi kita atas dasar kasihNya yang tak terukur dalamnya. Sangatlah keterlaluan jika kita sampai meninggalkanNya dan memilih jalan yang salah. Memalingkan wajah dari Tuhan, itu bisa fatal resikonya.
Maka sebelum terlambat sangatlah baik jika kita memperhatikan hal ini terlebih dahulu. Belajarlah untuk senantiasa mengucap syukur, baik ketika kita berada dalam keadaan yang kurang atau bahkan tidak baik maupun ketika kita sedang menapak naik mengalami berbagai berkat Tuhan dalam kelimpahan. Kita harus terus mengingat bahwa segala-galanya berasal dari Tuhan. Hargai semua yang diberikan Tuhan dengan menunjukkan ketaatan dan kedekatan kepadaNya. Patuhi perintah, ketetapanNya, jauhi laranganNya, bangun terus hubungan yang dekat denganNya. Kita tidak ada apa-apanya jika tidak karena Tuhan. Jangan pernah lupakan Tuhan. Ingat segala kebaikan Tuhan dengan ketaatan, tidak melawan perintah serta ketetapanNya. Tetap ingat Tuhan dan jangan pernah lupa bahwa semua yang kita punya hari ini berasal dari kasih dan kebaikan Tuhan.
Never let the abundance of God's gifts cause you to forget him
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Lihatlah betapa kecewanya Tuhan atas perilaku mereka. "Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau." (Ulangan 32:18). Apa yang mereka perbuat? Di ayat sebelumnya kita melihat apa yang diperbuat Israel. "Lalu menjadi gemuklah Yesyurun (Israel), dan menendang ke belakang, --bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun--dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya. Mereka membangkitkan cemburu-Nya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hati-Nya dengan dewa kekejian. mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah, kepada allah yang tidak mereka kenal, allah baru yang belum lama timbul, yang kepadanya nenek moyangmu tidak gentar." (ay 15-17). Bukankah itu sudah sangat keterlaluan?
Selanjutnya dalam kitab Hakim-Hakim kita bisa melihat bagaimana sikap yang sangat jahat dilakukan oleh mereka. "Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, mereka melupakan TUHAN, Allah mereka, dan beribadah kepada para Baal dan para Asyera." (Hakim Hakim 3:7). Kurang apa lagi kebaikan Tuhan kepada mereka? Tapi ternyata segala berkat dan perlindungan Tuhan itu malah membuat mereka lupa diri. Bukannya semakin taat pada Tuhan, tapi mereka malah terlena dan membuat segala sesuatu yang jahat, yang dinilai Tuhan sebagai kekejian.
Pesan ini diberikan kepada bangsa Israel, itu benar. Tapi pesan yang sama juga berlaku bagi kita. Jika saat ini hidup anda sedang tenang, dalam keadaan baik, jika kini kita menjadi orang yang berhasil dan serba cukup, bersyukurlah senantiasa kepada Tuhan. Itu seharusnya membuat anda semakin dekat pada Tuhan dan bukan malah mengabaikannya. Lewat ayat bacaan hari ini kita diingatkan dengan tegas agar tidak melupakan Tuhan yang telah menyediakan segalanya itu bagi kita atas dasar kasihNya yang tak terukur dalamnya. Sangatlah keterlaluan jika kita sampai meninggalkanNya dan memilih jalan yang salah. Memalingkan wajah dari Tuhan, itu bisa fatal resikonya.
Maka sebelum terlambat sangatlah baik jika kita memperhatikan hal ini terlebih dahulu. Belajarlah untuk senantiasa mengucap syukur, baik ketika kita berada dalam keadaan yang kurang atau bahkan tidak baik maupun ketika kita sedang menapak naik mengalami berbagai berkat Tuhan dalam kelimpahan. Kita harus terus mengingat bahwa segala-galanya berasal dari Tuhan. Hargai semua yang diberikan Tuhan dengan menunjukkan ketaatan dan kedekatan kepadaNya. Patuhi perintah, ketetapanNya, jauhi laranganNya, bangun terus hubungan yang dekat denganNya. Kita tidak ada apa-apanya jika tidak karena Tuhan. Jangan pernah lupakan Tuhan. Ingat segala kebaikan Tuhan dengan ketaatan, tidak melawan perintah serta ketetapanNya. Tetap ingat Tuhan dan jangan pernah lupa bahwa semua yang kita punya hari ini berasal dari kasih dan kebaikan Tuhan.
Never let the abundance of God's gifts cause you to forget him
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, September 12, 2016
Jangan Lupakan Tuhan (1)
Ayat bacaan: Ulangan 8:11
=====================
"Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini"
Ada banyak orang yang lupa terhadap jasa orang lain buat mereka. Jangankan orang lain, terhadap orang tua pun banyak anak yang durhaka. Beberapa kali saat saya kunjungan ke panti jompo, saya bertemu begitu banyak orang tua yang ditelantarkan anaknya. Ada yang 'masih untung' dibiayai anaknya, ada yang mengharap belas kasih orang lain karena tidak ada satupun lagi anaknya yang peduli. Belum lama saya bertemu dengan seorang kakek yang harus menghabiskan masa tuanya sendirian di sebuah rumah kumuh di pinggiran sungai. Sambil menangis ia bercerita bahwa diantara ke lima anaknya, hanya satu yang masih membantunya. Itupun tidak sering. Keempat anak lainnya sudah tidak lagi mau mengurusnya sama sekali. "Mungkin mereka terlalu sibuk bekerja dan tidak lagi punya waktu buat saya..." katanya lirih. Miris sekali melihat orang-orang tua yang sudah tidak dipedulikan lagi oleh anaknya. Anak-anak mereka lupa bahwa mereka dilahirkan oleh orang tuanya, dibesarkan, diasuh, dididik, disekolahkan sampai dewasa, sehingga kalau mereka hari ini sukses berkarir, itu semua berkat orang tuanya. Ada orang yang mungkin berkata bahwa dahulu orang tuanya mendidik terlalu keras sampai menimbulkan kebencian dalam hati mereka. Tapi biar bagaimanapun, bukankah orang tua juga yang membesarkan mereka? Kecenderungan manusia melupakan orang yang pernah berjasa pada mereka bukanlah hal baru. Itu sudah terjadi sejak dahulu kala. Kalau kepada orang tua sendiri saja tega, apalagi kepada orang lain. Kalau kepada orang yang terlihat mata saja begitu, apalagi kepada Tuhan yang tidak kasat mata. Wah, itu mungkin lebih banyak lagi.
Manusia durhaka pada orang tuanya, juga durhaka pada Tuhan. Begitu seringnya orang tua menjadi perih hatinya akibat perilaku anaknya. Kata durhaka secara umum mengacu kepada ingkar terhadap perintah dari orang yang seharusnya dihormati. Bentuknya beragam, seperti melawan, membangkang, berlaku kasar, mengabaikan, merendahkan dan hal lainnya yang menyakiti hati dari mereka yang seharusnya mendapat hormat sepenuhnya dari kita. Maka istilah durhaka bisa disematkan kepada anak-anak yang berlaku seenaknya, tidak tahu terima kasih, tidak tahu membalas budi, tidak mengindahkan atau bahkan melawan nasihat dan perintah dari orang tuanya, apalagi yang tega berlaku kasar baik lewat perkataan maupun secara fisik. Sikap yang sangat tidak terpuji ini harus dihindari oleh siapapun tanpa terkecuali. Dan Alkitab pun secara tegas mengingatkan hal tersebut baik dalam hubungannya dengan orang tua, pemerintah terlebih kepada Tuhan. Akan halnya pada Tuhan, mungkin banyak yang tidak sadar telah melupakan Tuhan karena terlalu sibuk mengejar segala sesuatu yang dianggap dunia bisa mendatangkan kebahagiaan. Kalau kita menyadari kebaikan Tuhan terutama kasih karuniaNya yang sudah Dia berikan lewat Kristus, bagaimana mungkin kita masih mau bertoleransi kepada dosa, melanggar perintahNya dengan sengaja dan mudah kecewa saat hidup sedang tidak baik?
Yesus mengajarkan kita untuk memanggil Bapa kepada Tuhan. Itu menunjukkan hubungan kekerabatan yang sangat dekat seperti seorang anak dengan ayah. Dan itulah sebenarnya yang dirindukan Tuhan. Sebuah hubungan antara ayah dan anak yang dilandasi kasih. Kalau kepada orang tua kita harus hormat dan tidak boleh bersikap durhaka, apalagi kepada Tuhan. Sayangnya, banyak orang yang tega atau berani melawan dan menyakiti hati Tuhan baik secara sadar atau tidak. Bukankah keterlaluan ketika kita terus meminta segala yang terbaik dari Tuhan, berseru-seru kepadaNya dalam kesesakan, terus menikmati kebaikan dan kasihNya, tetapi masih berani melupakan Tuhan dan melawan segala perintah, peraturan dan ketetapanNya? Kita terus meminta hak tanpa peduli kewajiban, kita meletakkan Tuhan pada prioritas ke sekian dan dengan mudah menyingkirkanNya kapan saja kita mau. Itu adalah sebuah kedurhakaan terhadap Tuhan. Kita pikir itu tidak apa-apa, padahal hukuman yang menanti itu tidak main-main.
Hal itulah yang diingatkan lewat ayat bacaan hari ini. Ayatnya diambil dari peringatan Tuhan yang diberikan kepada bangsa Israel. "Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini" (Ulangan 8:11). Tuhan memperingatkan mereka agar mereka tidak melupakanNya. Sikap pembangkangan dan durhaka kepada Tuhan ternyata bukan hanya masalah di jaman ini tetapi sudah berlangsung sejak dahulu kala. Tuhan memperingatkan mereka karena jelas sekali ada indikasi dan bukti penyelewengan mereka melupakan Tuhan.
Apa yang dilakukan bangsa Israel sungguh benar-benar sudah keterlaluan. Tuhan sendiri yang memimpin mereka keluar dari perbudakan di Mesir, memberi tiang awan dan tiang api dalam perjalanan mereka, membelah laut Teberau, memberi manna dari langit dan banyak lagi bukti nyata kebaikan Tuhan yang turun atas mereka. Mereka mengalami berbagai mukjizat silih berganti, tapi mereka masih saja mudah bersungut-sungut dan terus mengeluh selama perjalanan mereka menuju tanah terjanji. Meski demikian, Tuhan masih bersabar dengan memberikan peringatan yang amat tegas ini. Tuhan bilang, "hey, kalian harus hati-hati supaya jangan sampai melupakanKu." Dengan bagaimana? Dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapanNya. Lantas setelah peringatan ini turun, apakah mereka menjadi taat? Israel yang tegar tengkuk ternyata memang benar-benar melupakan Tuhan yang telah begitu baik kepada mereka.
(bersambung)
=====================
"Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini"
Ada banyak orang yang lupa terhadap jasa orang lain buat mereka. Jangankan orang lain, terhadap orang tua pun banyak anak yang durhaka. Beberapa kali saat saya kunjungan ke panti jompo, saya bertemu begitu banyak orang tua yang ditelantarkan anaknya. Ada yang 'masih untung' dibiayai anaknya, ada yang mengharap belas kasih orang lain karena tidak ada satupun lagi anaknya yang peduli. Belum lama saya bertemu dengan seorang kakek yang harus menghabiskan masa tuanya sendirian di sebuah rumah kumuh di pinggiran sungai. Sambil menangis ia bercerita bahwa diantara ke lima anaknya, hanya satu yang masih membantunya. Itupun tidak sering. Keempat anak lainnya sudah tidak lagi mau mengurusnya sama sekali. "Mungkin mereka terlalu sibuk bekerja dan tidak lagi punya waktu buat saya..." katanya lirih. Miris sekali melihat orang-orang tua yang sudah tidak dipedulikan lagi oleh anaknya. Anak-anak mereka lupa bahwa mereka dilahirkan oleh orang tuanya, dibesarkan, diasuh, dididik, disekolahkan sampai dewasa, sehingga kalau mereka hari ini sukses berkarir, itu semua berkat orang tuanya. Ada orang yang mungkin berkata bahwa dahulu orang tuanya mendidik terlalu keras sampai menimbulkan kebencian dalam hati mereka. Tapi biar bagaimanapun, bukankah orang tua juga yang membesarkan mereka? Kecenderungan manusia melupakan orang yang pernah berjasa pada mereka bukanlah hal baru. Itu sudah terjadi sejak dahulu kala. Kalau kepada orang tua sendiri saja tega, apalagi kepada orang lain. Kalau kepada orang yang terlihat mata saja begitu, apalagi kepada Tuhan yang tidak kasat mata. Wah, itu mungkin lebih banyak lagi.
Manusia durhaka pada orang tuanya, juga durhaka pada Tuhan. Begitu seringnya orang tua menjadi perih hatinya akibat perilaku anaknya. Kata durhaka secara umum mengacu kepada ingkar terhadap perintah dari orang yang seharusnya dihormati. Bentuknya beragam, seperti melawan, membangkang, berlaku kasar, mengabaikan, merendahkan dan hal lainnya yang menyakiti hati dari mereka yang seharusnya mendapat hormat sepenuhnya dari kita. Maka istilah durhaka bisa disematkan kepada anak-anak yang berlaku seenaknya, tidak tahu terima kasih, tidak tahu membalas budi, tidak mengindahkan atau bahkan melawan nasihat dan perintah dari orang tuanya, apalagi yang tega berlaku kasar baik lewat perkataan maupun secara fisik. Sikap yang sangat tidak terpuji ini harus dihindari oleh siapapun tanpa terkecuali. Dan Alkitab pun secara tegas mengingatkan hal tersebut baik dalam hubungannya dengan orang tua, pemerintah terlebih kepada Tuhan. Akan halnya pada Tuhan, mungkin banyak yang tidak sadar telah melupakan Tuhan karena terlalu sibuk mengejar segala sesuatu yang dianggap dunia bisa mendatangkan kebahagiaan. Kalau kita menyadari kebaikan Tuhan terutama kasih karuniaNya yang sudah Dia berikan lewat Kristus, bagaimana mungkin kita masih mau bertoleransi kepada dosa, melanggar perintahNya dengan sengaja dan mudah kecewa saat hidup sedang tidak baik?
Yesus mengajarkan kita untuk memanggil Bapa kepada Tuhan. Itu menunjukkan hubungan kekerabatan yang sangat dekat seperti seorang anak dengan ayah. Dan itulah sebenarnya yang dirindukan Tuhan. Sebuah hubungan antara ayah dan anak yang dilandasi kasih. Kalau kepada orang tua kita harus hormat dan tidak boleh bersikap durhaka, apalagi kepada Tuhan. Sayangnya, banyak orang yang tega atau berani melawan dan menyakiti hati Tuhan baik secara sadar atau tidak. Bukankah keterlaluan ketika kita terus meminta segala yang terbaik dari Tuhan, berseru-seru kepadaNya dalam kesesakan, terus menikmati kebaikan dan kasihNya, tetapi masih berani melupakan Tuhan dan melawan segala perintah, peraturan dan ketetapanNya? Kita terus meminta hak tanpa peduli kewajiban, kita meletakkan Tuhan pada prioritas ke sekian dan dengan mudah menyingkirkanNya kapan saja kita mau. Itu adalah sebuah kedurhakaan terhadap Tuhan. Kita pikir itu tidak apa-apa, padahal hukuman yang menanti itu tidak main-main.
Hal itulah yang diingatkan lewat ayat bacaan hari ini. Ayatnya diambil dari peringatan Tuhan yang diberikan kepada bangsa Israel. "Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini" (Ulangan 8:11). Tuhan memperingatkan mereka agar mereka tidak melupakanNya. Sikap pembangkangan dan durhaka kepada Tuhan ternyata bukan hanya masalah di jaman ini tetapi sudah berlangsung sejak dahulu kala. Tuhan memperingatkan mereka karena jelas sekali ada indikasi dan bukti penyelewengan mereka melupakan Tuhan.
Apa yang dilakukan bangsa Israel sungguh benar-benar sudah keterlaluan. Tuhan sendiri yang memimpin mereka keluar dari perbudakan di Mesir, memberi tiang awan dan tiang api dalam perjalanan mereka, membelah laut Teberau, memberi manna dari langit dan banyak lagi bukti nyata kebaikan Tuhan yang turun atas mereka. Mereka mengalami berbagai mukjizat silih berganti, tapi mereka masih saja mudah bersungut-sungut dan terus mengeluh selama perjalanan mereka menuju tanah terjanji. Meski demikian, Tuhan masih bersabar dengan memberikan peringatan yang amat tegas ini. Tuhan bilang, "hey, kalian harus hati-hati supaya jangan sampai melupakanKu." Dengan bagaimana? Dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapanNya. Lantas setelah peringatan ini turun, apakah mereka menjadi taat? Israel yang tegar tengkuk ternyata memang benar-benar melupakan Tuhan yang telah begitu baik kepada mereka.
(bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Menjadi Anggur Yang Baik (1)
Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...