Monday, July 17, 2017

Bersukacita di Tengah Penderitaan (1)

Ayat bacaan: Filipi 4:4
================
"Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!"

Bersukacita, bergembira saat hidup sedang baik itu mudah. Sedang tidak ada masalah, pekerjaan sedang lancar, semua dalam keadaan baik, tentu kita pun tidak sulit untuk bersenang hati. Pertanyaannya, apakah kita masih tetap bisa bersukacita saat kondisi sedang tidak kondusif, sulit atau bahkan sangat berat? Bisakah kita tetap memuji Tuhan pada saat kita kehilangan orang yang kita sayangi, saat kita tengah ditimpa masalah atau berada dalam pergumulan? Teman saya baru saja kehilangan ayahnya secara tiba-tiba. Sang ayah tadinya sehat-sehat saja. Pagi hari ia masih mengantar ibunya ke pasar dan tukang jahit. Tapi siang hari ia terjatuh dari kursi, kepalanya terbentur keras ke lantai dan saat itu juga meninggal dunia. Begitu mendadak, tidak ada anggota keluarga yang siap untuk kehilangan. Saat saya datang untuk memberi penghiburan, ibunya bercerita panjang tentang saat-saat terakhir bersama suaminya, dan kenangannya hidup bersama hampir 50 tahun.

Buat saya, mereka ini adalah contoh yang sangat baik dari pernikahan. Kemana-mana berdua, suaminya begitu telaten mengurus istrinya yang sebenarnya lebih lemah kondisinya. Ia memapah istrinya kemana-mana, membantu pekerjaan rumah disamping masih aktif bekerja dan pelayanan. Di usia senjanya ia juga sebenarnya masih rajin olah raga bersepeda, yang rutin ia lakukan selesai saat teduh. Tidak ada satupun dari keluarganya yang ingin ayahnya pergi secepat itu, tapi Tuhan berkehendak lain. Sambil menangis, si ibu berkata bahwa ia bangga suaminya setia menjaga imannya sampai akhir dan berhasil menjadi ayah, suami, imam dan anak Tuhan yang baik. "Saya kehilangan, tapi saya bersyukur Tuhan kasih suami seperti dia. Tuhan itu baik. Terima kasih Tuhan." katanya sambil tersenyum ditengah linangan air mata.

Buat saya apa yang ditunjukkan ibu teman saya ini bukan main luar biasa. Ditengah rasa kehilangan dan ketidaktahuannya bagaimana hidup tanpa bantuan suami ke depan, ia masih bisa mengucap syukur dan mengatakan Tuhan itu baik. Meski kehilangan, meski hatinya mungkin tengah hampa dan perih, ia tidak kecewa pada Tuhan. Kok bisa? Saya yakin karena ia memandang dari sisi lain. Kalau sisi penderitaan yang ia pandang, tidak mungkin ia bisa bereaksi seperti itu. Tapi ia tahu bahwa suaminya sekarang sudah ada bersama Bapa di surga, suaminya sudah meninggalkan begitu banyak kenangan indah dan warisan iman. Tidak semua orang bisa menjaga kesetiaan imannya sampai akhir, tidak semua orang mau menjaga hubungan yang intim dengan Tuhan hingga jangka waktu lama. Tidak semua orang pula bisa terus hidup benar ditengah godaan, cara hidup/pandang dan pengajaran dunia yang seringkali berbanding terbalik dengan Firman Tuhan. Ia pun masih punya satu anak dan menantu yang sudah mapan dan pasti dengan senang hati merawatnya. Atas semua ini, ia tahu bahwa tidak ada alasan baginya untuk kecewa. Rasa sedih karena kehilangan itu satu hal, tapi seharusnya kita jangan sampai menanggapinya dengan kekecewaan pada Tuhan, menyalahkan atau bahkan menghujatNya.

Saya pun kemudian ingat akan Paulus. Setelah bertobat lewat 'perjumpaan' dengan Kristus, Paulus kemudian membaktikan diri sepenuhnya untuk melayani Tuhan. Sepanjang perjalanannya yang menempuh jarak hingga puluhan ribu kilometer, ia kerap bertemu dengan situasi berat, mengalami banyak siksaan, tekanan dan sebagainya. Luka fisik, itu biasa. Ia dipenjara, dipasung, dianiaya, tapi tidak satupun dari itu menghentikan langkahnya. Setelah sekian tahun, ending dari kisah Paulus ada di penjara menanti datangnya hukuman mati. Banyak orang yang akan segera kecewa pada Tuhan, mempertanyakan keadilan Tuhan jika mengalami kisah seperti Paulus. Bukankah ia punya seribu satu alasan untuk marah pada Tuhan dan merasa dikhianati? Tapi kita tidak menemukan itu sama sekali. Justru di dalam penjara Paulus masih menulis beberapa surat untuk jemaat dan rekan sekerjanya. Ia memberi begitu banyak pesan yang saat ini menjadi pondasi esensial bagi hidup setiap orang percaya.

Yang juga luar biasa, isi surat-suratnya tidaklah berisi keluhan, kesedihan melainkan seruan-seruan agar tetap teguh dan tidak berhenti bersukacita. Dalam surat Filipi misalnya, ada begitu banyak pesan agar jemaat Filipi tetap bersukacita. Berkali-kali pula ia menyatakan bahwa meski dalam kondisi seperti itu ia masih tetap bisa bersukacita. Lihatlah contohnya: " Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian. Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku." (Filipi 2:17-18) atau "Akhirnya, saudara-saudaraku, bersukacitalah dalam Tuhan. Menuliskan hal ini lagi kepadamu tidaklah berat bagiku dan memberi kepastian kepadamu." (3:1)

(bersambung)


No comments:

Menjadi Anggur Yang Baik (1)

 Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...