Sunday, September 3, 2017

Pria Tidak Boleh Menangis? (1)

Ayat bacaan: Mazmur 56:9
===================
"Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?"

Seorang sahabat yang baru kehilangan ayahnya yang dipanggil Tuhan secara mendadak belum lama ini minta ketemu saya untuk bicara empat mata. Ia berkata bahwa sejak ayahnya meninggal ia belum punya kesempatan untuk menumpahkan kesedihannya. Ada beberapa alasan yang membuatnya seperti itu. Pertama, ia harus tegar agar bisa menguatkan ibunya yang sudah sakit-sakitan. Lalu ia juga harus disibukkan oleh banyaknya permintaan dari keluarga yang masih percaya tahyul dalam menyikapi anggota keluarga yang meninggal. Mereka menuntut ini itu tapi tidak mau membantu dari sisi finansial. Kalau dilawan salah, dituruti repot, katanya. Karena orang tuanya tinggal di kota lain, ia harus mengurus segala keperluan untuk membawa ibunya pindah ke rumahnya dan mencari orang yang bisa menjaga rumah disana. Belum lagi mengurus surat kematian dan lain-lain. Diluar semua ini, ia pun sempat berkata: "saya kan laki-laki, berarti saya tidak boleh menangis. Lalu bagaimana saya bisa mengurangi rasa perih di hati saya?" .

Pria harus kuat. Pria lambang maskulin jadi tidak boleh menangis, itu diajarkan pada kita sejak kecil. Saya termasuk yang tidak setuju dengan hal itu karena seakan-akan menganggap pria adalah mahluk terbuat dari besi dan kawat tanpa punya perasaan. Padahal kenyataannya seperti wanita, kita pun berhadapan dengan situasi-situasi yang sama. Kematian, kesakitan, perpisahan, kehilangan, dan berbagai hal-hal lain yang bisa membuat kita terluka parah, patah atau hancur hati dan sebagainya. Pria diciptakan juga memiliki air mata, yang pada saat-saat tertentu mau tidak mau harus tercurah keluar dalam tetesan atau limpahan. Selama punya perasaan, ada kalanya kita bersedih, dan kita butuh cara untuk bisa mengeluarkan sebagian dari kesedihan, dan salah satu caranya adalah dengan menangis.

Sangatlah menarik saat membaca salah satu ucapan Daud saat menghadapi kesusahan berat. "Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?" (Mazmur 56:9). Pada jaman dulu orang-orang Israel memiliki wadah penampung air, minyak, susu, anggur dan air/cairan lainnya yang disebut dengan kirbat. Selain semua itu, kirbat juga dipakai untuk menampung air mata dari orang yang berduka. Setelahnya kirbat ini biasanya diletakkan di atas kuburan dari kerabat yang meninggal. Budaya yang sejatinya berasal dari Mesir ini kemudian menyebar ke Israel dan dipakai mereka untuk menyatakan rasa dukacita mendalam atas kehilangan orang yang dikasihi.

Ayat ini sangat menarik buat saya karena beberap hal. Pertama, kita bisa melihat bahwa Daud yang berani menghadapi singa dan beruang untuk membela segelintir kambing domba yang ia gembalakan, berani dan sukses melawan raksasa Goliat yang sudah mengintimidasi pasukan tentara Israel selama 40 hari dan kelak menjadi raja, ternyata juga tidak harus malu untuk menangis. Kenapa ia menangis? Pada saat itu Daud sedang tertekan berat karena selain sedang dalam pelarian dikejar-kejar raja Saul yang cemburu kepadanya, ia kemudian berhadapan dengan bahaya lain karena masuk ke daerah musuh, yaitu orang Filistin di Gat. Ia pun ditangkap. Bayangkan tekanan yang ia alami. Disaat seperti itu, Daud menyatakan bahwa ia tidak harus merasa tabu untuk menangis. Menangis karena batinnya tertekan, tapi kita bisa baca pula rangkaian ayat selanjutnya yang menunjukkan teguhnya Dia meletakkan hidup pada Tuhan dan percaya sepenuhnya kepada Tuhan.

Kedua, Daud tahu bahwa Tuhan tidak antipati terhadap pria yang menangis. Daud mengatakan bahwa Tuhan tahu sengsara yang ia rasakan, dan ia yakin bahwa air matanya diletakkan Tuhan dalam kirbatNya. Itu artinya Daud tahu bahwa ikut Tuhan merasakan deritanya. Kalau Tuhan turut merasakan, tentu Dia akan segera bertindak untuk melepaskan.

Ketiga, lihatlah bahwa menangis bukanlah selalu berarti lemah. Daud menangis, tapi bukan karena imannya melemah. Imannya tetap kuat, ia tetap percaya sepenuhnya kepada Tuhan seperti yang jelas terlihat dalam ayat-ayat selanjutnya, tapi tekanan berat membuatnya harus menangis. Yang tidak boleh adalah kalau kita terus menerus atau gampang menangis. Itu namanya cengeng. Atau, saat menangis membuat kita menjadi lemah. Lemah mental, lemah iman. Itu tentu tidak boleh.

Di dalam dunia maskulin kita seringkali mendapat konsep yang salah tentang identitas kita. Kita selalu diajarkan untuk berusaha menekan diri kita agar tidak bereaksi terhadap kesedihan, penderitaan dan sebagainya. Kabar baiknya, Tuhan tidak menuntut kita secara berlebihan seperti itu. Paulus mengungkapkan sebuah jati diri Allah dalam menanggapi kepedihan yang dirasakan manusia. "Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan." (2 Korintus 1:3). Bapa yang penuh belas kasihan dan sumber segala penghiburan. Betapa indahnya ayat ini bagi kita yang tengah berduka. Setidaknya kita tahu kita tidak sendiri. Kita tahu Dia peduli, Dia mengasihani kita dan siap memberikan penghiburan. Kita boleh setiap saat datang dan menangis di pangkuanNya. Termasuk pria tentu saja.

(bersambung)


No comments:

Menjadi Anggur Yang Baik (1)

 Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...