(sambungan)
"Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya,mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!" (Lukas 13:6-9).
Perumpamaan ini mengumpamakan Tuhan sebagai pemilik kebun. Sang Pemilik mendapati ada umatNya yang tidak kunjung berbuah meski sudah diberi kesempatan yang lama. Perhatikan bahwa sesungguhnya ada jangka waktu cukup yang diberikan Tuhan sebagai kesempatan bagi kita untuk berubah dan berbuah. Yesus datang untuk menyelamatkan dan akan terus mengetuk pintu hati kita agar bisa memancarkan kehidupan yang menghasilkan buah. Begitu baiknya Tuhan, karena tidak saja Dia memberikan kita waktu dan kesempatan, tetapi Dia pun mau turun tangan langsung bekerja, mengusahakan agar lebih banyak lagi orang-orang yang bertobat, bertumbuh dan berbuah.
Sebuah pohon ara yang tidak kunjung berbuah di kebun anggur masih akan dipertahankan apabila bisa menghasilkan buah. Sang pemilik kebun bahkan dengan jelas menunjukkan perhatian akan pohon ara ini. Ia mengingat betul kapan pohon itu ditanam, dan dalam perumpamaan ini dikatakan bahwa ia pun terus mengamati apakah pohon tersebut sudah berbuah atau tidak. Tiga tahun, tapi tetap juga tidak menampakkan hasil. Pohon yang tidak berguna pada akhirnya akan ditebang.
Pohon Ara yang tumbuh di tengah-tengah kebun anggur itu tidak hanya sia-sia ada disana, tapi juga akan menghabiskan zat-zat nutrisi yang dibutuhkan tanaman anggur dalam kebun. Wajarlah apabila sang pemilik meminta agar pohon itu ditebang saja. Tapi luar biasa, Yesus yang diumpamakan sebagai pengurus kebun masih meminta kesempatan sekali lagi. "aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya,mungkin tahun depan ia berbuah." (ay 8-9a).
Sang "Pengurus kebun" akan mengerjakan sesuatu bagi pohon agar bisa berbuah. Hidup kita yang begitu rusak oleh benalu dan tunas-tunas dosa seringkali tidak lagi dapat diperbaiki sendiri, sehingga kita membutuhkan uluran tangan Yesus untuk "mencangkul tanah dan memberi pupuk" agar bisa selamat. Dan kabar baiknya, Yesus bersedia membantu kita agar kita bisa bertumbuh sehat dan menghasilkan buah dalam hidup kita.
Dalam prosesnya, terkadang ada bagian-bagian yang tidak efektif dari diri kita harus dicangkul, dan itu bukanlah hal yang menyenangkan. Proses itu terkadang bisa terasa begitu menyakitkan, tapi harus dilakukan supaya kita tidak harus ditebang dan dilempar kedalam api. Memangkas segala keinginan daging di dunia yang penuh godaan dan tipu daya tentu tidak mudah. Betapa banyaknya hal yang bisa menggoda keinginan daging lalu membuat kita tidak bertumbuh apalagi berbuah. Hidup yang dipimpin oleh Roh, itulah seharusnya yang kita cari. Kalau daging lemah, roh itu penurut. Dan hidup dalam Roh akan membuat kita bisa menghasilkan buah-buah Roh seperti yang disebutkan dalam Galatia 5:22-23.
Selanjutnya mari kita lihat apa yang dikatakan Yesus. "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku." (Yohanes 15:4). Agar kita bisa bertumbuh dan berbuah dengan baik, kita harus tetap tinggal di dalam Kristus, dan Kristus di dalam kita. Baik dalam kehidupan sehari-hari, keluarga maupun pekerjaan, hendaklah kita selalu menjalaninya di dalam Kristus, bersama-sama dengan Dia.
(bersambung)
Wednesday, January 31, 2018
Tuesday, January 30, 2018
Berbuah atau Ditebang (1)
Ayat bacaan: Lukas 13:8-9
=====================
"Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!"
Saya tidak bisa membayangkan sehancur apa dunia tanpa adanya pohon. Proses fotosintesisnya menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen yang sangat kita butuhkan baik untuk bernafas maupun agar udara di sekitarnya menjadi segar. Pohon hijau dan rimbun ini bisa mencegah efek rumah kaca yang akan sangat bermanfaat bagi kita maupun generasi yang akan datang. Itu jelas keuntungan yang bisa kita peroleh dari pohon. Tapi kalau kita bicara soal pohon buah, meski semua manfaat di atas yang sangat penting itu dihasilkan oleh pohon-pohon buah, tetapi tugas utama pohon buah tentu saja menghasilkan buah.
Tidak ada orang yang membeli dan menanam pohon buah tanpa mengharap adanya buah yang nantinya memenuhi ranting-ranting saat pohon tersebut sudah sampai waktunya untuk bisa berbuah. Pemiliknya akan berusaha dengan segala daya upaya agar pohonnya bisa berbuah. Diberi pupuk, disiram, dirawat, dipastikan agar tidak ada hama yang merusak pohon tersebut dan sebagainya. Apabila pohon tersebut tidak kunjung berbuah, tentu pohon tersebut akan kehilangan fungsi utamanya. Apalagi kalau pohon itu gagal tumbuh dengan baik. Batangnya tipis, pendek dan daunnya sedikit meski sudah diusahakan selama bertahun-tahun. Kalau sudah begini, konsekuensi ditebang dan dibakar pun bisa menjadi akhir dari hidup pohon gagal tumbuh ini.
Dalam renungan terdahulu kita sudah melihat pentingnya bagi kita untuk menghasilkan buah. Sadarkah kita bahwa kita pun seperti pohon yang diwajibkan untuk berbuah? Begitu penting, bahkan lewat Paulus kita bisa mendapatkan Firman bahwa kalau kita masih diberi kesempatan hidup, itu artinya kita harus terus bekerja menghasilkan buah. "Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah" (Filipi 1:22).
Jadi tugas utama kita dalam hidup ini sesungguhnya adalah bekerja memberi buah. Karenanya, apabila kita hidup tanpa menghasilkan buah, hidup tidak berdampak, hidup yang dibuang sia-sia melakukan segala sesuatu yang tidak berguna, itu berarti kita tidaklah memenuhi fungsi utama kita dalam hidup. Apa gunanya pohon kalau selain tumbuhnya tidak sehat dan tidak menghasilkan buah? Pohon tersebut akan dicabut dan dibuang atau dibakar. Kalau pohon menemui akhir seperti itu, kita pun sama. Dan kalau sampai itu yang terjadi, penyesalan sebesar apapun tidak akan bisa merubahnya lagi. Yang jelas kesempatan itu diberikan sangat luas selama kita hidup. Tapi kalau kesempatan itu dibuang sia-sia, akan tiba saatnya dimana pertanggungjawaban dan konsekuensilah yang tinggal, sementara kesempatan sudah habis.
Yesus menyampaikan hal tersebut dalam sebuah perumpamaan dengan menempatkan Tuhan sebagai pemilik kebun dan kita sebagai pohon-pohon atau tanaman yang ada di dalam kebun tersebut. Yesus mengatakan: "Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (Matius 7:18-19).
Pohon yang tidak berbuah, yang tidak kunjung membaik meski sudah mendapat penanganan serius pada akhirnya hanya akan ditebang dan dibakar. Ada kalanya agar bisa bertumbuh baik, pohon-pohon tersebut harus melalui proses pemotongan tunas-tunas yang tidak produktif, pembersihan benalu dan parasit yang menempel dan sebagainya. Bagi pohon proses itu bisa jadi terasa menyakitkan. Tapi proses tetap harus dilalui agar selanjutnya bisa tumbuh menjadi pohon yang tumbuh subur berbuah segar dengan lebat.
Hal yang sama bagi kita. Kalau sebagai orang percaya kita masih belum berbuah dan tidak sehat tumbuhnya, kita harus mau dibentuk dan mengalami pemotongan-pemotongan hal-hal yang tidak perlu, yang mungkin terasa perih menyakitkan saat proses berlangsung. Tetapi itu akan membuat kita bisa sehat bertumbuh dalam iman akan Kristus. Itu akan jauh lebih baik ketimbang pada akhirnya dibuang dan dibakar.
Ada sebuah perumpamaan singkat lainnya yang menarik yang juga berasal dari Yesus.
(bersambung)
=====================
"Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!"
Saya tidak bisa membayangkan sehancur apa dunia tanpa adanya pohon. Proses fotosintesisnya menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen yang sangat kita butuhkan baik untuk bernafas maupun agar udara di sekitarnya menjadi segar. Pohon hijau dan rimbun ini bisa mencegah efek rumah kaca yang akan sangat bermanfaat bagi kita maupun generasi yang akan datang. Itu jelas keuntungan yang bisa kita peroleh dari pohon. Tapi kalau kita bicara soal pohon buah, meski semua manfaat di atas yang sangat penting itu dihasilkan oleh pohon-pohon buah, tetapi tugas utama pohon buah tentu saja menghasilkan buah.
Tidak ada orang yang membeli dan menanam pohon buah tanpa mengharap adanya buah yang nantinya memenuhi ranting-ranting saat pohon tersebut sudah sampai waktunya untuk bisa berbuah. Pemiliknya akan berusaha dengan segala daya upaya agar pohonnya bisa berbuah. Diberi pupuk, disiram, dirawat, dipastikan agar tidak ada hama yang merusak pohon tersebut dan sebagainya. Apabila pohon tersebut tidak kunjung berbuah, tentu pohon tersebut akan kehilangan fungsi utamanya. Apalagi kalau pohon itu gagal tumbuh dengan baik. Batangnya tipis, pendek dan daunnya sedikit meski sudah diusahakan selama bertahun-tahun. Kalau sudah begini, konsekuensi ditebang dan dibakar pun bisa menjadi akhir dari hidup pohon gagal tumbuh ini.
Dalam renungan terdahulu kita sudah melihat pentingnya bagi kita untuk menghasilkan buah. Sadarkah kita bahwa kita pun seperti pohon yang diwajibkan untuk berbuah? Begitu penting, bahkan lewat Paulus kita bisa mendapatkan Firman bahwa kalau kita masih diberi kesempatan hidup, itu artinya kita harus terus bekerja menghasilkan buah. "Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah" (Filipi 1:22).
Jadi tugas utama kita dalam hidup ini sesungguhnya adalah bekerja memberi buah. Karenanya, apabila kita hidup tanpa menghasilkan buah, hidup tidak berdampak, hidup yang dibuang sia-sia melakukan segala sesuatu yang tidak berguna, itu berarti kita tidaklah memenuhi fungsi utama kita dalam hidup. Apa gunanya pohon kalau selain tumbuhnya tidak sehat dan tidak menghasilkan buah? Pohon tersebut akan dicabut dan dibuang atau dibakar. Kalau pohon menemui akhir seperti itu, kita pun sama. Dan kalau sampai itu yang terjadi, penyesalan sebesar apapun tidak akan bisa merubahnya lagi. Yang jelas kesempatan itu diberikan sangat luas selama kita hidup. Tapi kalau kesempatan itu dibuang sia-sia, akan tiba saatnya dimana pertanggungjawaban dan konsekuensilah yang tinggal, sementara kesempatan sudah habis.
Yesus menyampaikan hal tersebut dalam sebuah perumpamaan dengan menempatkan Tuhan sebagai pemilik kebun dan kita sebagai pohon-pohon atau tanaman yang ada di dalam kebun tersebut. Yesus mengatakan: "Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (Matius 7:18-19).
Pohon yang tidak berbuah, yang tidak kunjung membaik meski sudah mendapat penanganan serius pada akhirnya hanya akan ditebang dan dibakar. Ada kalanya agar bisa bertumbuh baik, pohon-pohon tersebut harus melalui proses pemotongan tunas-tunas yang tidak produktif, pembersihan benalu dan parasit yang menempel dan sebagainya. Bagi pohon proses itu bisa jadi terasa menyakitkan. Tapi proses tetap harus dilalui agar selanjutnya bisa tumbuh menjadi pohon yang tumbuh subur berbuah segar dengan lebat.
Hal yang sama bagi kita. Kalau sebagai orang percaya kita masih belum berbuah dan tidak sehat tumbuhnya, kita harus mau dibentuk dan mengalami pemotongan-pemotongan hal-hal yang tidak perlu, yang mungkin terasa perih menyakitkan saat proses berlangsung. Tetapi itu akan membuat kita bisa sehat bertumbuh dalam iman akan Kristus. Itu akan jauh lebih baik ketimbang pada akhirnya dibuang dan dibakar.
Ada sebuah perumpamaan singkat lainnya yang menarik yang juga berasal dari Yesus.
(bersambung)
Monday, January 29, 2018
Pohon dan Buah (3)
(sambungan)
Sangatlah menarik jika kita melihat dimana buah itu tumbuh. Buah tidak tumbuh pada batang pohon melainkan di ranting-rantingnya. Dan ranting tidak akan pernah bisa hidup menghasilkan buah jika tidak melekat pada batang. Pemikiran ini sangat sederhana dan tidak sulit untuk dimengerti, tapi kita sering mengabaikannya. Karenanya penting bagi kita untuk mengingat dan merenungkan baik-baik.
Yesus sendiri menerangkan seperti itu. "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. inggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku." (Yohanes 15:1-4).
Tinggal di dalam Yesus akan membuat kita bisa berbuah, dan seharusnya membuat kita berbuah subur, ranum, manis dan berkualitas tinggi. Tinggal di dalam Yesus bukan sekedar hanya mengaku menjadi umatNya tapi dengan sungguh hati beriman kepadaNya dan melakukan tepat seperti apa yang Dia ajarkan, juga memiliki pikiran dan perasaan yang selaras denganNya.
Jika Yesus mengatakan bahwa kita harus mengasihi sepenuhnya, maka kita harus melakukannya tanpa banyak alasan. Jika Yesus mengatakan bahwa kita harus mau mengampuni, maka kita harus melakukan itu tanpa memilah-milah besar kecilnya kesalahan atau memandang orang terlebih dahulu. Bahkan kalau Yesus meminta kita untuk terlebih dahulu rela menyangkal diri dan memikul salib, maka kita harus siap untuk itu. Kalau kerelaan kita untuk memberi diminta mengatasi keinginan untuk mendapat, buatlah tepat seperti itu. Kalau Yesus mengajarkan kita untuk menjadi terang dan garam, kita harus memiliki hidup yang berkualitas dan berintegritas dengan mencerminkan cara dan gaya hidup Kerajaan.
Melekat pada Yesus adalah mengakuiNya sebagai Tuhan dan Juru Selamat, mengenal, mendengar dan melakukan ajaranNya, dan terus berproses memperbaiki cara hidup kita agar semakin lama semakin sama seperti Dia. Jika ini kita jalankan, maka hidup kita akan menghasilkan buah-buah baik seperti yang diinginkan "Pengusaha Kebun". "Pokok" pun akan bangga apabila menghasilkan ranting-ranting berdaun rimbun dengan buah-buah yang subur dan segar.
Buah segar, lezat, menyehatkan dan bermutu, itu sangat tinggi harganya, demikianlah karakter yang serupa dengan Kristus dengan segala buah-buah Roh yang dihasilkannya. Tinggal di dalamNya akan memampukan kita untuk berbuah. Mari periksa diri kita. Apabila saat ini kita masih belum berbuah atau masih belum cukup baik, ini saatnya bagi kita untuk memperbaiki segala sesuatu sebelum terlambat. "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:9).
Lalu jangan lupa bahwa sesungguhnya dari buahnya-lah sebuah pohon itu dikenal. "Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya. Jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33).
Bagi kita yang bukan ahli dalam hal pohon, kita bisa dengan mudah mengenali pohon jeruk, mangga, apel dan sebagainya dengan melihat buah yang ada pada ranting-rantingnya. Sebab, tidak mungkin pohon apel berbuah mangga, atau pohon jeruk berbuah apel, dan sebagainya. Pertanyaannya, sebagai murid Kristus, apakah kita sudah menghasilkan buah yang bisa membuat orang mengenal Dia dengan benar? Atau kita masih mengeluarkan buah-buah buruk yang akan membuat orang salah mengenal siapa Kristus dan seperti apa hati, pikiran, perbuatan dan terutama, kasihNya. Atau, jangan-jangan kita memang tidak tumbuh sama sekali di dalamNya.
Buah Roh akan memenuhi setiap aspek hidup kita dengan penuh sukacita, dan itu bisa memberkati orang-orang di sekitar kita. Sudahkah kita berbuah? Kalau sudah, buah seperti apa yang kita hasilkan? Apakah kita sudah menghasilkan buah sesuai pertobatan? Apakah buah-buah Roh Allah merupakan produk dari diri kita yang bisa dirasakan langsung oleh banyak orang? Pohon buah tugasnya berbuah. Kalau pohon buah tidak kunjung berbuah dan masih dalam kondisi jelek meski sudah diusahakan dengan susah payah oleh pemiliknya, jangan salahkan sang pemilik jika pada akhirnya pohon ditebang dan dilemparkan ke dalam api alias dibakar. Hendaknya perihal berbuah bisa mendapatkan perhatian serius dari teman-teman sekalian. The world, especially our nation needs it more than ever.
Berbuahlah berlipat ganda dan berkati bangsa dengannya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sangatlah menarik jika kita melihat dimana buah itu tumbuh. Buah tidak tumbuh pada batang pohon melainkan di ranting-rantingnya. Dan ranting tidak akan pernah bisa hidup menghasilkan buah jika tidak melekat pada batang. Pemikiran ini sangat sederhana dan tidak sulit untuk dimengerti, tapi kita sering mengabaikannya. Karenanya penting bagi kita untuk mengingat dan merenungkan baik-baik.
Yesus sendiri menerangkan seperti itu. "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. inggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku." (Yohanes 15:1-4).
Tinggal di dalam Yesus akan membuat kita bisa berbuah, dan seharusnya membuat kita berbuah subur, ranum, manis dan berkualitas tinggi. Tinggal di dalam Yesus bukan sekedar hanya mengaku menjadi umatNya tapi dengan sungguh hati beriman kepadaNya dan melakukan tepat seperti apa yang Dia ajarkan, juga memiliki pikiran dan perasaan yang selaras denganNya.
Jika Yesus mengatakan bahwa kita harus mengasihi sepenuhnya, maka kita harus melakukannya tanpa banyak alasan. Jika Yesus mengatakan bahwa kita harus mau mengampuni, maka kita harus melakukan itu tanpa memilah-milah besar kecilnya kesalahan atau memandang orang terlebih dahulu. Bahkan kalau Yesus meminta kita untuk terlebih dahulu rela menyangkal diri dan memikul salib, maka kita harus siap untuk itu. Kalau kerelaan kita untuk memberi diminta mengatasi keinginan untuk mendapat, buatlah tepat seperti itu. Kalau Yesus mengajarkan kita untuk menjadi terang dan garam, kita harus memiliki hidup yang berkualitas dan berintegritas dengan mencerminkan cara dan gaya hidup Kerajaan.
Melekat pada Yesus adalah mengakuiNya sebagai Tuhan dan Juru Selamat, mengenal, mendengar dan melakukan ajaranNya, dan terus berproses memperbaiki cara hidup kita agar semakin lama semakin sama seperti Dia. Jika ini kita jalankan, maka hidup kita akan menghasilkan buah-buah baik seperti yang diinginkan "Pengusaha Kebun". "Pokok" pun akan bangga apabila menghasilkan ranting-ranting berdaun rimbun dengan buah-buah yang subur dan segar.
Buah segar, lezat, menyehatkan dan bermutu, itu sangat tinggi harganya, demikianlah karakter yang serupa dengan Kristus dengan segala buah-buah Roh yang dihasilkannya. Tinggal di dalamNya akan memampukan kita untuk berbuah. Mari periksa diri kita. Apabila saat ini kita masih belum berbuah atau masih belum cukup baik, ini saatnya bagi kita untuk memperbaiki segala sesuatu sebelum terlambat. "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:9).
Lalu jangan lupa bahwa sesungguhnya dari buahnya-lah sebuah pohon itu dikenal. "Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya. Jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33).
Bagi kita yang bukan ahli dalam hal pohon, kita bisa dengan mudah mengenali pohon jeruk, mangga, apel dan sebagainya dengan melihat buah yang ada pada ranting-rantingnya. Sebab, tidak mungkin pohon apel berbuah mangga, atau pohon jeruk berbuah apel, dan sebagainya. Pertanyaannya, sebagai murid Kristus, apakah kita sudah menghasilkan buah yang bisa membuat orang mengenal Dia dengan benar? Atau kita masih mengeluarkan buah-buah buruk yang akan membuat orang salah mengenal siapa Kristus dan seperti apa hati, pikiran, perbuatan dan terutama, kasihNya. Atau, jangan-jangan kita memang tidak tumbuh sama sekali di dalamNya.
Buah Roh akan memenuhi setiap aspek hidup kita dengan penuh sukacita, dan itu bisa memberkati orang-orang di sekitar kita. Sudahkah kita berbuah? Kalau sudah, buah seperti apa yang kita hasilkan? Apakah kita sudah menghasilkan buah sesuai pertobatan? Apakah buah-buah Roh Allah merupakan produk dari diri kita yang bisa dirasakan langsung oleh banyak orang? Pohon buah tugasnya berbuah. Kalau pohon buah tidak kunjung berbuah dan masih dalam kondisi jelek meski sudah diusahakan dengan susah payah oleh pemiliknya, jangan salahkan sang pemilik jika pada akhirnya pohon ditebang dan dilemparkan ke dalam api alias dibakar. Hendaknya perihal berbuah bisa mendapatkan perhatian serius dari teman-teman sekalian. The world, especially our nation needs it more than ever.
Berbuahlah berlipat ganda dan berkati bangsa dengannya
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sunday, January 28, 2018
Pohon dan Buah (2)
(sambungan)
Dan lihatlah bagaimana murka Tuhan. "Maka sekarang, Aku mau memberitahukan kepadamu apa yang hendak Kulakukan kepada kebun anggur-Ku itu: Aku akan menebang pagar durinya, sehingga kebun itu dimakan habis, dan melanda temboknya, sehingga kebun itu diinjak-injak; Aku akan membuatnya ditumbuhi semak-semak, tidak dirantingi dan tidak disiangi, sehingga tumbuh puteri malu dan rumput; Aku akan memerintahkan awan-awan, supaya jangan diturunkannya hujan ke atasnya." (ay 5-6). Kemarahan itu tentu mengerikan jika harus kita terima sebagai konsekuensinya.
Dalam injil Matius, pokok atau pohon-pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik dikatakan akan "ditebang dan dibuang ke dalam api." (Matius 3:10). Lalu dalam Wahyu kita kembali mendapati konsekuensi yang harus dihadapi oleh "buah-buah anggur asam" ini." "...Ayunkanlah sabitmu yang tajam itu dan potonglah buah-buah pohon anggur di bumi, karena buahnya sudah masak." Lalu malaikat itu mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan memotong buah pohon anggur di bumi dan melemparkannya ke dalam kilangan besar, yaitu murka Allah." (Wahyu 14:18b-19).
Kalau begitu, seperti apa seharusnya buah yang seharusnya dihasilkan? Buah bisa berharga sangat tinggi dilihat dari kualitasnya. Kita orang-orang percaya, manusia dengan tubuh, jiwa dan roh seharusnya bisa menghasilkan buah yang jauh lebih berharga lagi. Dan itu tercatat dalam surat Galatia, yang disebut dengan buah Roh.
Demikian bunyi ayatnya: "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22-23). Lihatlah betapa tinggi kualitas buah-buah yang dihasilkan oleh sebentuk roh yang melekat pada Kristus. Dan seharusnya seperti itulah buah yang ingin Tuhan dapatkan atas hasil usahaNya dalam merawat dan mengasihi kita.
Perhatikanlah bahwa setiap buah menggambarkan aspek demi aspek dari citra Kristus. Itu bisa kita lihat dari cara hidup Kristus yang dicatat dalam keempat Injil. Disana tergambar jelas bagaimana Kristus mendemonstrasikan secara langsung segala kebajikan dari masing-masing buah. Dia ingin kita menghasilkan kualitas yang sama yang terpancar melalui cara hidup kita, apakah lewat cara kita bertutur kata, bersikap, berpikir, bertingkah laku dan lain sebagainya. Sudah seharusnya kita meletakkan pikiran dan perasaan kita seperti pikiran dan perasaan Kristus, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 2:5.
Buah-buah Roh merupakan semua nilai kebajikan yang tidak terbantahkan oleh siapapun. Semua mengakui kualitasnya, tapi hanya sedikit yang mampu menghasilkannya. Terlebih saat dunia semakin sering mempertontonkan kebencian, kepuasan dari pembalasan dendam, penindasan, ketidakadilan dan buah-buah yang bukan berasal dari Tuhan melainkan dari sisi kegelapan. Buah-buah ini semakin langka, dan saya yakin akan semakin tinggi nilainya saat bisa dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Buah-buah Roh ini menampilkan karakteristik buah yang baik dan bernilai tinggi, dan itulah yang diinginkan Tuhan untuk dihasilkan secara berlimpah oleh hidup kita.
(bersambung)
Dan lihatlah bagaimana murka Tuhan. "Maka sekarang, Aku mau memberitahukan kepadamu apa yang hendak Kulakukan kepada kebun anggur-Ku itu: Aku akan menebang pagar durinya, sehingga kebun itu dimakan habis, dan melanda temboknya, sehingga kebun itu diinjak-injak; Aku akan membuatnya ditumbuhi semak-semak, tidak dirantingi dan tidak disiangi, sehingga tumbuh puteri malu dan rumput; Aku akan memerintahkan awan-awan, supaya jangan diturunkannya hujan ke atasnya." (ay 5-6). Kemarahan itu tentu mengerikan jika harus kita terima sebagai konsekuensinya.
Dalam injil Matius, pokok atau pohon-pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik dikatakan akan "ditebang dan dibuang ke dalam api." (Matius 3:10). Lalu dalam Wahyu kita kembali mendapati konsekuensi yang harus dihadapi oleh "buah-buah anggur asam" ini." "...Ayunkanlah sabitmu yang tajam itu dan potonglah buah-buah pohon anggur di bumi, karena buahnya sudah masak." Lalu malaikat itu mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan memotong buah pohon anggur di bumi dan melemparkannya ke dalam kilangan besar, yaitu murka Allah." (Wahyu 14:18b-19).
Kalau begitu, seperti apa seharusnya buah yang seharusnya dihasilkan? Buah bisa berharga sangat tinggi dilihat dari kualitasnya. Kita orang-orang percaya, manusia dengan tubuh, jiwa dan roh seharusnya bisa menghasilkan buah yang jauh lebih berharga lagi. Dan itu tercatat dalam surat Galatia, yang disebut dengan buah Roh.
Demikian bunyi ayatnya: "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22-23). Lihatlah betapa tinggi kualitas buah-buah yang dihasilkan oleh sebentuk roh yang melekat pada Kristus. Dan seharusnya seperti itulah buah yang ingin Tuhan dapatkan atas hasil usahaNya dalam merawat dan mengasihi kita.
Perhatikanlah bahwa setiap buah menggambarkan aspek demi aspek dari citra Kristus. Itu bisa kita lihat dari cara hidup Kristus yang dicatat dalam keempat Injil. Disana tergambar jelas bagaimana Kristus mendemonstrasikan secara langsung segala kebajikan dari masing-masing buah. Dia ingin kita menghasilkan kualitas yang sama yang terpancar melalui cara hidup kita, apakah lewat cara kita bertutur kata, bersikap, berpikir, bertingkah laku dan lain sebagainya. Sudah seharusnya kita meletakkan pikiran dan perasaan kita seperti pikiran dan perasaan Kristus, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 2:5.
Buah-buah Roh merupakan semua nilai kebajikan yang tidak terbantahkan oleh siapapun. Semua mengakui kualitasnya, tapi hanya sedikit yang mampu menghasilkannya. Terlebih saat dunia semakin sering mempertontonkan kebencian, kepuasan dari pembalasan dendam, penindasan, ketidakadilan dan buah-buah yang bukan berasal dari Tuhan melainkan dari sisi kegelapan. Buah-buah ini semakin langka, dan saya yakin akan semakin tinggi nilainya saat bisa dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Buah-buah Roh ini menampilkan karakteristik buah yang baik dan bernilai tinggi, dan itulah yang diinginkan Tuhan untuk dihasilkan secara berlimpah oleh hidup kita.
(bersambung)
Saturday, January 27, 2018
Pohon dan Buah (1)
Ayat bacaan: Yesaya 5:2
======================
"Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya, dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan; ia mendirikan sebuah menara jaga ditengah - tengahnya dan menggali lobang tempat memeras anggur; lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam."
Suatu kali saya berkunjung ke tempat seorang teman di luar kota yang punya kebun luas dan ditanami oleh beberapa jenis pohon buah. Dengan semangat ia bangga menceritakan beberapa pohon yang sudah berhasil menghasilkan buah dengan kualitas sangat baik. Ia sangat gembira terhadap pohon-pohon ini karena kemudian bisa memakan buah yang benar-benar organik hasil dari kebun sendiri.
Saat berjalan, mata saya tertuju pada sebuah pohon yang terlihat aneh ditengah-tengah pohon lainnya. Kalau pohon lainnya terlihat kokoh, batangnya besar dan daunnya rimbun, pohon yang satu ini pendek, batangnya sangat kurus dan daunnya pun bisa dihitung dengan jari. Ternyata itu adalah pohon mangga. Teman saya tidak habis pikir kenapa pohon yang satu ini begitu memperihatinkan kondisinya, padahal ia sudah berusaha keras selama beberapa tahun agar pohon mangga itu bisa mengikuti jejak pohon-pohon lainnya yang sukses. Menurutnya, dengan setengah perhatian yang ia berikan pada pohon yang satu ini, pohon lainnya bisa tumbuh dengan baik bahkan cepat menghasilkan buah. Ia pun mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan membuang pohon 'gagal' ini.
Orang yang menanam pohon buah tentu mengharapkan buah. Tidak mungkin mereka mau bersusah payah menanam, menyiram, memberi pupuk dan usaha perawatan lainnya tanpa berharap apa-apa dari pohon tersebut. Bukan saja sekedar berbuah, tapi tentu yang diinginkan adalah buah dengan kualitas bagus. Apalagi di negara kita saat ini dimana buah-buahan harganya terus melonjak, menjadi barang mewah yang tidak lagi terbeli oleh kalangan menengah ke bawah. Kalau pohon itu tidak baik tumbuhnya dan tidak menghasilkan buah, tentu saja akan mengecewakan pemiliknya yang sudah berusaha dengan susah payah agar pohon itu bisa menghasilkan buah dari pertumbuhannya yang sehat.
Sadarkah kita bahwa kita sebagai ciptaan Tuhan yang istimewa, yang kepadanya diberikan mandat untuk mengelola dan menjaga segala hasil ciptaan Tuhan lainnya di muka bumi ini pun seperti itu? Kalau kita masih tidak kunjung berbuah atau jangan-jangan malah menghasilkan buah-buah yang tercemar dan buruk mutunya, bagaimana Tuhan tidak kecewa dan marah? Bukankah Dia sudah memberi segalanya agar kita menghasilkan buah yang manis dalam hidup kita? Sayangnya banyak diantara ciptaanNya yang terus mengecewakan atau bahkan menyakiti hatiNya, meski Dia sudah berusaha mengingatkan, mendidik, menjaga, melindungi, memberkati dan melimpahkan kasih karuniaNya dengan kasih setia tak terbatas.
Dalam Yesaya kita bisa melihat hal ini. Dalam pasal 5 dikatakan: "Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya, dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan; ia mendirikan sebuah menara jaga ditengah - tengahnya dan menggali lobang tempat memeras anggur; lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam." (Yesaya 5:2).
Bayangkan Tuhan sudah memberi kunci Kerajaan Surga, tapi banyak anak-anakNya tidak menghargai itu semua dan tidak kunjung menghasilkan "buah" atau dampak apapun dalam hidup mereka. Tidaklah heran jika Tuhan kecewa karenanya. "Apatah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?" (ay 4). "Harus bagaimana lagi supaya anak-anak-Ku di dunia ini menyadari jatidiri mereka yang sebenarnya? Dengan segala yang telah Aku berikan , seharusnya mereka menjadi teladan bagi banyak orang, tetapi mengapa malah menjadi batu sandungan.. kenapa buah seperti itu yang mereka hasilkan.." Seperti itulah kira-kira kekecewaan Tuhan.
(bersambung)
======================
"Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya, dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan; ia mendirikan sebuah menara jaga ditengah - tengahnya dan menggali lobang tempat memeras anggur; lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam."
Suatu kali saya berkunjung ke tempat seorang teman di luar kota yang punya kebun luas dan ditanami oleh beberapa jenis pohon buah. Dengan semangat ia bangga menceritakan beberapa pohon yang sudah berhasil menghasilkan buah dengan kualitas sangat baik. Ia sangat gembira terhadap pohon-pohon ini karena kemudian bisa memakan buah yang benar-benar organik hasil dari kebun sendiri.
Saat berjalan, mata saya tertuju pada sebuah pohon yang terlihat aneh ditengah-tengah pohon lainnya. Kalau pohon lainnya terlihat kokoh, batangnya besar dan daunnya rimbun, pohon yang satu ini pendek, batangnya sangat kurus dan daunnya pun bisa dihitung dengan jari. Ternyata itu adalah pohon mangga. Teman saya tidak habis pikir kenapa pohon yang satu ini begitu memperihatinkan kondisinya, padahal ia sudah berusaha keras selama beberapa tahun agar pohon mangga itu bisa mengikuti jejak pohon-pohon lainnya yang sukses. Menurutnya, dengan setengah perhatian yang ia berikan pada pohon yang satu ini, pohon lainnya bisa tumbuh dengan baik bahkan cepat menghasilkan buah. Ia pun mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan membuang pohon 'gagal' ini.
Orang yang menanam pohon buah tentu mengharapkan buah. Tidak mungkin mereka mau bersusah payah menanam, menyiram, memberi pupuk dan usaha perawatan lainnya tanpa berharap apa-apa dari pohon tersebut. Bukan saja sekedar berbuah, tapi tentu yang diinginkan adalah buah dengan kualitas bagus. Apalagi di negara kita saat ini dimana buah-buahan harganya terus melonjak, menjadi barang mewah yang tidak lagi terbeli oleh kalangan menengah ke bawah. Kalau pohon itu tidak baik tumbuhnya dan tidak menghasilkan buah, tentu saja akan mengecewakan pemiliknya yang sudah berusaha dengan susah payah agar pohon itu bisa menghasilkan buah dari pertumbuhannya yang sehat.
Sadarkah kita bahwa kita sebagai ciptaan Tuhan yang istimewa, yang kepadanya diberikan mandat untuk mengelola dan menjaga segala hasil ciptaan Tuhan lainnya di muka bumi ini pun seperti itu? Kalau kita masih tidak kunjung berbuah atau jangan-jangan malah menghasilkan buah-buah yang tercemar dan buruk mutunya, bagaimana Tuhan tidak kecewa dan marah? Bukankah Dia sudah memberi segalanya agar kita menghasilkan buah yang manis dalam hidup kita? Sayangnya banyak diantara ciptaanNya yang terus mengecewakan atau bahkan menyakiti hatiNya, meski Dia sudah berusaha mengingatkan, mendidik, menjaga, melindungi, memberkati dan melimpahkan kasih karuniaNya dengan kasih setia tak terbatas.
Dalam Yesaya kita bisa melihat hal ini. Dalam pasal 5 dikatakan: "Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya, dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan; ia mendirikan sebuah menara jaga ditengah - tengahnya dan menggali lobang tempat memeras anggur; lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam." (Yesaya 5:2).
Bayangkan Tuhan sudah memberi kunci Kerajaan Surga, tapi banyak anak-anakNya tidak menghargai itu semua dan tidak kunjung menghasilkan "buah" atau dampak apapun dalam hidup mereka. Tidaklah heran jika Tuhan kecewa karenanya. "Apatah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?" (ay 4). "Harus bagaimana lagi supaya anak-anak-Ku di dunia ini menyadari jatidiri mereka yang sebenarnya? Dengan segala yang telah Aku berikan , seharusnya mereka menjadi teladan bagi banyak orang, tetapi mengapa malah menjadi batu sandungan.. kenapa buah seperti itu yang mereka hasilkan.." Seperti itulah kira-kira kekecewaan Tuhan.
(bersambung)
Friday, January 26, 2018
Duri, Kecil tapi Berbahaya (3)
(sambungan)
Perhatikanlah dengan baik. Bukankah hal-hal di atas merupakan sesuatu yang seringkali tidak kita anggap serius dan terus menerus kita biarkan untuk hadir bahkan berkuasa dalam hidup kita? Inilah semak-semak duri itu, yang walaupun kecil tetapi sanggup menghimpit Firman sehingga tidak bisa berbuah. Kata menghimpit ini dalam bahasa Inggrisnya Bukan saja dikatakan choke alias mencekik, tetapi juga "suffocate", yang artinya membunuh dengan cara menghambat akses masuknya udara/oksigen sehingga kita tidak bisa bernafas. Bayangkan seandainya wajah kita dibekap dengan plastik sehingga tidak bisa bernafas, seperti itulah suffocate.
Adalah sangat bagus apabila kita sudah mampu menghindari kejahatan-kejahatan yang dianggap besar seperti membunuh, mencuri dan sebagainya, namun jangan lupakan pula hal-hal yang terlihat kecil namun bagaikan duri yang punya kemampuan untuk membuat firman tidak bisa berbuah lalu membahayakan kelangsungan perjalanan kita.
Dimana seharusnya firman itu jatuh? Firman Tuhan mengatakan: "Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat." (ay 20). Jatuh di tanah yang baik, yang subur dan gembur, itu akan membuat firman itu bisa berbuah puluhan bahkan ratusan kali lipat. Di tanah yang baik, disanalah seharusnya benih Firman itu tertabur agar bisa tumbuh dan berbuah. Itulah yang dikatakan Yesus.
Paulus mengingatkan Timotius: "Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya." (2 Timotius 2:4). Kita diminta untuk tidak memusingkan diri dengan soal-soal penghidupan, dan seharusnya lebih fokus untuk melakukan hal-hal yang akan membuat Tuhan berkenan atas kita.
Jika kita mau merenungkan baik-baik, pada akhirnya kita akan mendapati bahwa tidak ada satupun hal yang lebih penting selain meluangkan waktu dalam doa dan bertumbuh dalam Firman bersama Tuhan, lantas selanjutnya mengaplikasikannya dalam setiap sendi kehidupan kita.
Adalah penting bagi kita untuk mengawasi "duri-duri kecil" yang mampu menghambat atau bahkan menghentikan langkah kita. Ukurannya memang kecil, tapi infeksi yang diakibatkannya berbahaya dan bisa mematikan. Seperti itulah semak duri yang disebutkan Yesus.
Jangan biarkan semak duri itu mengganggu kita. Sekecil dan sesedikit apapun, bebaskan hati dan diri anda dai semak duri agar benih Firman jatuh di tanahyang baik kemudian berbuah berlipat ganda dengan suburnya.
Pastikan hati terbebas dari semak duri agar Firman bisa bertumbuh dan berbuah berlipat ganda
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Perhatikanlah dengan baik. Bukankah hal-hal di atas merupakan sesuatu yang seringkali tidak kita anggap serius dan terus menerus kita biarkan untuk hadir bahkan berkuasa dalam hidup kita? Inilah semak-semak duri itu, yang walaupun kecil tetapi sanggup menghimpit Firman sehingga tidak bisa berbuah. Kata menghimpit ini dalam bahasa Inggrisnya Bukan saja dikatakan choke alias mencekik, tetapi juga "suffocate", yang artinya membunuh dengan cara menghambat akses masuknya udara/oksigen sehingga kita tidak bisa bernafas. Bayangkan seandainya wajah kita dibekap dengan plastik sehingga tidak bisa bernafas, seperti itulah suffocate.
Adalah sangat bagus apabila kita sudah mampu menghindari kejahatan-kejahatan yang dianggap besar seperti membunuh, mencuri dan sebagainya, namun jangan lupakan pula hal-hal yang terlihat kecil namun bagaikan duri yang punya kemampuan untuk membuat firman tidak bisa berbuah lalu membahayakan kelangsungan perjalanan kita.
Dimana seharusnya firman itu jatuh? Firman Tuhan mengatakan: "Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat." (ay 20). Jatuh di tanah yang baik, yang subur dan gembur, itu akan membuat firman itu bisa berbuah puluhan bahkan ratusan kali lipat. Di tanah yang baik, disanalah seharusnya benih Firman itu tertabur agar bisa tumbuh dan berbuah. Itulah yang dikatakan Yesus.
Paulus mengingatkan Timotius: "Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya." (2 Timotius 2:4). Kita diminta untuk tidak memusingkan diri dengan soal-soal penghidupan, dan seharusnya lebih fokus untuk melakukan hal-hal yang akan membuat Tuhan berkenan atas kita.
Jika kita mau merenungkan baik-baik, pada akhirnya kita akan mendapati bahwa tidak ada satupun hal yang lebih penting selain meluangkan waktu dalam doa dan bertumbuh dalam Firman bersama Tuhan, lantas selanjutnya mengaplikasikannya dalam setiap sendi kehidupan kita.
Adalah penting bagi kita untuk mengawasi "duri-duri kecil" yang mampu menghambat atau bahkan menghentikan langkah kita. Ukurannya memang kecil, tapi infeksi yang diakibatkannya berbahaya dan bisa mematikan. Seperti itulah semak duri yang disebutkan Yesus.
Jangan biarkan semak duri itu mengganggu kita. Sekecil dan sesedikit apapun, bebaskan hati dan diri anda dai semak duri agar benih Firman jatuh di tanahyang baik kemudian berbuah berlipat ganda dengan suburnya.
Pastikan hati terbebas dari semak duri agar Firman bisa bertumbuh dan berbuah berlipat ganda
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, January 25, 2018
Duri, Kecil tapi Berbahaya (2)
(sambungan)
Kemudian ada firman yang jatuh tertabur di semak duri, yang saya ingin fokuskan untuk renungan hari ini. Demikian kata Yesus:
"Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (ay 18-19).
Seperti yang saya sebutkan dalam ilustrasi di awal, duri itu kecil ukurannya, tapi bisa menyakitkan bahkan mendatangkan masalah besar. Seperti itu pula berbagai hal-hal yang sepertinya tampak kecil, sepele sehingga kita abaikan, tetapi ternyata tetap berpotensi besar untuk menghancurkan kita.
Seringkali kita awas terhadap kejahatan-kejahatan yang besar dan mudah untuk menghindarinya. Kita tidak membunuh orang, kita tidak menyiksa orang, kita mungkin tidak mencuri. Tetapi kita membiarkan iri hati, korupsi kecil-kecilan, rasa benci, lekas marah, kebiasaan berbohong, mudah tersinggung, egois dan sebagainya yang semakin lama semakin dianggap hal yang lumrah atau manusiawi untuk terus bercokol dalam diri kita. Kita kerap lengah dan membiarkan berbagai dosa-dosa yang tidak separah membunuh, menyiksa, mencuri karena tidak menyadari potensi bahaya yang terkandung disana.
Seperti duri yang ukurannya kecil, dosa-dosa seperti ini tetap bisa melukai bahkan mencelakakan kita.
Agar lebih jelas, mari kita lihat ayat 19 ini dalam versi bahasa Inggrisnya, yaitu versi English Amplified. Bunyinya:
"Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless."
Perhatikan bahwa disana dikatakan bahwa duri-duri ini bisa menyusup (creep in) lalu mencekik (choke) dan menghambat jalur pernafasan (suffocate) sehingga Firman itu pun tidak bisa berbuah. Jika kita melihat apa saja yang dikatakan duri dalam ayat ini, maka kita akan mendapati bahwa secara umum duri-duri itu mewakili hal-hal yang sering kita beri toleransi karena dianggap kecil dan tidak berbahaya, yaitu:
- Cares and anxieties of the world (kekuatiran dan kegelisahan dalam dunia)
- Distractions of the age (gangguan atau kebingungan yang ditimbulkan oleh jaman atau masa)
- The pleasure and delight (kesenangan dan kegembiraan)
- False glamour and deceitfulness of riches (kegemerlapan yang palsu dan tipu daya kekayaan)
- The craving and passionate desire for other things (kecanduan dan hasrat yang menggebu akan sesuatu)
Kalau kita lihat dari daftar di atas dan dalam beberapa bagian dalam Alkitab, duri mengacu kepada:
- hal-hal yang membuat hidup kita sulit
- kelemahan-kelemahan kita
- pola pikir dunia
- tipu daya atau godaan dari iblis
(bersambung)
Kemudian ada firman yang jatuh tertabur di semak duri, yang saya ingin fokuskan untuk renungan hari ini. Demikian kata Yesus:
"Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (ay 18-19).
Seperti yang saya sebutkan dalam ilustrasi di awal, duri itu kecil ukurannya, tapi bisa menyakitkan bahkan mendatangkan masalah besar. Seperti itu pula berbagai hal-hal yang sepertinya tampak kecil, sepele sehingga kita abaikan, tetapi ternyata tetap berpotensi besar untuk menghancurkan kita.
Seringkali kita awas terhadap kejahatan-kejahatan yang besar dan mudah untuk menghindarinya. Kita tidak membunuh orang, kita tidak menyiksa orang, kita mungkin tidak mencuri. Tetapi kita membiarkan iri hati, korupsi kecil-kecilan, rasa benci, lekas marah, kebiasaan berbohong, mudah tersinggung, egois dan sebagainya yang semakin lama semakin dianggap hal yang lumrah atau manusiawi untuk terus bercokol dalam diri kita. Kita kerap lengah dan membiarkan berbagai dosa-dosa yang tidak separah membunuh, menyiksa, mencuri karena tidak menyadari potensi bahaya yang terkandung disana.
Seperti duri yang ukurannya kecil, dosa-dosa seperti ini tetap bisa melukai bahkan mencelakakan kita.
Agar lebih jelas, mari kita lihat ayat 19 ini dalam versi bahasa Inggrisnya, yaitu versi English Amplified. Bunyinya:
"Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless."
Perhatikan bahwa disana dikatakan bahwa duri-duri ini bisa menyusup (creep in) lalu mencekik (choke) dan menghambat jalur pernafasan (suffocate) sehingga Firman itu pun tidak bisa berbuah. Jika kita melihat apa saja yang dikatakan duri dalam ayat ini, maka kita akan mendapati bahwa secara umum duri-duri itu mewakili hal-hal yang sering kita beri toleransi karena dianggap kecil dan tidak berbahaya, yaitu:
- Cares and anxieties of the world (kekuatiran dan kegelisahan dalam dunia)
- Distractions of the age (gangguan atau kebingungan yang ditimbulkan oleh jaman atau masa)
- The pleasure and delight (kesenangan dan kegembiraan)
- False glamour and deceitfulness of riches (kegemerlapan yang palsu dan tipu daya kekayaan)
- The craving and passionate desire for other things (kecanduan dan hasrat yang menggebu akan sesuatu)
Kalau kita lihat dari daftar di atas dan dalam beberapa bagian dalam Alkitab, duri mengacu kepada:
- hal-hal yang membuat hidup kita sulit
- kelemahan-kelemahan kita
- pola pikir dunia
- tipu daya atau godaan dari iblis
(bersambung)
Wednesday, January 24, 2018
Duri, Kecil tapi Berbahaya (1)
Ayat bacaan: Markus 4:19
=================
"Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless."
Suatu kali saya hendak memetik daun jeruk purut di taman belakang untuk dipakai memasak. Karena itu baru pertama kali, saya tidak menyadari kalau pohon jeruk ini ternyata punya begitu banyak duri pada ranting-rantingnya. Dan saya pun tertusuk lumayan dalam. Duri itu kecil saja ukurannya. Tapi rasa sakit yang ditimbulkan bisa sangat mengganggu. Bukan cuma perih, tapi juga nyeri yang mungkin tidak enaknya mirip-mirip bikin kesal seperti sakit gigi. Masih untung cuma luka nyeri yang saya alami, karena ada teman yang telapak kakinya sampai bengkak bernanah gara-gara infeksi akibat tertusuk duri saat berjalan di hutan. Ia sempat demam tinggi dan mengalami shock saat bisulnya ditangani dokter. Lagi-lagi, hanya duri kecil yang jadi sumber penyebab awal. Tapi lihatlah akibat yang ditimbulkan bisa cukup parah.
Dalam renungan terdahulu yang cukup panjang kita sudah melihat perumpamaan tentang penabur Firman yang disampaikan oleh Yesus langsung yang saya hubungkan dengan etos kerja petani. Kalau kemarin saya mengambil kisah ini dari Injil Matius pasal 13, kali ini mari kita lihat dari Injil Markus yaitu pada pasal 4. Secara umum apa yang ditulis oleh Matius dan Markus ini sama atau sangat mirip, hanya saja sedikit berbeda dalam hal penekanan dan detail.
Agar lebih jelas, mari kita lihat sekali lagi perumpamaan tentang penabur ini dalam Markus 4:1-20. Ada yang jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung memakannya sampai habis. (ay 4). Ini menggambarkan orang yang mendengar firman tapi tidak menganggap penting lalu tidak menyimpan dengan baik dalam hatinya. Mereka puas hanya dibagian luar saja. Kemudian iblis pun datang mengambil Firman yang ditaburkan pada mereka.
Lalu ada yang jatuh di tanah berbatu-batu (ay 5). Kita tentu sudah tahu bahwa tanaman tidak akan bisa tumbuh dengan baik apabila akarnya tidak cukup dalam menembus tanah. Kerasnya batu tentu membuat tanah tipis sehingga akar tidak bisa menembus bebatuan. Tanamannya tumbuh, tapi tidak bertahan lama. Seperti itulah orang yang menerima Firman Tuhan tetapi hatinya keras bagai timbunan batu. "Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad." (ay 16-17).
Kerasnya media tanam, dalam hal ini hati membuat Firman hanya singkat umurnya dalam hati yang keras membatu. Tipe orang dengan hati keras seperti ini menyambut Firman dengan gembira, tetapi mereka gagal fokus dan akhirnya terjebak menjadi komentator pendeta yang kotbah, lebih mementingkan aspek-aspek hiburan dan meski mendengar, mereka bisa menolak kebenarannya. Tidak mengherankan kalau orang-orang seperti ini mudah menyerah, gampang diombang-ambingkan berbagai pengajaran lain. Kenapa? Karena:
1. hatinya keras, sehingga:
2. benih yang ditanam tidak punya akar yang kuat, padahal tanaman butuh punya akar kuat dan dalam menembus tanah agar bisa tumbuh baik.
Karena tidak punya akar kuat, imannya tipis dan gampang patah saat diterpa goncangan bahkan sedikit saja. Kalau Tuhan tidak cepat bertindak, mereka pun cepat kecewa, menuduh Tuhan macam-macam dan kemudian segera beralih pada alternatif-alternatif lain yang ditawarkan dunia dan kegelapan. Berbeda dengan yang di pinggir jalan, mereka ini menerima Firman Tuhan dengan gembira, tetapi sayangnya tidak menghasilkan yang baik karena hati sebagai media tanamnya keras berbatu-batu.
(bersambung)
=================
"Then the cares and anxieties of the world and distractions of the age, and the pleasure and delight and false glamour and deceitfulness of riches, and the craving and passionate desire for other things creep in and choke and suffocate the Word, and it becomes fruitless."
Suatu kali saya hendak memetik daun jeruk purut di taman belakang untuk dipakai memasak. Karena itu baru pertama kali, saya tidak menyadari kalau pohon jeruk ini ternyata punya begitu banyak duri pada ranting-rantingnya. Dan saya pun tertusuk lumayan dalam. Duri itu kecil saja ukurannya. Tapi rasa sakit yang ditimbulkan bisa sangat mengganggu. Bukan cuma perih, tapi juga nyeri yang mungkin tidak enaknya mirip-mirip bikin kesal seperti sakit gigi. Masih untung cuma luka nyeri yang saya alami, karena ada teman yang telapak kakinya sampai bengkak bernanah gara-gara infeksi akibat tertusuk duri saat berjalan di hutan. Ia sempat demam tinggi dan mengalami shock saat bisulnya ditangani dokter. Lagi-lagi, hanya duri kecil yang jadi sumber penyebab awal. Tapi lihatlah akibat yang ditimbulkan bisa cukup parah.
Dalam renungan terdahulu yang cukup panjang kita sudah melihat perumpamaan tentang penabur Firman yang disampaikan oleh Yesus langsung yang saya hubungkan dengan etos kerja petani. Kalau kemarin saya mengambil kisah ini dari Injil Matius pasal 13, kali ini mari kita lihat dari Injil Markus yaitu pada pasal 4. Secara umum apa yang ditulis oleh Matius dan Markus ini sama atau sangat mirip, hanya saja sedikit berbeda dalam hal penekanan dan detail.
Agar lebih jelas, mari kita lihat sekali lagi perumpamaan tentang penabur ini dalam Markus 4:1-20. Ada yang jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung memakannya sampai habis. (ay 4). Ini menggambarkan orang yang mendengar firman tapi tidak menganggap penting lalu tidak menyimpan dengan baik dalam hatinya. Mereka puas hanya dibagian luar saja. Kemudian iblis pun datang mengambil Firman yang ditaburkan pada mereka.
Lalu ada yang jatuh di tanah berbatu-batu (ay 5). Kita tentu sudah tahu bahwa tanaman tidak akan bisa tumbuh dengan baik apabila akarnya tidak cukup dalam menembus tanah. Kerasnya batu tentu membuat tanah tipis sehingga akar tidak bisa menembus bebatuan. Tanamannya tumbuh, tapi tidak bertahan lama. Seperti itulah orang yang menerima Firman Tuhan tetapi hatinya keras bagai timbunan batu. "Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad." (ay 16-17).
Kerasnya media tanam, dalam hal ini hati membuat Firman hanya singkat umurnya dalam hati yang keras membatu. Tipe orang dengan hati keras seperti ini menyambut Firman dengan gembira, tetapi mereka gagal fokus dan akhirnya terjebak menjadi komentator pendeta yang kotbah, lebih mementingkan aspek-aspek hiburan dan meski mendengar, mereka bisa menolak kebenarannya. Tidak mengherankan kalau orang-orang seperti ini mudah menyerah, gampang diombang-ambingkan berbagai pengajaran lain. Kenapa? Karena:
1. hatinya keras, sehingga:
2. benih yang ditanam tidak punya akar yang kuat, padahal tanaman butuh punya akar kuat dan dalam menembus tanah agar bisa tumbuh baik.
Karena tidak punya akar kuat, imannya tipis dan gampang patah saat diterpa goncangan bahkan sedikit saja. Kalau Tuhan tidak cepat bertindak, mereka pun cepat kecewa, menuduh Tuhan macam-macam dan kemudian segera beralih pada alternatif-alternatif lain yang ditawarkan dunia dan kegelapan. Berbeda dengan yang di pinggir jalan, mereka ini menerima Firman Tuhan dengan gembira, tetapi sayangnya tidak menghasilkan yang baik karena hati sebagai media tanamnya keras berbatu-batu.
(bersambung)
Tuesday, January 23, 2018
Belajar dari Cara Hidup/Etos Kerja Petani (6)
(sambungan)
6. Petani yang baik itu sabar
Untuk menanam, mengelola, merawat hingga bisa menuai panen tidaklah mudah. Bayangkan mereka harus melakukan itu setiap harinya dibawah teriknya sinar matahari. Ada banyak hewan di sawah yang harus diatasi seperti tikus, hama wereng, bahkan yang berbahaya seperti ular. Ada banyak tanaman parasit yang bisa merusak hasil tani. Belum lagi gangguan-gangguan lain seperti kekeringan, musim kemarau panjang, banjir atau gejala-gejala alam lainnya. Yang harus dikerjakan banyak, diantaranya banyak pula yang berat dan membutuhkan wantku panjang agar bisa berhasil. Kesimpulannya, petani yang mau berhasil harus punya kesabaran.
Paulus mengingatkan pentingnya hal kesabaran. "Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi." (Yakobus 5:7). Jangan buru-buru putus asa dan patah semangat, tapi bersabarlah seperti halnya petani menanti tuaian mereka pada waktunya. "Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!" (ay 8).
Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari sosok petani yang baik. Jika anda tinggal di desa, anda bisa melihat sendiri perbedaan yang sangat kontras antara petani yang serius dan petani asal-asalan. Meski mereka masih harus menghadapi banyak kendala dan masih bergumul sendirian dengan berbagai tekanan, petani tetap harus berjuang keras supaya bisa memetik hasil yang baik. Dibalik keterbatasan mereka, seringkali mereka tampil lebih tangguh dari orang lain.
Seperti itu pula hal keimanan kita. Ada banyak parasit, benalu dan gangguan-gangguan lainnya disekitar kita, terlebih di era modern dimana jenis godaan jauh lebih banyak dan punya banyak kemasan yang menipu. Tapi jika ingin memanen baik dan banyak, berjuanglah untuk itu. Lakukan dengan serius, sungguh-sungguh dan jangan menjadi lemah dalam prosesnya. Tetaplah bersabar karena tidak ada janji Tuhan yang tidak Dia tepati. Karenanya belajarlah dari petani yang baik. Lakukanlah apa yang menjadi bagian kita dengan semangat dan tetap bersukacita agar kita bisa mendapat hasil panen yang baik kelak di kemudian hari.
Teladanilah hidup seperti petani yang bekerja keras dan sabar menanti hingga musim panen
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
6. Petani yang baik itu sabar
Untuk menanam, mengelola, merawat hingga bisa menuai panen tidaklah mudah. Bayangkan mereka harus melakukan itu setiap harinya dibawah teriknya sinar matahari. Ada banyak hewan di sawah yang harus diatasi seperti tikus, hama wereng, bahkan yang berbahaya seperti ular. Ada banyak tanaman parasit yang bisa merusak hasil tani. Belum lagi gangguan-gangguan lain seperti kekeringan, musim kemarau panjang, banjir atau gejala-gejala alam lainnya. Yang harus dikerjakan banyak, diantaranya banyak pula yang berat dan membutuhkan wantku panjang agar bisa berhasil. Kesimpulannya, petani yang mau berhasil harus punya kesabaran.
Paulus mengingatkan pentingnya hal kesabaran. "Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi." (Yakobus 5:7). Jangan buru-buru putus asa dan patah semangat, tapi bersabarlah seperti halnya petani menanti tuaian mereka pada waktunya. "Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!" (ay 8).
Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari sosok petani yang baik. Jika anda tinggal di desa, anda bisa melihat sendiri perbedaan yang sangat kontras antara petani yang serius dan petani asal-asalan. Meski mereka masih harus menghadapi banyak kendala dan masih bergumul sendirian dengan berbagai tekanan, petani tetap harus berjuang keras supaya bisa memetik hasil yang baik. Dibalik keterbatasan mereka, seringkali mereka tampil lebih tangguh dari orang lain.
Seperti itu pula hal keimanan kita. Ada banyak parasit, benalu dan gangguan-gangguan lainnya disekitar kita, terlebih di era modern dimana jenis godaan jauh lebih banyak dan punya banyak kemasan yang menipu. Tapi jika ingin memanen baik dan banyak, berjuanglah untuk itu. Lakukan dengan serius, sungguh-sungguh dan jangan menjadi lemah dalam prosesnya. Tetaplah bersabar karena tidak ada janji Tuhan yang tidak Dia tepati. Karenanya belajarlah dari petani yang baik. Lakukanlah apa yang menjadi bagian kita dengan semangat dan tetap bersukacita agar kita bisa mendapat hasil panen yang baik kelak di kemudian hari.
Teladanilah hidup seperti petani yang bekerja keras dan sabar menanti hingga musim panen
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, January 22, 2018
Belajar dari Cara Hidup/Etos Kerja Petani (5)
(sambungan)
5. Petani yang baik tidak buang-buang waktu melakukan hal tidak berguna
Petani bangun pagi-pagi benar, berangkat ke ladang atau sawah untuk bekerja. Istirahat makan di saung, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Sore hari mereka pulang mengisi waktu bersama keluarga dan kemudian beristirahat agar kembali segar keesokan harinya. Itulah garis besar kegiatan yang dilakukan petani yang baik. Mereka tidak berleha-leha, menongkrong di tempat-tempat keramaian atau hanya makan-tidur saja, apalagi hidup boros supaya terlihat hebat atau supaya bisa diterima oleh lingkungan pergaulan kelas tinggi. Petani yang rajin seperti inilah yang akan memanen hasil baik dari sawahnya.
Dahulu sewaktu masih kuliah, saya pernah beberapa bulan tinggal di sebuah rumah seorang petani yang punya etos kerja seperti ini. Saya melihat bagaimana kerajinannya ternyata membawa hasil yang lebih baik dibandingkan petani lain yang kerja ala kadarnya saja. Saya ingat betul nasihatnya kepada saya pada waktu itu agar tidak malas dalam belajar dan kelak, jangan malas ketika bekerja. Cara hidup bapak petani itu dan pesannya masih menginspirasi saya sampai hari ini.
Yesus sudah mengingatkan agar kita tidak terperosok ke dalam perilaku banyak orang yang hanya sibuk melakukan sesuatu yang tidak berguna saja. Menumbuhkan iman dalam hidup itu tidak terjadi hanya dalam semalam. Untuk bisa terus meningkat, kita perlu fokus yang benar dan dibutuhkan keseriusan, komitmen dan kerja keras.
Akan halnya menyikapi benih Firman agar bertumbuh dan berbuah, hal yang sama pun harus dilakukan. Disiplinkan diri dalam berdoa, bersaat teduh, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, jadikan itu sesuatu yang penting setiap harinya seperti halnya pekerjaan atau kewajiban yang harus anda lakukan sehari-hari. Agar bisa memperoleh hasil yang baik dibutuhkan proses yang tidak sebentar dan seringkali butuh pengorbanan. Namun pada akhirnya semua itu akan mendatangkan kebaikan dan sukacita melimpah yang berlaku untuk selamanya.
Apa yang dikatakan Paulus mengenai "jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2 Tesalonika 3:10) berlaku pula dalam kehidupan iman kita. Jika kita tidak mau berusaha untuk lebih dalam lagi bersekutu denganNya dengan sungguh-sungguh, jangan harap kita bisa mendapatkan makanan rohani yang layak bagi kehidupan roh kita.
Tuhan juga sudah mengingatkan hal ini: "Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran." (Efesus 4:17-19). Adalah penting pula bagi kita untuk tidak memikirkan sesuatu yang sia-sia, karena itu bisa membuka pintu untuk masuknya berbagai dosa yang membinasakan. Pikiran haruslah diisi dengan yang positif, "semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji" (Filipi 4:8), dan terutama "Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." (Kolose 3:2).
Ingatlah bahwa masa hidup kita di dunia ini sesungguhnya teramat sangat singkat. Akan datang saatnya nanti dimana kita tidak lagi bisa berbuat apa-apa, tidak peduli seberapa besar kita mau, tidak peduli seberapa menyesalnya kita membuang-buang waktu di masa lalu dan ingin merubahnya. Maka selagi masih ada waktu dan kesempatan, pergunakan sebaik-baiknya dan jangan habiskan dengan segala sesuatu yang sia-sia. Susun prioritas dalam urutan yang benar agar nanti kita tidak menyesal di kemudian hari.
(bersambung)
5. Petani yang baik tidak buang-buang waktu melakukan hal tidak berguna
Petani bangun pagi-pagi benar, berangkat ke ladang atau sawah untuk bekerja. Istirahat makan di saung, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Sore hari mereka pulang mengisi waktu bersama keluarga dan kemudian beristirahat agar kembali segar keesokan harinya. Itulah garis besar kegiatan yang dilakukan petani yang baik. Mereka tidak berleha-leha, menongkrong di tempat-tempat keramaian atau hanya makan-tidur saja, apalagi hidup boros supaya terlihat hebat atau supaya bisa diterima oleh lingkungan pergaulan kelas tinggi. Petani yang rajin seperti inilah yang akan memanen hasil baik dari sawahnya.
Dahulu sewaktu masih kuliah, saya pernah beberapa bulan tinggal di sebuah rumah seorang petani yang punya etos kerja seperti ini. Saya melihat bagaimana kerajinannya ternyata membawa hasil yang lebih baik dibandingkan petani lain yang kerja ala kadarnya saja. Saya ingat betul nasihatnya kepada saya pada waktu itu agar tidak malas dalam belajar dan kelak, jangan malas ketika bekerja. Cara hidup bapak petani itu dan pesannya masih menginspirasi saya sampai hari ini.
Yesus sudah mengingatkan agar kita tidak terperosok ke dalam perilaku banyak orang yang hanya sibuk melakukan sesuatu yang tidak berguna saja. Menumbuhkan iman dalam hidup itu tidak terjadi hanya dalam semalam. Untuk bisa terus meningkat, kita perlu fokus yang benar dan dibutuhkan keseriusan, komitmen dan kerja keras.
Akan halnya menyikapi benih Firman agar bertumbuh dan berbuah, hal yang sama pun harus dilakukan. Disiplinkan diri dalam berdoa, bersaat teduh, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, jadikan itu sesuatu yang penting setiap harinya seperti halnya pekerjaan atau kewajiban yang harus anda lakukan sehari-hari. Agar bisa memperoleh hasil yang baik dibutuhkan proses yang tidak sebentar dan seringkali butuh pengorbanan. Namun pada akhirnya semua itu akan mendatangkan kebaikan dan sukacita melimpah yang berlaku untuk selamanya.
Apa yang dikatakan Paulus mengenai "jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2 Tesalonika 3:10) berlaku pula dalam kehidupan iman kita. Jika kita tidak mau berusaha untuk lebih dalam lagi bersekutu denganNya dengan sungguh-sungguh, jangan harap kita bisa mendapatkan makanan rohani yang layak bagi kehidupan roh kita.
Tuhan juga sudah mengingatkan hal ini: "Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran." (Efesus 4:17-19). Adalah penting pula bagi kita untuk tidak memikirkan sesuatu yang sia-sia, karena itu bisa membuka pintu untuk masuknya berbagai dosa yang membinasakan. Pikiran haruslah diisi dengan yang positif, "semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji" (Filipi 4:8), dan terutama "Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." (Kolose 3:2).
Ingatlah bahwa masa hidup kita di dunia ini sesungguhnya teramat sangat singkat. Akan datang saatnya nanti dimana kita tidak lagi bisa berbuat apa-apa, tidak peduli seberapa besar kita mau, tidak peduli seberapa menyesalnya kita membuang-buang waktu di masa lalu dan ingin merubahnya. Maka selagi masih ada waktu dan kesempatan, pergunakan sebaik-baiknya dan jangan habiskan dengan segala sesuatu yang sia-sia. Susun prioritas dalam urutan yang benar agar nanti kita tidak menyesal di kemudian hari.
(bersambung)
Sunday, January 21, 2018
Belajar dari Cara Hidup/Etos Kerja Petani (4)
(sambungan)
4. Taburan banyak, tuaian banyak
Petani yang berharap bisa panen besar tentu harus menabur banyak pula. Kita juga sama, hendaknya kita rajin-rajin menabur, agar kita bisa menuai banyak. "Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga." (2 Korintus 9:6). Orang biasanya menolak menabur banyak karena mereka terus merasa berkekurangan alias tidak pernah puas. Tapi ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan telah menyediakan segalanya untuk ditabur, Dia sendiri juga yang akan memberkati kita lewat apa yang kita tabur. "Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami." (ay 11-12).
Bersikap pelit dan hanya menimbun uang kita tidak akan mendatangkan kebaikan, sebaliknya hanyalah akan merugikan. Harta seharusnya dikumpulkan di Surga dan bukan di bumi, dimana ada banyak ngengat dan karat yang bisa menghabiskan semuanya sampai ludes. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." (Matius 6:19-20).
Ada satu hal penting yang kita harus ingat dalam hal menabur, yaitu perhatikan benar-benar motivasinya. Janganlah menabur karena punya motivasi-motivasi ingin kaya. Ada banyak paham kemakmuran (prosperity teaching) yang keliru mengartikan hal ini sehingga bisa menyesatkan kita. Menabur bukan karena mengharapkan imbalan berlipat-lipat melainkan karena didasari kerinduan untuk memberkati orang lain, menjadi saluran berkat dan terutama atas dasar kasih kita kepada Tuhan dan bukan karena motivasi pribadi. Kita memberkati bukan untuk diberkati, tapi kita diberkati untuk memberkati.
Dengan kata lain, pemberian haruslah tulus, ikhlas dan dilakukan karena mengasihi Tuhan. Sebab Tuhan Yesus sudah berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40). Dan pada akhirnya, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35). Dengan terus memberkati orang lain, kita sedang mengumpulkan harta di Surga yang sifatnya kekal, bukan di dunia yang hanya sementara lalu banyak pula ngengat karatnya.
Jangan pula keliru beranggapan bahwa perbuatan baik menjamin keselamatan seperti pemikiran di luar sana, karena keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Perbuatan baik tidak mendatangkan keselamatan tetapi merupakan buah-buah yang dihasilkan dari iman kita. "Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita." (Titus 3:4-7). Singkatnya, perbuatan baik bukan sumber keselamatan melainkan merupakan buah Roh (Galatia 5:22-23).
(bersambung)
4. Taburan banyak, tuaian banyak
Petani yang berharap bisa panen besar tentu harus menabur banyak pula. Kita juga sama, hendaknya kita rajin-rajin menabur, agar kita bisa menuai banyak. "Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga." (2 Korintus 9:6). Orang biasanya menolak menabur banyak karena mereka terus merasa berkekurangan alias tidak pernah puas. Tapi ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan telah menyediakan segalanya untuk ditabur, Dia sendiri juga yang akan memberkati kita lewat apa yang kita tabur. "Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami." (ay 11-12).
Bersikap pelit dan hanya menimbun uang kita tidak akan mendatangkan kebaikan, sebaliknya hanyalah akan merugikan. Harta seharusnya dikumpulkan di Surga dan bukan di bumi, dimana ada banyak ngengat dan karat yang bisa menghabiskan semuanya sampai ludes. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." (Matius 6:19-20).
Ada satu hal penting yang kita harus ingat dalam hal menabur, yaitu perhatikan benar-benar motivasinya. Janganlah menabur karena punya motivasi-motivasi ingin kaya. Ada banyak paham kemakmuran (prosperity teaching) yang keliru mengartikan hal ini sehingga bisa menyesatkan kita. Menabur bukan karena mengharapkan imbalan berlipat-lipat melainkan karena didasari kerinduan untuk memberkati orang lain, menjadi saluran berkat dan terutama atas dasar kasih kita kepada Tuhan dan bukan karena motivasi pribadi. Kita memberkati bukan untuk diberkati, tapi kita diberkati untuk memberkati.
Dengan kata lain, pemberian haruslah tulus, ikhlas dan dilakukan karena mengasihi Tuhan. Sebab Tuhan Yesus sudah berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40). Dan pada akhirnya, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35). Dengan terus memberkati orang lain, kita sedang mengumpulkan harta di Surga yang sifatnya kekal, bukan di dunia yang hanya sementara lalu banyak pula ngengat karatnya.
Jangan pula keliru beranggapan bahwa perbuatan baik menjamin keselamatan seperti pemikiran di luar sana, karena keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Perbuatan baik tidak mendatangkan keselamatan tetapi merupakan buah-buah yang dihasilkan dari iman kita. "Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita." (Titus 3:4-7). Singkatnya, perbuatan baik bukan sumber keselamatan melainkan merupakan buah Roh (Galatia 5:22-23).
(bersambung)
Saturday, January 20, 2018
Belajar dari Cara Hidup/Etos Kerja Petani (3)
(sambungan)
3. Petani yang baik itu rajin
Bisakah seorang petani memperoleh hasil yang baik bila malas-malasan? Petani adalah pekerja keras yang sudah mulai beraktivitas pagi-pagi benar. Ditengah terik panas matahari mereka harus mencangkul, menanam, menyiangi, menyiram, memupuk dan, mencabut lalang dan berbagai jenis gulma lainnya serita memastikan tidak ada hama yang bisa memakan habis tanamannya, menjaga benar-benar agar semua yang mereka tanam kelak berkualitas baik saat dipanen. Seringkali petani juga harus mengangkut sendiri hasil taninya melewati jalan berkondisi buruk dalam waktu yang lama. Dalam masa antara menanam dan menuai, petani harus rajin merawat tanamannya. Meski ada di tanah yang baik dan memakai bibit kualitas unggul, petani tidak akan bisa berharap hasil baik apabila sawahnya dibiarkan begitu saja tak terurus.
Dalam Amsal Salomo berkata "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4). Petani yang malas dan memilih untuk tidak mengerjakan segala sesuatu pada musim tanam, tidak akan mendapat apa-apa saat musim panen tiba. Ketika teman-temannya bersukacita memanen hasil tani yang hijau dan gemuk, tanah si malas kering dan gersang.
Kita bisa belajar dari kerja keras dan jerih payah petani dalam kehidupan keimanan kita. Tanpa usaha dari kita untuk menjaga dan menumbuhkan iman kita untuk terus lebih dekat dan lebih dalam lagi dengan Kristus, nantinya kita tidak akan pernah bisa menuai apa-apa. Itu sama saja dengan menyia-nyiakan masa hidup yang singkat ini. Kalau para petani melalui proses yang panjang hingga akhirnya menghasilkan, kita pun sama. Jika petani harus sabar menunggu hingga musim panen tiba, sesuatu yang tidak mungkin terjadi hanya dalam semalam, demikian pula kita harus bersabar dalam proses pertumbuhan iman kita.
Dalam proses itu apa yang kita hadapi seringkali tidak mudah. Ada begitu banyak rintangan dan penderitaan bahkan pengorbanan yang harus kita lalui. Tapi semua itu pantas karena apa rencana Tuhan kepada orang-orang yang rajin membangun hubungan denganNya, rajin membaca, merenungkan dan melakukan firmanNya sungguh sangat indah. Kita bisa saja bermalas-malasan dan bersenang-senang sekarang dan menganggap ibadah dan aktivitas membangun pertumbuhan iman mengganggu kesenangan, tapi ingatlah jika itu yang kita pilih, maka hasil akhirnya nanti hanyalah akan menyisakan kerugian yang akan sangat kita sesali.
Karenanya belajarlah dari petani. Menariknya, Paulus mempergunakan petani pula untuk menyampaikan sebuah pesan kepada anak rohaninya Timotius. Katanya: "Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya." (2 Timotius 2:6). Kita bisa malas, kita bisa rajin, itu pun merupakan pilihan yang sangat tergantung dari keputusan kita. Kita bisa memilih untuk nanti menuai dengan sukacita, atau gigit jari dan harus menerima konsekuensi karena membuang-buang waktu karena malas. Ketika Firman Tuhan ditabur, kita bisa rajin merenungkan dan menerapkan semuanya dalam kehidupan kita agar kita bisa mengalami pertumbuhan yang semakin baik dari hari ke hari. Itu tidak akan pernah sia-sia. Pada saatnya, kitalah nanti yang bahagia menikmati hasil usaha kita selama ini.
Tuhan tidak suka dengan orang malas. Paulus mengatakan "Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10). Kemalasan jelas merupakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh orang percaya apapun alasannya.
(bersambung)
3. Petani yang baik itu rajin
Bisakah seorang petani memperoleh hasil yang baik bila malas-malasan? Petani adalah pekerja keras yang sudah mulai beraktivitas pagi-pagi benar. Ditengah terik panas matahari mereka harus mencangkul, menanam, menyiangi, menyiram, memupuk dan, mencabut lalang dan berbagai jenis gulma lainnya serita memastikan tidak ada hama yang bisa memakan habis tanamannya, menjaga benar-benar agar semua yang mereka tanam kelak berkualitas baik saat dipanen. Seringkali petani juga harus mengangkut sendiri hasil taninya melewati jalan berkondisi buruk dalam waktu yang lama. Dalam masa antara menanam dan menuai, petani harus rajin merawat tanamannya. Meski ada di tanah yang baik dan memakai bibit kualitas unggul, petani tidak akan bisa berharap hasil baik apabila sawahnya dibiarkan begitu saja tak terurus.
Dalam Amsal Salomo berkata "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4). Petani yang malas dan memilih untuk tidak mengerjakan segala sesuatu pada musim tanam, tidak akan mendapat apa-apa saat musim panen tiba. Ketika teman-temannya bersukacita memanen hasil tani yang hijau dan gemuk, tanah si malas kering dan gersang.
Kita bisa belajar dari kerja keras dan jerih payah petani dalam kehidupan keimanan kita. Tanpa usaha dari kita untuk menjaga dan menumbuhkan iman kita untuk terus lebih dekat dan lebih dalam lagi dengan Kristus, nantinya kita tidak akan pernah bisa menuai apa-apa. Itu sama saja dengan menyia-nyiakan masa hidup yang singkat ini. Kalau para petani melalui proses yang panjang hingga akhirnya menghasilkan, kita pun sama. Jika petani harus sabar menunggu hingga musim panen tiba, sesuatu yang tidak mungkin terjadi hanya dalam semalam, demikian pula kita harus bersabar dalam proses pertumbuhan iman kita.
Dalam proses itu apa yang kita hadapi seringkali tidak mudah. Ada begitu banyak rintangan dan penderitaan bahkan pengorbanan yang harus kita lalui. Tapi semua itu pantas karena apa rencana Tuhan kepada orang-orang yang rajin membangun hubungan denganNya, rajin membaca, merenungkan dan melakukan firmanNya sungguh sangat indah. Kita bisa saja bermalas-malasan dan bersenang-senang sekarang dan menganggap ibadah dan aktivitas membangun pertumbuhan iman mengganggu kesenangan, tapi ingatlah jika itu yang kita pilih, maka hasil akhirnya nanti hanyalah akan menyisakan kerugian yang akan sangat kita sesali.
Karenanya belajarlah dari petani. Menariknya, Paulus mempergunakan petani pula untuk menyampaikan sebuah pesan kepada anak rohaninya Timotius. Katanya: "Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya." (2 Timotius 2:6). Kita bisa malas, kita bisa rajin, itu pun merupakan pilihan yang sangat tergantung dari keputusan kita. Kita bisa memilih untuk nanti menuai dengan sukacita, atau gigit jari dan harus menerima konsekuensi karena membuang-buang waktu karena malas. Ketika Firman Tuhan ditabur, kita bisa rajin merenungkan dan menerapkan semuanya dalam kehidupan kita agar kita bisa mengalami pertumbuhan yang semakin baik dari hari ke hari. Itu tidak akan pernah sia-sia. Pada saatnya, kitalah nanti yang bahagia menikmati hasil usaha kita selama ini.
Tuhan tidak suka dengan orang malas. Paulus mengatakan "Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10). Kemalasan jelas merupakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh orang percaya apapun alasannya.
(bersambung)
Friday, January 19, 2018
Belajar dari Cara Hidup/Etos Kerja Petani (2)
(sambungan)
Ketiga: semak duri. "Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (ay 22). Benih jatuh di tanah, harusnya bisa bertumbuh tapi terhimpit oleh semak duri yang tumbuh bersama-sama dengan benih-benih tersebut. Tumbuh sih, tapi tidak signifikan karena terhimpit duri-duri dan akibatnya tidak menghasilkan buah. Ini menggambarkan orang-orang yang mendengar Firman, tapi mereka terhimpit oleh kekuatiran dunia dan segala hal yang dianggap dunia bisa menjamin kebahagiaan seperti kekayaan/harta, popularitas atau jabatan. Firmannya didengar, pada awalnya mulai menghasilkan perubahan, tetapi kemudian dikalahkan oleh hal-hal duniawi sehingga kemudian gagal mempertahankan imannya sampai akhir.
Dan terakhir, di tanah yang baik. "Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat." (ay 23). Tanah yang baik, tanah yang subur, disanalah benih akan bisa bertumbuh baik. Akar kuat, menghasilkan buah berlipat ganda.
Kegiatan menabur berkaitan dengan kegiatan petani. Mari kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keimanan dari kacamata gugus kerja petani.
1. Tidak ada hasil panen tanpa ada yang ditanam
Mungkinkah ada panen jika tidak ada benih yang ditanam? Tentu saja tidak. Petani bisa memiliki sawah berukuran besar, tapi tidak akan ada yang tumbuh tanpa ada benih yang ditabur.
Firman Tuhan merupakan benih yang hidup, berkuasa dan kekal. Masalahnya adalah, apakah kita mau menaburkan benih Firman pada hati kita? Apakah kita terus rindu untuk mengisi hidup kita dengan Firman, atau kita tidak peduli akan hal itu? Kalau kita malas membaca Alkitab, mendengar kotbah, dan hal-hal lainnya dimana benih Firman itu tersedia, kita tidak mungkin mengharapkan pertumbuhan yang menghasilkan buah. Tidak ada panen tanpa ada benih yang ditanam. Kalaupun ada yang tumbuh, itu ilalang atau rumput liar, bukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita. Dan ilalang hanya akan berakhir dibakar.
2. Benih tidak akan tumbuh subur jika berada pada media tanam yang baik
Jika mengharapkan hasil yang baik, seorang petani harus memastikan terlebih dahulu kondisi tanah atau media tanam dimana ia hendak menabur. Kalau tanahnya belum gembur, maka terlebih dahulu seorang petani harus mencangkul, menggemburkan tanah terlebih dahulu sebelum menabur benih agar bisa tumbuh dengan baik.
Mendapatkan akses pada Firman adalah satu hal. Dan kita harus bersyukur bahwa hingga hari ini kita masih mudah mendapatkannya di negara ini. Tapi memastikan media tanamnya baik adalah hal lain. Apakah kita mau mempersiapkan hati kita agar sudah gembur saat benih Firman ditabur? Jika tidak ada yang ditanam tentu tidak akan ada yang tumbuh. Akan tetapi apabila kita mau menabur benih tapi tidak memperhatikan tanahnya, maka benih akan sulit bertumbuh apalagi berbuah. Mungkin pada mulanya dengan susah payah bisa tumbuh tapi akan segera mati.
Hanya benih yang kita taburkan di tempat baiklah yang akan mampu menghasilkan buah berlipat ganda. Semua tergantung bagaimana keputusan kita. Satu hal yang pasti, Tuhan Yesus mengatakan: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Bukan hanya bekerja keras agar bisa memenuhi kebutuhan saja yang penting, tetapi lebih daripada semua itu kita harus sadar bahwa kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa adanya Firman yang keluar dari Allah sendiri.
Jadi kita harus memperhatikan betul pentingnya tanah yang baik agar benih firman yang ditabur bisa bertumbuh subur dan menghasilkan buah berlipat ganda.
(bersambung)
Ketiga: semak duri. "Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (ay 22). Benih jatuh di tanah, harusnya bisa bertumbuh tapi terhimpit oleh semak duri yang tumbuh bersama-sama dengan benih-benih tersebut. Tumbuh sih, tapi tidak signifikan karena terhimpit duri-duri dan akibatnya tidak menghasilkan buah. Ini menggambarkan orang-orang yang mendengar Firman, tapi mereka terhimpit oleh kekuatiran dunia dan segala hal yang dianggap dunia bisa menjamin kebahagiaan seperti kekayaan/harta, popularitas atau jabatan. Firmannya didengar, pada awalnya mulai menghasilkan perubahan, tetapi kemudian dikalahkan oleh hal-hal duniawi sehingga kemudian gagal mempertahankan imannya sampai akhir.
Dan terakhir, di tanah yang baik. "Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat." (ay 23). Tanah yang baik, tanah yang subur, disanalah benih akan bisa bertumbuh baik. Akar kuat, menghasilkan buah berlipat ganda.
Kegiatan menabur berkaitan dengan kegiatan petani. Mari kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keimanan dari kacamata gugus kerja petani.
1. Tidak ada hasil panen tanpa ada yang ditanam
Mungkinkah ada panen jika tidak ada benih yang ditanam? Tentu saja tidak. Petani bisa memiliki sawah berukuran besar, tapi tidak akan ada yang tumbuh tanpa ada benih yang ditabur.
Firman Tuhan merupakan benih yang hidup, berkuasa dan kekal. Masalahnya adalah, apakah kita mau menaburkan benih Firman pada hati kita? Apakah kita terus rindu untuk mengisi hidup kita dengan Firman, atau kita tidak peduli akan hal itu? Kalau kita malas membaca Alkitab, mendengar kotbah, dan hal-hal lainnya dimana benih Firman itu tersedia, kita tidak mungkin mengharapkan pertumbuhan yang menghasilkan buah. Tidak ada panen tanpa ada benih yang ditanam. Kalaupun ada yang tumbuh, itu ilalang atau rumput liar, bukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita. Dan ilalang hanya akan berakhir dibakar.
2. Benih tidak akan tumbuh subur jika berada pada media tanam yang baik
Jika mengharapkan hasil yang baik, seorang petani harus memastikan terlebih dahulu kondisi tanah atau media tanam dimana ia hendak menabur. Kalau tanahnya belum gembur, maka terlebih dahulu seorang petani harus mencangkul, menggemburkan tanah terlebih dahulu sebelum menabur benih agar bisa tumbuh dengan baik.
Mendapatkan akses pada Firman adalah satu hal. Dan kita harus bersyukur bahwa hingga hari ini kita masih mudah mendapatkannya di negara ini. Tapi memastikan media tanamnya baik adalah hal lain. Apakah kita mau mempersiapkan hati kita agar sudah gembur saat benih Firman ditabur? Jika tidak ada yang ditanam tentu tidak akan ada yang tumbuh. Akan tetapi apabila kita mau menabur benih tapi tidak memperhatikan tanahnya, maka benih akan sulit bertumbuh apalagi berbuah. Mungkin pada mulanya dengan susah payah bisa tumbuh tapi akan segera mati.
Hanya benih yang kita taburkan di tempat baiklah yang akan mampu menghasilkan buah berlipat ganda. Semua tergantung bagaimana keputusan kita. Satu hal yang pasti, Tuhan Yesus mengatakan: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Bukan hanya bekerja keras agar bisa memenuhi kebutuhan saja yang penting, tetapi lebih daripada semua itu kita harus sadar bahwa kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa adanya Firman yang keluar dari Allah sendiri.
Jadi kita harus memperhatikan betul pentingnya tanah yang baik agar benih firman yang ditabur bisa bertumbuh subur dan menghasilkan buah berlipat ganda.
(bersambung)
Thursday, January 18, 2018
Belajar dari Cara Hidup/Etos Kerja Petani (1)
Ayat bacaan: 2 Timotius 2:6
=====================
"Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya."
Saat harga barang pokok melonjak, apakah pelaku utamanya mendapat keuntungan besar? Yang terjadi justru sebaliknya. Ulah para spekulan jahat yang menimbun barang pokok agar naik tidak berimbas pada pertambahan pendapatan para petani tapi justru membuat mereka menderita kerugian. Harga hasil tani kalau tidak tetap rendah malah bisa menurun karena selain dikuasai orang-orang jahat mulai dari tengkulak hingga sindikat, mafia dan kartel yang mengincar keuntungan dengan mengorbankan bangsa, jalur distribusinya panjang sehingga harga pun menjadi tinggi karena harus mengucuri tiap pos. Harga beli hasil tani sangat murah, tapi sampai ke pasar jadi sangat mahal. Yang berpesta? Ya para lintah. Kasus lainnya, ada banyak investor asing yang bermain di pertanian kita, terutama di daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan atau yang berada diluar pendeknya radar negara ini. Mereka memakai tanah, mengeruk keuntungan dan menjadikan petani hanya sebagai buruh kasar di buminya sendiri. Ini cerita ironi dari sebuah negara agraris.
Adalah sangat menarik ketika saya bertemu sebagian anak muda yang menganggap petani sebagai pahlawan negara. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki kondisi ini, karena pemerintah saja tampaknya masih sulit menembus layer demi layer untuk menemukan solusi. Tapi setidaknya mereka terus mengkampanyekan agar kita menghargai jasa, jerih payah dan pengorbanan para petani yang tidak kunjung menjadi tuan rumah di negara berbasis pertanian seperti kita. Dan itu mereka lakukan lewat profesi mereka sebagai musisi. Setidaknya mereka melakukan sesuatu dengan kemampuan dan panggilan mereka untuk mengetuk kesadaran kita akan pentingnya para petani bagi kelangsungan hidup bangsa dan rakyat yang hidup di dalamnya. Sangat menginspirasi dan saya merasa diberkati oleh mereka.
Kalau kita tanya seperti apa sosok petani dalam pikiran kita, banyak orang yang membayangkan petani hanya sebagai sosok berkulit gelap terbakar matahari, kurus, memakai baju lusuh dan topi segitiga di kepalanya. Anak kecil ketika menggambar petani akan cenderung melukiskan itu, mungkin dengan ditambah latar gunung di belakangnya. Tapi coba bayangkan apa jadinya negara tanpa kehadiran para petani. Kita seharusnya memberi penghormatan tinggi kepada mereka, karena saya sulit membayangkan apa jadinya nasib kita tanpa mereka.
Untuk kali ini, saya ingin membagikan renungan berdasarkan penghormatan pada petani, yang saya percaya bisa membangun iman kita dengan belajar dari etos kerja mereka. Dan itu akan saya kaitkan dengan sebuah perumpamaan dari Yesus tentang penabur yang bisa kita baca dalam Matius 13:1-23.
Sebelum kita belajar dari etos kerja petani, mari kita lihat dulu apa yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan ini.
Yesus menceritakan bahwa ada seorang penabur yang pergi keluar untuk menabur. Ada yang jatuh di pinggir jalan, lalu habis dimakan burung (ay 4), ada yang jatuh di tanah berbatu sehingga tumbuh tapi buruk dan akhirnya mati (ay 5-6), ada pula yang jatuh di tengah semak duri, dimana benih sempat tumbuh tapi kemudian terhimpit semak berduri lalu mati (ay 7). Benih-benih yang dijadikan perumpamaan akan firman tentang Kerajaan Surga oleh Yesus ini harus jatuh ke atas tanah yang baik, subur, gembur agar bisa menghasilkan. "Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat." (ay 8).
Jadi, ada seorang penabur yang keluar menabur dan benihnya jatuh pada empat lahan yang berbeda, yaitu di pinggir jalan, semak duri, tanah berbatu dan tanah yang baik. Kenapa Yesus mengambil empat permukaan tanah atau media tanam dengan tekstur dan kondisi yang sangat berbeda ini? Ayat 19-23 mencatat penjelasan akan hal ini dari Yesus sendiri.
Pertama, pinggir jalan. "Kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu; itulah benih yang ditaburkan di pinggir jalan." (ay 19). Ini bicara tentang Firman yang menghampiri orang-orang yang berada di 'pinggir' alias bukan pelaku. Mereka ini mungkin sering mendengar Firman tapi tidak punya keinginan untuk memahami, mendalami, merenungkan apalagi melakukan. Karenanya seperti benih yang tertabur di pinggir jalan, benih itu tidak punya kesempatan untuk tumbuh. Burung akan segera memakannya, orang yang lewat bisa menginjaknya. Dan orang-orang yang seperti ini keimanannya akan sangat mudah digoyang si jahat.
Selanjutnya, yang tertabur di tanah berbatu. "Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad." (ay 20-21). Ini tipe orang percaya yang sebenarnya senang berburu Firman tapi hanya untuk menyukakan telinganya. Mencari dan mengidolakan pendeta yang terkenal, yang suka humor, yang tidak terlalu berat, yang kotbahnya tentang kemakmuran dan kekayaan, tapi tidak suka mendengar kotbah keras yang menegur.
Bagi mereka kotbah seperti entertainment, mungkin seolah stand up comedy yang menghibur. Asyik, lucu, keren, hebat, tapi begitu meninggalkan gereja semua pun menguap entah kemana. Firman diterima, tapi tidak ada yang menempel dan tidak ada yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak ada yang tumbuh dari Firman yang ditabur. Bagaimana mau tumbuh kalau hatinya keras seperti diisi banyak batu sehingga tidak bisa ditembus akar? Tidaklah heran orang-orang seperti ini tidak tahan lama. Sedikit terguncang sesuatu orang itu pun akan segera berpaling dari Tuhan.
(bersambung)
=====================
"Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya."
Saat harga barang pokok melonjak, apakah pelaku utamanya mendapat keuntungan besar? Yang terjadi justru sebaliknya. Ulah para spekulan jahat yang menimbun barang pokok agar naik tidak berimbas pada pertambahan pendapatan para petani tapi justru membuat mereka menderita kerugian. Harga hasil tani kalau tidak tetap rendah malah bisa menurun karena selain dikuasai orang-orang jahat mulai dari tengkulak hingga sindikat, mafia dan kartel yang mengincar keuntungan dengan mengorbankan bangsa, jalur distribusinya panjang sehingga harga pun menjadi tinggi karena harus mengucuri tiap pos. Harga beli hasil tani sangat murah, tapi sampai ke pasar jadi sangat mahal. Yang berpesta? Ya para lintah. Kasus lainnya, ada banyak investor asing yang bermain di pertanian kita, terutama di daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan atau yang berada diluar pendeknya radar negara ini. Mereka memakai tanah, mengeruk keuntungan dan menjadikan petani hanya sebagai buruh kasar di buminya sendiri. Ini cerita ironi dari sebuah negara agraris.
Adalah sangat menarik ketika saya bertemu sebagian anak muda yang menganggap petani sebagai pahlawan negara. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki kondisi ini, karena pemerintah saja tampaknya masih sulit menembus layer demi layer untuk menemukan solusi. Tapi setidaknya mereka terus mengkampanyekan agar kita menghargai jasa, jerih payah dan pengorbanan para petani yang tidak kunjung menjadi tuan rumah di negara berbasis pertanian seperti kita. Dan itu mereka lakukan lewat profesi mereka sebagai musisi. Setidaknya mereka melakukan sesuatu dengan kemampuan dan panggilan mereka untuk mengetuk kesadaran kita akan pentingnya para petani bagi kelangsungan hidup bangsa dan rakyat yang hidup di dalamnya. Sangat menginspirasi dan saya merasa diberkati oleh mereka.
Kalau kita tanya seperti apa sosok petani dalam pikiran kita, banyak orang yang membayangkan petani hanya sebagai sosok berkulit gelap terbakar matahari, kurus, memakai baju lusuh dan topi segitiga di kepalanya. Anak kecil ketika menggambar petani akan cenderung melukiskan itu, mungkin dengan ditambah latar gunung di belakangnya. Tapi coba bayangkan apa jadinya negara tanpa kehadiran para petani. Kita seharusnya memberi penghormatan tinggi kepada mereka, karena saya sulit membayangkan apa jadinya nasib kita tanpa mereka.
Untuk kali ini, saya ingin membagikan renungan berdasarkan penghormatan pada petani, yang saya percaya bisa membangun iman kita dengan belajar dari etos kerja mereka. Dan itu akan saya kaitkan dengan sebuah perumpamaan dari Yesus tentang penabur yang bisa kita baca dalam Matius 13:1-23.
Sebelum kita belajar dari etos kerja petani, mari kita lihat dulu apa yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan ini.
Yesus menceritakan bahwa ada seorang penabur yang pergi keluar untuk menabur. Ada yang jatuh di pinggir jalan, lalu habis dimakan burung (ay 4), ada yang jatuh di tanah berbatu sehingga tumbuh tapi buruk dan akhirnya mati (ay 5-6), ada pula yang jatuh di tengah semak duri, dimana benih sempat tumbuh tapi kemudian terhimpit semak berduri lalu mati (ay 7). Benih-benih yang dijadikan perumpamaan akan firman tentang Kerajaan Surga oleh Yesus ini harus jatuh ke atas tanah yang baik, subur, gembur agar bisa menghasilkan. "Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat." (ay 8).
Jadi, ada seorang penabur yang keluar menabur dan benihnya jatuh pada empat lahan yang berbeda, yaitu di pinggir jalan, semak duri, tanah berbatu dan tanah yang baik. Kenapa Yesus mengambil empat permukaan tanah atau media tanam dengan tekstur dan kondisi yang sangat berbeda ini? Ayat 19-23 mencatat penjelasan akan hal ini dari Yesus sendiri.
Pertama, pinggir jalan. "Kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu; itulah benih yang ditaburkan di pinggir jalan." (ay 19). Ini bicara tentang Firman yang menghampiri orang-orang yang berada di 'pinggir' alias bukan pelaku. Mereka ini mungkin sering mendengar Firman tapi tidak punya keinginan untuk memahami, mendalami, merenungkan apalagi melakukan. Karenanya seperti benih yang tertabur di pinggir jalan, benih itu tidak punya kesempatan untuk tumbuh. Burung akan segera memakannya, orang yang lewat bisa menginjaknya. Dan orang-orang yang seperti ini keimanannya akan sangat mudah digoyang si jahat.
Selanjutnya, yang tertabur di tanah berbatu. "Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad." (ay 20-21). Ini tipe orang percaya yang sebenarnya senang berburu Firman tapi hanya untuk menyukakan telinganya. Mencari dan mengidolakan pendeta yang terkenal, yang suka humor, yang tidak terlalu berat, yang kotbahnya tentang kemakmuran dan kekayaan, tapi tidak suka mendengar kotbah keras yang menegur.
Bagi mereka kotbah seperti entertainment, mungkin seolah stand up comedy yang menghibur. Asyik, lucu, keren, hebat, tapi begitu meninggalkan gereja semua pun menguap entah kemana. Firman diterima, tapi tidak ada yang menempel dan tidak ada yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak ada yang tumbuh dari Firman yang ditabur. Bagaimana mau tumbuh kalau hatinya keras seperti diisi banyak batu sehingga tidak bisa ditembus akar? Tidaklah heran orang-orang seperti ini tidak tahan lama. Sedikit terguncang sesuatu orang itu pun akan segera berpaling dari Tuhan.
(bersambung)
Wednesday, January 17, 2018
Hindari Amarah dan Panas Hati (3)
(sambungan)
Menariknya, ada Firman yang mengatakan bahwa kalaupun kita harus marah, milikilah kendali penuh atas amarah kita. Firmannya berbunyi: "Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam." (Mazmur 4:4). Firman ini mengingatkan, apabila kita memang terlanjur marah, segera kuasai agar kita jangan sampai jatuh melakukan perbuatan dosa. Jangan keluarkan amarah lewat perkataan karena seringkali perkataan yang dibiarkan keluar saat emosi bisa begitu tajam melukai diri sendiri dan orang lain, dimana kata-kata itu jauh dari fakta dan biasanya sudah melebar jauh melebihi topik. Jadi jangan buat tindakan atau hindari perkataan-perkataan yang didasari emosi saat kita masih marah. Dan tentu saja yang terpenting, redakan segera sebelum api yang terlanjur menyala jangan sampai terlanjur besar sehingga sulit dikendalikan dan mendatangkan malapetaka.
Kembali pada Mazmur 37 di atas, setelah Daud mengatakan bahwa kemarahan itu tidak akan membawa manfaat apa-apa selain mengarah kepada berbagai tindak kejahatan, demikian bunyi ayat berikutnya: "Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri." (Mazmur 37:9).
Jadi disaat orang yang menanti-nantikan Tuhan pada akhirnya mewarisi negeri, orang-orang yang berbuat jahat tidak akan mewarisi apa-apa selain kebinasaan yang kekal. Dan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Yesus setelahnya: "Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi." (Matius 5:5). Orang yang mudah dipenuhi kemarahan tidak mampu menguasai diri mereka dan hanya akan menuai kehancuran, sebaliknya orang yang lemah lembut akan memperoleh banyak hal, bahkan dikatakan orang yang demikian akan memiliki bumi.
Lebih lanjut, lemah lembut merupakan satu dari sekian banyak buah Roh seperti yang tertulis dalam Galatia. "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22). Benar, secara normal kita menjadi marah saat terprovokasi atau dijahati orang, atau saat ada sesuatu yang terjadi merugikan atau menyakiti kita. Wajar, manusiawi, itu mungkin yang kita pikirkan. Tetapi perhatikanlah bahwa apa yang dikatakan dengan lemah lembut adalah orang yang memiliki hati tunduk kepada kehendak Tuhan dalam hidupnya.
Penundukan berbicara luas dalam berbagai aspek, baik pikiran, tindakan, perkataan atau perbuatan. Dan semuanya seharusnya tunduk ke dalam tuntunan Tuhan, lewat Roh Kudus yang tinggal diam di dalam diri kita. Ketaatan kita untuk tunduk kepada Roh Allah, kerelaan kita untuk hidup dipimpin Roh Kudus akan menghasilkan buah-buah Roh, dimana beberapa diantaranya adalah kelemah lembutan dan penguasaan diri. "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." (ay 25). Inilah yang akan membuat kita mampu terus hidup dengan sikap lemah lembut walaupun hal-hal yang sangat berpotensi mampu membangkitkan amarah akan terus datang menghampiri kita pada waktu-waktu tertentu.
Hati yang panas lalu menyulut kemarahan. Itu punya potensi besaruntuk mendatangkan bahaya bagi kita. Baik secara langsung di dunia ini, seperti berbagai penyakit yang bisa menyerang kita, maupun ancaman berbuat berbagai kejahatan yang menimbulkan dosa. Sikap seperti ini tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah dan hanya mengarahkan kita pada banyak kejahatan. Karena itulah kita harus senantiasa berusaha untuk menjaga hati kita agar tetap lemah lembut. Yakobus pun mengingatkan hal ini dengan sangat jelas. "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah." (Yakobus 1:20).
Tidak ada kebaikan apapun yang bisa kita tuai dari sebuah kemarahan. Memasang muka penuh amarah pun tidak membawa kebaikan apa-apa, justru akan sangat merugikan kita. Yakobus kemudian melanjutkan: "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (ay 21).
Terus bekali hati, jiwa dan roh kita dengan firman-firman Tuhan, dan terimalah itu dengan lemah lembut. Hiduplah dipimpin oleh Roh Allah dan hasilkan buah-buah yang berasal daripadaNya, sehingga kita bisa menjalani hidup dengan sukacita dan bahagia tanpa terpengaruh oleh hal apapun yang mencoba menimbulkan amarah kita dan bisa membawa orang untuk melihat serta merasakan Tuhan dalam hidup kita. Mungkin tidak mudah bagi kita untuk menahan diri disaat kita ditindas, disakiti, dirugikan atau ditekan, tapi apabila kita berjalan bersama RohNya, hati yang lemah lembut merupakan salah satu buah yang akan kita hasilkan.
Don't let wrath and anger fill our heart because all leads only to evil and never to Him
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Menariknya, ada Firman yang mengatakan bahwa kalaupun kita harus marah, milikilah kendali penuh atas amarah kita. Firmannya berbunyi: "Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam." (Mazmur 4:4). Firman ini mengingatkan, apabila kita memang terlanjur marah, segera kuasai agar kita jangan sampai jatuh melakukan perbuatan dosa. Jangan keluarkan amarah lewat perkataan karena seringkali perkataan yang dibiarkan keluar saat emosi bisa begitu tajam melukai diri sendiri dan orang lain, dimana kata-kata itu jauh dari fakta dan biasanya sudah melebar jauh melebihi topik. Jadi jangan buat tindakan atau hindari perkataan-perkataan yang didasari emosi saat kita masih marah. Dan tentu saja yang terpenting, redakan segera sebelum api yang terlanjur menyala jangan sampai terlanjur besar sehingga sulit dikendalikan dan mendatangkan malapetaka.
Kembali pada Mazmur 37 di atas, setelah Daud mengatakan bahwa kemarahan itu tidak akan membawa manfaat apa-apa selain mengarah kepada berbagai tindak kejahatan, demikian bunyi ayat berikutnya: "Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri." (Mazmur 37:9).
Jadi disaat orang yang menanti-nantikan Tuhan pada akhirnya mewarisi negeri, orang-orang yang berbuat jahat tidak akan mewarisi apa-apa selain kebinasaan yang kekal. Dan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Yesus setelahnya: "Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi." (Matius 5:5). Orang yang mudah dipenuhi kemarahan tidak mampu menguasai diri mereka dan hanya akan menuai kehancuran, sebaliknya orang yang lemah lembut akan memperoleh banyak hal, bahkan dikatakan orang yang demikian akan memiliki bumi.
Lebih lanjut, lemah lembut merupakan satu dari sekian banyak buah Roh seperti yang tertulis dalam Galatia. "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22). Benar, secara normal kita menjadi marah saat terprovokasi atau dijahati orang, atau saat ada sesuatu yang terjadi merugikan atau menyakiti kita. Wajar, manusiawi, itu mungkin yang kita pikirkan. Tetapi perhatikanlah bahwa apa yang dikatakan dengan lemah lembut adalah orang yang memiliki hati tunduk kepada kehendak Tuhan dalam hidupnya.
Penundukan berbicara luas dalam berbagai aspek, baik pikiran, tindakan, perkataan atau perbuatan. Dan semuanya seharusnya tunduk ke dalam tuntunan Tuhan, lewat Roh Kudus yang tinggal diam di dalam diri kita. Ketaatan kita untuk tunduk kepada Roh Allah, kerelaan kita untuk hidup dipimpin Roh Kudus akan menghasilkan buah-buah Roh, dimana beberapa diantaranya adalah kelemah lembutan dan penguasaan diri. "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." (ay 25). Inilah yang akan membuat kita mampu terus hidup dengan sikap lemah lembut walaupun hal-hal yang sangat berpotensi mampu membangkitkan amarah akan terus datang menghampiri kita pada waktu-waktu tertentu.
Hati yang panas lalu menyulut kemarahan. Itu punya potensi besaruntuk mendatangkan bahaya bagi kita. Baik secara langsung di dunia ini, seperti berbagai penyakit yang bisa menyerang kita, maupun ancaman berbuat berbagai kejahatan yang menimbulkan dosa. Sikap seperti ini tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah dan hanya mengarahkan kita pada banyak kejahatan. Karena itulah kita harus senantiasa berusaha untuk menjaga hati kita agar tetap lemah lembut. Yakobus pun mengingatkan hal ini dengan sangat jelas. "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah." (Yakobus 1:20).
Tidak ada kebaikan apapun yang bisa kita tuai dari sebuah kemarahan. Memasang muka penuh amarah pun tidak membawa kebaikan apa-apa, justru akan sangat merugikan kita. Yakobus kemudian melanjutkan: "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (ay 21).
Terus bekali hati, jiwa dan roh kita dengan firman-firman Tuhan, dan terimalah itu dengan lemah lembut. Hiduplah dipimpin oleh Roh Allah dan hasilkan buah-buah yang berasal daripadaNya, sehingga kita bisa menjalani hidup dengan sukacita dan bahagia tanpa terpengaruh oleh hal apapun yang mencoba menimbulkan amarah kita dan bisa membawa orang untuk melihat serta merasakan Tuhan dalam hidup kita. Mungkin tidak mudah bagi kita untuk menahan diri disaat kita ditindas, disakiti, dirugikan atau ditekan, tapi apabila kita berjalan bersama RohNya, hati yang lemah lembut merupakan salah satu buah yang akan kita hasilkan.
Don't let wrath and anger fill our heart because all leads only to evil and never to Him
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, January 16, 2018
Hindari Amarah dan Panas Hati (2)
(sambungan)
Kita mungkin bertanya, kenapa saya tidak boleh marah saat saya dijahati orang? Kenapa saya yang jadi korban sangat menderita sementara yang menyakiti malah makin baik keadaannya? Pertanyaan seperti ini kemudian bisa berujung pada keraguan kita akan keadilan Tuhan. Dimana Tuhan saat kita mengalami keadaan seperti ini? Kalau Tuhan benar ada, kenapa Dia membiarkan dan diam saja? Dari judul perikopnya saja kita sudah bisa mendapatkan jawaban awal, yaitu bahwa semua kebahagiaan mereka yang jahat itu semu adanya. Selain semu, dalam rangkaian ayat kita bisa melihat apa yang boleh/harus kita lakukan, apa yang tidak boleh, what's do or don't, dan apa yang akan terjadi pada mereka serta apa yang akan Tuhan berikan pada kita kalau kita bisa tetap mengontrol suhu hati dalam kondisi normal, tidak terpancing emosi dan terus memandang Tuhan dalam menghadapi situasi seperti itu.
Kita diminta untuk:
- jangan marah karena orang yang berbuat jahat
- jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang
Kenapa?
Sebab: semua itu semu adanya. Mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau yang artinya hanya dalam waktu singkat.
Lalu apa lagi yang harus kita lakukan?
- Percayalah kepada Tuhan
- lakukanlah yang baik
- diamlah di negeri , tetap berada, jangan berhenti mengusahakan kesejahteraannya dan berdoalah dengan tekun untuk negeri
- berlakulah setia
- bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan - percayalah kepada-Nya
Kalau ini yang kita lakukan, maka:
- Tuhan akan bertindak
- Tuhan akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang.
Lalu, kita harus:
- Berdiam diri di hadapan Tuhan (tenanglah dalam Tuhan)
- nantikanlah Dia
- jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya
- janan marah karena orang yang melakukan tipu muslihat
Kalau sudah keburu marah bagaimana?
- Berhentilah marah, dan
- tinggalkanlah panas hati itu.
Kenapa? Karena itu hanya membawa kepada kejahatan. It will leads to evil, not to God.
Dan yang akan terjadi selanjutnya? Kesimpulannya?
- orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan
- tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan akan mewarisi negeri.
Seperti itulah kira-kira rangkaian ayat dalam Mazmur 37:1-9 di atas yang mudah-mudahan bisa lebih mudah dimengerti. Buat saya rangkaian ayat ini sangatlah mampu menjadi pegangan dan kekuatan saat kita harus mengalami situasi berat seperti itu lewat orang-orang yang entah karena sengaja atau memang karena sudah diperdaya rasa benci dan dibawah kendali emosi.
Sambil mendoakan agar mereka dijamah Tuhan agar tidak terus membuat hidup mereka jauh dari rasa damai sejahtera, kita harus serius meredakan kemarahan dan mendinginkan hati secepat mungkin sebelum banyak kejahatan yang mengintip di balik sebuah kemarahan itu kemudian masuk dan memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan dalam kebenaran yang selama ini sudah kita bangun dengan susah payah.
(bersambung)
Kita mungkin bertanya, kenapa saya tidak boleh marah saat saya dijahati orang? Kenapa saya yang jadi korban sangat menderita sementara yang menyakiti malah makin baik keadaannya? Pertanyaan seperti ini kemudian bisa berujung pada keraguan kita akan keadilan Tuhan. Dimana Tuhan saat kita mengalami keadaan seperti ini? Kalau Tuhan benar ada, kenapa Dia membiarkan dan diam saja? Dari judul perikopnya saja kita sudah bisa mendapatkan jawaban awal, yaitu bahwa semua kebahagiaan mereka yang jahat itu semu adanya. Selain semu, dalam rangkaian ayat kita bisa melihat apa yang boleh/harus kita lakukan, apa yang tidak boleh, what's do or don't, dan apa yang akan terjadi pada mereka serta apa yang akan Tuhan berikan pada kita kalau kita bisa tetap mengontrol suhu hati dalam kondisi normal, tidak terpancing emosi dan terus memandang Tuhan dalam menghadapi situasi seperti itu.
Kita diminta untuk:
- jangan marah karena orang yang berbuat jahat
- jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang
Kenapa?
Sebab: semua itu semu adanya. Mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau yang artinya hanya dalam waktu singkat.
Lalu apa lagi yang harus kita lakukan?
- Percayalah kepada Tuhan
- lakukanlah yang baik
- diamlah di negeri , tetap berada, jangan berhenti mengusahakan kesejahteraannya dan berdoalah dengan tekun untuk negeri
- berlakulah setia
- bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan - percayalah kepada-Nya
Kalau ini yang kita lakukan, maka:
- Tuhan akan bertindak
- Tuhan akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang.
Lalu, kita harus:
- Berdiam diri di hadapan Tuhan (tenanglah dalam Tuhan)
- nantikanlah Dia
- jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya
- janan marah karena orang yang melakukan tipu muslihat
Kalau sudah keburu marah bagaimana?
- Berhentilah marah, dan
- tinggalkanlah panas hati itu.
Kenapa? Karena itu hanya membawa kepada kejahatan. It will leads to evil, not to God.
Dan yang akan terjadi selanjutnya? Kesimpulannya?
- orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan
- tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan akan mewarisi negeri.
Seperti itulah kira-kira rangkaian ayat dalam Mazmur 37:1-9 di atas yang mudah-mudahan bisa lebih mudah dimengerti. Buat saya rangkaian ayat ini sangatlah mampu menjadi pegangan dan kekuatan saat kita harus mengalami situasi berat seperti itu lewat orang-orang yang entah karena sengaja atau memang karena sudah diperdaya rasa benci dan dibawah kendali emosi.
Sambil mendoakan agar mereka dijamah Tuhan agar tidak terus membuat hidup mereka jauh dari rasa damai sejahtera, kita harus serius meredakan kemarahan dan mendinginkan hati secepat mungkin sebelum banyak kejahatan yang mengintip di balik sebuah kemarahan itu kemudian masuk dan memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan dalam kebenaran yang selama ini sudah kita bangun dengan susah payah.
(bersambung)
Monday, January 15, 2018
Hindari Amarah dan Panas Hati (1)
Ayat bacaan: Mazmur 37:8
========================
"Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan."
Bangsa ini sepertinya semakin kehilangan keramahannya. Kalau dahulu kita bisa mudah saling tersenyum bahkan bertegur sapa dengan orang yang berpapasan di tengah jalan, hari ini semakin banyak orang yang individualistis dan cepat merasa curiga saat ada orang yang tersenyum apalagi menyapa. Banyak dari kita kemudian curiga apa tujuannya tersenyum dan menyapa. Apakah mau menawarkan sesuatu, berniat jahat seperti copet, culik, hipnotis atau lainnya. Kalau itu saja sudah terasa menyedihkan, lihatlah wajah-wajah penuh kebencian dan kemarahan yang semakin terpapar jelas dimana-mana.
Ironisnya, masih banyak saja acara televisi yang memanfaatkan kemarahan dan emosi manusia untuk tujuan rating. Begitu orang mulai tersulut emosinya, mulai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dan menunjukkan gerak gerik akan menyerang, disanalah acara itu mulai dirasa menarik. Ada banyak orang yang bersembunyi di balik wajah penuh kemarahan supaya orang segan atau takut kepada mereka. Ada yang begitu mudahnya membentak atau marah, atau setidaknya memasang wajah dingin karena mengira bahwa mereka akan terlihat berkuasa.
Padahal apa bagusnya wajah seperti itu? Selain terlihat tidak indah, penelitian ilmiah membuktikan bahwa tersenyum membutuhkan jauh lebih sedikit otot ketimbang cemberut. Imbasnya wajah akan lebih cepat keriput disamping masalah-masalah lainnya. Belum lagi masalah kesehatan, kestabilan jiwa dan sebagainya yang bisa merugikan kita kalau kita terus membiarkan diri kita mudah terbakar api amarah.
Kekristenan tidak pernah mengajarkan kita untuk memupuk emosi. God never wishes us to have that kind of face, mind, thoughts and heart. The face of rage, the wrath, anger because all leads only to evil and never to Him.
Berulang-ulang dalam banyak ayat Alkitab mengajarkan kita untuk tidak memendam amarah. Apalagi memupuk dan terus meningkatkan kebiasaan kita untuk terbakar emosi. Lihatlah firman Tuhan dalam Mazmur berikut: "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:8). Kemarahan yang seperti apa? Apakah kemarahan yang tanpa sebab atau yang ringan-ringan saja yang tidak boleh kita biarkan? Apakah kalau alasannya kuat kita boleh membiarkan diri kita dikuasai api emosi itu? Mari kita lihat dulu bagian Mazmur 37 ini secara lebih luas agar bisa mendapatkan jawabannya.
"Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang. Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri." (Mazmur 37:1-9).
Dari bagian dengan judul "Kebahagiaan orang fasik semu" ini, Daud mengingatkan kita bahwa kita jangan marah bukan cuma untuk hal-hal yang sepele, tapi juga, atau bahkan terutama yang diakibatkan oleh orang-orang yang jahat pada kita. Mereka yang berlaku curang dan merugikan kita, mendatangkan ketidakadilan, orang yang tampaknya masih bergembira dengan bebas setelah menyakiti kita atau memperlakukan kita dengan tidak adil, mereka yang tampaknya menang meskipun kesalahan bukan di pihak kita, yang sepertinya malah kelihatan menjadi makin baik setelah membuat kita menderita, terhadap yang demikian pun kita diingatkan untuk bersabar dan tidak marah.
(bersambung)
========================
"Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan."
Bangsa ini sepertinya semakin kehilangan keramahannya. Kalau dahulu kita bisa mudah saling tersenyum bahkan bertegur sapa dengan orang yang berpapasan di tengah jalan, hari ini semakin banyak orang yang individualistis dan cepat merasa curiga saat ada orang yang tersenyum apalagi menyapa. Banyak dari kita kemudian curiga apa tujuannya tersenyum dan menyapa. Apakah mau menawarkan sesuatu, berniat jahat seperti copet, culik, hipnotis atau lainnya. Kalau itu saja sudah terasa menyedihkan, lihatlah wajah-wajah penuh kebencian dan kemarahan yang semakin terpapar jelas dimana-mana.
Ironisnya, masih banyak saja acara televisi yang memanfaatkan kemarahan dan emosi manusia untuk tujuan rating. Begitu orang mulai tersulut emosinya, mulai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dan menunjukkan gerak gerik akan menyerang, disanalah acara itu mulai dirasa menarik. Ada banyak orang yang bersembunyi di balik wajah penuh kemarahan supaya orang segan atau takut kepada mereka. Ada yang begitu mudahnya membentak atau marah, atau setidaknya memasang wajah dingin karena mengira bahwa mereka akan terlihat berkuasa.
Padahal apa bagusnya wajah seperti itu? Selain terlihat tidak indah, penelitian ilmiah membuktikan bahwa tersenyum membutuhkan jauh lebih sedikit otot ketimbang cemberut. Imbasnya wajah akan lebih cepat keriput disamping masalah-masalah lainnya. Belum lagi masalah kesehatan, kestabilan jiwa dan sebagainya yang bisa merugikan kita kalau kita terus membiarkan diri kita mudah terbakar api amarah.
Kekristenan tidak pernah mengajarkan kita untuk memupuk emosi. God never wishes us to have that kind of face, mind, thoughts and heart. The face of rage, the wrath, anger because all leads only to evil and never to Him.
Berulang-ulang dalam banyak ayat Alkitab mengajarkan kita untuk tidak memendam amarah. Apalagi memupuk dan terus meningkatkan kebiasaan kita untuk terbakar emosi. Lihatlah firman Tuhan dalam Mazmur berikut: "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:8). Kemarahan yang seperti apa? Apakah kemarahan yang tanpa sebab atau yang ringan-ringan saja yang tidak boleh kita biarkan? Apakah kalau alasannya kuat kita boleh membiarkan diri kita dikuasai api emosi itu? Mari kita lihat dulu bagian Mazmur 37 ini secara lebih luas agar bisa mendapatkan jawabannya.
"Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang. Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri." (Mazmur 37:1-9).
Dari bagian dengan judul "Kebahagiaan orang fasik semu" ini, Daud mengingatkan kita bahwa kita jangan marah bukan cuma untuk hal-hal yang sepele, tapi juga, atau bahkan terutama yang diakibatkan oleh orang-orang yang jahat pada kita. Mereka yang berlaku curang dan merugikan kita, mendatangkan ketidakadilan, orang yang tampaknya masih bergembira dengan bebas setelah menyakiti kita atau memperlakukan kita dengan tidak adil, mereka yang tampaknya menang meskipun kesalahan bukan di pihak kita, yang sepertinya malah kelihatan menjadi makin baik setelah membuat kita menderita, terhadap yang demikian pun kita diingatkan untuk bersabar dan tidak marah.
(bersambung)
Sunday, January 14, 2018
Menjadi Pribadi yang Lemah Lembut (2)
(sambungan)
Bagaimana agar kita bisa menjadi orang yang lemah lembut, bukan orang yang cepat keras dan panas hatinya? Ada sebuah tips diberikan Daud yang bisa kita jadikan pegangan mengenai hal ini. "Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak." (Mazmur 37:1-5).
Tips yang diberikan Daud ini singkat tapi sangat lengkap dan padat. Ia mengingatkan agar kita:
- Jangan lekas marah dalam menghadapi orang-orang yang berbuat jahat
- Jangan iri kepada orang-orang yang suka berbuat curang
- Percayalah kepada Tuhan
- Terus fokus melakukan hal yang baik
- Perdulilah kepada tempat dimana kita ada
- Berlakulah setia
- Teruslah bersukacita bukan karena situasi dan kondisi tetapi karena Tuhan
- Serahkan hidup kepada Tuhan
Kalau ini yang kita jadikan pegangan, apapun yang kita hadapi, sesulit apapun situasi atau orang-orang yang kita hadapi, Tuhan akan memberikan apa yang kita inginkan dan Dia sendiri akan bertindak. Ini tips yang saya kira sangat baik untuk mencegah hati kita terkontaminasi oleh hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang percaya, termasuk di dalamnya perilaku-perilaku yang berlawanan dengan lemah lembut.
Berikutnya mari kita lihat pesan lainnya dari Daud. "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri." (ay 8-9). Pesan Daud ini paralel dengan apa yang dikatakn Yesus di atas. Kemarahan tidaklah mendatangkan hal baik tapi bisa membawa orang untuk terjerumus pada kejahatan, yang pada akhirnya akan dilenyapkan. Tapi orang-orang yang taat menuruti Tuhan, menyerahkan semua kepada Tuhan akan mewarisi negeri.
Akan halnya meredam kemarahan, kita bisa mendapatkan satu tips sederhana dari Yakobus diantara begitu banyak ayat yang mengingatkan kita akan bahaya membiarkan diri kita gampang dibakar emosi. Katanya: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." (Yakobus 1:19). Tips dari Yakobus adalah, jangan buru-buru marah, tapi dengarlah terlebih dahulu sebelum keburu nafsu membalas. Dengar dulu, pikirkan dulu, dan hargai pendapat orang. Jangan belum apa-apa sudah tersinggung, sakit hati, bersitegang dan marah. Itu tidak baik buat kesehatan kita, itu tidak baik buat orang lain dan tentu tidak baik di mata Tuhan.
Kalau kita kebiasaan menelan makanan buru-buru sebelum dikunyah, itu tidak baik buat pencernaan. Seperti itu pula bereaksi terburu-buru sebelum mengunyah baik-baik terlebih dahulu apa yang dikatakan orang lain. Terburu-buru bereaksi bisa menumpulkan nalar alias akal sehat, mengebiri logika dan terus dikuasai emosi yang berpotensi mendatangkan banyak kejahatan. Lebih jelas lagi Yakobus juga menerangkan bahwa amarah tidak pernah mendapat tempat apalagi bisa dibenarkan di hadapan Tuhan. "sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah." (ay 20).
Ditengah dunia yang semakin dingin bahkan kejam, dengan jumlah orang yang sulit terus bertambah banyak, tentu tidak mudah untuk bisa menahan diri dan tetap menjadi pribadi lemah lembut. But in no matter condition, that's what God wants us to be. Mungkin untuk bisa menjadi figur Musa bisa jadi terlihat seperti mustahil, tapi tidak ada salahnya untuk mulai mencoba.
Adakah di antara teman-teman yang sedang dalam tekanan dan emosi pada saat ini karena tengah berhadapan dengan orang-orang atau kondisi yang sulit? Gampang marah, tersulut emosi dan cepat tersinggung? Mudah panik saat berhadapan dengan masalah? Tekanan begitu cepatnya merebut rasa sukacita dan damai sejahtera? Sudah lama tidak merasakan suasana hati yang cerah ceria karena dikuasai suasana mendung penuh guruh dan halilintar? Redakanlah, dan tersenyumlah. Jangan biarkan sukacita anda dirampas, jangan buka celah bagi iblis untuk menghancurkan anda. Biarkan terang Tuhan menyinari hati anda dengan kebahagiaan. Tetap jaga kelembutan hati dan rasakanlah bahwa Tuhan yang sangat baik dan menyayangi anda itu sesungguhnya selalu ada bersama dengan anda dalam setiap keadaan.
"Being soft-hearted does not make you a weak person. It takes courage to stay delicate in a world that is sometimes cruel." - anonymous
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Bagaimana agar kita bisa menjadi orang yang lemah lembut, bukan orang yang cepat keras dan panas hatinya? Ada sebuah tips diberikan Daud yang bisa kita jadikan pegangan mengenai hal ini. "Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak." (Mazmur 37:1-5).
Tips yang diberikan Daud ini singkat tapi sangat lengkap dan padat. Ia mengingatkan agar kita:
- Jangan lekas marah dalam menghadapi orang-orang yang berbuat jahat
- Jangan iri kepada orang-orang yang suka berbuat curang
- Percayalah kepada Tuhan
- Terus fokus melakukan hal yang baik
- Perdulilah kepada tempat dimana kita ada
- Berlakulah setia
- Teruslah bersukacita bukan karena situasi dan kondisi tetapi karena Tuhan
- Serahkan hidup kepada Tuhan
Kalau ini yang kita jadikan pegangan, apapun yang kita hadapi, sesulit apapun situasi atau orang-orang yang kita hadapi, Tuhan akan memberikan apa yang kita inginkan dan Dia sendiri akan bertindak. Ini tips yang saya kira sangat baik untuk mencegah hati kita terkontaminasi oleh hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang percaya, termasuk di dalamnya perilaku-perilaku yang berlawanan dengan lemah lembut.
Berikutnya mari kita lihat pesan lainnya dari Daud. "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri." (ay 8-9). Pesan Daud ini paralel dengan apa yang dikatakn Yesus di atas. Kemarahan tidaklah mendatangkan hal baik tapi bisa membawa orang untuk terjerumus pada kejahatan, yang pada akhirnya akan dilenyapkan. Tapi orang-orang yang taat menuruti Tuhan, menyerahkan semua kepada Tuhan akan mewarisi negeri.
Akan halnya meredam kemarahan, kita bisa mendapatkan satu tips sederhana dari Yakobus diantara begitu banyak ayat yang mengingatkan kita akan bahaya membiarkan diri kita gampang dibakar emosi. Katanya: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." (Yakobus 1:19). Tips dari Yakobus adalah, jangan buru-buru marah, tapi dengarlah terlebih dahulu sebelum keburu nafsu membalas. Dengar dulu, pikirkan dulu, dan hargai pendapat orang. Jangan belum apa-apa sudah tersinggung, sakit hati, bersitegang dan marah. Itu tidak baik buat kesehatan kita, itu tidak baik buat orang lain dan tentu tidak baik di mata Tuhan.
Kalau kita kebiasaan menelan makanan buru-buru sebelum dikunyah, itu tidak baik buat pencernaan. Seperti itu pula bereaksi terburu-buru sebelum mengunyah baik-baik terlebih dahulu apa yang dikatakan orang lain. Terburu-buru bereaksi bisa menumpulkan nalar alias akal sehat, mengebiri logika dan terus dikuasai emosi yang berpotensi mendatangkan banyak kejahatan. Lebih jelas lagi Yakobus juga menerangkan bahwa amarah tidak pernah mendapat tempat apalagi bisa dibenarkan di hadapan Tuhan. "sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah." (ay 20).
Ditengah dunia yang semakin dingin bahkan kejam, dengan jumlah orang yang sulit terus bertambah banyak, tentu tidak mudah untuk bisa menahan diri dan tetap menjadi pribadi lemah lembut. But in no matter condition, that's what God wants us to be. Mungkin untuk bisa menjadi figur Musa bisa jadi terlihat seperti mustahil, tapi tidak ada salahnya untuk mulai mencoba.
Adakah di antara teman-teman yang sedang dalam tekanan dan emosi pada saat ini karena tengah berhadapan dengan orang-orang atau kondisi yang sulit? Gampang marah, tersulut emosi dan cepat tersinggung? Mudah panik saat berhadapan dengan masalah? Tekanan begitu cepatnya merebut rasa sukacita dan damai sejahtera? Sudah lama tidak merasakan suasana hati yang cerah ceria karena dikuasai suasana mendung penuh guruh dan halilintar? Redakanlah, dan tersenyumlah. Jangan biarkan sukacita anda dirampas, jangan buka celah bagi iblis untuk menghancurkan anda. Biarkan terang Tuhan menyinari hati anda dengan kebahagiaan. Tetap jaga kelembutan hati dan rasakanlah bahwa Tuhan yang sangat baik dan menyayangi anda itu sesungguhnya selalu ada bersama dengan anda dalam setiap keadaan.
"Being soft-hearted does not make you a weak person. It takes courage to stay delicate in a world that is sometimes cruel." - anonymous
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, January 13, 2018
Menjadi Pribadi yang Lemah Lembut (1)
Ayat bacaan: Matius 5:5
======================
"Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi."
Ada seorang teman saya yang sikapnya sangat lemah lembut. Omongannya halus, pembawaannya kalem dan murah senyum. Tidak heran kalau orang suka berada di dekatnya. Suatu kali iseng-iseng saya bertanya apakah hidupnya selalu dalam keadaan baik sehingga bisa bersikap seperti itu? Sambil tersenyum ia menjawab bahwa seperti kebanyakan orang, ia pun mengalami bermacam masalah. Hanya saja ia tidak mau membiarkan dirinya larut dalam perasaan kalut atau susah. Menurutnya, perasaan negatif tidak memperbaiki keadaan tapi malah membuat tambah buruk. Tersenyum dan tetap happy itu menurutnya menjadi terapi yang bisa menjaga agar dirinya tetap dalam keadaan baik meski mungkin kondisi yang dialami sedang kurang baik.
Bagi saya itu adalah sebuah sikap yang sangat baik. Apa yang ia katakan benar, dan memang, Yesus sendiri sudah mengingatkan kita bahwa tidak ada sesuatu yang baik yang bisa kita dapat dari membiarkan diri kita dikuasai perasaan negatif seperti kuatir. "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27). Tentu saja, kuatir tidak akan menambahkan umur kita tapi malah bisa jadi memperpendek. Itu berlaku sama bagi berbagai perasaan atau sikap negatif lainnya seperti mudah marah, gampang tersinggung, dan seperti yang kita bahas kemarin, keras hati dan keras kepala pun kerap merugikan kita, apalagi kalau kekerasan hati dan kepala ini menyangkut hal-hal mengenai Tuhan dan FirmanNya.
Kalau kita membiarkan kondisi hati kita keras dan/atau panas, itu jelas bisa membuka kesempatan bagi iblis untuk menjerumuskan kita ke dalam berbagai kejahatan. Sebaliknya, memiliki hati yang lembut akan membawa dampak yang positif bagi kita dan perjalanan hidup kita hingga kelak di kehidupan yang kekal.
Kelemah lembutan merupakan hal yang penting bagi pertumbuhan iman kita. Begitu pentingnya, Tuhan Yesus bahkan berkata: "Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi." (Matius 5:5). Pesan penting yang disampaikan Yesus ini hadir sebagai adalah satu dari rangkaian ucapan bahagia yang diucapkan Yesus dalam kotbahNya di atas bukit. Lemah lembut seperti apa yang Yesus maksudkan? Kita bisa mendapatkan penjelasan yang lebih detail dalam versi bahasa Inggrisnya, yaitu "the mild, patient, long suffering" alias "lembut, sabar dan tabah". Orang yang memiliki sikap seperti inilah yang dikatakan Yesus akan memiliki bumi. These are the kind of people who would inherit the earth! Tuhan akan memberikan bumi kepada orang-orang sabar, tabah dan lemah lembut, bukan kepada orang yang pendek kesabarannya, cepat emosi, kasar, cepat mengeluh, lekas panas dan keras hati serta kepalanya.
Dalam Perjanjian Lama ada ayat yang menyatakan bahwa Musa itu memiliki kelembutan hati melebihi manusia lain di muka bumi. "Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi." (Bilangan 12:3).
Seperti apa lembut hatinya Musa? Bayangkanlah seberat apa tugas yang dibebankan Tuhan kepadanya. Musa harus memimpin sebuah bangsa besar keluar dari perbudakan bangsa Mesir menuju tanah terjanji. Prosesnya berlangsung tidak tanggung-tanggung, bukan cuma beberapa bulan atau satu dua tahun, tapi berlangsung selama 40 tahun. Masih mending kalau bangsa yang dipimpin berisi orang-orang yang penurut dan tenang. Bangsa Israel yang harus ia pimpin adalah bangsa yang dikatakan tegar tengkuk alias keras kepala. Bangsa Israel sebenarnya beruntung karena sudah mengalami berbagai bentuk mukjizat Tuhan. Itu seharusnya bisa membuat mereka menjadi orang-orang terdepan mengenai masalah kesabaran, ketenangan, penyerahan diri dan bagian-bagian lain dari iman. Tapi sayangnya bukan itu yang ada pada mereka. Bangsa pilihan Tuhan ini tetaplah bangsa yang terus sulit berterimakasih. Bukannya bersyukur atas berbagai campur tangan Tuhan yang melindungi mereka selama masa perjalanan, mereka lebih suka untuk terus bersungut-sungut, berkeluh kesah, protes, mengolok-olok, menyudutkan, menyindir, sinis dan sangat mudah marah.
Dan itulah yang harus dihadapi seorang Musa selama hampir setengah abad. Bisa kita bayangkan bagaimana lelahnya mental dan emosi Musa menghadapi sebuah bangsa seperti itu yang harus ia pimpin sesuai dengan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya. Mungkin kalau kita ada di posisi Musa, bisa bertahan seminggu saja sudah prestasi besar. Tapi Musa sanggup mengendalikan emosinya dan terus mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan untuk ia perbuat.
(bersambung)
======================
"Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi."
Ada seorang teman saya yang sikapnya sangat lemah lembut. Omongannya halus, pembawaannya kalem dan murah senyum. Tidak heran kalau orang suka berada di dekatnya. Suatu kali iseng-iseng saya bertanya apakah hidupnya selalu dalam keadaan baik sehingga bisa bersikap seperti itu? Sambil tersenyum ia menjawab bahwa seperti kebanyakan orang, ia pun mengalami bermacam masalah. Hanya saja ia tidak mau membiarkan dirinya larut dalam perasaan kalut atau susah. Menurutnya, perasaan negatif tidak memperbaiki keadaan tapi malah membuat tambah buruk. Tersenyum dan tetap happy itu menurutnya menjadi terapi yang bisa menjaga agar dirinya tetap dalam keadaan baik meski mungkin kondisi yang dialami sedang kurang baik.
Bagi saya itu adalah sebuah sikap yang sangat baik. Apa yang ia katakan benar, dan memang, Yesus sendiri sudah mengingatkan kita bahwa tidak ada sesuatu yang baik yang bisa kita dapat dari membiarkan diri kita dikuasai perasaan negatif seperti kuatir. "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27). Tentu saja, kuatir tidak akan menambahkan umur kita tapi malah bisa jadi memperpendek. Itu berlaku sama bagi berbagai perasaan atau sikap negatif lainnya seperti mudah marah, gampang tersinggung, dan seperti yang kita bahas kemarin, keras hati dan keras kepala pun kerap merugikan kita, apalagi kalau kekerasan hati dan kepala ini menyangkut hal-hal mengenai Tuhan dan FirmanNya.
Kalau kita membiarkan kondisi hati kita keras dan/atau panas, itu jelas bisa membuka kesempatan bagi iblis untuk menjerumuskan kita ke dalam berbagai kejahatan. Sebaliknya, memiliki hati yang lembut akan membawa dampak yang positif bagi kita dan perjalanan hidup kita hingga kelak di kehidupan yang kekal.
Kelemah lembutan merupakan hal yang penting bagi pertumbuhan iman kita. Begitu pentingnya, Tuhan Yesus bahkan berkata: "Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi." (Matius 5:5). Pesan penting yang disampaikan Yesus ini hadir sebagai adalah satu dari rangkaian ucapan bahagia yang diucapkan Yesus dalam kotbahNya di atas bukit. Lemah lembut seperti apa yang Yesus maksudkan? Kita bisa mendapatkan penjelasan yang lebih detail dalam versi bahasa Inggrisnya, yaitu "the mild, patient, long suffering" alias "lembut, sabar dan tabah". Orang yang memiliki sikap seperti inilah yang dikatakan Yesus akan memiliki bumi. These are the kind of people who would inherit the earth! Tuhan akan memberikan bumi kepada orang-orang sabar, tabah dan lemah lembut, bukan kepada orang yang pendek kesabarannya, cepat emosi, kasar, cepat mengeluh, lekas panas dan keras hati serta kepalanya.
Dalam Perjanjian Lama ada ayat yang menyatakan bahwa Musa itu memiliki kelembutan hati melebihi manusia lain di muka bumi. "Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi." (Bilangan 12:3).
Seperti apa lembut hatinya Musa? Bayangkanlah seberat apa tugas yang dibebankan Tuhan kepadanya. Musa harus memimpin sebuah bangsa besar keluar dari perbudakan bangsa Mesir menuju tanah terjanji. Prosesnya berlangsung tidak tanggung-tanggung, bukan cuma beberapa bulan atau satu dua tahun, tapi berlangsung selama 40 tahun. Masih mending kalau bangsa yang dipimpin berisi orang-orang yang penurut dan tenang. Bangsa Israel yang harus ia pimpin adalah bangsa yang dikatakan tegar tengkuk alias keras kepala. Bangsa Israel sebenarnya beruntung karena sudah mengalami berbagai bentuk mukjizat Tuhan. Itu seharusnya bisa membuat mereka menjadi orang-orang terdepan mengenai masalah kesabaran, ketenangan, penyerahan diri dan bagian-bagian lain dari iman. Tapi sayangnya bukan itu yang ada pada mereka. Bangsa pilihan Tuhan ini tetaplah bangsa yang terus sulit berterimakasih. Bukannya bersyukur atas berbagai campur tangan Tuhan yang melindungi mereka selama masa perjalanan, mereka lebih suka untuk terus bersungut-sungut, berkeluh kesah, protes, mengolok-olok, menyudutkan, menyindir, sinis dan sangat mudah marah.
Dan itulah yang harus dihadapi seorang Musa selama hampir setengah abad. Bisa kita bayangkan bagaimana lelahnya mental dan emosi Musa menghadapi sebuah bangsa seperti itu yang harus ia pimpin sesuai dengan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya. Mungkin kalau kita ada di posisi Musa, bisa bertahan seminggu saja sudah prestasi besar. Tapi Musa sanggup mengendalikan emosinya dan terus mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan untuk ia perbuat.
(bersambung)
Friday, January 12, 2018
Jangan Bandel (3)
(sambungan)
Sudah begitu luar biasa baiknya rencana Tuhan, dan mereka tidak bisa berdalih bahwa mereka tidak tahu karena Tuhan sudah menyampaikan sendiri rencanaNya, tapi kebandelan atau kedegilan bangsa yang tegar tengkuk ini membuat apa yang mereka terima sepenuhnya bertolak belakang dengan rencana Tuhan tersebut.
Dari satu kisah ini saja kita bisa melihat betapa kebandelan akan membawa dampak buruk bagi kita. Resikonya jelas-jelas nyata, dan bisa jadi pada suatu ketika mendatangkan sesuatu yang fatal. Kita kerap menganggap bahwa sifat keras kepala, membantah dan selalu melawan ketika dilarang juga cepat tersinggung ketika diingatkan itu wajar dan manusiawi. Tetapi Tuhan sesungguhnya tidak menginginkan kita menjadi pribadi-pribadi yang keras kepala seperti itu. Sebaliknya, Tuhan ingin kita memiliki hati yang lembut yang siap dibentuk. Tuhan menginginkan ketaatan kita lebih dari apapun.
"Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu." (Ulangan 10:12-13). Bangsa Israel sudah merasakan sendiri konsekuensi yang harus mereka hadapi akibat kebandelan mereka berulang kali. Dari ilustrasi di atas kita bisa melihat dua contoh dimana kebandelan membawa konsekuensi yang sangat fatal. Seharusnya contoh seperti ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak lagi mengulangi kesalahan seperti itu.
Sebuah larangan memang terlihat seperti membatasi pergerakan kita dan terlihat seolah seperti mengekang dan mengganggu kesenangan kita. Tetapi itu semua bertujuan baik, agar kita bisa terhindar dari masalah dan penderitaan yang dapat berujung pada kebinasaan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Apa yang Tuhan mau sederhana saja. Dia mau kita takut (hormat, segan, menghargai) akan Tuhan, hidup menurut jalan yang Dia tunjukkan, mengasihi Dia sepenuhnya, beribadah hanya kepadaNya dengan segenap hati dan jiwa, berpegang teguh pada perintah dan ketetapanNya, dan itulah yang akan mendatangkan kebaikan dalam hidup kita.
Jika Tuhan masih mau mengingatkan kita meski terkadang keras, bersyukurlah untuk itu. Kalau terus melawan dan keras kepala, nantinya kita sendiri juga yang rugi, apalagi kalau Tuhan akhirnya sampai membiarkan kita terjatuh dalam banyak masalah akibat sikap buruk yang kita pilih sendiri sebagai jalan hidup.
Dengarkanlah dan turutilah segera ketika Tuhan mengingatkan. Apakah itu langsung dari Tuhan, lewat hati nurani kita, atau lewat orang tua, saudara atau sahabat yang peduli kepada kita, apakah lewat Firman dalam kotbah, lewat lagu rohani atau lainnya, bersyukurlah dan berterima kasihlah untuk itu. Jangan keraskan hati, langsung menuduh, merasa tersinggung dan bersungut-sungut apalagi melawan, sebab larangan atau peringatan yang baik yang kita terima sesungguhnya bisa mencegah kita dari bencana yang bisa jadi terlambat untuk disesali.
Tuhan menuntut ketaatan kepadaNya demi kebaikan kita. Patuhlah dengan hati yang lembut.
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Sudah begitu luar biasa baiknya rencana Tuhan, dan mereka tidak bisa berdalih bahwa mereka tidak tahu karena Tuhan sudah menyampaikan sendiri rencanaNya, tapi kebandelan atau kedegilan bangsa yang tegar tengkuk ini membuat apa yang mereka terima sepenuhnya bertolak belakang dengan rencana Tuhan tersebut.
Dari satu kisah ini saja kita bisa melihat betapa kebandelan akan membawa dampak buruk bagi kita. Resikonya jelas-jelas nyata, dan bisa jadi pada suatu ketika mendatangkan sesuatu yang fatal. Kita kerap menganggap bahwa sifat keras kepala, membantah dan selalu melawan ketika dilarang juga cepat tersinggung ketika diingatkan itu wajar dan manusiawi. Tetapi Tuhan sesungguhnya tidak menginginkan kita menjadi pribadi-pribadi yang keras kepala seperti itu. Sebaliknya, Tuhan ingin kita memiliki hati yang lembut yang siap dibentuk. Tuhan menginginkan ketaatan kita lebih dari apapun.
"Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu." (Ulangan 10:12-13). Bangsa Israel sudah merasakan sendiri konsekuensi yang harus mereka hadapi akibat kebandelan mereka berulang kali. Dari ilustrasi di atas kita bisa melihat dua contoh dimana kebandelan membawa konsekuensi yang sangat fatal. Seharusnya contoh seperti ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak lagi mengulangi kesalahan seperti itu.
Sebuah larangan memang terlihat seperti membatasi pergerakan kita dan terlihat seolah seperti mengekang dan mengganggu kesenangan kita. Tetapi itu semua bertujuan baik, agar kita bisa terhindar dari masalah dan penderitaan yang dapat berujung pada kebinasaan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Apa yang Tuhan mau sederhana saja. Dia mau kita takut (hormat, segan, menghargai) akan Tuhan, hidup menurut jalan yang Dia tunjukkan, mengasihi Dia sepenuhnya, beribadah hanya kepadaNya dengan segenap hati dan jiwa, berpegang teguh pada perintah dan ketetapanNya, dan itulah yang akan mendatangkan kebaikan dalam hidup kita.
Jika Tuhan masih mau mengingatkan kita meski terkadang keras, bersyukurlah untuk itu. Kalau terus melawan dan keras kepala, nantinya kita sendiri juga yang rugi, apalagi kalau Tuhan akhirnya sampai membiarkan kita terjatuh dalam banyak masalah akibat sikap buruk yang kita pilih sendiri sebagai jalan hidup.
Dengarkanlah dan turutilah segera ketika Tuhan mengingatkan. Apakah itu langsung dari Tuhan, lewat hati nurani kita, atau lewat orang tua, saudara atau sahabat yang peduli kepada kita, apakah lewat Firman dalam kotbah, lewat lagu rohani atau lainnya, bersyukurlah dan berterima kasihlah untuk itu. Jangan keraskan hati, langsung menuduh, merasa tersinggung dan bersungut-sungut apalagi melawan, sebab larangan atau peringatan yang baik yang kita terima sesungguhnya bisa mencegah kita dari bencana yang bisa jadi terlambat untuk disesali.
Tuhan menuntut ketaatan kepadaNya demi kebaikan kita. Patuhlah dengan hati yang lembut.
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, January 11, 2018
Jangan Bandel (2)
(sambungan)
Seperti seorang ayah yang sayang anaknya, Tuhan tidak henti-hentinya mengingatkan anak-anakNya jika melenceng keluar jalur. Tapi seringkali kita bandel dan menganggap Tuhan terlalu mengekang, terlalu banyak aturan atau bahkan menuduhNya tidak suka melihat kita senang. Ketika masalah muncul karena kita terus bandel, mengeraskan hati dan kepala, kita baru tersadar. Adalah baik jika masalah itu tidak terlalu berat dan langsung membawa kita ke dalam pertobatan, tapi bagaimana kalau penyesalan itu datang terlambat? Seharusnya kita tidak perlu mengalami semua itu jika saja kita tidak membangkang sejak awal. Tapi kalau kita terus bandel, akan ada waktu dimana kita harus diingatkan lewat pelajaran berat, atau bahkan menerima hukuman atas pelanggaran yang kita lakukan.
Bicara soal keras kepala, kita bisa melihat contoh teguran Tuhan kepada bangsa Israel dalam banyak kesempatan. Salah satunya tercatat di dalam Mazmur 81. Di sini Tuhan memberi peringatan tegas kepada mereka. "Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!" (Mazmur 81:9). Lihatlah bahwa Tuhan tidak membiarkan umatNya tersesat. Tuhan peduli. Dia memberi peringatan bukan demi kepentinganNya melainkan demi kebaikan kita sendiri. Di sisi lain Tuhan pun menghargai kehendak bebas yang Dia berikan pada kita, karena Dia ingin kita menjadi pribadi merdeka yang bisa mengatur diri sendiri lewat akal budi dan hati yang peka mendengarNya, bukan robot. Tuhan bilang, "Dengarlah kalau mau"
Apa yang diingatkan Tuhan kepada bangsa Israel pada waktu itu adalah agar bangsa Israel berhenti menyembah allah-allah asing. "Janganlah ada di antaramu allah lain, dan janganlah engkau menyembah kepada allah asing. Akulah TUHAN, Allahmu, yang menuntun engkau keluar dari tanah Mesir: bukalah mulutmu lebar-lebar, maka Aku akan membuatnya penuh." (ay 10-11). Bergantunglah sepenuhnya pada Tuhan, jangan cari kepenuhan di luar sana lewat allah-allah asing. Apapun yang kalian butuh Aku yang akan sediakan. Sudah begitu jelas seruan Tuhan ini.
Tapi pertanyaannya, patuhkah mereka? Nyatanya tidak. Dan itu bisa kita lihat dalam ayat berikutnya: "Tetapi umat-Ku tidak mendengarkan suara-Ku, dan Israel tidak suka kepada-Ku." (ay 12). Bangsa Israel tampaknya lupa dan menganggap remeh pengalaman mereka sendiri bahwa adalah Tuhan sendiri yang menuntun mereka keluar dari tanah perbudakan untuk menuju tanah terjanji. Bukannya patuh tapi malah membandel dan menolak Allah apa yang ditulis dalam ayat 12 tadi. Mereka menganggap Tuhan sebagai Pribadi yang egois dan penuntut. Kebandelan itu pun kemudian membuat Tuhan kemudian membiarkan mereka dengan pilihannya! "Sebab itu Aku membiarkan dia dalam kedegilan hatinya; biarlah mereka berjalan mengikuti rencananya sendiri!" (ay 13).
Kalau kita terus bandel, Tuhan pada suatu ketika akan membiarkan kita dalam kedegilan kita. Firaun pada masa Musa mengalami hal yang sama. Berkali-kali Tuhan menghadirkan tulah lewat Musa dimana ia bisa menyaksikan langsung kuasa Tuhan dan besarnya hukuman atas kekerasan hatinya, tetapi berulang kali pula raja satu ini tetap membandel. Dan pada akhirnya Tuhan menghukumnya dengan mengeraskan hatinya benar-benar. Kelak Paulus mengangkat kembali kisah ini sebagai peringatan penting agar jangan satupun dari kita jatuh pada perilaku yang sama. "Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi. Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya." (Roma 9:17-18).
Apa yang kita mau terima dari Tuhan? Belas kasihan atau membiarkan kita dalam kekerasan hati dan kepala, bahkan menegarkan/mematenkan itu sekalian saja? Kalau yang kita inginkan belas kasihanNya, jangan keras kepala dan keras hati. Patuhlah kepadaNya dengan sepenuh hati.
Kembali kepada bangsa Israel di atas, kita tahu selanjutnya bahwa sejarah mencatat bahwa keputusan Israel itu kemudian membuat mereka terpuruk. Mereka harus menerima konsekuensi buruk atas perbuatannya. Mereka dijajah musuh, luluh lantak dibasmi musuh, dan itu sangat berlawanan dari apa yang sebenarnya telah disediakan Tuhan bagi mereka. Seandainya saja mereka mau mendengar, lihatlah apa yang disediakan Tuhan itu. "Sekiranya umat-Ku mendengarkan Aku! Sekiranya Israel hidup menurut jalan yang Kutunjukkan! Seketika itu juga musuh mereka Aku tundukkan, dan terhadap para lawan mereka Aku balikkan tangan-Ku. Orang-orang yang membenci TUHAN akan tunduk menjilat kepada-Nya, dan itulah nasib mereka untuk selama-lamanya. Tetapi umat-Ku akan Kuberi makan gandum yang terbaik dan dengan madu dari gunung batu Aku akan mengenyangkannya." (ay 14-17).
(bersambung)
Seperti seorang ayah yang sayang anaknya, Tuhan tidak henti-hentinya mengingatkan anak-anakNya jika melenceng keluar jalur. Tapi seringkali kita bandel dan menganggap Tuhan terlalu mengekang, terlalu banyak aturan atau bahkan menuduhNya tidak suka melihat kita senang. Ketika masalah muncul karena kita terus bandel, mengeraskan hati dan kepala, kita baru tersadar. Adalah baik jika masalah itu tidak terlalu berat dan langsung membawa kita ke dalam pertobatan, tapi bagaimana kalau penyesalan itu datang terlambat? Seharusnya kita tidak perlu mengalami semua itu jika saja kita tidak membangkang sejak awal. Tapi kalau kita terus bandel, akan ada waktu dimana kita harus diingatkan lewat pelajaran berat, atau bahkan menerima hukuman atas pelanggaran yang kita lakukan.
Bicara soal keras kepala, kita bisa melihat contoh teguran Tuhan kepada bangsa Israel dalam banyak kesempatan. Salah satunya tercatat di dalam Mazmur 81. Di sini Tuhan memberi peringatan tegas kepada mereka. "Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!" (Mazmur 81:9). Lihatlah bahwa Tuhan tidak membiarkan umatNya tersesat. Tuhan peduli. Dia memberi peringatan bukan demi kepentinganNya melainkan demi kebaikan kita sendiri. Di sisi lain Tuhan pun menghargai kehendak bebas yang Dia berikan pada kita, karena Dia ingin kita menjadi pribadi merdeka yang bisa mengatur diri sendiri lewat akal budi dan hati yang peka mendengarNya, bukan robot. Tuhan bilang, "Dengarlah kalau mau"
Apa yang diingatkan Tuhan kepada bangsa Israel pada waktu itu adalah agar bangsa Israel berhenti menyembah allah-allah asing. "Janganlah ada di antaramu allah lain, dan janganlah engkau menyembah kepada allah asing. Akulah TUHAN, Allahmu, yang menuntun engkau keluar dari tanah Mesir: bukalah mulutmu lebar-lebar, maka Aku akan membuatnya penuh." (ay 10-11). Bergantunglah sepenuhnya pada Tuhan, jangan cari kepenuhan di luar sana lewat allah-allah asing. Apapun yang kalian butuh Aku yang akan sediakan. Sudah begitu jelas seruan Tuhan ini.
Tapi pertanyaannya, patuhkah mereka? Nyatanya tidak. Dan itu bisa kita lihat dalam ayat berikutnya: "Tetapi umat-Ku tidak mendengarkan suara-Ku, dan Israel tidak suka kepada-Ku." (ay 12). Bangsa Israel tampaknya lupa dan menganggap remeh pengalaman mereka sendiri bahwa adalah Tuhan sendiri yang menuntun mereka keluar dari tanah perbudakan untuk menuju tanah terjanji. Bukannya patuh tapi malah membandel dan menolak Allah apa yang ditulis dalam ayat 12 tadi. Mereka menganggap Tuhan sebagai Pribadi yang egois dan penuntut. Kebandelan itu pun kemudian membuat Tuhan kemudian membiarkan mereka dengan pilihannya! "Sebab itu Aku membiarkan dia dalam kedegilan hatinya; biarlah mereka berjalan mengikuti rencananya sendiri!" (ay 13).
Kalau kita terus bandel, Tuhan pada suatu ketika akan membiarkan kita dalam kedegilan kita. Firaun pada masa Musa mengalami hal yang sama. Berkali-kali Tuhan menghadirkan tulah lewat Musa dimana ia bisa menyaksikan langsung kuasa Tuhan dan besarnya hukuman atas kekerasan hatinya, tetapi berulang kali pula raja satu ini tetap membandel. Dan pada akhirnya Tuhan menghukumnya dengan mengeraskan hatinya benar-benar. Kelak Paulus mengangkat kembali kisah ini sebagai peringatan penting agar jangan satupun dari kita jatuh pada perilaku yang sama. "Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi. Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya." (Roma 9:17-18).
Apa yang kita mau terima dari Tuhan? Belas kasihan atau membiarkan kita dalam kekerasan hati dan kepala, bahkan menegarkan/mematenkan itu sekalian saja? Kalau yang kita inginkan belas kasihanNya, jangan keras kepala dan keras hati. Patuhlah kepadaNya dengan sepenuh hati.
Kembali kepada bangsa Israel di atas, kita tahu selanjutnya bahwa sejarah mencatat bahwa keputusan Israel itu kemudian membuat mereka terpuruk. Mereka harus menerima konsekuensi buruk atas perbuatannya. Mereka dijajah musuh, luluh lantak dibasmi musuh, dan itu sangat berlawanan dari apa yang sebenarnya telah disediakan Tuhan bagi mereka. Seandainya saja mereka mau mendengar, lihatlah apa yang disediakan Tuhan itu. "Sekiranya umat-Ku mendengarkan Aku! Sekiranya Israel hidup menurut jalan yang Kutunjukkan! Seketika itu juga musuh mereka Aku tundukkan, dan terhadap para lawan mereka Aku balikkan tangan-Ku. Orang-orang yang membenci TUHAN akan tunduk menjilat kepada-Nya, dan itulah nasib mereka untuk selama-lamanya. Tetapi umat-Ku akan Kuberi makan gandum yang terbaik dan dengan madu dari gunung batu Aku akan mengenyangkannya." (ay 14-17).
(bersambung)
Wednesday, January 10, 2018
Jangan Bandel (1)
Ayat bacaan: Mazmur 81:9
====================
"Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!"
Salah satu acara televisi yang saya ikuti adalah Locked up Abroad. Dalam setiap episodenya acara ini mengisahkan tentang orang-orang yang pernah mengalami pahitnya dipenjara di luar negaranya karena satu dan lain hal. Kebanyakan dari mereka tergiur keuntungan dengan melakukan tindak kejahatan seperti narkoba sehingga harus berurusan dengan hukum di negara yang sama sekali asing. Berada dalam penjara bisa sangat berbahaya karena ada begitu banyak kriminal yang tidak segan-segan menyakiti bahkan membunuh.
Salah satu episode mengisahkan seorang pria paruh baya yang pada masa mudanya sempat ditahan di sebuah negara di Amerika Selatan karena menyelundupkan obat terlarang. Ia awalnya ragu, tapi karena diyakinkan bahwa itu aman dan sudah biasa dilakukan oleh sindikat yang merekrutnya, ia pun kemudian memberanikan diri mencoba. Satu-dua kali ia memang berhasil mengelabui petugas dan memperoleh tepat seperti yang dijanjikan oleh sindikat tersebut. Beberapa kali ia berjanji bahwa itu adalah kali terakhir karena ia kuatir tertangkap, namun layaknya jebakan dosa, sekali kita masuk biasanya kita sulit keluar. Ia pun terus melakukan dan terus berjanji berhenti setelahnya.
Suatu kali ia mengatakan bahwa dorongan untuk berhenti sangat kuat dalam hatinya. Ia merasa benar-benar harus menolak tugas selanjutnya dan berhenti. Tapi tentu saja sindikat tersebut tidak mau kehilangan kurir. Mereka membujuk dan menjanjikan upah dobel. Rohnya yang lemah dikuasai kedagingan membuatnya mengabaikan peringatan suara hati. Benar saja, ia kemudian ditangkap di perbatasan dan masuk ke dalam penjara, dimana ia mengalami tekanan dan siksaan dari gang yang berpengaruh disana. Setelah sekian tahun ia akhirnya ia bisa kembali ke negaranya. Sambil menangis ia berkata, "Saya sangat menyesal sudah menghancurkan harapan orang tua dan anak istri saya. Saya menghimbau semuanya, kalau hati nurani anda mengingatkan, dengarkanlah segera supaya anda tidak harus mengalami apa yang terjadi pada saya."
Kebandelan, keras kepala dan keras hati yang mengabaikan seruan peringatan lewat hati nurani bisa mendatangkan celaka. Masih untung ia bisa keluar dan berbagi pengalaman buruknya untuk menjadi peringatan bagi penonton. Bagaimana kalau ia harus kehilangan nyawa atau anggota tubuhnya dengan cara sadis saat berada dalam tempat yang ia katakan hell on earth? Itu pun mungkin terjadi. Padahal ia sejak awal sudah merasa diingatkan, tetapi ia memilih untuk mengabaikan dan mengikuti dagingnya yang tergiur oleh uang dan pengakuan orang lain, dalam hal ini sindikat perdagangan obat terlarang.
Dalam kasus yang mungkin tidak separah itu, pernahkah anda merasa menyesal setelah mengalami sesuatu yang buruk karena bandel dan tidak mau mendengarkan nasihat orang tua, pasangan, teman atau orang lain? Kebandelan atau sikap keras kepala kita kerap membuat kita harus belajar lewat rasa sakit yang timbul dari pengalaman pahit alias learning from the hard way.
Padahal kalau saja kita mau sedikit saja patuh, semua itu harusnya tidak perlu kita alami. Pada waktu kecil adik saya yang memang tergolong nakal dan tidak bisa diam terjatuh di dalam kelas setelah berlari melompati meja-meja kelas saat masih di sekolah dasar. Bibir dan giginya terbentur ujung meja, mengakibatkan gignya patah dan bibirnya sobek lumayan panjang. Sampai hari ini bekas sobek itu masih kasat mata terlihat, padahal kejadiannya sudah sangat lama. Gigi serinya yang patah waktu itu disarung dengan gigi palsu. Sampai saat ini ia tidak bisa mengunyah apa-apa di depan. Orang tua saya sudah begitu sering mengingatkannya agar jangan nakal, tapi ia terus bandel. Dan konsekuensi itulah yang harus ia terima dimana dampaknya masih berbekas sampai puluhan tahun berikutnya.
(bersambung)
====================
"Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!"
Salah satu acara televisi yang saya ikuti adalah Locked up Abroad. Dalam setiap episodenya acara ini mengisahkan tentang orang-orang yang pernah mengalami pahitnya dipenjara di luar negaranya karena satu dan lain hal. Kebanyakan dari mereka tergiur keuntungan dengan melakukan tindak kejahatan seperti narkoba sehingga harus berurusan dengan hukum di negara yang sama sekali asing. Berada dalam penjara bisa sangat berbahaya karena ada begitu banyak kriminal yang tidak segan-segan menyakiti bahkan membunuh.
Salah satu episode mengisahkan seorang pria paruh baya yang pada masa mudanya sempat ditahan di sebuah negara di Amerika Selatan karena menyelundupkan obat terlarang. Ia awalnya ragu, tapi karena diyakinkan bahwa itu aman dan sudah biasa dilakukan oleh sindikat yang merekrutnya, ia pun kemudian memberanikan diri mencoba. Satu-dua kali ia memang berhasil mengelabui petugas dan memperoleh tepat seperti yang dijanjikan oleh sindikat tersebut. Beberapa kali ia berjanji bahwa itu adalah kali terakhir karena ia kuatir tertangkap, namun layaknya jebakan dosa, sekali kita masuk biasanya kita sulit keluar. Ia pun terus melakukan dan terus berjanji berhenti setelahnya.
Suatu kali ia mengatakan bahwa dorongan untuk berhenti sangat kuat dalam hatinya. Ia merasa benar-benar harus menolak tugas selanjutnya dan berhenti. Tapi tentu saja sindikat tersebut tidak mau kehilangan kurir. Mereka membujuk dan menjanjikan upah dobel. Rohnya yang lemah dikuasai kedagingan membuatnya mengabaikan peringatan suara hati. Benar saja, ia kemudian ditangkap di perbatasan dan masuk ke dalam penjara, dimana ia mengalami tekanan dan siksaan dari gang yang berpengaruh disana. Setelah sekian tahun ia akhirnya ia bisa kembali ke negaranya. Sambil menangis ia berkata, "Saya sangat menyesal sudah menghancurkan harapan orang tua dan anak istri saya. Saya menghimbau semuanya, kalau hati nurani anda mengingatkan, dengarkanlah segera supaya anda tidak harus mengalami apa yang terjadi pada saya."
Kebandelan, keras kepala dan keras hati yang mengabaikan seruan peringatan lewat hati nurani bisa mendatangkan celaka. Masih untung ia bisa keluar dan berbagi pengalaman buruknya untuk menjadi peringatan bagi penonton. Bagaimana kalau ia harus kehilangan nyawa atau anggota tubuhnya dengan cara sadis saat berada dalam tempat yang ia katakan hell on earth? Itu pun mungkin terjadi. Padahal ia sejak awal sudah merasa diingatkan, tetapi ia memilih untuk mengabaikan dan mengikuti dagingnya yang tergiur oleh uang dan pengakuan orang lain, dalam hal ini sindikat perdagangan obat terlarang.
Dalam kasus yang mungkin tidak separah itu, pernahkah anda merasa menyesal setelah mengalami sesuatu yang buruk karena bandel dan tidak mau mendengarkan nasihat orang tua, pasangan, teman atau orang lain? Kebandelan atau sikap keras kepala kita kerap membuat kita harus belajar lewat rasa sakit yang timbul dari pengalaman pahit alias learning from the hard way.
Padahal kalau saja kita mau sedikit saja patuh, semua itu harusnya tidak perlu kita alami. Pada waktu kecil adik saya yang memang tergolong nakal dan tidak bisa diam terjatuh di dalam kelas setelah berlari melompati meja-meja kelas saat masih di sekolah dasar. Bibir dan giginya terbentur ujung meja, mengakibatkan gignya patah dan bibirnya sobek lumayan panjang. Sampai hari ini bekas sobek itu masih kasat mata terlihat, padahal kejadiannya sudah sangat lama. Gigi serinya yang patah waktu itu disarung dengan gigi palsu. Sampai saat ini ia tidak bisa mengunyah apa-apa di depan. Orang tua saya sudah begitu sering mengingatkannya agar jangan nakal, tapi ia terus bandel. Dan konsekuensi itulah yang harus ia terima dimana dampaknya masih berbekas sampai puluhan tahun berikutnya.
(bersambung)
Tuesday, January 9, 2018
Keras Kepala (4)
(sambungan)
3. Melalui hukuman dahsyat
Lewat teguran mulai dari lembut hingga keras pun tidak mempan, Tuhan bisa dengan terpaksa memberi hukuman dahsyat. Ini cara yang sudah teramat keras. Contohnya bisa kita lihat dalam Wahyu. Lihatlah ketika sangkakala keenam dibunyikan (Wahyu 9:13-21). Tidak kurang dari sepertiga umat manusia dikatakan binasa lewat kehadiran dua puluh ribu laksa (sekitar dua ratus juta) tentara berkuda yang dari mulutnya keluar api, asap dan belerang. (ay 16-17). "Oleh ketiga malapetaka ini dibunuh sepertiga dari umat manusia, yaitu oleh api, dan asap dan belerang, yang keluar dari mulutnya. Sebab kuasa kuda-kuda itu terdapat di dalam mulutnya dan di dalam ekornya. Sebab ekornya sama seperti ular; mereka berkepala dan dengan kepala mereka itu mereka mendatangkan kerusakan." (ay 18-19).
Tetapi apa yang terjadi? Kapokkah manusia? Ternyata tidak juga. Ayat selanjutnya berkata: "Tetapi manusia lain, yang tidak mati oleh malapetaka itu, tidak juga bertobat dari perbuatan tangan mereka: mereka tidak berhenti menyembah roh-roh jahat dan berhala-berhala dari emas dan perak, dari tembaga, batu dan kayu yang tidak dapat melihat atau mendengar atau berjalan, dan mereka tidak bertobat dari pada pembunuhan, sihir, percabulan dan pencurian." (ay 20-21). Luar biasa bandel dan keras kepalanya bukan? Sudah sedemikian mengerikannya murka Tuhan sekalipun, ternyata manusia tetap saja melawan, mengeraskan hati dan menolak panggilan Tuhan.
Lalu apa lagi yang harus dilakukan Tuhan jika demikian? Terus terang saya tidak tahu. Saya lebih cenderung merasa sedih melihat kebandelan kita, manusia yang begitu dikasihi Tuhan ini untuk terus mengecewakan dan menyakiti hatiNya. Padahal Tuhan begitu mengasihi kita. Tidak sedikit yang Dia anugerahkan kepada kita yang tidak layak menerimanya, bahkan sampai sebuah keselamatan yang bersifat kekal pun sudah dianugerahkan kepada kita. Sayangnya masih banyak orang yang membandel, mengeraskan hati dan kepalanya, lebih memilih berkompromi terhadap dosa, mengejar pemuasan keinginan daging, dan sebagainya. Terus menolak panggilanNya meski berbagai cara, mulai dari yang teramat halus hingga teguran keras bahkan hukuman, mulai dari suara ketukan lewat hati nurani, firman dalam alkitab, teguran lewat orang lain, melalui peristiwa atau berbagai kejadian dalam hidup, banyak yang tetap saja membangkang. Bahkan ketika suaraNya demikian jelas terdengar sekalipun masih saja banyak manusia menolak untuk taat. Lalu harus bagaimana lagi?
Oleh karena itu sebelum hukuman yang jatuh atas kita tidak lagi bisa disesali, saya mengajak teman-teman untuk bersama-sama melembutkan hati. Seperti apa yang dikatakan firman Tuhan: "..Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7). Sungguh Allah sudah terlebih dahulu mengasihi kita dengan begitu besar. Keselamatan kita terus ada dalam pikiran dan hati Tuhan. Dia selalu rindu menerima pertobatan menyeluruh dari kita, dan Dia selalu siap menyambut kembalinya kita, anak-anakNya yang hilang dengan penuh sukacita. Segala yang terbaik telah Dia sediakan bagi kita. Dan kebandelan kita bukan saja menyakiti dan menyedihkan Tuhan, namun juga akan berakibat fatal dengan hilangnya kesempatan kita untuk masuk ke dalam kehidupan kekal.
Janganlah sampai murka Tuhan jatuh atas diri kita. Jangan tegar tengkuk, jangan keras kepala, keras hati atau membandel. Selagi masih sempat, mari lembutkan hati jadilah penurut. Miliki hati yang peka dan pikiran yang selaras dengan kebenaran Tuhan, hari ini juga.
Jangan keras kepala dan keras hati saat berhadapan dengan Firman Tuhan agar kita tidak harus menyesal di belakang hari
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
3. Melalui hukuman dahsyat
Lewat teguran mulai dari lembut hingga keras pun tidak mempan, Tuhan bisa dengan terpaksa memberi hukuman dahsyat. Ini cara yang sudah teramat keras. Contohnya bisa kita lihat dalam Wahyu. Lihatlah ketika sangkakala keenam dibunyikan (Wahyu 9:13-21). Tidak kurang dari sepertiga umat manusia dikatakan binasa lewat kehadiran dua puluh ribu laksa (sekitar dua ratus juta) tentara berkuda yang dari mulutnya keluar api, asap dan belerang. (ay 16-17). "Oleh ketiga malapetaka ini dibunuh sepertiga dari umat manusia, yaitu oleh api, dan asap dan belerang, yang keluar dari mulutnya. Sebab kuasa kuda-kuda itu terdapat di dalam mulutnya dan di dalam ekornya. Sebab ekornya sama seperti ular; mereka berkepala dan dengan kepala mereka itu mereka mendatangkan kerusakan." (ay 18-19).
Tetapi apa yang terjadi? Kapokkah manusia? Ternyata tidak juga. Ayat selanjutnya berkata: "Tetapi manusia lain, yang tidak mati oleh malapetaka itu, tidak juga bertobat dari perbuatan tangan mereka: mereka tidak berhenti menyembah roh-roh jahat dan berhala-berhala dari emas dan perak, dari tembaga, batu dan kayu yang tidak dapat melihat atau mendengar atau berjalan, dan mereka tidak bertobat dari pada pembunuhan, sihir, percabulan dan pencurian." (ay 20-21). Luar biasa bandel dan keras kepalanya bukan? Sudah sedemikian mengerikannya murka Tuhan sekalipun, ternyata manusia tetap saja melawan, mengeraskan hati dan menolak panggilan Tuhan.
Lalu apa lagi yang harus dilakukan Tuhan jika demikian? Terus terang saya tidak tahu. Saya lebih cenderung merasa sedih melihat kebandelan kita, manusia yang begitu dikasihi Tuhan ini untuk terus mengecewakan dan menyakiti hatiNya. Padahal Tuhan begitu mengasihi kita. Tidak sedikit yang Dia anugerahkan kepada kita yang tidak layak menerimanya, bahkan sampai sebuah keselamatan yang bersifat kekal pun sudah dianugerahkan kepada kita. Sayangnya masih banyak orang yang membandel, mengeraskan hati dan kepalanya, lebih memilih berkompromi terhadap dosa, mengejar pemuasan keinginan daging, dan sebagainya. Terus menolak panggilanNya meski berbagai cara, mulai dari yang teramat halus hingga teguran keras bahkan hukuman, mulai dari suara ketukan lewat hati nurani, firman dalam alkitab, teguran lewat orang lain, melalui peristiwa atau berbagai kejadian dalam hidup, banyak yang tetap saja membangkang. Bahkan ketika suaraNya demikian jelas terdengar sekalipun masih saja banyak manusia menolak untuk taat. Lalu harus bagaimana lagi?
Oleh karena itu sebelum hukuman yang jatuh atas kita tidak lagi bisa disesali, saya mengajak teman-teman untuk bersama-sama melembutkan hati. Seperti apa yang dikatakan firman Tuhan: "..Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7). Sungguh Allah sudah terlebih dahulu mengasihi kita dengan begitu besar. Keselamatan kita terus ada dalam pikiran dan hati Tuhan. Dia selalu rindu menerima pertobatan menyeluruh dari kita, dan Dia selalu siap menyambut kembalinya kita, anak-anakNya yang hilang dengan penuh sukacita. Segala yang terbaik telah Dia sediakan bagi kita. Dan kebandelan kita bukan saja menyakiti dan menyedihkan Tuhan, namun juga akan berakibat fatal dengan hilangnya kesempatan kita untuk masuk ke dalam kehidupan kekal.
Janganlah sampai murka Tuhan jatuh atas diri kita. Jangan tegar tengkuk, jangan keras kepala, keras hati atau membandel. Selagi masih sempat, mari lembutkan hati jadilah penurut. Miliki hati yang peka dan pikiran yang selaras dengan kebenaran Tuhan, hari ini juga.
Jangan keras kepala dan keras hati saat berhadapan dengan Firman Tuhan agar kita tidak harus menyesal di belakang hari
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Monday, January 8, 2018
Keras Kepala (3)
(sambungan)
2. Teguran halus dan keras lewat firmanNya melalui nabi atau perantaraan orang lain
Jika cara halus lewat hasil ciptaan tidak mempan, Tuhan pun berkali-kali menegur secara langsung. Mulai dari teguran halus hingga kasar. "TUHAN telah memperingatkan kepada orang Israel dan kepada orang Yehuda dengan perantaraan semua nabi dan semua tukang tilik: "Berbaliklah kamu dari pada jalan-jalanmu yang jahat itu dan tetaplah ikuti segala perintah dan ketetapan-Ku, sesuai dengan segala undang-undang yang telah Kuperintahkan kepada nenek moyangmu dan yang telah Kusampaikan kepada mereka dengan perantaraan hamba-hamba-Ku, para nabi." (2 Raja Raja 17:13).
Ini pesan Tuhan yang hadir lewat firmanNya, disampaikan oleh para hamba-hambaNya, dan di hari ini mungkin bisa hadir lewat pendeta, hamba Tuhan atau orang-orang biasa yang digerakkan Tuhan untuk menegur kita. Tapi ternyata ini pun seringkali masih tidak mempan. Orang terus mengeraskan hati dan kepala mereka. "Tetapi mereka tidak mau mendengarkan, melainkan mereka menegarkan tengkuknya seperti nenek moyangnya yang tidak percaya kepada TUHAN, Allah mereka." (ay 14).
Dalam ayat selanjutnya dikatakan "Mereka menolak ketetapan-Nya dan perjanjian-Nya, yang telah diadakan dengan nenek moyang mereka, juga peraturan-peraturan-Nya yang telah diperingatkan-Nya kepada mereka; mereka mengikuti dewa kesia-siaan, sehingga mereka mengikuti bangsa-bangsa yang di sekeliling mereka, walaupun TUHAN telah memerintahkan kepada mereka: janganlah berbuat seperti mereka itu." (ay 15). Jika diteruskan pada ayat-ayat selanjutnya, maka kita akan melihat bagaimana keras kepala dan keras hatinya mereka itu.
Ada beratus ayat yang menyatakan berkat-berkat Tuhan kepada orang yang mendengarkan dan melakukan perintahNya dengan sungguh-sungguh, demikian pula ada ratusan ayat yang berbicara mengenai konsekuensi mengerikan dari dosa. Ambil satu perikop saja sebagai contoh. Ulangan 28:1-14 menjabarkan berkat-berkat yang disediakan Tuhan kepada orang yang "baik-baik mendengarkan suara Tuhan dan melakukan dengan setia segala perintahNya." Mulai dari berkat sederhana hingga yang berkelimpahan.
Sebaliknya lihatlah ganjaran berupa kutuk yang disebutkan terperinci dalam Ulangan 28:15-46. Lihat pula bagaimana teguran Tuhan kerap hadir dari para hambaNya dalam Alkitab. Tetap saja kebandelan seakan-akan tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, termasuk orang percaya yang seharusnya menjadi contoh teladan bagi mereka yang belum mengenal Tuhan.
(bersambung)
2. Teguran halus dan keras lewat firmanNya melalui nabi atau perantaraan orang lain
Jika cara halus lewat hasil ciptaan tidak mempan, Tuhan pun berkali-kali menegur secara langsung. Mulai dari teguran halus hingga kasar. "TUHAN telah memperingatkan kepada orang Israel dan kepada orang Yehuda dengan perantaraan semua nabi dan semua tukang tilik: "Berbaliklah kamu dari pada jalan-jalanmu yang jahat itu dan tetaplah ikuti segala perintah dan ketetapan-Ku, sesuai dengan segala undang-undang yang telah Kuperintahkan kepada nenek moyangmu dan yang telah Kusampaikan kepada mereka dengan perantaraan hamba-hamba-Ku, para nabi." (2 Raja Raja 17:13).
Ini pesan Tuhan yang hadir lewat firmanNya, disampaikan oleh para hamba-hambaNya, dan di hari ini mungkin bisa hadir lewat pendeta, hamba Tuhan atau orang-orang biasa yang digerakkan Tuhan untuk menegur kita. Tapi ternyata ini pun seringkali masih tidak mempan. Orang terus mengeraskan hati dan kepala mereka. "Tetapi mereka tidak mau mendengarkan, melainkan mereka menegarkan tengkuknya seperti nenek moyangnya yang tidak percaya kepada TUHAN, Allah mereka." (ay 14).
Dalam ayat selanjutnya dikatakan "Mereka menolak ketetapan-Nya dan perjanjian-Nya, yang telah diadakan dengan nenek moyang mereka, juga peraturan-peraturan-Nya yang telah diperingatkan-Nya kepada mereka; mereka mengikuti dewa kesia-siaan, sehingga mereka mengikuti bangsa-bangsa yang di sekeliling mereka, walaupun TUHAN telah memerintahkan kepada mereka: janganlah berbuat seperti mereka itu." (ay 15). Jika diteruskan pada ayat-ayat selanjutnya, maka kita akan melihat bagaimana keras kepala dan keras hatinya mereka itu.
Ada beratus ayat yang menyatakan berkat-berkat Tuhan kepada orang yang mendengarkan dan melakukan perintahNya dengan sungguh-sungguh, demikian pula ada ratusan ayat yang berbicara mengenai konsekuensi mengerikan dari dosa. Ambil satu perikop saja sebagai contoh. Ulangan 28:1-14 menjabarkan berkat-berkat yang disediakan Tuhan kepada orang yang "baik-baik mendengarkan suara Tuhan dan melakukan dengan setia segala perintahNya." Mulai dari berkat sederhana hingga yang berkelimpahan.
Sebaliknya lihatlah ganjaran berupa kutuk yang disebutkan terperinci dalam Ulangan 28:15-46. Lihat pula bagaimana teguran Tuhan kerap hadir dari para hambaNya dalam Alkitab. Tetap saja kebandelan seakan-akan tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, termasuk orang percaya yang seharusnya menjadi contoh teladan bagi mereka yang belum mengenal Tuhan.
(bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Menjadi Anggur Yang Baik (1)
Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...