Ayat bacaan: Markus 3:4
=====================
"Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?" Tetapi mereka itu diam saja."
Di taman belakang rumah saya ada satu bagian yang tanahnya sangat mudah mengeras. Berkali-kali bagian itu saya coba gemburkan, sebentar kemudian tanahnya sudah kembali keras. Karena kerasnya, tidak ada yang bisa tumbuh disana. Ketika di sekitarnya rumput menutupi tanah seperti karpet hijau yang indah, bagian ini tetap terlihat botak dengan tanah yang terlihat penuh retakan. Jangankan rumput, semak dan tanaman liar yang biasanya suka tumbuh dimana-mana saja tidak ada disana. Saking kerasnya, tidak ada tanaman yang akarnya bisa menembus ke dalam, jadilah bagian itu tetap botak dan gersang.
Seperti tanah itu, hati kita pun bisa mengeras sehingga tidak ada Firman yang bisa tertanam disana. Kalau tertanam saja tidak, bagaimana bisa berharap mengalami pertumbuhan dan menghasilkan buah? Disadari atau tidak, betapa seringnya kekerasan hati ini menghambat kita untuk maju. Kalau bicara soal pertumbuhan iman dirasa terlalu berat, dalam kehidupan pun kita sering terhambat hanya gara-gara hati yang terlalu keras. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contohnya. Saat kita merasa gengsi untuk meminta maaf dan berbaikan dengan sahabat atau anggota keluarga sendiri, itu salah satu bentuk keras hati. Kita ingin mereka yang memulai lebih dahulu, meski dalam hati sebenarnya kita sudah digerakkan untuk itu. Bukankah itu sering terjadi pada kita? Jika untuk masalah sepele saja sudah sulit, apalagi ketika kita jelas-jelas salah dan harus meminta maaf. Wah, itu beratnya bukan main, lebih berat daripada mendaki jalan terjal dengan membawa beban berat di pundak.
Rasa gengsi membuat kita lebih suka mengeraskan hati membiarkan perselisihan berlarut-larut ketimbang segera menyelesaikannya. Lalu kita merasa paling benar, anti kritik tapi suka mengkritik. Sudah jelas-jelas melihat karya Tuhan tapi masih menolak untuk percaya. bersikap tidak peduli atau langsung menunjukkan penolakan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan, saat mendengar Firman bukannya belajar dan menanamnya dalam hati agar tumbuh pada kehidupan tapi malah mencari-cari kesalahan, mengomentari hal-hal yang tidak penting seperti komentator amatiran.Semua ini menunjukkan gejala-gejala maupun tanda-tanda keras hati yang kalau terus dibiarkan hanya akan merugikan kita sendiri.
Tuhan kerap berbicara lewat hati nurani kita dan mengingatkan kita akan banyak hal, tetapi kekerasan hati seringkali menjadi penghambat bagi kita untuk melakukan segera tepat seperti apa yang dikehendaki Tuhan. Kekerasan hati membuat kita tidak lagi peka, tidak lagi mau atau bisa mendengar suara Tuhan lewat hati nurani. Keakuan kemudian semakin menjadi-jadi, berlaku bagai orang paling benar, paling tahu segalanya dan tidak pernah salah. Sikap buruk seperti ini sudah dilakukan oleh orang-orang Farisi pada masa Yesus turun ke bumi dahulu kala. Begitu kerasnya hati mereka, mereka bahkan berani menyanggah Tuhan karena merasa lebih benar.
Mari kita lihat ceritanya dari Markus pasal 3 mengenai "Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat". Pada suatu hari Sabat Yesus menjumpai seseorang yang lumpuh sebelah tangannya. Di sana ada sekumpulan orang Farisi yang sejak awal tampaknya sudah bertujuan tidak baik yaitu ingin mencari-cari kesalahan Yesus. Ketika Yesus ada disana, mereka pun senang karena merasa bahwa itulah saat yang tepat untuk mengecam Yesus. Mereka tahu Yesus pasti akan melakukan sesuatu terhadap orang yang lumpuh tangannya, dan itu akan terjadi pada hari Sabat dimana menurut hukum Taurat seharusnya tidak ada yang boleh melakukan pekerjaan pada hari itu. Sikap yang dipertontonkan orang-orang Farisi ini sungguh ironis. Ketika mereka seharusnya peka terhadap permasalahan umatnya, ketika mereka seharusnya menjadi teladan, yang mereka lakukan malah mencari-cari kesalahan dan menghakimi. Mereka terjatuh kepada dosa kesombongan, merasa diri paling benar, paling kudus, paling sempurna, dikuasai kebencian, sehingga hati mereka pun mengeras seperti batu.
Setidaknya kita bisa melihat hal-hal berikut dari perilaku orang Farisi disana:
- mengecam Tuhan
- mendahulukan/lebih peduli pada tradisi keagamaan lebih dari mematuhi kehendak Tuhan
- mementingkan keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri ketimbang orang lain di sekitar mereka
- memelihara kebencian
- kesombongan merasa diri paling benar, karenanya:
- suka cari masalah/cari perkara,
- merasa berhak menghakimi, dan:
- sangat bernafsu untuk mencari kesalahan orang lain
(bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Menjadi Anggur Yang Baik (1)
Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...
No comments:
Post a Comment