(sambungan)
1. Rahab tahu rencana Tuhan, dan dia tahu tidak akan ada yang bisa menghalanginya
Rahab bilang: "Aku tahu bahwa Tuhan telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu." (ay 9).
Lihatlah Rahab memulai perkataannya dengan "Aku tahu". Ia tidak berkata, "Dengar-dengar sih...", "kata orang..", "sepertinya", "siapa tahu" dan sejenisnya, tapi ia tegas menggunakan kata "Aku tahu". Itu jelas menunjukkan kepercayaannya kepada Tuhan orang Israel pada masa itu. Rahab tahu:
- Apa yang jadi rencana Tuhan, dan:
- apabila memang Tuhan berkehendak untuk memberikan Yerikho kepada bangsa Israel, tidak ada satu orang pun yang bisa menghalangi hal itu untuk terjadi.
Karena itu Rahab memutuskan untuk mengikuti rencana Tuhan.
2. Rahab percaya pada kuasa Tuhan
Ayat berikutnya berbunyi: "Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas. Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu..." (ay 10-11a)
Berita tentang kebesaran kuasa Tuhan sudah sampai ke Yerikho. Tuhan melepaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir, menyertai perjalanan mereka di padang gurun, melepaskan mereka dari pengejaran Firaun beserta bala tentara dan kekuatan persenjataan lengkap dengan membelah laut sehingga bangsa Israel bisa berjalan melewatinya lalu menutup laut itu kembali menenggelamkan Firaun dan prajuritnya. Bangsa Sihon dan Og juga berhasil ditumpas dengan Allah di pihak mereka. Hal itu membuat Rahab tahu Tuhannya orang Israel Maha Kuasa dan tidak ada gunanya untuk dilawan.
3. Rahab percaya pada kebesaran dan kedaulatan Tuhan
"...sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah." (ay 11b)
Bagi saya bagian ini sangat menarik. Kalau dalam dua poin sebelumnya Rahab menyatakan keyakinannya dengan berdasarkan pada apa yang ia tahu dari berita yang sampai kepada diri dan bangsanya, ayat 11 ini mengungkapkan kesimpulan hatinya secara pribadi. Apa yang ia rasakan, apa yang ia percaya, apa yang ia yakini. Bukankah luar biasa bahwa kalimat ini dikatakan oleh seorang wanita yang berprofesi sebagai pelacur dan merupakan warga dari bangsa yang menyembah berhala? Rahab sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan bangsa Israel adalah Allah atas langit dan bumi. Itu ia percaya tanpa keraguan sedikitpun. Jadi kalau bangsa Israel dilepaskan dari bangsa Mesir oleh Tuhan, dituntun dalam perjalanannya, bisa menumpas bangsa-bangsa yang menghalangi mereka dan kemudian ada dalam rencana Tuhan untuk memperoleh kota dimana ia tinggal, itu tidak lain karena Tuhan berkuasa dan berdaulat atas segala-galanya baik di Surga dan bumi. Rahab percaya akan hal itu.
4. Rahab percaya bahwa Tuhan penuh belas kasihan
"Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut." (ay 12-13)
Kebesaran iman Rahab ternyata tidak berhenti pada kebesaran, kekuasaan dan kedaulatan Tuhan saja tapi ia juga menyadari bahwa Tuhan itu penuh belas kasih. Jika tidak, ia tentu tidak akan memohonkan keselamatan turun atas dirinya beserta keluarga, bahkan lebih luas lagi ia pun minta keselamatan juga turun kepada semua orang-orangnya mereka.
(bersambung)
Monday, April 30, 2018
Sunday, April 29, 2018
Iman Rahab (1)
Ayat bacaan: Yosua 2:9-13
==================
"Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas. Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah. Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut."
Penggemar superhero yang hidup pada generasi sekarang sangat beruntung. Kemampuan efek di film sudah mampu menampilkan fantasi secara visual yang begitu canggih seolah benar-benar nyata, sehingga para pembuat film bisa leluasa menggali tokoh-tokoh superhero untuk diangkat ke layar lebar. Belakangan bukan cuma satu tokoh superhero saja per satu film, tapi ada organisasinya dimana masing-masing superhero bergabung menjadi satu untuk mengalahkan musuh. Kalau Marvel punya The Avengers, DC Comics punya Justice League. Kalau dua perusahaan komik besar ini punya tokoh-tokoh supernya, Alkitab pun punya daftar pahlawan iman yang bersinar pada jamannya masing-masing dimana sinarnya masih terang benderang pula buat kita hari ini. Lihatlah daftar para saksi iman dalam Ibrani 11:1-40 yang berisi nama-nama tokoh luar biasa yang sudah membuktikan kehebatan atau kebesaran iman mereka sehingga pantas dijadikan teladan sepanjang masa.
Dari nama-nama tersebut ada dua orang wanita, Sara dan Rahab. Menariknya, Rahab bukanlah wanita terhormat seperti Sara melainkan seorang pelacur. Bagaimana seorang yang bergelimang dosa seperti Rahab bisa masuk dalam daftar saksi atau pahlawan iman ini? Seperti apa imannya sampai ia bisa berada dalam satu daftar dengan tokoh-tokoh seperti Habel, Henokh, Nuh, Abraham dan istrinya Sara, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel? Itu dari surat Ibrani. Kalau dalam surat Yakobus, Rahab adalah satu dari hanya dua nama yang disebutkan sebagai pahlawan iman. Satunya lagi adalah Abraham. Tentang iman Rahab bisa dibaca dalam Yakobus 2:25.
Bagi saya, keberadaan Rahab dalam daftar ini sangat memperkuat kesan bahwa para saksi/pahlawan iman ini bukanlah manusia super tapi manusia biasa sama seperti kita. Bedanya, mereka punya iman yang kuat yang sudah teruji di saat mereka menghadapi situasi sulit dalam masa hidupnya. Diluar iman, mereka manusia yang sama dengan kita, yang punya kelemahan dan terbatas. Bahkan beberapa di antara mereka pernah mengalami kejatuhan. Dari Rahab kita tahu bagaimana Tuhan memperhitungkan iman manusia tanpa memandang muka atau status. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk menerima kasih karunia dan belas kasihanNya tanpa terkecuali.
Kisah Rahab muncul dalam perikop mengenai Pengintai-pengintai di Yerikho dalam Yosua 2:1-24. Rahab disebutkan berprofesti sebagai pelacur yang tinggal di balik tembok tebal menjulang kota Yerikho. Pada suatu hari Yosua melepas dua orang pengintai untuk mengamati kota Yerikho. Mereka ini kemudian bertemu dengan Rahab. Meski kedua mata-mata ini masuk diam-diam, ternyata kedatangan mereka diketahui oleh Raja Yerikho. Sang raja pun segera mengirimkan utusannya untuk menggeledah rumah Rahab, yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para pengintai itu. Rahab lalu memutuskan untuk menyembunyikan kedua pengintai itu di atas sotoh (bagian atas atau atap rumah yang dibangun dari tembok batu) rumahnya sehingga mereka pun selamat dari penangkapan.
Tindakan Rahab jelas sebuah tindakan yang beresiko. Menyembunyikan mata-mata, jika ketahuan tentu ia harus bayar dengan nyawa. Tetapi ia berani melakukannya. Kenapa Rahab berani melakukan itu? Ini kata Rahab setelah orang suruhan raja Yerikho pergi meninggalkan rumahnya dengan tangan hampa.
"Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas. Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah. Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut." (Yosua 2:9-13)
Dari apa yang dikatakan Rahab diatas setidaknya ada empat alasan yang bisa temukan. Mari kita lihat satu persatu.
(bersambung)
==================
"Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas. Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah. Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut."
Penggemar superhero yang hidup pada generasi sekarang sangat beruntung. Kemampuan efek di film sudah mampu menampilkan fantasi secara visual yang begitu canggih seolah benar-benar nyata, sehingga para pembuat film bisa leluasa menggali tokoh-tokoh superhero untuk diangkat ke layar lebar. Belakangan bukan cuma satu tokoh superhero saja per satu film, tapi ada organisasinya dimana masing-masing superhero bergabung menjadi satu untuk mengalahkan musuh. Kalau Marvel punya The Avengers, DC Comics punya Justice League. Kalau dua perusahaan komik besar ini punya tokoh-tokoh supernya, Alkitab pun punya daftar pahlawan iman yang bersinar pada jamannya masing-masing dimana sinarnya masih terang benderang pula buat kita hari ini. Lihatlah daftar para saksi iman dalam Ibrani 11:1-40 yang berisi nama-nama tokoh luar biasa yang sudah membuktikan kehebatan atau kebesaran iman mereka sehingga pantas dijadikan teladan sepanjang masa.
Dari nama-nama tersebut ada dua orang wanita, Sara dan Rahab. Menariknya, Rahab bukanlah wanita terhormat seperti Sara melainkan seorang pelacur. Bagaimana seorang yang bergelimang dosa seperti Rahab bisa masuk dalam daftar saksi atau pahlawan iman ini? Seperti apa imannya sampai ia bisa berada dalam satu daftar dengan tokoh-tokoh seperti Habel, Henokh, Nuh, Abraham dan istrinya Sara, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel? Itu dari surat Ibrani. Kalau dalam surat Yakobus, Rahab adalah satu dari hanya dua nama yang disebutkan sebagai pahlawan iman. Satunya lagi adalah Abraham. Tentang iman Rahab bisa dibaca dalam Yakobus 2:25.
Bagi saya, keberadaan Rahab dalam daftar ini sangat memperkuat kesan bahwa para saksi/pahlawan iman ini bukanlah manusia super tapi manusia biasa sama seperti kita. Bedanya, mereka punya iman yang kuat yang sudah teruji di saat mereka menghadapi situasi sulit dalam masa hidupnya. Diluar iman, mereka manusia yang sama dengan kita, yang punya kelemahan dan terbatas. Bahkan beberapa di antara mereka pernah mengalami kejatuhan. Dari Rahab kita tahu bagaimana Tuhan memperhitungkan iman manusia tanpa memandang muka atau status. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk menerima kasih karunia dan belas kasihanNya tanpa terkecuali.
Kisah Rahab muncul dalam perikop mengenai Pengintai-pengintai di Yerikho dalam Yosua 2:1-24. Rahab disebutkan berprofesti sebagai pelacur yang tinggal di balik tembok tebal menjulang kota Yerikho. Pada suatu hari Yosua melepas dua orang pengintai untuk mengamati kota Yerikho. Mereka ini kemudian bertemu dengan Rahab. Meski kedua mata-mata ini masuk diam-diam, ternyata kedatangan mereka diketahui oleh Raja Yerikho. Sang raja pun segera mengirimkan utusannya untuk menggeledah rumah Rahab, yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para pengintai itu. Rahab lalu memutuskan untuk menyembunyikan kedua pengintai itu di atas sotoh (bagian atas atau atap rumah yang dibangun dari tembok batu) rumahnya sehingga mereka pun selamat dari penangkapan.
Tindakan Rahab jelas sebuah tindakan yang beresiko. Menyembunyikan mata-mata, jika ketahuan tentu ia harus bayar dengan nyawa. Tetapi ia berani melakukannya. Kenapa Rahab berani melakukan itu? Ini kata Rahab setelah orang suruhan raja Yerikho pergi meninggalkan rumahnya dengan tangan hampa.
"Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas. Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah. Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut." (Yosua 2:9-13)
Dari apa yang dikatakan Rahab diatas setidaknya ada empat alasan yang bisa temukan. Mari kita lihat satu persatu.
(bersambung)
Saturday, April 28, 2018
Berulang-Ulang, Dengan Keteladanan (3)
(sambungan)
Bicara soal perulangan, metode ini bukan cuma efektif buat anak-anak tapi juga buat kita yang sudah dewasa. Sebuah proses belajar atau latihan yang dilakukan secara kontinu akan mampu membuat diri kita terbiasa dalam melakukan hal-hal yang baik terutama dalam hal beribadah. Firman Tuhan mengatakan bahwa keseriusan dalam beribadah merupakan sebuah proses yang harus dilakukan secara teratur dan kontinu, bukan sesuatu yang instan. "Latihlah dirimu beribadah." (1 Timotius 4:7).
Practice makes perfect, itu kata pepatah, dan latihan tidak pernah cukup dilakukan hanya satu kali melainkan memerlukan proses berkesinambungan. Kalau ada orang yang olah raga, lari pagi misalnya hanya satu kali setelah itu tidak pernah lagi selama bertahun-tahun, itu tentu tidak akan ada gunanya. Jika melatih diri untuk menyadari pentingnya berolah raga bagi kesehatan atau kebugaran tubuh kita, melatih diri untuk rajin beribadah akan membawa faedah yang jauh lebih penting lagi, karena "Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang." (ay 8).
Lewat penelitian mendalam perulangan dalam pengajaran dan keteladanan dipercaya mampu memberikan dampak positif yang mampu bertahan hingga waktu yang panjang. Dan Alkitab pun sudah menyatakannya ribuan tahun lalu. Kita harus menanamkan pengenalan akan Tuhan dan Firman-FirmanNya sedini mungkin kepada anak-anak kita lewat metode pengajaran yang berulang-ulang. Anda bisa memakai metode-metode yang menyenangkan bagi anak seperti lewat dongeng sebelum tidur, lewat hal-hal yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, lewat perumpamaan dan sebagainya.
Jangan lupa pula bahwa ketika kita mengajarkan mereka, kita pun harus pula memperhatikan kesesuaian antara sikap dan perbuatan kita dengan apa yang kita ajarkan. Dengan kata lain, kita harus menjadi teladan bagi mereka. Jika tidak, jangan harap mereka bisa menyerap semua pengajaran tentang prinsip Kerajaan Surga dengan maksimal. Mengajarkan lewat keteladanan akan membawa manfaat besar bagi anak-anak kita hingga akhir hayat mereka, dan itu pun akan membawa kebahagiaan bagi kita.
Siapa yang tidak bahagia jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang sukses yang membawa pengaruh positif bagi sesamanya? Jangan abaikan untuk menanamkan pengenalan akan Tuhan bagi anak-anak kita sedini mungkin, secara kontinu sehingga kelak kita dan anak-anak kita akan berbahagia memetik buahnya.
Kalau menstimulasi reaksi motorik dan menumbuhkan kecerdasan saja sudah mampu memberikan kebaikan yang bermanfaat bagi perkembangan kepintaran dan kemampuan anak-anak, apalagi pengenalan akan Firman Tuhan yang bukan saja berguna dalam hidup di dunia ini tetapi juga akan sangat bermanfaat bagi hidup yang akan datang. Ajarkanlah kebenaran Firman Tuhan secara berulang-ulang dan disertai keteladanan dari kita sendiri
"Don't worry that children never listen to you. Worry that they are always watching you" - Robert Fulghum (American author)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Bicara soal perulangan, metode ini bukan cuma efektif buat anak-anak tapi juga buat kita yang sudah dewasa. Sebuah proses belajar atau latihan yang dilakukan secara kontinu akan mampu membuat diri kita terbiasa dalam melakukan hal-hal yang baik terutama dalam hal beribadah. Firman Tuhan mengatakan bahwa keseriusan dalam beribadah merupakan sebuah proses yang harus dilakukan secara teratur dan kontinu, bukan sesuatu yang instan. "Latihlah dirimu beribadah." (1 Timotius 4:7).
Practice makes perfect, itu kata pepatah, dan latihan tidak pernah cukup dilakukan hanya satu kali melainkan memerlukan proses berkesinambungan. Kalau ada orang yang olah raga, lari pagi misalnya hanya satu kali setelah itu tidak pernah lagi selama bertahun-tahun, itu tentu tidak akan ada gunanya. Jika melatih diri untuk menyadari pentingnya berolah raga bagi kesehatan atau kebugaran tubuh kita, melatih diri untuk rajin beribadah akan membawa faedah yang jauh lebih penting lagi, karena "Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang." (ay 8).
Lewat penelitian mendalam perulangan dalam pengajaran dan keteladanan dipercaya mampu memberikan dampak positif yang mampu bertahan hingga waktu yang panjang. Dan Alkitab pun sudah menyatakannya ribuan tahun lalu. Kita harus menanamkan pengenalan akan Tuhan dan Firman-FirmanNya sedini mungkin kepada anak-anak kita lewat metode pengajaran yang berulang-ulang. Anda bisa memakai metode-metode yang menyenangkan bagi anak seperti lewat dongeng sebelum tidur, lewat hal-hal yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, lewat perumpamaan dan sebagainya.
Jangan lupa pula bahwa ketika kita mengajarkan mereka, kita pun harus pula memperhatikan kesesuaian antara sikap dan perbuatan kita dengan apa yang kita ajarkan. Dengan kata lain, kita harus menjadi teladan bagi mereka. Jika tidak, jangan harap mereka bisa menyerap semua pengajaran tentang prinsip Kerajaan Surga dengan maksimal. Mengajarkan lewat keteladanan akan membawa manfaat besar bagi anak-anak kita hingga akhir hayat mereka, dan itu pun akan membawa kebahagiaan bagi kita.
Siapa yang tidak bahagia jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang sukses yang membawa pengaruh positif bagi sesamanya? Jangan abaikan untuk menanamkan pengenalan akan Tuhan bagi anak-anak kita sedini mungkin, secara kontinu sehingga kelak kita dan anak-anak kita akan berbahagia memetik buahnya.
Kalau menstimulasi reaksi motorik dan menumbuhkan kecerdasan saja sudah mampu memberikan kebaikan yang bermanfaat bagi perkembangan kepintaran dan kemampuan anak-anak, apalagi pengenalan akan Firman Tuhan yang bukan saja berguna dalam hidup di dunia ini tetapi juga akan sangat bermanfaat bagi hidup yang akan datang. Ajarkanlah kebenaran Firman Tuhan secara berulang-ulang dan disertai keteladanan dari kita sendiri
"Don't worry that children never listen to you. Worry that they are always watching you" - Robert Fulghum (American author)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, April 27, 2018
Berulang-Ulang, Dengan Keteladanan (2)
(sambungan)
Lihatlah pesan Tuhan yang diberikan kepada bangsa Israel lewat Musa. Salah satu pesannya mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan segala perintah yang diberikan Tuhan kepada mereka. "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan" (Ulangan 6:6). Dan bukan itu saja, selanjutnya dikatakan: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (ay 7).
Lihatlah apa kata ayat 7 di atas. Ayat ini dengan jelas menyatakan betapa pentingnya bagi kita untuk mengajarkan anak-anak kita mengenai ketetapan-ketetapan Tuhan bukan hanya satu kali atau sekali-kali tetapi secara berulang-ulang, bukan cuma pada waktu-waktu tertentu saja tetapi kapan saja, dimana saja. Ada banyak metode pengajaran yang menyenangkan yang bisa dilakukan misalnya lewat dongeng sebelum tidur, sambil bermain, ketika sedang dalam perjalanan, saat santai dan sebagainya. Pola pengajaran berulang akan mampu menanamkan benih Firman Tuhan di dalam hati mereka sehingga mereka bisa terbentuk sebagai pribadi yang takut akan Tuhan sejak kecil. Itu akan sangat bermanfaat bagi masa depan mereka. Pada suatu saat nanti, anda akan tersenyum bahagia dan bangga melihat mereka tumbuh menjadi orang-orang sukses dengan integritas tinggi yang mampu menjadi teladan bagi banyak orang.
Mengajarkan berulang-ulang itu penting. Tapi jangan lupa bahwa mengajarkan secara lisan saja tidak cukup dalam membangun keimanan mereka. Lebih dari sekedar lewat lisan, kita pun harus menunjukkan keteladanan dengan kesesuaian antara apa yang kita katakan dengan apa yang kita perbuat. Anak-anak tidak akan mau menanggapi serius nasihat orang tuanya apabila orang tuanya malah melanggar sendiri segala sesuatu yang mereka ajarkan. Dalam beberapa renungan terdahulu saya sudah menyampaikan betapa pentingnya bagi orang benar untuk bisa menjadi teladan, tidak peduli siapa, berapapun umurnya dan dimanapun ia berada. Kalau menjadi teladan itu penting buat sesama manusia terlebih yang belum mengenal Dia, apalagi bagi anak-anak kita sendiri. Masa depan mereka sangatlah tergantung dari keseriusan kita mendidik mereka bukan saja dalam ilmu pengetahuan melainkan juga dalam kebenaran Firman Tuhan. Keteladanan dengan menjadi pelaku langsung Firman wajib dijalankan oleh para orang tua.
Ayat selanjutnya mengatakan hal itu dengan jelas: "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Tidak bisa tidak, apabila kita mengharapkan anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbuah lebat dalam segala hal ketika mereka dewasa, kita harus rajin mengajarkan dan memberi teladan secara berulang-ulang sedini mungkin.
Sadarilah bahwa anak-anak kita merupakan anugerah yang sangat indah dari Tuhan. Dalam Mazmur kita bisa membaca perenungan Penulisnya akan hal ini. "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3). Selayaknya kita menerima titipan Tuhan sebagai anugerahNya, adalah penting bagi kita untuk bersyukur dan menghargai betul pemberian itu. Dan Alkitab mengatakan hal tersebut dengan kiasan yang bagi saya terdengar sangat indah. "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda." (ay 4). Bukan hanya anak-anak kita yang akan merasakan manfaatnya kelak setelah mereka bertumbuh dewasa, tetapi bagi kita sebagai orang tuanya pun akan memetik hasilnya nanti. "Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (ay 5).
(bersambung)
Lihatlah pesan Tuhan yang diberikan kepada bangsa Israel lewat Musa. Salah satu pesannya mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan segala perintah yang diberikan Tuhan kepada mereka. "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan" (Ulangan 6:6). Dan bukan itu saja, selanjutnya dikatakan: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (ay 7).
Lihatlah apa kata ayat 7 di atas. Ayat ini dengan jelas menyatakan betapa pentingnya bagi kita untuk mengajarkan anak-anak kita mengenai ketetapan-ketetapan Tuhan bukan hanya satu kali atau sekali-kali tetapi secara berulang-ulang, bukan cuma pada waktu-waktu tertentu saja tetapi kapan saja, dimana saja. Ada banyak metode pengajaran yang menyenangkan yang bisa dilakukan misalnya lewat dongeng sebelum tidur, sambil bermain, ketika sedang dalam perjalanan, saat santai dan sebagainya. Pola pengajaran berulang akan mampu menanamkan benih Firman Tuhan di dalam hati mereka sehingga mereka bisa terbentuk sebagai pribadi yang takut akan Tuhan sejak kecil. Itu akan sangat bermanfaat bagi masa depan mereka. Pada suatu saat nanti, anda akan tersenyum bahagia dan bangga melihat mereka tumbuh menjadi orang-orang sukses dengan integritas tinggi yang mampu menjadi teladan bagi banyak orang.
Mengajarkan berulang-ulang itu penting. Tapi jangan lupa bahwa mengajarkan secara lisan saja tidak cukup dalam membangun keimanan mereka. Lebih dari sekedar lewat lisan, kita pun harus menunjukkan keteladanan dengan kesesuaian antara apa yang kita katakan dengan apa yang kita perbuat. Anak-anak tidak akan mau menanggapi serius nasihat orang tuanya apabila orang tuanya malah melanggar sendiri segala sesuatu yang mereka ajarkan. Dalam beberapa renungan terdahulu saya sudah menyampaikan betapa pentingnya bagi orang benar untuk bisa menjadi teladan, tidak peduli siapa, berapapun umurnya dan dimanapun ia berada. Kalau menjadi teladan itu penting buat sesama manusia terlebih yang belum mengenal Dia, apalagi bagi anak-anak kita sendiri. Masa depan mereka sangatlah tergantung dari keseriusan kita mendidik mereka bukan saja dalam ilmu pengetahuan melainkan juga dalam kebenaran Firman Tuhan. Keteladanan dengan menjadi pelaku langsung Firman wajib dijalankan oleh para orang tua.
Ayat selanjutnya mengatakan hal itu dengan jelas: "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Tidak bisa tidak, apabila kita mengharapkan anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbuah lebat dalam segala hal ketika mereka dewasa, kita harus rajin mengajarkan dan memberi teladan secara berulang-ulang sedini mungkin.
Sadarilah bahwa anak-anak kita merupakan anugerah yang sangat indah dari Tuhan. Dalam Mazmur kita bisa membaca perenungan Penulisnya akan hal ini. "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3). Selayaknya kita menerima titipan Tuhan sebagai anugerahNya, adalah penting bagi kita untuk bersyukur dan menghargai betul pemberian itu. Dan Alkitab mengatakan hal tersebut dengan kiasan yang bagi saya terdengar sangat indah. "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda." (ay 4). Bukan hanya anak-anak kita yang akan merasakan manfaatnya kelak setelah mereka bertumbuh dewasa, tetapi bagi kita sebagai orang tuanya pun akan memetik hasilnya nanti. "Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (ay 5).
(bersambung)
Thursday, April 26, 2018
Berulang-Ulang, Dengan Keteladanan (1)
Ayat bacaan: Ulangan 6:7
==================
"haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
Jika ingin mengajar anak yang usianya masih kecil atau pra sekolah, kita harus siap meluangkan cukup waktu. Anak-anak tidak akan bisa mendapatkan sesuatu apabila hanya sesekali saja diajarkan, melainkan harus berulang-ulang sampai mereka mengerti dan bisa melakukan. Pelajaran-pelajaran yang mengenalkan dan mengembangkan kemampuan fundamental dan kemampuan motorik seperti menunjuk sesuatu, menulis, menggambar, menyalakan televisi, memakai baju, kaus kaki, membawa gelas tanpa menumpahkan air dan sebagainya membutuhkan latihan dan perulangan. Pola repetitif akan sangat berguna untuk menumbuh-kembangkan kemampuan dasar anak, termasuk saat anda mengajarkan mereka kosakata, warna dan mana yang boleh dan tidak, mana yang salah mana yang benar.
Penelitian mengatakan bahwa janin atau bayi dalam kandungan sudah dapat bereaksi terhadap bunyi yang didengar dengan bergerak. Lalu stimulasi kognitif seperti berbicara atau bercerita pada janin dipercaya membawa pengaruh positif pada kepintaran mereka nanti setelah lahir. Kalau itu sudah biasa, saya pernah membaca mengenai ibu-ibu hamil di Jepang yang bukan cuma berbicara pada janin tapi juga mulai mengajarkan penjumlahan sederhana. Itu tentu sesuatu yang tidak biasa, dan saya tidak tahu apakah memang ada gunanya atau tidak. Tapi menurut penelitian disana, anak-anak yang sudah diajarkan penjumlahan oleh ibunya sejak masih dalam kandungan dan rajin diajak berbicara ternyata jauh lebih cepat berhitung dan menangkap berbagai pelajaran pada usia 3 tahun dibanding anak-anak yang tidak.
Hasil penelitian di Jepang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap pengajaran berulang-ulang sejak bayi masih berada di dalam perut ibunya. Jika dilakukan sekali saja tentu tidak akan membawa hasil apa-apa. Agar metode ini bisa berhasil, si ibu harus terus menerus mengajarkan kepada bayinya. Dengan kata lain, agar bisa membuahkan hasil yang signifikan, metode pengulangan atau repetitif merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan. Karena itulah orang tua wajib membagi waktu yang cukup buat anak-anaknya di usia dini jika mau mereka tumbuh menjadi anak berotak cerdas.
Bukan cuma anak-anak, tapi orang yang sudah dewasa pun akan lebih mudah mengingat sesuatu yang didengar berulang-ulang atau sesuatu yang sering dilakukan. Coba ingat-ingat, adakah sesuatu yang diajarkan oleh orang tua anda secara berulang-ulang ketika anda kecil dan masih berbekas dalam ingatan anda hari ini? Saya yakin ada. Saya masih mengingat begitu banyak hal yang diajarkan oleh orang tua secara berulang-ulang sampai hari ini. Kepribadian atau watak kita pun akan terbentuk menurut seperti apa pengajaran yang kita terima sejak kecil secara berulang-ulang. Pola-pola perulangan baik yang positif maupun negatif mampu mengubah pola pikir seseorang. Kalau yang diulang-ulang positif, tumbuhnya positif. Sebaliknya jika yang diulang-ulang pengajaran yang negatif, anak pun akan tumbuh berbeda pada pola pikir, reaksi dan tindakannya.
Sejauh mana kita menganggap penting untuk mengajarkan anak-anak kita sejak bayi? Banyak orang tua sekarang yang tidak punya waktu untuk itu. Mereka memilih melakukan hal lain ketimbang memberi cukup waktu untuk mendidik anaknya. Sejak masih bayi anak sudah diserahkan kepada orang lain dan berharap mereka akan mengajar anak dengan baik. Padahal di usia-usia dini anak sangat membutuhkan hubungan dan pengajaran dari orang tuanya. Itu akan sangat menentukan pertumbuhan dan kecerdasan mereka.
Kalau pendidikan dasar seperti mengenal beberapa kata, benda dan sebagainya penting, bagaimana dengan mengenalkan mereka kepada Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaranNya sejak kecil? Apakah kita mau sedikit repot untuk menjelaskan kenapa mereka harus berdoa sedikitnya sebelum makan dan sebelum tidur juga saat bangun, dan mengajarkan mereka bagaimana caranya berdoa? Bukankah kalau metode pengajaran yang berulang-ulang sejak usia dini akan membawa manfaat yang baik sebagai bekal bagi masa depan mereka kelak, apalagi mengenai prinsip-prinsip kebenaran dan pengenalan yang baik akan Kristus?
(bersambung)
==================
"haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
Jika ingin mengajar anak yang usianya masih kecil atau pra sekolah, kita harus siap meluangkan cukup waktu. Anak-anak tidak akan bisa mendapatkan sesuatu apabila hanya sesekali saja diajarkan, melainkan harus berulang-ulang sampai mereka mengerti dan bisa melakukan. Pelajaran-pelajaran yang mengenalkan dan mengembangkan kemampuan fundamental dan kemampuan motorik seperti menunjuk sesuatu, menulis, menggambar, menyalakan televisi, memakai baju, kaus kaki, membawa gelas tanpa menumpahkan air dan sebagainya membutuhkan latihan dan perulangan. Pola repetitif akan sangat berguna untuk menumbuh-kembangkan kemampuan dasar anak, termasuk saat anda mengajarkan mereka kosakata, warna dan mana yang boleh dan tidak, mana yang salah mana yang benar.
Penelitian mengatakan bahwa janin atau bayi dalam kandungan sudah dapat bereaksi terhadap bunyi yang didengar dengan bergerak. Lalu stimulasi kognitif seperti berbicara atau bercerita pada janin dipercaya membawa pengaruh positif pada kepintaran mereka nanti setelah lahir. Kalau itu sudah biasa, saya pernah membaca mengenai ibu-ibu hamil di Jepang yang bukan cuma berbicara pada janin tapi juga mulai mengajarkan penjumlahan sederhana. Itu tentu sesuatu yang tidak biasa, dan saya tidak tahu apakah memang ada gunanya atau tidak. Tapi menurut penelitian disana, anak-anak yang sudah diajarkan penjumlahan oleh ibunya sejak masih dalam kandungan dan rajin diajak berbicara ternyata jauh lebih cepat berhitung dan menangkap berbagai pelajaran pada usia 3 tahun dibanding anak-anak yang tidak.
Hasil penelitian di Jepang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap pengajaran berulang-ulang sejak bayi masih berada di dalam perut ibunya. Jika dilakukan sekali saja tentu tidak akan membawa hasil apa-apa. Agar metode ini bisa berhasil, si ibu harus terus menerus mengajarkan kepada bayinya. Dengan kata lain, agar bisa membuahkan hasil yang signifikan, metode pengulangan atau repetitif merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan. Karena itulah orang tua wajib membagi waktu yang cukup buat anak-anaknya di usia dini jika mau mereka tumbuh menjadi anak berotak cerdas.
Bukan cuma anak-anak, tapi orang yang sudah dewasa pun akan lebih mudah mengingat sesuatu yang didengar berulang-ulang atau sesuatu yang sering dilakukan. Coba ingat-ingat, adakah sesuatu yang diajarkan oleh orang tua anda secara berulang-ulang ketika anda kecil dan masih berbekas dalam ingatan anda hari ini? Saya yakin ada. Saya masih mengingat begitu banyak hal yang diajarkan oleh orang tua secara berulang-ulang sampai hari ini. Kepribadian atau watak kita pun akan terbentuk menurut seperti apa pengajaran yang kita terima sejak kecil secara berulang-ulang. Pola-pola perulangan baik yang positif maupun negatif mampu mengubah pola pikir seseorang. Kalau yang diulang-ulang positif, tumbuhnya positif. Sebaliknya jika yang diulang-ulang pengajaran yang negatif, anak pun akan tumbuh berbeda pada pola pikir, reaksi dan tindakannya.
Sejauh mana kita menganggap penting untuk mengajarkan anak-anak kita sejak bayi? Banyak orang tua sekarang yang tidak punya waktu untuk itu. Mereka memilih melakukan hal lain ketimbang memberi cukup waktu untuk mendidik anaknya. Sejak masih bayi anak sudah diserahkan kepada orang lain dan berharap mereka akan mengajar anak dengan baik. Padahal di usia-usia dini anak sangat membutuhkan hubungan dan pengajaran dari orang tuanya. Itu akan sangat menentukan pertumbuhan dan kecerdasan mereka.
Kalau pendidikan dasar seperti mengenal beberapa kata, benda dan sebagainya penting, bagaimana dengan mengenalkan mereka kepada Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaranNya sejak kecil? Apakah kita mau sedikit repot untuk menjelaskan kenapa mereka harus berdoa sedikitnya sebelum makan dan sebelum tidur juga saat bangun, dan mengajarkan mereka bagaimana caranya berdoa? Bukankah kalau metode pengajaran yang berulang-ulang sejak usia dini akan membawa manfaat yang baik sebagai bekal bagi masa depan mereka kelak, apalagi mengenai prinsip-prinsip kebenaran dan pengenalan yang baik akan Kristus?
(bersambung)
Wednesday, April 25, 2018
Keteladanan dalam Titus Pasal 2 (5)
(sambungan)
Kita dituntut untuk bekerja jujur, tulus dan setia. Patuh kepada pimpinan dan menjadi pekerja yang berkenan pada mereka. Hari-hari ini sangatlah sulit untuk menemukan orang yang punya integritas seperti ini dalam pekerjaan. Banyak yang hanya mengejar kepentingan diri sendiri, tega berbuat curang merugikan tempatnya bekerja hanya demi keuntungan pribadi. Tidak mau rugi, tapi dalam mengejar keuntungan rela merugikan orang lain. Itu bukanlah cerminan orang percaya, karena kita justru dituntut untuk bisa menampilkan integritas tinggi seperti ayat 9-10 di atas. Sadarilah bahwa itu bisa membawa orang lain untuk mengenal Juru Selamat kita dan kebenaran yang terkandung dalam prinsip-prinsip yang Dia ajarkan. Artinya, sebagai karyawan, bawahan atau pegawai kita bisa menjadi teladan iman dimana kita bekerja.
Dari rangkaian instruksi mengenai menjadi teladan lewat kehidupan yang benar di atas kita bisa melihat ada pola mentoring yang sifatnya berantai dan multiplikatif. Pria dan wanita yang lebih dewasa menurunkan keteladanan kepada yang lebih muda, dan yang lebih muda kepada yang usianya dibawah mereka, estafet, turun temurun. Apakah kita sudah sadar akan hal ini?
Lalu, apakah kita juga sadar bahwa siapapun diri kita hari ini, berapapun usia kita, kita harus bisa menjadi panutan? Lewat contoh hidup kita, apa yang kita sampaikan kepada orang lain? Apa yang anda tunjukkan kepada orang mengenai kehidupan rohani anda dan seperti apa keluarga anda di mata mereka? Siapa anda bagi mereka? Apakah anda mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan kasih sehingga mereka bisa merasakan kasih Kristus lewat diri anda?
Yang juga penting pada jaman ini adalah seperti apa kita di dunia maya. Saat melihat anda dan bentuk interaksi anda di sosial media, apa yang anda bagikan disana, kesimpulan apa yang mereka gambarkan dari diri anda? Apa yang sedang orang pelajari dari anda? Apakah anda sudah menunjukkan pola keteladanan? Apakah gambar yang bagus yang mucul tentang kita atau sebaliknya? Apakah hal-hal inspiratif dan benar yang anda sampaikan atau anda masih mudah terpancing untuk menghujat, menuliskan kata-kata buruk disana?
Bahwa ada banyak orang yang hari-hari ini berlaku buruk di sosial media yang bagaikan dunia tanpa aturan, merasa boleh berkata jahat sebebasnya dimana mereka menganggap dirinya aman karena hanya di dunia maya dan bukan dunia nyata, kita tidak boleh terprovokasi dan terpancing. Kalau kita melakukan seperti itu, itu artinya kita sama saja levelnya dengan mereka dan sama sekali tidak mencerminkan hidup yang berpusat pada kebenaran Firman. Itu jelas harus jauh-jauh kita hindari.
Gaya hidup kita, reaksi kita pada Tuhan, ekspresi iman pada Yesus, itu akan sangat menentukan siapa diri kita hari ini. Titus pasal 2 ayat 1-10 memberikan instruksi-instruksi fundamental agar kita bisa menata hidup dengan benar, memberitakan ajaran yang sehat dengan jujur dan sungguh-sungguh disertai contoh nyata dari perilaku kita sendiri sehingga kita bisa tampil menjadi teladan tentang cara hidup yang diajarkan Yesus.
Jika kita menyadari betapa besarnya nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat ini, kita akan merasakan betapa menarik dan menyenangkannya hidup yang penuh sukacita bersama Tuhan dengan menjadi pelaku-pelaku Firman. Dimanapun kita hari ini, siapapun kita, kita harus siap memberikan jawaban mengenai ketidaktahuan orang akan kebenaran. Bukan hanya secara lisan maupun tulisan, tetapi dengan kehidupan kita sendiri. Itu akan membuka jalan bagi mereka untuk bisa mengenal Kristus.
God is calling us to be an example. Are we ready? Let's start doing it!
More than just verbally or in writing, we have to reflect God's true heart and all His principals by our own life
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Kita dituntut untuk bekerja jujur, tulus dan setia. Patuh kepada pimpinan dan menjadi pekerja yang berkenan pada mereka. Hari-hari ini sangatlah sulit untuk menemukan orang yang punya integritas seperti ini dalam pekerjaan. Banyak yang hanya mengejar kepentingan diri sendiri, tega berbuat curang merugikan tempatnya bekerja hanya demi keuntungan pribadi. Tidak mau rugi, tapi dalam mengejar keuntungan rela merugikan orang lain. Itu bukanlah cerminan orang percaya, karena kita justru dituntut untuk bisa menampilkan integritas tinggi seperti ayat 9-10 di atas. Sadarilah bahwa itu bisa membawa orang lain untuk mengenal Juru Selamat kita dan kebenaran yang terkandung dalam prinsip-prinsip yang Dia ajarkan. Artinya, sebagai karyawan, bawahan atau pegawai kita bisa menjadi teladan iman dimana kita bekerja.
Dari rangkaian instruksi mengenai menjadi teladan lewat kehidupan yang benar di atas kita bisa melihat ada pola mentoring yang sifatnya berantai dan multiplikatif. Pria dan wanita yang lebih dewasa menurunkan keteladanan kepada yang lebih muda, dan yang lebih muda kepada yang usianya dibawah mereka, estafet, turun temurun. Apakah kita sudah sadar akan hal ini?
Lalu, apakah kita juga sadar bahwa siapapun diri kita hari ini, berapapun usia kita, kita harus bisa menjadi panutan? Lewat contoh hidup kita, apa yang kita sampaikan kepada orang lain? Apa yang anda tunjukkan kepada orang mengenai kehidupan rohani anda dan seperti apa keluarga anda di mata mereka? Siapa anda bagi mereka? Apakah anda mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan kasih sehingga mereka bisa merasakan kasih Kristus lewat diri anda?
Yang juga penting pada jaman ini adalah seperti apa kita di dunia maya. Saat melihat anda dan bentuk interaksi anda di sosial media, apa yang anda bagikan disana, kesimpulan apa yang mereka gambarkan dari diri anda? Apa yang sedang orang pelajari dari anda? Apakah anda sudah menunjukkan pola keteladanan? Apakah gambar yang bagus yang mucul tentang kita atau sebaliknya? Apakah hal-hal inspiratif dan benar yang anda sampaikan atau anda masih mudah terpancing untuk menghujat, menuliskan kata-kata buruk disana?
Bahwa ada banyak orang yang hari-hari ini berlaku buruk di sosial media yang bagaikan dunia tanpa aturan, merasa boleh berkata jahat sebebasnya dimana mereka menganggap dirinya aman karena hanya di dunia maya dan bukan dunia nyata, kita tidak boleh terprovokasi dan terpancing. Kalau kita melakukan seperti itu, itu artinya kita sama saja levelnya dengan mereka dan sama sekali tidak mencerminkan hidup yang berpusat pada kebenaran Firman. Itu jelas harus jauh-jauh kita hindari.
Gaya hidup kita, reaksi kita pada Tuhan, ekspresi iman pada Yesus, itu akan sangat menentukan siapa diri kita hari ini. Titus pasal 2 ayat 1-10 memberikan instruksi-instruksi fundamental agar kita bisa menata hidup dengan benar, memberitakan ajaran yang sehat dengan jujur dan sungguh-sungguh disertai contoh nyata dari perilaku kita sendiri sehingga kita bisa tampil menjadi teladan tentang cara hidup yang diajarkan Yesus.
Jika kita menyadari betapa besarnya nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat ini, kita akan merasakan betapa menarik dan menyenangkannya hidup yang penuh sukacita bersama Tuhan dengan menjadi pelaku-pelaku Firman. Dimanapun kita hari ini, siapapun kita, kita harus siap memberikan jawaban mengenai ketidaktahuan orang akan kebenaran. Bukan hanya secara lisan maupun tulisan, tetapi dengan kehidupan kita sendiri. Itu akan membuka jalan bagi mereka untuk bisa mengenal Kristus.
God is calling us to be an example. Are we ready? Let's start doing it!
More than just verbally or in writing, we have to reflect God's true heart and all His principals by our own life
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, April 24, 2018
Keteladanan dalam Titus Pasal 2 (4)
(sambungan)
Lantas seperti halnya pada para pria dewasa, wanita juga diharapkan bisa hidup bijaksana dan menjaga kesuciannya, artinya menjauhi hal-hal yang menimbulkan kecemaran. Kemudian juga rajin atau cakap dalam mengurus rumah tangganya, menunjukkan kepatuhan pada suami, dan dikatakan itu harus dilakukan supaya Firman Tuhan jangan sampai dihujat orang.
Dalam Efesus 5 Paulus menyatakan hal yang sama mengenai bagian dari suami dan istri untuk mengalami hubungan keluarga yang harmonis. Istri diminta tunduk kepada suami seperti pada Tuhan, sedang suami diwajibkan mengasihi istri pada level seperti Kristus telah mengasihi kita dan menyerahkan diriNya untuk menebus kita semua.
Seringkali perpecahan dalam keluarga terjadi karena suami dan istri melanggar aturan ini. Istri tidak mau menurut dan terus melawan, menekan suami, sedang suami bertindak otoriter, kasar atau malah melimpahkan kasihnya di luar sana pada orang lain.
Menariknya, meski ayat ini sudah 2000 tahun lebih dan tidak sulit ditemukan, Paulus seakan tahu bahwa akan banyak sekali orang yang tidak mengatahuinya dan kemudian gagal membangun mahligai rumah tangga yang berbahagia. Dan Paulus pun menyebutkannya sebagai sebuah rahasia besar (ay 32), dan mengunci tulisannya mengenai hal ini dengan sebuah kesimpulan "Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya." (ay 33).
Selajutnya mari kita lihat instruksi buat para anak muda.
"Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita." (Titus 2:6-8)
Anak muda yang seringkali masih labil emosinya diminta agar bisa menguasai diri dalam segala hal, dan lihatlah, sejak muda kita sebenarnya sudah diminta untuk bisa menjadi teladan dalam berbuat baik. Jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaran, itu artinya kita harus melakukan terlebih dahulu apa yang kita ajarkan. Lalu keteladanan itu diharapkan bisa mengajarkan orang mengenai integritas, martabat dalam sikap, tingkah laku, perbuatan dan perkataan. Orang yang memusuhi kita nantinya akan menjadi malu karena tidak ada hal buruk apapun yang bisa mereka katakan tentang kita.
Para pria yang lebih dewasa diharapkan bisa mendidik anak-anaknya, terutama pria untuk bisa menjadi bijaksana, mampu memiliki kontrol diri yang baik dan menjadi teladan sejak usia muda. Dan itu tidak cukup hanya dengan ucapan melainkan harus lewat contoh nyata. Para anak muda harus bisa belajar mengevaluasi setiap kejadian secara objektif dengan berdasarkan prinsip kebenaran. Tentu saja mereka harus dididik mengenai bahayanya penggunaan obat-obatan terlarang, menjauhi kebencian, prasangka, pola pikir destruktif dan berbagai perilaku buruk lainnya yang kerap dilakukan oleh anak-anak muda yang menjelang dewasa, menyiapkan mereka menjadi pribadi-pribadi berintegritas dan hidup benar sejak dini.
Terakhir, instruksi untuk hamba. "Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita." (ay 9-10).
(bersambung)
Lantas seperti halnya pada para pria dewasa, wanita juga diharapkan bisa hidup bijaksana dan menjaga kesuciannya, artinya menjauhi hal-hal yang menimbulkan kecemaran. Kemudian juga rajin atau cakap dalam mengurus rumah tangganya, menunjukkan kepatuhan pada suami, dan dikatakan itu harus dilakukan supaya Firman Tuhan jangan sampai dihujat orang.
Dalam Efesus 5 Paulus menyatakan hal yang sama mengenai bagian dari suami dan istri untuk mengalami hubungan keluarga yang harmonis. Istri diminta tunduk kepada suami seperti pada Tuhan, sedang suami diwajibkan mengasihi istri pada level seperti Kristus telah mengasihi kita dan menyerahkan diriNya untuk menebus kita semua.
Seringkali perpecahan dalam keluarga terjadi karena suami dan istri melanggar aturan ini. Istri tidak mau menurut dan terus melawan, menekan suami, sedang suami bertindak otoriter, kasar atau malah melimpahkan kasihnya di luar sana pada orang lain.
Menariknya, meski ayat ini sudah 2000 tahun lebih dan tidak sulit ditemukan, Paulus seakan tahu bahwa akan banyak sekali orang yang tidak mengatahuinya dan kemudian gagal membangun mahligai rumah tangga yang berbahagia. Dan Paulus pun menyebutkannya sebagai sebuah rahasia besar (ay 32), dan mengunci tulisannya mengenai hal ini dengan sebuah kesimpulan "Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya." (ay 33).
Selajutnya mari kita lihat instruksi buat para anak muda.
"Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita." (Titus 2:6-8)
Anak muda yang seringkali masih labil emosinya diminta agar bisa menguasai diri dalam segala hal, dan lihatlah, sejak muda kita sebenarnya sudah diminta untuk bisa menjadi teladan dalam berbuat baik. Jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaran, itu artinya kita harus melakukan terlebih dahulu apa yang kita ajarkan. Lalu keteladanan itu diharapkan bisa mengajarkan orang mengenai integritas, martabat dalam sikap, tingkah laku, perbuatan dan perkataan. Orang yang memusuhi kita nantinya akan menjadi malu karena tidak ada hal buruk apapun yang bisa mereka katakan tentang kita.
Para pria yang lebih dewasa diharapkan bisa mendidik anak-anaknya, terutama pria untuk bisa menjadi bijaksana, mampu memiliki kontrol diri yang baik dan menjadi teladan sejak usia muda. Dan itu tidak cukup hanya dengan ucapan melainkan harus lewat contoh nyata. Para anak muda harus bisa belajar mengevaluasi setiap kejadian secara objektif dengan berdasarkan prinsip kebenaran. Tentu saja mereka harus dididik mengenai bahayanya penggunaan obat-obatan terlarang, menjauhi kebencian, prasangka, pola pikir destruktif dan berbagai perilaku buruk lainnya yang kerap dilakukan oleh anak-anak muda yang menjelang dewasa, menyiapkan mereka menjadi pribadi-pribadi berintegritas dan hidup benar sejak dini.
Terakhir, instruksi untuk hamba. "Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita." (ay 9-10).
(bersambung)
Monday, April 23, 2018
Keteladanan dalam Titus Pasal 2 (3)
(sambungan)
Kita tidak bisa berharap memiliki iman yang sehat tanpa memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan. Itu artinya orang-orang yang imannya sehat akan menempatkan membangun hubungan dengan Tuhan pada prioritas utama, tidak mengabaikan waktu-waktu berdoa dimana mereka bisa mendengarkan apa kata Tuhan. Mereka yang sehat imannya hidup dipimpin oleh Roh, bukan dikuasai oleh daging dengan segala keinginannya. Singkatnya, we need not just men but men of faith.
Dua poin berikutnya adalah hidup dalam kasih dan ketekunan/kesabaran. Bagi para pria, agenda kesibukan yang menyita waktu bisa menggerus kasih dalam diri mereka. Rasa lelah, tekanan dalam pekerjaan dan sebagainya mudah membuat para pria tidak lagi punya ruang untuk kasih dalam kesehariannya. Kasih hilang digantikan oleh sikap mudah marah, tidak sabar, mudah kesal/dongkol, dan kebiasaan mengeluh yang bisa sangat merusak.
Di sisi lain, status sebagai kepala atau pemimpin rumah tangga bisa membuat pria keliru mengartikannya dengan memerintah seenaknya, otoriter dimana kasih tidak mendapat tempat disana. Kemudian dalam menghadapi situasi yang berat, saat keadaan keluarga sedang kurang baik, para pria pun dituntut untuk tabah dan sabar, terus bertekun dalam doa dan tidak putus pengharapan. Sebab, kalau pemimpinnya goyang apalagi yang dipimpin.
Kapal yang tengah menghadapi badai harus punya nahkoda yang cakap dalam mengendalikan kapal supaya tidak karam, bukan nahkoda lemah yang gampang panik. Pria hendaknya memimpin keluarganya dengan kasih dan ketekunan. Lewat para pria dewasa, orang seharusnya bisa mendapatkan contoh tentang seperti apa itu kasih dan kesabaran lewat cara mereka berhubungan dengan orang lain.
Sekarang giliran wanita dewasa.
"Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang." (ay 3-5).
Wanita dewasa hendaknya kudus dalam hidupnya, memiliki perilaku yang sesuai dengan apa yang berkenan di hadapan Tuhan. Jika suami berperan sebagai imam, istri dianggap sebagai hati yang memastikan kejiwaan dalam rumah tangga stabil dan baik. Istri bahkan dikatakan berperan sebagai tiang doa bagi keluarganya. Sekuat apapun sebuah bangunan apabila tidak didukung oleh tiang-tiang yang kuat, bangunan itu tidak akan bertahan lama melainkan ambruk. Jadi, kalau istri disebut seperti tiang, itu artinya istri punya peran sangat penting sebagai penopang keluarga. Dengan demikian, seorang wanita tidak akan bisa berperan sebagai hati dan jiwa dalam keluarga, tidak bisa menjadi tiang doa apabila hidupnya jauh dari Tuhan alias tidak hidup sebagai orang-orang beribadah.
Kebiasaan bergosip, menggunjingkan orang lain juga harus dihindari agar jangan ada fitnah yang keluar dari mulutnya. Wanita juga diingatkan agar tidak menjadi hamba anggur alias ketagihan minuman keras, tetapi cakap dalam mengajarkan hal-hal yang baik. Tidak ada orang yang bisa mengajarkan hal-hal baik kalau sedang mabuk, suka bergunjing tentang orang lain dan tidak kudus bukan? Mengajarkan hal-hal yang baik penting terutama agar menginspirasi wanita-wanita yang lebih muda untuk mengasihi suami dan anak-anaknya untuk belajar dari pengalaman wanita yang lebih dewasa. Ada transfer, estafet dan multiplikasi keteladanan dalam hal ini, dan itu sangat dianjurkan oleh Tuhan.
(bersambung)
Kita tidak bisa berharap memiliki iman yang sehat tanpa memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan. Itu artinya orang-orang yang imannya sehat akan menempatkan membangun hubungan dengan Tuhan pada prioritas utama, tidak mengabaikan waktu-waktu berdoa dimana mereka bisa mendengarkan apa kata Tuhan. Mereka yang sehat imannya hidup dipimpin oleh Roh, bukan dikuasai oleh daging dengan segala keinginannya. Singkatnya, we need not just men but men of faith.
Dua poin berikutnya adalah hidup dalam kasih dan ketekunan/kesabaran. Bagi para pria, agenda kesibukan yang menyita waktu bisa menggerus kasih dalam diri mereka. Rasa lelah, tekanan dalam pekerjaan dan sebagainya mudah membuat para pria tidak lagi punya ruang untuk kasih dalam kesehariannya. Kasih hilang digantikan oleh sikap mudah marah, tidak sabar, mudah kesal/dongkol, dan kebiasaan mengeluh yang bisa sangat merusak.
Di sisi lain, status sebagai kepala atau pemimpin rumah tangga bisa membuat pria keliru mengartikannya dengan memerintah seenaknya, otoriter dimana kasih tidak mendapat tempat disana. Kemudian dalam menghadapi situasi yang berat, saat keadaan keluarga sedang kurang baik, para pria pun dituntut untuk tabah dan sabar, terus bertekun dalam doa dan tidak putus pengharapan. Sebab, kalau pemimpinnya goyang apalagi yang dipimpin.
Kapal yang tengah menghadapi badai harus punya nahkoda yang cakap dalam mengendalikan kapal supaya tidak karam, bukan nahkoda lemah yang gampang panik. Pria hendaknya memimpin keluarganya dengan kasih dan ketekunan. Lewat para pria dewasa, orang seharusnya bisa mendapatkan contoh tentang seperti apa itu kasih dan kesabaran lewat cara mereka berhubungan dengan orang lain.
Sekarang giliran wanita dewasa.
"Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang." (ay 3-5).
Wanita dewasa hendaknya kudus dalam hidupnya, memiliki perilaku yang sesuai dengan apa yang berkenan di hadapan Tuhan. Jika suami berperan sebagai imam, istri dianggap sebagai hati yang memastikan kejiwaan dalam rumah tangga stabil dan baik. Istri bahkan dikatakan berperan sebagai tiang doa bagi keluarganya. Sekuat apapun sebuah bangunan apabila tidak didukung oleh tiang-tiang yang kuat, bangunan itu tidak akan bertahan lama melainkan ambruk. Jadi, kalau istri disebut seperti tiang, itu artinya istri punya peran sangat penting sebagai penopang keluarga. Dengan demikian, seorang wanita tidak akan bisa berperan sebagai hati dan jiwa dalam keluarga, tidak bisa menjadi tiang doa apabila hidupnya jauh dari Tuhan alias tidak hidup sebagai orang-orang beribadah.
Kebiasaan bergosip, menggunjingkan orang lain juga harus dihindari agar jangan ada fitnah yang keluar dari mulutnya. Wanita juga diingatkan agar tidak menjadi hamba anggur alias ketagihan minuman keras, tetapi cakap dalam mengajarkan hal-hal yang baik. Tidak ada orang yang bisa mengajarkan hal-hal baik kalau sedang mabuk, suka bergunjing tentang orang lain dan tidak kudus bukan? Mengajarkan hal-hal yang baik penting terutama agar menginspirasi wanita-wanita yang lebih muda untuk mengasihi suami dan anak-anaknya untuk belajar dari pengalaman wanita yang lebih dewasa. Ada transfer, estafet dan multiplikasi keteladanan dalam hal ini, dan itu sangat dianjurkan oleh Tuhan.
(bersambung)
Sunday, April 22, 2018
Keteladanan dalam Titus Pasal 2 (2)
(sambungan)
Kita akan sulit merasa tertarik akan sesuatu apabila kita tidak tahu tujuannya. Kalau kita tidak tahu kenapa Tuhan memberikan instruksi, petunjuk atau panduan ini, apa gunanya bagi hidup kita, maka kita tidak akan tertarik untuk mengadopsi dan mengaplikasikannya dalam hidup kita, dan dengan sendirinya itulah yang akan kita sampaikan pada orang lain, yaitu bahwa ajaran Tuhan tidak menarik bagi kita. Jika bagi kita saja sudah tidak menarik, apalagi bagi mereka yang belum mengenalNya yang ada di sekitar kita.
Jadi, saat kita terus berusaha terus lebih dalam dan jauh membangun komitmen pada Kristus dalam hati kita, dalam proses kita untuk mengikuti ajaranNya lebih jauh lagi, mematuhi prinsip-prinsip Allah, kita menunjukkan bagaimana kehidupan kita menjadi indah dan penuh sukacita yang akan nyata terlihat oleh orang lain lewat perilaku kita yang berpusat pada Firman. Dan saat itu kita lakukan, kita bisa menginspirasi orang untuk mengenal lebih jauh jalan Tuhan melalui Kristus sebagai sesuatu yang menarik.
Ayat pertama dalam Titus pasal dua berisikan seruan agar kita memberitakan apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat. Ajaran yang sehat adalah ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran, yang tentunya tidak akan cukup jika hanya sebatas ucapan saja melainkan harus disertai contoh lewat perbuatan nyata. Ini merupakan hal pertama yang harus diingat bagi orang percaya yang ingin menata kehidupannya sebagai pelaku Firman.
Sekarang mari kita lihat apa pesan atau instruksi yang diberikan pada masing-masing kita, dimulai dari pria.
"Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan." (ay 2).
Pria yang (lebih) tua atau dewasa, hidupilah poin-poin diatas. Yang dimaksud dengan hidup sederhana bukan hanya tidak terjebak dalam gaya hidup foya-foya tapi juga kemampuan menahan dan menguasai diri. Ini adalah komitmen hidup yang secara sadar menggunakan Firman Tuhan untuk mengembangkan pikiran dan perasaan dalam kendali yang benar, karena itu akan membuat hidup juga akan terkendali dengan benar. Kalau kita biarkan hal-hal yang tidak baik mencemarkan pikiran dan perasaan kita, kita bisa terjebak pada banyak hal buruk yang pada suatu titik tidak lagi atau sudah sulit untuk dikendalikan. Saat kita tidak lagi pegang kendali, hidup kita bisa dikuasai oleh berbagai keinginan daging yang pada akhirnya akan menjerumuskan kita ke dalam maut.
Lantas, para pria dewasa dituntut untuk hidup terhormat. Orang yang hidup terhormat adalah orang berintegritas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Orang yang suka menipu alias tidak jujur, suka mencuri, bersikap kasar, tidak menjaga mulut, yang tidak sesuai perkataan dengan perilaku dan gemar melakukan berbagai kecemaran tentu saja sulit untuk kita anggap terhormat. Orang yang hidup terhormat memiliki rasa hormat yang mendalam kepada Tuhan, menyembahNya dalam Roh dan kebenaran. Orang yang terhormat akan tahu mengatur setiap sikapnya.
Bijaksana, artinya hidup dengan tingkah laku sesuai pikiran (akal budi) yang sehat, menimbang segala sesuatu dengan adil dan matang, sehingga keputusan-keputusan yang diambil tidak serampangan atau sembarangan. Orang yang bijaksana tidak mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang buruk atau bahkan jahat, orang bijaksana akan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Dan ini juga menjadi instruksi wajib bagi pria yang sudah dewasa.
Sehat dalam iman, artinya hidup berpegang pada ajaran yang benar dari Allah. Orang yang sehat imannya adalah orang yang memiliki iman kokoh dan kuat, tidak mudah goyah saat berhadapan dengan masalah. Orang yang sehat imannya memiliki kepercayaan yang teguh pada Tuhan, tidak mudah bimbang, kuatir atau gentar dalam menjalani hidup.
(bersambung)
Kita akan sulit merasa tertarik akan sesuatu apabila kita tidak tahu tujuannya. Kalau kita tidak tahu kenapa Tuhan memberikan instruksi, petunjuk atau panduan ini, apa gunanya bagi hidup kita, maka kita tidak akan tertarik untuk mengadopsi dan mengaplikasikannya dalam hidup kita, dan dengan sendirinya itulah yang akan kita sampaikan pada orang lain, yaitu bahwa ajaran Tuhan tidak menarik bagi kita. Jika bagi kita saja sudah tidak menarik, apalagi bagi mereka yang belum mengenalNya yang ada di sekitar kita.
Jadi, saat kita terus berusaha terus lebih dalam dan jauh membangun komitmen pada Kristus dalam hati kita, dalam proses kita untuk mengikuti ajaranNya lebih jauh lagi, mematuhi prinsip-prinsip Allah, kita menunjukkan bagaimana kehidupan kita menjadi indah dan penuh sukacita yang akan nyata terlihat oleh orang lain lewat perilaku kita yang berpusat pada Firman. Dan saat itu kita lakukan, kita bisa menginspirasi orang untuk mengenal lebih jauh jalan Tuhan melalui Kristus sebagai sesuatu yang menarik.
Ayat pertama dalam Titus pasal dua berisikan seruan agar kita memberitakan apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat. Ajaran yang sehat adalah ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran, yang tentunya tidak akan cukup jika hanya sebatas ucapan saja melainkan harus disertai contoh lewat perbuatan nyata. Ini merupakan hal pertama yang harus diingat bagi orang percaya yang ingin menata kehidupannya sebagai pelaku Firman.
Sekarang mari kita lihat apa pesan atau instruksi yang diberikan pada masing-masing kita, dimulai dari pria.
"Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan." (ay 2).
Pria yang (lebih) tua atau dewasa, hidupilah poin-poin diatas. Yang dimaksud dengan hidup sederhana bukan hanya tidak terjebak dalam gaya hidup foya-foya tapi juga kemampuan menahan dan menguasai diri. Ini adalah komitmen hidup yang secara sadar menggunakan Firman Tuhan untuk mengembangkan pikiran dan perasaan dalam kendali yang benar, karena itu akan membuat hidup juga akan terkendali dengan benar. Kalau kita biarkan hal-hal yang tidak baik mencemarkan pikiran dan perasaan kita, kita bisa terjebak pada banyak hal buruk yang pada suatu titik tidak lagi atau sudah sulit untuk dikendalikan. Saat kita tidak lagi pegang kendali, hidup kita bisa dikuasai oleh berbagai keinginan daging yang pada akhirnya akan menjerumuskan kita ke dalam maut.
Lantas, para pria dewasa dituntut untuk hidup terhormat. Orang yang hidup terhormat adalah orang berintegritas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Orang yang suka menipu alias tidak jujur, suka mencuri, bersikap kasar, tidak menjaga mulut, yang tidak sesuai perkataan dengan perilaku dan gemar melakukan berbagai kecemaran tentu saja sulit untuk kita anggap terhormat. Orang yang hidup terhormat memiliki rasa hormat yang mendalam kepada Tuhan, menyembahNya dalam Roh dan kebenaran. Orang yang terhormat akan tahu mengatur setiap sikapnya.
Bijaksana, artinya hidup dengan tingkah laku sesuai pikiran (akal budi) yang sehat, menimbang segala sesuatu dengan adil dan matang, sehingga keputusan-keputusan yang diambil tidak serampangan atau sembarangan. Orang yang bijaksana tidak mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang buruk atau bahkan jahat, orang bijaksana akan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Dan ini juga menjadi instruksi wajib bagi pria yang sudah dewasa.
Sehat dalam iman, artinya hidup berpegang pada ajaran yang benar dari Allah. Orang yang sehat imannya adalah orang yang memiliki iman kokoh dan kuat, tidak mudah goyah saat berhadapan dengan masalah. Orang yang sehat imannya memiliki kepercayaan yang teguh pada Tuhan, tidak mudah bimbang, kuatir atau gentar dalam menjalani hidup.
(bersambung)
Saturday, April 21, 2018
Keteladanan dalam Titus Pasal 2 (1)
Ayat bacaan: Titus 2:7
================
"Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik."
Belakangan ini kita sudah belajar mengenai pentingnya menjadi teladan. Dalam banyak kesempatan baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, perihal menjadi teladan berulang kali disampaikan. Contoh keteladanan yang menginspirasi generasi selanjutnya juga bisa kita dapatkan lewat kehidupan nyata para tokoh seperti misalnya Salomo yang belajar dari keteladanan ayahnya Daud. Atau Yosua yang belajar dari Musa. Sayangnya tidak banyak yang cukup peduli akan hal ini. Banyak yang hanya mengejar keselamatan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan pentingnya menjadi teladan yang bisa menginspirasi dan membawa orang lain untuk turut masuk ke dalam kasih karunia keselamatan. Kalau itu sudah lumayan meski masih perlu ditingkatkan ke level selanjutnya, lihatlah ada begitu banyak orang yang masih enggan meninggalkan segala kenikmatan daging yang ditawarkan dunia dengan segala penyesatannya. Banyak orang yang dalam hidupnya terus mempertentangkan antara kesenangan dan kenikmatan dengan hidup sesuai Firman yang dianggap menghalangi mereka untuk merasakan itu.
Kalau itu yang terjadi, berarti bagi mereka ini kehidupan sesuai Firman dianggap tidak menarik, mengekang dan tidak menyenangkan. Tidaklah heran apabila mereka tidak kunjung mau untuk membenahi hidup agar seturut kehendak Allah, yang dengan sendirinya tidak akan pernah bisa menjadi teladan dalam hal iman dan kebenaran.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul, dan akan mendasari isi dari renungan kali ini. Apakah benar hidup melakukan Firman Tuhan dan menjadi teladan itu membosankan, tidak menarik, jauh dari menyenangkan dan nikmat? Kemudian, jika itu yang kita rasakan, bagaimana agar paradigma kita bisa berubah? Lalu selanjutnya, ada banyak orang juga yang tidak tahu harus mulai dari mana dan melakukan apa agar bisa menjadi pribadi-pribadi yang layak diteladani. Hidup sesuai Firman, menghidupi dan melakukan Firman, oke. Tapi ada tidak langkah-langkah yang lebih spesifik supaya saya bisa mulai menata diri, setidaknya supaya saya bisa tahu harus mulai dari mana? Itupun menjadi pertanyaan tersendiri buat yang kebingungan karena merasa menghidupi Firman terlalu jauh untuk bisa dicerna.
Dalam renungan kemarin saya sudah mengikut-sertakan sebuah ayat dari surat Titus pasal dua. Hari ini saya angkat ayat tersebut sebagai ayat bacaan. Tapi kita akan melihat lebih luas lagi dari perikop dimana ayat ini berada, yaitu Titus 2:1-10.
Bagi saya, perikop dalam Titus pasal 2 ini sangat menarik. Salah satu alasannya adalah, siapapun anda, apakah pria atau wanita, dewasa atau muda, menikah atau masih single, apapun pekerjaan anda, anda termasuk di dalam Titus pasal 2. Whoever you are, you are somewhere in it. Dan buat anda, ada instruksi dari Tuhan yang bisa ditemukan disini. Instruksi itu menyangkut standar karakter dan perilaku yang akan membuat anda menjadi pribadi berkenan di hadapan Tuhan dan dengan sendirinya akan mampu menjadikan anda teladan dalam hal hidup yang sesuai dengan prinsip Kerajaan.
Sebelum saya lanjutkan, ada baiknya kita lihat dulu selengkapnya isi perikop ini.
Tetapi engkau, beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat: (1)
Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan. (2)
Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik (3)
dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, (4)
hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang. (5)
Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal (6)
dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, (7)
sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita. (8)
Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, (9)
jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita. (10)
(bersambung)
================
"Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik."
Belakangan ini kita sudah belajar mengenai pentingnya menjadi teladan. Dalam banyak kesempatan baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, perihal menjadi teladan berulang kali disampaikan. Contoh keteladanan yang menginspirasi generasi selanjutnya juga bisa kita dapatkan lewat kehidupan nyata para tokoh seperti misalnya Salomo yang belajar dari keteladanan ayahnya Daud. Atau Yosua yang belajar dari Musa. Sayangnya tidak banyak yang cukup peduli akan hal ini. Banyak yang hanya mengejar keselamatan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan pentingnya menjadi teladan yang bisa menginspirasi dan membawa orang lain untuk turut masuk ke dalam kasih karunia keselamatan. Kalau itu sudah lumayan meski masih perlu ditingkatkan ke level selanjutnya, lihatlah ada begitu banyak orang yang masih enggan meninggalkan segala kenikmatan daging yang ditawarkan dunia dengan segala penyesatannya. Banyak orang yang dalam hidupnya terus mempertentangkan antara kesenangan dan kenikmatan dengan hidup sesuai Firman yang dianggap menghalangi mereka untuk merasakan itu.
Kalau itu yang terjadi, berarti bagi mereka ini kehidupan sesuai Firman dianggap tidak menarik, mengekang dan tidak menyenangkan. Tidaklah heran apabila mereka tidak kunjung mau untuk membenahi hidup agar seturut kehendak Allah, yang dengan sendirinya tidak akan pernah bisa menjadi teladan dalam hal iman dan kebenaran.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul, dan akan mendasari isi dari renungan kali ini. Apakah benar hidup melakukan Firman Tuhan dan menjadi teladan itu membosankan, tidak menarik, jauh dari menyenangkan dan nikmat? Kemudian, jika itu yang kita rasakan, bagaimana agar paradigma kita bisa berubah? Lalu selanjutnya, ada banyak orang juga yang tidak tahu harus mulai dari mana dan melakukan apa agar bisa menjadi pribadi-pribadi yang layak diteladani. Hidup sesuai Firman, menghidupi dan melakukan Firman, oke. Tapi ada tidak langkah-langkah yang lebih spesifik supaya saya bisa mulai menata diri, setidaknya supaya saya bisa tahu harus mulai dari mana? Itupun menjadi pertanyaan tersendiri buat yang kebingungan karena merasa menghidupi Firman terlalu jauh untuk bisa dicerna.
Dalam renungan kemarin saya sudah mengikut-sertakan sebuah ayat dari surat Titus pasal dua. Hari ini saya angkat ayat tersebut sebagai ayat bacaan. Tapi kita akan melihat lebih luas lagi dari perikop dimana ayat ini berada, yaitu Titus 2:1-10.
Bagi saya, perikop dalam Titus pasal 2 ini sangat menarik. Salah satu alasannya adalah, siapapun anda, apakah pria atau wanita, dewasa atau muda, menikah atau masih single, apapun pekerjaan anda, anda termasuk di dalam Titus pasal 2. Whoever you are, you are somewhere in it. Dan buat anda, ada instruksi dari Tuhan yang bisa ditemukan disini. Instruksi itu menyangkut standar karakter dan perilaku yang akan membuat anda menjadi pribadi berkenan di hadapan Tuhan dan dengan sendirinya akan mampu menjadikan anda teladan dalam hal hidup yang sesuai dengan prinsip Kerajaan.
Sebelum saya lanjutkan, ada baiknya kita lihat dulu selengkapnya isi perikop ini.
Tetapi engkau, beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat: (1)
Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan. (2)
Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik (3)
dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, (4)
hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang. (5)
Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal (6)
dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, (7)
sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita. (8)
Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, (9)
jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita. (10)
(bersambung)
Friday, April 20, 2018
Be an Example like Paul (4)
(sambungan)
Jauh lebih mudah untuk mengajar, menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi teladan, karena sebagai teladan sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan. Itu artinya, sebelum kita mengajar, menegur atau menasihati orang, kita sendiri harus terlebih dahulu melakukannya. Sikap hidup yang sesuai dengan pengajaran seperti itu sudah semakin sulit saja ditemukan hari ini. Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya dengan memberi nasihat, teguran atau pengajaran saja, melainkan terus berproses hingga bisa menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran. Pesan penting akan hal ini bisa kita baca dalam surat Titus: "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7).
Yang juga penting untuk diingat adalah bahwa tugas menjadi teladan pun bukan hanya menjadi keharusan untuk orang-orang tua saja. Sejak muda pun kita sudah bisa, dan sangat dianjurkan untuk bisa menjadi teladan bagi sesama. "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12).
Paulus menghidupi Firman. Ia melakukan apa yang ia ajarkan mengenai prinsip-prinsip kebenaran. Saat ia mewartakan kabar gembira mengenai keselamatan dalam Kristus, ia sendiri memberi contoh lewat hidupnya. Karena itulah ia bisa dengan berani dan tegas meminta jemaat di Korintus untuk meneladani cara hidup dan perbuatannya. Kalau Paulus yang tadinya punya masa lalu kelam bisa, mengapa kita tidak? Sebuah kehidupan yang mengaplikasikan Firman secara nyata akan mampu berbicara banyak, jauh lebih banyak dari penyampaian kebenaran Firman lewat kata-kata atau tulisan. Hal keteladanan sangatlah penting karena orang cenderung lebih mudah percaya dan menerima sebuah kebenaran lewat contoh nyata yang mereka saksikan sendiri ketimbang hanya lewat kata-kata atau teoritis saja. Orang yang hidup sesuai kebenaran akan memiliki banyak kesaksian untuk dibagikan yang sanggup mengenalkan kebenaran kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Tidak perlu muluk-muluk, hal-hal sederhana saja bisa menjadi sebuah bukti penyertaan Tuhan yang luar biasa yang mampu menjadi berkat bagi orang lain.
Seperti apa cara dan gaya hidup kita hari ini? Seperti apa karakter yang dilihat orang dari kita hari ini? Apakah kita sudah atau setidaknya sedang berusaha untuk menjadi teladan dalam hidup sesuai Firman Tuhan, atau kita masih hidup egois, eksklusif, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih melakukan banyak hal yang jahat meski kerap mengajarkan kebaikan? Semoga tidak demikian. Sadarilah bahwa cara hidup kita akan selalu diperhatikan oleh orang lain. Anak-anak kita akan melihat sejauh mana kita melakukan hal-hal yang kita nasihati kepada mereka, begitu juga dengan teman-teman dan orang-orang di sekitar kita. Jangan sampai kita mempertontonkan kehidupan yang malah membuat orang keliru melihat sosok Kristus. Jangan sampai kita sama saja atau malah lebih buruk dari orang-orang yang hidup berpusat pada dunia yang sedang lenyap bersama keinginan-keinginannya.
Menjadi teladan adalah sebuah keharusan, apalagi kalau kita ingin melihat kegerakan rohani terjadi di muka bumi ini. Seperti yang saya sampaikan dalam renungan sebelumnya, keteladanan itu sifatnya estafet, multiplikatif dan menular. Arus kegerakan bisa menarik banyak orang untuk mengenal Kristus dan prinsip-prinsip kebenaran Ilahi yang bermula dari keteladanan bahkan satu orang percaya saja. Kita bisa mulai dari hal kecil, dari lingkungan terkecil. Mulailah praktekkan keteladanan dari hal-hal sederhana, lakukan apa yang diajarkan setahap demi setahap sampai pada akhirnya kita bisa menjadi seperti Paulus.
Untuk memulainya tidak mudah. Dibutuhkan kesadaran dan komitmen. Kita harus menghargai sebesar apa sebenarnya kasih karunia yang Tuhan curahkan atas hidup kita, betapa luar biasanya kasih Tuhan yang terlebih dahulu membuka jalan bagi kita untuk bisa masuk menikmati hadiratNya dan menuntun kita ke dalam keselamatan yang kekal. Kalau kita menghargai hal itu, kita tentu tidak akan mengotorinya dengan perbuatan-perbuatan buruk. Kehidupan yang terus berproses semakin matang dalam kebenaran akan menjadi teladan buat orang lain, disanalah arus kegerakan rohani bisa mulai semakin besar dan deras mentransformasi dunia yang dipenuhi kegelapan ini.
Kata Albert Schweitzer: "Example is not the main thing. It's the only thing". Bersama Roh Kudus, dengan hidup di dalam Roh kita bisa. Let's do it. Let's become a good example of how beautiful it is to live according to the Gospel.
"To live according to the Gospel is to fight against selfishness. The Gospel is forgiveness and peace; it is love that comes from God." - Pope Francis (2013)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Jauh lebih mudah untuk mengajar, menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi teladan, karena sebagai teladan sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan. Itu artinya, sebelum kita mengajar, menegur atau menasihati orang, kita sendiri harus terlebih dahulu melakukannya. Sikap hidup yang sesuai dengan pengajaran seperti itu sudah semakin sulit saja ditemukan hari ini. Tuhan menghendaki kita semua agar tidak berhenti hanya dengan memberi nasihat, teguran atau pengajaran saja, melainkan terus berproses hingga bisa menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran. Pesan penting akan hal ini bisa kita baca dalam surat Titus: "Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu" (Titus 2:7).
Yang juga penting untuk diingat adalah bahwa tugas menjadi teladan pun bukan hanya menjadi keharusan untuk orang-orang tua saja. Sejak muda pun kita sudah bisa, dan sangat dianjurkan untuk bisa menjadi teladan bagi sesama. "Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12).
Paulus menghidupi Firman. Ia melakukan apa yang ia ajarkan mengenai prinsip-prinsip kebenaran. Saat ia mewartakan kabar gembira mengenai keselamatan dalam Kristus, ia sendiri memberi contoh lewat hidupnya. Karena itulah ia bisa dengan berani dan tegas meminta jemaat di Korintus untuk meneladani cara hidup dan perbuatannya. Kalau Paulus yang tadinya punya masa lalu kelam bisa, mengapa kita tidak? Sebuah kehidupan yang mengaplikasikan Firman secara nyata akan mampu berbicara banyak, jauh lebih banyak dari penyampaian kebenaran Firman lewat kata-kata atau tulisan. Hal keteladanan sangatlah penting karena orang cenderung lebih mudah percaya dan menerima sebuah kebenaran lewat contoh nyata yang mereka saksikan sendiri ketimbang hanya lewat kata-kata atau teoritis saja. Orang yang hidup sesuai kebenaran akan memiliki banyak kesaksian untuk dibagikan yang sanggup mengenalkan kebenaran kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Tidak perlu muluk-muluk, hal-hal sederhana saja bisa menjadi sebuah bukti penyertaan Tuhan yang luar biasa yang mampu menjadi berkat bagi orang lain.
Seperti apa cara dan gaya hidup kita hari ini? Seperti apa karakter yang dilihat orang dari kita hari ini? Apakah kita sudah atau setidaknya sedang berusaha untuk menjadi teladan dalam hidup sesuai Firman Tuhan, atau kita masih hidup egois, eksklusif, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih melakukan banyak hal yang jahat meski kerap mengajarkan kebaikan? Semoga tidak demikian. Sadarilah bahwa cara hidup kita akan selalu diperhatikan oleh orang lain. Anak-anak kita akan melihat sejauh mana kita melakukan hal-hal yang kita nasihati kepada mereka, begitu juga dengan teman-teman dan orang-orang di sekitar kita. Jangan sampai kita mempertontonkan kehidupan yang malah membuat orang keliru melihat sosok Kristus. Jangan sampai kita sama saja atau malah lebih buruk dari orang-orang yang hidup berpusat pada dunia yang sedang lenyap bersama keinginan-keinginannya.
Menjadi teladan adalah sebuah keharusan, apalagi kalau kita ingin melihat kegerakan rohani terjadi di muka bumi ini. Seperti yang saya sampaikan dalam renungan sebelumnya, keteladanan itu sifatnya estafet, multiplikatif dan menular. Arus kegerakan bisa menarik banyak orang untuk mengenal Kristus dan prinsip-prinsip kebenaran Ilahi yang bermula dari keteladanan bahkan satu orang percaya saja. Kita bisa mulai dari hal kecil, dari lingkungan terkecil. Mulailah praktekkan keteladanan dari hal-hal sederhana, lakukan apa yang diajarkan setahap demi setahap sampai pada akhirnya kita bisa menjadi seperti Paulus.
Untuk memulainya tidak mudah. Dibutuhkan kesadaran dan komitmen. Kita harus menghargai sebesar apa sebenarnya kasih karunia yang Tuhan curahkan atas hidup kita, betapa luar biasanya kasih Tuhan yang terlebih dahulu membuka jalan bagi kita untuk bisa masuk menikmati hadiratNya dan menuntun kita ke dalam keselamatan yang kekal. Kalau kita menghargai hal itu, kita tentu tidak akan mengotorinya dengan perbuatan-perbuatan buruk. Kehidupan yang terus berproses semakin matang dalam kebenaran akan menjadi teladan buat orang lain, disanalah arus kegerakan rohani bisa mulai semakin besar dan deras mentransformasi dunia yang dipenuhi kegelapan ini.
Kata Albert Schweitzer: "Example is not the main thing. It's the only thing". Bersama Roh Kudus, dengan hidup di dalam Roh kita bisa. Let's do it. Let's become a good example of how beautiful it is to live according to the Gospel.
"To live according to the Gospel is to fight against selfishness. The Gospel is forgiveness and peace; it is love that comes from God." - Pope Francis (2013)
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Thursday, April 19, 2018
Be an Example like Paul (3)
(sambungan)
Berapa jauh jarak tempuh Paulus dalam masa pelayanannya? Ada penelitian yang menyebutkan bahwa berdasarkan semua catatan perjalanannya mengunjungi berbagai kota, perjalanan Paulus mencapai lebih dari 10 ribu mil (setara dengan 16 ribu lebih kilometer). It wasn't a fun ride. Itu bukan perjalanan santai dan menyenangkan, sebaliknya merupakan perjalanan berat penuh penderitaan dan kesakitan. Itu bukanlah environment atau lingkungan maupun keadaan ideal bagi orang untuk bisa tampil menjadi teladan.
Kalau perjalanan panjang untuk menyampaikan kabar keselamatan yang dianugerahkan lewat Kristus saja sudah berat, perhatikan pula fakta yang tertulis di dalam Alkitab bahwa ia masih harus bekerja demi membiayai keperluan pelayanannya. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya perjuangan Paulus. Cobalah letakkan diri kita pada posisinya, mungkin kita langsung stres, depresi dan sebagainya diterpa kelelahan dan tekanan dalam menghadapi hari demi hari. Atau mungkin saja kita merasa kecewa dan tawar hati karena apa yang dialami berbeda dengan yang diharapkan. Dan bagi mereka yang pamrih dalam melayani, yang menganggap mereka harus dapat fasilitas mewah kelas satu sebagai hamba Tuhan, mereka bisa kepahitan kalau harus mengalami situasinya Paulus.
Tapi Paulus bukanlah orang yang punya mental seperti itu. Ia tahu diatas segalanya anugerah keselamatan yang ia terima merupakan sebuah anugerah yang luar biasa besar sehingga ia ingin melihat banyak orang lagi bisa mengikuti jejaknya. Ia memang berkeliling menyampaikan berita keselamatan, tetapi yang jauh lebih penting adalah ia mencontohkan sendiri aplikasi kebenaran dalam hidup lewat cara hidupnya, meski apa yang ia harus hadapi atau jalani sungguh berat dan sulit. Ia benar-benar menghayati keselamatan yang diperolehnya dengan penuh rasa syukur dan mempergunakan seluruh sisa hidupnya secara penuh hanya untuk Tuhan.
Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan mudah membuat kita kecewa apabila berada di posisinya. Tetapi tidak demikian dengan Paulus. Lihatlah apa yang ia katakan: "Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah." (1 Korintus 4:11-13a). Itu jelas menunjukkan sebuah keteladanan luar biasa. Ia tetap memberkati walau dimaki, ia tetap sabar saat dianiaya, ia tetap ramah saat difitnah.
Itu berbanding terbalik dengan paradigma banyak orang hari ini yang menuntut pelayanan kelas satu saat melayani. Menuntut dilayani saat melayani, terdengar aneh bukan? Tapi itulah yang sering terjadi saat ini. Dan mereka ini malah merasa sudah menjadi teladan. Paulus menunjukkan seperti apa melayani itu seharusnya, dan yang ia lakukan bukan hanya sebatas pengajaran lewat perkataan saja melainkan ia tunjukkan langsung dengan perbuatan nyata. Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter dan sikap Paulus dalam menghadapi berbagai hambatan dalam pelayanannya. Apa yang ia ajarkan semuanya telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pantaslah jika Paulus berani menjadikan dirinya sebagai teladan seperti ayat bacaan kali ini.
Saya yakin Paulus mendapatkan inspirasi dari keteladanan Yesus. Dalam masa hidupNya yang singkat di muka bumi ini, Yesus juga menunjukkan hal yang sama. Segala yang Dia ajarkan telah Dia contohkan secara langsung pula. Lihatlah sebuah contoh dari perkataan Yesus sendiri ketika ia mengingatkan kita untuk merendahkan diri kita menjadi pelayan dan hamba dalam Matius 20:26-27. Yesus berkata: "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (ay 28).
Apa yang diajarkan Yesus telah Dia perbuat langsung secara nyata. Ketika Yesus berkata "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu." (Yohanes 15:12), kita secara jelas bisa melihat sebesar apa kasihNya kepada kita. Yesus mengasihi kita sebegitu rupa sehingga Dia rela memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (ay 13). Yesus sudah membuktikan itu dengan nyata lewat karya penebusanNya.
(bersambung)
Berapa jauh jarak tempuh Paulus dalam masa pelayanannya? Ada penelitian yang menyebutkan bahwa berdasarkan semua catatan perjalanannya mengunjungi berbagai kota, perjalanan Paulus mencapai lebih dari 10 ribu mil (setara dengan 16 ribu lebih kilometer). It wasn't a fun ride. Itu bukan perjalanan santai dan menyenangkan, sebaliknya merupakan perjalanan berat penuh penderitaan dan kesakitan. Itu bukanlah environment atau lingkungan maupun keadaan ideal bagi orang untuk bisa tampil menjadi teladan.
Kalau perjalanan panjang untuk menyampaikan kabar keselamatan yang dianugerahkan lewat Kristus saja sudah berat, perhatikan pula fakta yang tertulis di dalam Alkitab bahwa ia masih harus bekerja demi membiayai keperluan pelayanannya. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya perjuangan Paulus. Cobalah letakkan diri kita pada posisinya, mungkin kita langsung stres, depresi dan sebagainya diterpa kelelahan dan tekanan dalam menghadapi hari demi hari. Atau mungkin saja kita merasa kecewa dan tawar hati karena apa yang dialami berbeda dengan yang diharapkan. Dan bagi mereka yang pamrih dalam melayani, yang menganggap mereka harus dapat fasilitas mewah kelas satu sebagai hamba Tuhan, mereka bisa kepahitan kalau harus mengalami situasinya Paulus.
Tapi Paulus bukanlah orang yang punya mental seperti itu. Ia tahu diatas segalanya anugerah keselamatan yang ia terima merupakan sebuah anugerah yang luar biasa besar sehingga ia ingin melihat banyak orang lagi bisa mengikuti jejaknya. Ia memang berkeliling menyampaikan berita keselamatan, tetapi yang jauh lebih penting adalah ia mencontohkan sendiri aplikasi kebenaran dalam hidup lewat cara hidupnya, meski apa yang ia harus hadapi atau jalani sungguh berat dan sulit. Ia benar-benar menghayati keselamatan yang diperolehnya dengan penuh rasa syukur dan mempergunakan seluruh sisa hidupnya secara penuh hanya untuk Tuhan.
Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan mudah membuat kita kecewa apabila berada di posisinya. Tetapi tidak demikian dengan Paulus. Lihatlah apa yang ia katakan: "Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah." (1 Korintus 4:11-13a). Itu jelas menunjukkan sebuah keteladanan luar biasa. Ia tetap memberkati walau dimaki, ia tetap sabar saat dianiaya, ia tetap ramah saat difitnah.
Itu berbanding terbalik dengan paradigma banyak orang hari ini yang menuntut pelayanan kelas satu saat melayani. Menuntut dilayani saat melayani, terdengar aneh bukan? Tapi itulah yang sering terjadi saat ini. Dan mereka ini malah merasa sudah menjadi teladan. Paulus menunjukkan seperti apa melayani itu seharusnya, dan yang ia lakukan bukan hanya sebatas pengajaran lewat perkataan saja melainkan ia tunjukkan langsung dengan perbuatan nyata. Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter dan sikap Paulus dalam menghadapi berbagai hambatan dalam pelayanannya. Apa yang ia ajarkan semuanya telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pantaslah jika Paulus berani menjadikan dirinya sebagai teladan seperti ayat bacaan kali ini.
Saya yakin Paulus mendapatkan inspirasi dari keteladanan Yesus. Dalam masa hidupNya yang singkat di muka bumi ini, Yesus juga menunjukkan hal yang sama. Segala yang Dia ajarkan telah Dia contohkan secara langsung pula. Lihatlah sebuah contoh dari perkataan Yesus sendiri ketika ia mengingatkan kita untuk merendahkan diri kita menjadi pelayan dan hamba dalam Matius 20:26-27. Yesus berkata: "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (ay 28).
Apa yang diajarkan Yesus telah Dia perbuat langsung secara nyata. Ketika Yesus berkata "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu." (Yohanes 15:12), kita secara jelas bisa melihat sebesar apa kasihNya kepada kita. Yesus mengasihi kita sebegitu rupa sehingga Dia rela memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (ay 13). Yesus sudah membuktikan itu dengan nyata lewat karya penebusanNya.
(bersambung)
Tuesday, April 17, 2018
Be an Example like Paul (2)
(sambungan)
Banyak juga orang yang mengira bahwa untuk menjadi teladan itu berat karena harus menginspirasi banyak orang. Padahal kita bisa memulainya dari hal kecil, dalam komunitas terkecil kita seperti keluarga. Banyak orang tua yang sudah terlalu letih akibat kesibukan bekerja sehingga mereka merasa tidak lagi punya waktu untuk menanamkan nilai-nilai luhur akan kebenaran kepada anak-anaknya. Mereka hanya segera memarahi anak-anaknya tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi, lebih kepada memberi hukuman ketimbang mendidik.
Maka anak-anak banyak yang tidak mengerti kenapa mereka dimarahi atau dihukum. Pengajaran hanya satu arah dan otoriter, kalau salah, hajar saja sepuasnya supaya kapok, tanpa diberi penjelasan dimana letak salahnya dan kenapa itu salah. Di satu sisi mereka melarang, tapi di sisi lain mereka melanggar sendiri peraturan yang mereka buat. Mereka melarang anaknya merokok, tapi mereka santai merokok di depan anaknya. Mereka melarang anaknya pulang larut malam, mereka pulang seenaknya tanpa memberi penjelasan apa-apa pada anaknya. Mereka menganggap bahwa sebagai orang tua mereka punya kekuasaan absolut yang bisa dipakai seenaknya. Saya orang tua, kamu anak. Jadi pokoknya harus menurut. Titik.
Ini bukanlah sikap orang menurut standar kekristenan karena hanya memerintah tanpa mencontohkan. Hanya menuntut tanpa memberi teladan. Anak pun akan sulit belajar tentang kebenaran jika berada dalam bentuk keluarga otoriter yang tidak menganggap penting proses mendidik dan keteladanan seperti itu. Dan kita tidak akan bisa berharap bisa menjadi teladan secara luas kalau dalam lingkungan terkecil saja kita gagal untuk itu.
Agar bisa menjadi teladan itu berat. Artinya, kita harus terlebih dahulu melakukan sebelum kita mengajarkannya. Kalau kita mengajarkan bahwa tidak baik untuk cepat marah, kita harus terlebih dahulu menunjukkan kesabaran, bukan malah menunjukkan betapa pendeknya sumbu kesabaran anda. Kalau maumengajarkan harus hidup jujur dan bersih, maka kita harus terlebih dahulu melakukannya. Kalau kita mengajarkan harus rajin membangun hubungan dengan Tuhan, kita harus mencontohkannya dan bukan hanya menyuruh tapi sendirinya malas dengan dalih tidak lagi punya cukup waktu untuk itu. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang pintar mengajarkan tentang yang baik dan benar tapi kita tidak mau memberi keteladanan. Atau malah sehari-hari perilaku masih buruk dan secara transparan dilihat oleh orang lain.
Ada begitu banyak tokoh dalam Alkitab yang sangat baik untuk dijadikan teladan karena cara hidup mereka yang sangat mencerminkan kesetiaan dan iman yang bertahan hingga akhir. Salah satunya adalah Paulus. Pada suatu kali Paulus berkata dengan penuh percaya diri kepada jemaat Korintus: "Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:16). Kalimat ini sangat singkat dan sederhana, tapi sungguh tidak main-main. Paulus tidak mungkin berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum mencontohkan apapun yang ia sampaikan mengenai kebenaran Firman Tuhan. Bukan cuma mendengar apa yang ia sampaikan, tapi ia pun menasihatkan orang untuk menuruti keteladanan yang sudah ia contohkan secara langsung. Artinya, Paulus bukan hanya mengajar, tapi juga pasti memberi contoh langsung terhadap apa yang ia ajarkan. Ia tahu cara termudah bagi orang untuk memahami apa yang ia ajarkan adalah dengan melihat keteladanannya, dan ia pun mengingatkan pentingnya hal tersebut kepada para jemaat Korintus dan siapapun yang membaca ayat ini sepanjang masa.
Kita tahu seperti apa sejarah hidup Paulus. Ia mengalami perubahan hidup 180 derajat dalam waktu relatif singkat, dari seorang yang jahat dan kejam, ia berubah menjadi orang yang sangat radikal dan berani dalam menyebarkan Injil keselamatan. Ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk pergi ke berbagai pelosok dalam menjalankan misinya bahkan hingga mencapai Yunani dan Asia kecil. Tidak ada pesawat waktu itu yang mampu mengantar orang dalam waktu singkat, tidak ada pula sarana internet yang memungkinkan orang bisa berhubungan tatap muka secara langsung meski berada jauh satu sama lain seperti chatting, teleconference dan sebagainya. Alat transpor yang lumayan membantu tentu saja kapal, tapi kapal tidak bisa banyak membantu dalam perjalanan darat dan disamping itu harganya pun lumayan mahal.
(bersambung)
Banyak juga orang yang mengira bahwa untuk menjadi teladan itu berat karena harus menginspirasi banyak orang. Padahal kita bisa memulainya dari hal kecil, dalam komunitas terkecil kita seperti keluarga. Banyak orang tua yang sudah terlalu letih akibat kesibukan bekerja sehingga mereka merasa tidak lagi punya waktu untuk menanamkan nilai-nilai luhur akan kebenaran kepada anak-anaknya. Mereka hanya segera memarahi anak-anaknya tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi, lebih kepada memberi hukuman ketimbang mendidik.
Maka anak-anak banyak yang tidak mengerti kenapa mereka dimarahi atau dihukum. Pengajaran hanya satu arah dan otoriter, kalau salah, hajar saja sepuasnya supaya kapok, tanpa diberi penjelasan dimana letak salahnya dan kenapa itu salah. Di satu sisi mereka melarang, tapi di sisi lain mereka melanggar sendiri peraturan yang mereka buat. Mereka melarang anaknya merokok, tapi mereka santai merokok di depan anaknya. Mereka melarang anaknya pulang larut malam, mereka pulang seenaknya tanpa memberi penjelasan apa-apa pada anaknya. Mereka menganggap bahwa sebagai orang tua mereka punya kekuasaan absolut yang bisa dipakai seenaknya. Saya orang tua, kamu anak. Jadi pokoknya harus menurut. Titik.
Ini bukanlah sikap orang menurut standar kekristenan karena hanya memerintah tanpa mencontohkan. Hanya menuntut tanpa memberi teladan. Anak pun akan sulit belajar tentang kebenaran jika berada dalam bentuk keluarga otoriter yang tidak menganggap penting proses mendidik dan keteladanan seperti itu. Dan kita tidak akan bisa berharap bisa menjadi teladan secara luas kalau dalam lingkungan terkecil saja kita gagal untuk itu.
Agar bisa menjadi teladan itu berat. Artinya, kita harus terlebih dahulu melakukan sebelum kita mengajarkannya. Kalau kita mengajarkan bahwa tidak baik untuk cepat marah, kita harus terlebih dahulu menunjukkan kesabaran, bukan malah menunjukkan betapa pendeknya sumbu kesabaran anda. Kalau maumengajarkan harus hidup jujur dan bersih, maka kita harus terlebih dahulu melakukannya. Kalau kita mengajarkan harus rajin membangun hubungan dengan Tuhan, kita harus mencontohkannya dan bukan hanya menyuruh tapi sendirinya malas dengan dalih tidak lagi punya cukup waktu untuk itu. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang pintar mengajarkan tentang yang baik dan benar tapi kita tidak mau memberi keteladanan. Atau malah sehari-hari perilaku masih buruk dan secara transparan dilihat oleh orang lain.
Ada begitu banyak tokoh dalam Alkitab yang sangat baik untuk dijadikan teladan karena cara hidup mereka yang sangat mencerminkan kesetiaan dan iman yang bertahan hingga akhir. Salah satunya adalah Paulus. Pada suatu kali Paulus berkata dengan penuh percaya diri kepada jemaat Korintus: "Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (1 Korintus 4:16). Kalimat ini sangat singkat dan sederhana, tapi sungguh tidak main-main. Paulus tidak mungkin berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum mencontohkan apapun yang ia sampaikan mengenai kebenaran Firman Tuhan. Bukan cuma mendengar apa yang ia sampaikan, tapi ia pun menasihatkan orang untuk menuruti keteladanan yang sudah ia contohkan secara langsung. Artinya, Paulus bukan hanya mengajar, tapi juga pasti memberi contoh langsung terhadap apa yang ia ajarkan. Ia tahu cara termudah bagi orang untuk memahami apa yang ia ajarkan adalah dengan melihat keteladanannya, dan ia pun mengingatkan pentingnya hal tersebut kepada para jemaat Korintus dan siapapun yang membaca ayat ini sepanjang masa.
Kita tahu seperti apa sejarah hidup Paulus. Ia mengalami perubahan hidup 180 derajat dalam waktu relatif singkat, dari seorang yang jahat dan kejam, ia berubah menjadi orang yang sangat radikal dan berani dalam menyebarkan Injil keselamatan. Ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk pergi ke berbagai pelosok dalam menjalankan misinya bahkan hingga mencapai Yunani dan Asia kecil. Tidak ada pesawat waktu itu yang mampu mengantar orang dalam waktu singkat, tidak ada pula sarana internet yang memungkinkan orang bisa berhubungan tatap muka secara langsung meski berada jauh satu sama lain seperti chatting, teleconference dan sebagainya. Alat transpor yang lumayan membantu tentu saja kapal, tapi kapal tidak bisa banyak membantu dalam perjalanan darat dan disamping itu harganya pun lumayan mahal.
(bersambung)
Monday, April 16, 2018
Be an Example like Paul (1)
Ayat bacaan: 1 Korintus 4:16
====================
"Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!"
Seorang ahli teologia/filsuf/musikolog dan pemenang Nobel asal Jerman yang semasa hidupnya bertugas sebagai misionaris di Afrika bernama Albert Schweitzer dalam sebuah wawancara di tahun 1952 menjelaskan seperti apa teladan itu menurutnya. Ia berkata: "Example is not the main thing. It's the only thing". Memberi contoh atau teladan bukanlah hal yang utama dalam mempengaruhi orang, tapi itu adalah satu-satunya cara. Artinya, kalau kita ingin menyampaikan nilai-nilai kebenaran, tidak ada jalan yang lebih baik selain menjadi contoh nyata dari kebenaran itu. Pintar mengajar tapi apa yang diajarkan tidak tercermin dari perbuatan nyata, itu tidak akan membawa dampak yang signifikan dan hanya akan sia-sia saja.
Seperti arus air, manusia cenderung mengikut arus. Semakin deras arusnya, semakin banyak yang terseret. Sayangnya hal ini seringkali berlaku dalam hal-hal yang tidak baik. Dalam berkendara misalnya, kita akan ikut melawan arus kalau ada yang mulai di depan. Ikut melanggar lampu merah karena kendaraan di depan kita melakukannya. Kalau melihat banyak yang masuk jalur busway, kita pun ikut. Kalau kena semprit polisi, kita akan bilang: "soalnya yang di depan duluan sih pak... saya cuma ngikut aja." Kalau tahu orang salah, kenapa kita malah ikut-ikutan salah? Orang pada korupsi, yang tadinya jujur pada ikut. Rasa iri melihat orang bisa mendapat lebih dari seharusnya bisa jadi menjadi penyebab utamanya. Kalau dia bisa dapat segitu, masa saya cuma segini. Itu yang muncul di pikiran, bukannya kesadaran untuk tidak ikut melakukan karena itu jelas perbuatan yang salah. Kalau banyak yang negatif, kita ikut negatif. Orang baik salah gaul dalam lingkungan pertemanan yang buruk jadi ikutan buruk.
Seperti itulah kecenderungan manusia. Untuk hal baik pun sebenarnya sama. Kalau arus baiknya deras, akan banyak pula manusia yang ikut ke dalam arus itu. Hanya saja sayangnya jumlah orang yang mampu menimbulkan arus kegerakan yang baik dalam kebenaran sangatlah sedikit jumlahnya dibandingkan arus pengaruh buruk. Dunia butuh lebih banyak lagi teladan. Tuhan ingin umatNya bisa menjadi agen-agen perubahan dimana keteladanan, seperti kata Albert Schweitzer di atas merupakan satu-satunya faktor yang bisa menjadi motor penggeraknya. Sayang sekali tidak banyak orang percaya yang mau naik level dari sekedar percaya untuk menjadi pelaku Firman dan kemudian menjadi teladan dalam hidupnya.
Kenapa tidak banyak yang mau? Jawabannya sederhana, karena menjadi teladan bukanlah perkara mudah. Bila dalam mengajar kita hanya perlu membagikan ilmu dan pengetahuan lewat pengajaran dan teori, tetapi dalam menerapkan keteladanan kita harus mengadopsi langsung seluruh nilai-nilai yang kita ajarkan untuk tampil secara langsung dalam perbuatan kita. Keengganan manusia untuk melepas kesenangan, kemudahan, kenikmatan yang ditawarkan dunia, keengganan manusia untuk meninggalkan pola hidup dunia, kesulitan untuk menundukkan keinginan daging menjadi beberapa penyebab terdepan mengapa tidak banyak orang yang mau atau mampu jadi teladan. Ada orang-orang yang mampu menunjukkan nilai-nilai kebenaran dalam hidupnya sehingga mampu memberi pengajaran tersendiri meski tanpa mengucapkan kata-kata sekalipun. Sebaliknya ada orang yang terus berbicara tapi hasilnya tidak maksimal karena tidak disertai dengan contoh nyata dari cara atau sikap hidupnya.
Keteladanan mengacu kepada sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh seperti dalam sifat, sikap, perbuatan, perilaku dan gaya hidup. Itu idealnya. Tapi anehnya ada banyak orang yang mengidolakan orang-orang yang justru tidak pantas jadi teladan karena memberi contoh atau pengaruh buruk. Meski tidak semua, ada banyak musisi, artis atau selebritis yang hidupnya penuh dengan obat-obat terlarang, hubungan bebas, menyampaikan pengajaran-pengajaran buruk dalam karyanya dan sebagainya, itu tentu bukan merupakan teladan yang baik meski banyak yang mengidolakan. Ada yang malah bangga mengidolakan tokoh dunia yang terkenal kejam dan sudah membantai begitu banyak jiwa karena mereka pikir akan membuat mereka keren di mata orang lain.
Ada saja memang orang yang seperti itu, tetapi itu bukanlah sebuah keteladanan menurut pengertian sebenarnya. Seorang yang bisa dijadikan panutan atau teladan adalah orang yang terus menanamkan nilai-nilai kebenaran, budi pekerti dan berbagai kebaikan lainnya yang bukan hanya sebatas ajaran lewat kata-kata saja tetapi tercermin langsung dalam keseharian hidup mereka. Artinya, orang-orang yang menjadi teladan adalah orang berintegritas yang punya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.
(bersambung)
====================
"Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!"
Seorang ahli teologia/filsuf/musikolog dan pemenang Nobel asal Jerman yang semasa hidupnya bertugas sebagai misionaris di Afrika bernama Albert Schweitzer dalam sebuah wawancara di tahun 1952 menjelaskan seperti apa teladan itu menurutnya. Ia berkata: "Example is not the main thing. It's the only thing". Memberi contoh atau teladan bukanlah hal yang utama dalam mempengaruhi orang, tapi itu adalah satu-satunya cara. Artinya, kalau kita ingin menyampaikan nilai-nilai kebenaran, tidak ada jalan yang lebih baik selain menjadi contoh nyata dari kebenaran itu. Pintar mengajar tapi apa yang diajarkan tidak tercermin dari perbuatan nyata, itu tidak akan membawa dampak yang signifikan dan hanya akan sia-sia saja.
Seperti arus air, manusia cenderung mengikut arus. Semakin deras arusnya, semakin banyak yang terseret. Sayangnya hal ini seringkali berlaku dalam hal-hal yang tidak baik. Dalam berkendara misalnya, kita akan ikut melawan arus kalau ada yang mulai di depan. Ikut melanggar lampu merah karena kendaraan di depan kita melakukannya. Kalau melihat banyak yang masuk jalur busway, kita pun ikut. Kalau kena semprit polisi, kita akan bilang: "soalnya yang di depan duluan sih pak... saya cuma ngikut aja." Kalau tahu orang salah, kenapa kita malah ikut-ikutan salah? Orang pada korupsi, yang tadinya jujur pada ikut. Rasa iri melihat orang bisa mendapat lebih dari seharusnya bisa jadi menjadi penyebab utamanya. Kalau dia bisa dapat segitu, masa saya cuma segini. Itu yang muncul di pikiran, bukannya kesadaran untuk tidak ikut melakukan karena itu jelas perbuatan yang salah. Kalau banyak yang negatif, kita ikut negatif. Orang baik salah gaul dalam lingkungan pertemanan yang buruk jadi ikutan buruk.
Seperti itulah kecenderungan manusia. Untuk hal baik pun sebenarnya sama. Kalau arus baiknya deras, akan banyak pula manusia yang ikut ke dalam arus itu. Hanya saja sayangnya jumlah orang yang mampu menimbulkan arus kegerakan yang baik dalam kebenaran sangatlah sedikit jumlahnya dibandingkan arus pengaruh buruk. Dunia butuh lebih banyak lagi teladan. Tuhan ingin umatNya bisa menjadi agen-agen perubahan dimana keteladanan, seperti kata Albert Schweitzer di atas merupakan satu-satunya faktor yang bisa menjadi motor penggeraknya. Sayang sekali tidak banyak orang percaya yang mau naik level dari sekedar percaya untuk menjadi pelaku Firman dan kemudian menjadi teladan dalam hidupnya.
Kenapa tidak banyak yang mau? Jawabannya sederhana, karena menjadi teladan bukanlah perkara mudah. Bila dalam mengajar kita hanya perlu membagikan ilmu dan pengetahuan lewat pengajaran dan teori, tetapi dalam menerapkan keteladanan kita harus mengadopsi langsung seluruh nilai-nilai yang kita ajarkan untuk tampil secara langsung dalam perbuatan kita. Keengganan manusia untuk melepas kesenangan, kemudahan, kenikmatan yang ditawarkan dunia, keengganan manusia untuk meninggalkan pola hidup dunia, kesulitan untuk menundukkan keinginan daging menjadi beberapa penyebab terdepan mengapa tidak banyak orang yang mau atau mampu jadi teladan. Ada orang-orang yang mampu menunjukkan nilai-nilai kebenaran dalam hidupnya sehingga mampu memberi pengajaran tersendiri meski tanpa mengucapkan kata-kata sekalipun. Sebaliknya ada orang yang terus berbicara tapi hasilnya tidak maksimal karena tidak disertai dengan contoh nyata dari cara atau sikap hidupnya.
Keteladanan mengacu kepada sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh seperti dalam sifat, sikap, perbuatan, perilaku dan gaya hidup. Itu idealnya. Tapi anehnya ada banyak orang yang mengidolakan orang-orang yang justru tidak pantas jadi teladan karena memberi contoh atau pengaruh buruk. Meski tidak semua, ada banyak musisi, artis atau selebritis yang hidupnya penuh dengan obat-obat terlarang, hubungan bebas, menyampaikan pengajaran-pengajaran buruk dalam karyanya dan sebagainya, itu tentu bukan merupakan teladan yang baik meski banyak yang mengidolakan. Ada yang malah bangga mengidolakan tokoh dunia yang terkenal kejam dan sudah membantai begitu banyak jiwa karena mereka pikir akan membuat mereka keren di mata orang lain.
Ada saja memang orang yang seperti itu, tetapi itu bukanlah sebuah keteladanan menurut pengertian sebenarnya. Seorang yang bisa dijadikan panutan atau teladan adalah orang yang terus menanamkan nilai-nilai kebenaran, budi pekerti dan berbagai kebaikan lainnya yang bukan hanya sebatas ajaran lewat kata-kata saja tetapi tercermin langsung dalam keseharian hidup mereka. Artinya, orang-orang yang menjadi teladan adalah orang berintegritas yang punya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.
(bersambung)
Sunday, April 15, 2018
Keteladanan Jemaat Tesalonika (4)
(sambungan)
Secara ringkas, jemaat Tesalonika ini :
- masih baru mengenal Kristus
- berada dalam keadaan penindasan berat
- Masa pengenalan mereka sangat singkat
Tapi mereka bisa menjadi teladan bukan saja di area Makedonia dimana mereka berada tapi hingga mencapai daerah Akhaya yang jaraknya ratusan kilometer.
Apa yang membuat mereka bisa seperti itu?
- hati mereka yang lembut menerima kebenaran dengan baik
- hati mereka yang lembut membuat Roh Kudus yang bekerja dalam pemberitaan Paulus dan rekan sekerjanya bisa mentransformasi mereka secara maksimal
- mereka mengikuti keteladanan dari para rasul dan Tuhan Yesus
- mereka hidup takut akan Tuhan bukan takut pada manusia
Apabila ada yang masih berpikir belum siap atau belum saatnya untuk menjadi teladan, belajarlah dari jemaat di Tesalonika. Beberapa hal yang saya jadikan catatan adalah sebagai berikut:
- Menjadi teladan wajib bagi setiap orang percaya
- Menjadi teladan tidaklah tergantung dari situasi/kondisi, usia, lamanya seseorang mengikut Yesus atau batasan-batasan lainnya melainkan dari kesadaran sendiri
- Kita tidak bisa mengharapkan terjadinya kegerakan rohani tanpa keteladanan yang ditunjukkan orang-orang percaya
- Keteladanan itu sifatnya estafet dan multiplikatif, juga menular
- Menjadi teladan bisa menginspirasi dan membawa keselamatan bagi orang lain
- Menjadi teladan butuh kelembutan hati dan komitmen
- Kita tidak akan bisa jadi teladan kalau tidak menghidupi Firman
Ingatlah bahwa kita tidak mungkin berharap untuk bisa menjadi teladan secara luas seperti halnya jemaat Tesalonika kalau di lingkungan kecil seperti keluarga dan gereja saja kita belum sanggup menjadi teladan, apalagi kalau masih terus jadi batu sandungan. Mulailah dengan atau dari hal kecil. Jadilah teladan terlebih dahulu dalam keluarga, dalam lingkungan pertemanan dan tempat tinggal, di gereja tempat anda berjemaat. Jangan diam saja, tapi bergeraklah menyampaikan kebenaran yang disertai dengan perbuatan nyata. Tuhan menginginkan anak-anakNya menjadi teladan yang menularkan inspirasi bagi orang lain agar bisa menerima dan merasakan secara langsung prinsip kasih dan kebenaranNya. Tuhan menunggu kita semua, anda dan saya untuk berperan aktif dalam hal ini.
Selagi waktu dan kesempatan masih ada, jangan sia-siakan dan mulailah dari sekarang. Jemaat Tesalonika ditengah segala penderitaan dan keterbatasannya ternyata mampu berdampak secara luas hingga ratusan kilometer jauhnya, sangatlah menyedihkan kalau kita yang sudah lama percaya masih sulit melakukan bahkan di lingkungan terdekat atau terkecil kita sekalipun.
Jadilah orang percaya yang berdampak, jadilah teladan yang membawa keselamatan bagi orang lain
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Secara ringkas, jemaat Tesalonika ini :
- masih baru mengenal Kristus
- berada dalam keadaan penindasan berat
- Masa pengenalan mereka sangat singkat
Tapi mereka bisa menjadi teladan bukan saja di area Makedonia dimana mereka berada tapi hingga mencapai daerah Akhaya yang jaraknya ratusan kilometer.
Apa yang membuat mereka bisa seperti itu?
- hati mereka yang lembut menerima kebenaran dengan baik
- hati mereka yang lembut membuat Roh Kudus yang bekerja dalam pemberitaan Paulus dan rekan sekerjanya bisa mentransformasi mereka secara maksimal
- mereka mengikuti keteladanan dari para rasul dan Tuhan Yesus
- mereka hidup takut akan Tuhan bukan takut pada manusia
Apabila ada yang masih berpikir belum siap atau belum saatnya untuk menjadi teladan, belajarlah dari jemaat di Tesalonika. Beberapa hal yang saya jadikan catatan adalah sebagai berikut:
- Menjadi teladan wajib bagi setiap orang percaya
- Menjadi teladan tidaklah tergantung dari situasi/kondisi, usia, lamanya seseorang mengikut Yesus atau batasan-batasan lainnya melainkan dari kesadaran sendiri
- Kita tidak bisa mengharapkan terjadinya kegerakan rohani tanpa keteladanan yang ditunjukkan orang-orang percaya
- Keteladanan itu sifatnya estafet dan multiplikatif, juga menular
- Menjadi teladan bisa menginspirasi dan membawa keselamatan bagi orang lain
- Menjadi teladan butuh kelembutan hati dan komitmen
- Kita tidak akan bisa jadi teladan kalau tidak menghidupi Firman
Ingatlah bahwa kita tidak mungkin berharap untuk bisa menjadi teladan secara luas seperti halnya jemaat Tesalonika kalau di lingkungan kecil seperti keluarga dan gereja saja kita belum sanggup menjadi teladan, apalagi kalau masih terus jadi batu sandungan. Mulailah dengan atau dari hal kecil. Jadilah teladan terlebih dahulu dalam keluarga, dalam lingkungan pertemanan dan tempat tinggal, di gereja tempat anda berjemaat. Jangan diam saja, tapi bergeraklah menyampaikan kebenaran yang disertai dengan perbuatan nyata. Tuhan menginginkan anak-anakNya menjadi teladan yang menularkan inspirasi bagi orang lain agar bisa menerima dan merasakan secara langsung prinsip kasih dan kebenaranNya. Tuhan menunggu kita semua, anda dan saya untuk berperan aktif dalam hal ini.
Selagi waktu dan kesempatan masih ada, jangan sia-siakan dan mulailah dari sekarang. Jemaat Tesalonika ditengah segala penderitaan dan keterbatasannya ternyata mampu berdampak secara luas hingga ratusan kilometer jauhnya, sangatlah menyedihkan kalau kita yang sudah lama percaya masih sulit melakukan bahkan di lingkungan terdekat atau terkecil kita sekalipun.
Jadilah orang percaya yang berdampak, jadilah teladan yang membawa keselamatan bagi orang lain
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Saturday, April 14, 2018
Keteladanan Jemaat Tesalonika (3)
(sambungan)
Apa yang menyebabkan mereka bisa menjadi teladan dalam hal iman seperti itu? Ayat 1 Tesalonika 1:6 di atas memberitahu kuncinya. "Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus". Dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari ayat ini berbunyi sebagai berikut: "Kalian mengikuti teladan kami dan teladan Tuhan. Meskipun kalian sangat menderita, kalian menyambut dengan gembira kabar yang kami beritakan kepadamu. Kegembiraan itu diberi oleh Roh Allah." Lihatlah bagaimana sikap hati mereka menerima kabar keselamatan. Mereka menerima berita keselamatan dengan sukacita, meneladani contoh yang diberikan Paulus dalam mengikut Yesus meski sedang berada dalam keadaan menderita.
Lihatlah ada transfer keteladanan pula yang terjadi disana. Yesus memberikan keteladanan mengenai prinsip Kerajaan semasa kedatangannya ke dunia. Tidak satupun yang Dia sampaikan tentang cara hidup yang benar menurut pandangan Allah yang tidak Dia lakukan secara nyata, termasuk mengenai kasih dan pengampunan yang standarnya jauh di atas standar dunia. Lalu keteladanan Yesus ini diaplikasikan Paulus dalam hidup dan pelayanannya. He set up examples as he went preaching everywhere. Dari keteladanan Yesus pada keteladanan Paulus. Lantas keteladanan itu menginspirasi orang-orang yang mendengar pemberitaannya sehingga mereka pun tumbuh menjadi teladan bagi orang lain. Bayangkan seandainya estafet keteladanan ini terus bergulir, transformasi besar bukan lagi hal yang mustahil. Dan, bayangkan apabila kita tidak menjadi teladan dan estafet itu berhenti pada diri kita, bukankah itu menyedihkan?
Perjalanan Paulus dan Silas hingga mencapai Yunani tidak mudah. Di wilayah Makedonia ini saja ia berulang kali mengalami penderitaan berat. Sebelum mereka menjejakkan kakinya di kota Tesalonika, mereka sempat disiksa, dipenjara dan dipasung di Filipi. Kisah penyekapan dan pasung yang kemudian berujung pertobatan kepala penjara ini bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 16. Lantas di Tesalonika mereka harus berhadapan dengan orang-orang Yahudi yang iri dan memprovokasi preman pasar hingga menyebabkan huru-hara, seperti yang terjadi di negara kita hari-hari ini.
Begitu banyak penderitaan, tetapi Paulus dalam suratnya buat jemaat Tesalonika jelas-jelas tidak bereaksi negatif dalam menyikapi kondisi tersebut. Keteladanan menginspirasi yang ditunjukkan oleh jemaat Tesalonika ternyata menyenangkan hatinya. Paulus berkata: "Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami. Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita. Dan kami tahu, hai saudara-saudara yang dikasihi Allah, bahwa Ia telah memilih kamu." (1 Tesalonika 1:2-4).
Rasa syukur, itulah yang dirasa Paulus terhadap jemaat di Tesalonika ini. Dia mendengar langsung bagaimana keteladanan jemaat ini sanggup mencapai propinsi sebelahnya yang jaraknya jauh. Mengingat bahwa Paulus dan Silas hanya berada disana selama 3 minggu saja (3 kali sabat), tentu saja Paulus bersyukur bahwa Roh Kudus bekerja dalam pemberitaannya untuk membawa pertobatan bagi banyak orang Tesalonika sehingga kegerakan besar boleh terjadi disana. Hati mereka yang lembut dalam menerima kebenaran membuat masa tiga sabat cukup untuk membawa mereka lahir baru dan langsung tumbuh menjadi pribadi-pribadi teladan akan iman dalam Kristus.
(bersambung)
Apa yang menyebabkan mereka bisa menjadi teladan dalam hal iman seperti itu? Ayat 1 Tesalonika 1:6 di atas memberitahu kuncinya. "Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus". Dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari ayat ini berbunyi sebagai berikut: "Kalian mengikuti teladan kami dan teladan Tuhan. Meskipun kalian sangat menderita, kalian menyambut dengan gembira kabar yang kami beritakan kepadamu. Kegembiraan itu diberi oleh Roh Allah." Lihatlah bagaimana sikap hati mereka menerima kabar keselamatan. Mereka menerima berita keselamatan dengan sukacita, meneladani contoh yang diberikan Paulus dalam mengikut Yesus meski sedang berada dalam keadaan menderita.
Lihatlah ada transfer keteladanan pula yang terjadi disana. Yesus memberikan keteladanan mengenai prinsip Kerajaan semasa kedatangannya ke dunia. Tidak satupun yang Dia sampaikan tentang cara hidup yang benar menurut pandangan Allah yang tidak Dia lakukan secara nyata, termasuk mengenai kasih dan pengampunan yang standarnya jauh di atas standar dunia. Lalu keteladanan Yesus ini diaplikasikan Paulus dalam hidup dan pelayanannya. He set up examples as he went preaching everywhere. Dari keteladanan Yesus pada keteladanan Paulus. Lantas keteladanan itu menginspirasi orang-orang yang mendengar pemberitaannya sehingga mereka pun tumbuh menjadi teladan bagi orang lain. Bayangkan seandainya estafet keteladanan ini terus bergulir, transformasi besar bukan lagi hal yang mustahil. Dan, bayangkan apabila kita tidak menjadi teladan dan estafet itu berhenti pada diri kita, bukankah itu menyedihkan?
Perjalanan Paulus dan Silas hingga mencapai Yunani tidak mudah. Di wilayah Makedonia ini saja ia berulang kali mengalami penderitaan berat. Sebelum mereka menjejakkan kakinya di kota Tesalonika, mereka sempat disiksa, dipenjara dan dipasung di Filipi. Kisah penyekapan dan pasung yang kemudian berujung pertobatan kepala penjara ini bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 16. Lantas di Tesalonika mereka harus berhadapan dengan orang-orang Yahudi yang iri dan memprovokasi preman pasar hingga menyebabkan huru-hara, seperti yang terjadi di negara kita hari-hari ini.
Begitu banyak penderitaan, tetapi Paulus dalam suratnya buat jemaat Tesalonika jelas-jelas tidak bereaksi negatif dalam menyikapi kondisi tersebut. Keteladanan menginspirasi yang ditunjukkan oleh jemaat Tesalonika ternyata menyenangkan hatinya. Paulus berkata: "Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami. Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita. Dan kami tahu, hai saudara-saudara yang dikasihi Allah, bahwa Ia telah memilih kamu." (1 Tesalonika 1:2-4).
Rasa syukur, itulah yang dirasa Paulus terhadap jemaat di Tesalonika ini. Dia mendengar langsung bagaimana keteladanan jemaat ini sanggup mencapai propinsi sebelahnya yang jaraknya jauh. Mengingat bahwa Paulus dan Silas hanya berada disana selama 3 minggu saja (3 kali sabat), tentu saja Paulus bersyukur bahwa Roh Kudus bekerja dalam pemberitaannya untuk membawa pertobatan bagi banyak orang Tesalonika sehingga kegerakan besar boleh terjadi disana. Hati mereka yang lembut dalam menerima kebenaran membuat masa tiga sabat cukup untuk membawa mereka lahir baru dan langsung tumbuh menjadi pribadi-pribadi teladan akan iman dalam Kristus.
(bersambung)
Friday, April 13, 2018
Keteladanan Jemaat Tesalonika (2)
(sambungan)
Paulus dan Silas pada suatu hari tiba di Tesalonika. Saat mereka menemukan rumah ibadat orang Yahudi, seperti biasa mereka pun masuk kesana. Tiga minggu lamanya Paulus berdiskusi mengenai bagian Kitab Suci, menyampaikan kabar keselamatan mengenai Yesus dan apa yang harus Dia pikul untuk menebus manusia. Selama 3 minggu itu terjadi banyak pertobatan dari antara orang-orang Yunani, termasuk di dalamnya wanita-wanita terkemuka di kota itu.
Hal ini seharusnya membawa sukacita bagi para orang Yahudi. Tapi sayangnya hati mereka tidak merasa seperti itu, melainkan muncul rasa iri hati atau cemburu. Perasaan negatif ini mendorong mereka untuk memanggil para penjahat dari antara petualang-petualang di pasar (kalau jaman sekarang mungkin disebut preman pasar) untuk mengacau, mengadakan keributan di seluruh penjuru kota. Huru-hara atau kerusuhan pun terjadi. Orang percaya bernama Yason yang menampung Paulus dan Silas pun mereka serbu untuk menangkap Paulus dan Silas untuk diramaikan massa. Karena Paulus dan Silas tidak mereka temukan, Yason dan beberapa orang percaya lainnya pun menjadi korban mereka dan harus membayar uang jaminan agar bisa lepas.
Saat malam tiba, para orang-orang di Tesalonika yang baru menerima Yesus sebagai Tuhan mereka meminta Paulus dan Silas untuk bertolak ke kota lain karena situasi dan kondisi yang jauh dari kondusif. Dan Paulus bersama Silas pun melanjutkan perjalanan mereka menuju kota tetangga yaitu Berea. Seperti yang saya sebutkan tadi, kisah terbentuknya gereja Tesalonika ini bisa dibaca dalam Kisah Para Rasul 17:1-10.
Lihatlah sebuah fakta bahwa Paulus dan Silas hanya berada di kota itu selama 3 minggu. Itu tentu waktu yang sangat singkat untuk bisa membawa orang masuk ke dalam pertobatan, mengumpulkan mereka dan membentuk gereja. Apalagi situasi yang terjadi disana jauh dari kondusif. Ada usaha untuk menghalangi penyebaran berita keselamatan yang bisa mengancam keselamatan para rasul maupun orang yang baru percaya, mungkin mirip dengan apa yang terjadi hari ini. Apa yang diharapkan dalam kondisi seperti itu dalam waktu singkat? Logikanya, mereka pasti ketakutan dan kemudian berbalik arah meninggalkan kebenaran yang baru saja mereka terima.
Apakah itu yang terjadi? Sama sekali bukan. Sesuatu yang diluar perkiraan justru merupakan hal yang terjadi. Bukannya takut, mereka ternyata dengan cepat menjadi teladan di Yunani secara luas. Paulus mengatakan seperti ini: "Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya." (1 Tesalonika 1:6-7).
Paulus tahu bahwa mereka harus mengalami penindasan yang berat karena iman mereka, tapi mereka tetap menerima Firman dengan sukacita oleh Roh Kudus. Dan itu ternyata membuat mereka menjadi teladan untuk semua orang percaya di seantero wilayah Makedonia dan Akhaya. Makedonia itu kalau kita lihat dalam Kisah Para Rasul 17 mencakup kota-kota seperti Filipi, Tesalonika dan Berea, sedangkan Akhaya adalah propinsi tetangga dimana kota seperti Korintus dan Atena berada. Bicara soal jarak, jarak antara dua propinsi ini tidaklah dekat, yaitu mencapai hampir 700 km. Belum ada media seperti radio, televisi, koran atau internet pada masa itu, sehingga kalau jemaat Tesalonika yang baru lahir ini bisa menjadi teladan bagi semua orang percaya di area seluas itu dalam waktu singkat tanpa bantuan media massa dan teknologi seperti sekarang, tentu keteladanan yang mereka lakukan itu begitu luar biasa hebatnya. Ingatlah bahwa mereka bukan jemaat yang berada dalam situasi aman damai. Mereka terancam, tertindas berat, dan mereka pun belum lama mengenal Kristus. Tapi faktanya mereka bisa menjadi teladan di area mencapai ratusan kilometer jauhnya.
(bersambung)
Paulus dan Silas pada suatu hari tiba di Tesalonika. Saat mereka menemukan rumah ibadat orang Yahudi, seperti biasa mereka pun masuk kesana. Tiga minggu lamanya Paulus berdiskusi mengenai bagian Kitab Suci, menyampaikan kabar keselamatan mengenai Yesus dan apa yang harus Dia pikul untuk menebus manusia. Selama 3 minggu itu terjadi banyak pertobatan dari antara orang-orang Yunani, termasuk di dalamnya wanita-wanita terkemuka di kota itu.
Hal ini seharusnya membawa sukacita bagi para orang Yahudi. Tapi sayangnya hati mereka tidak merasa seperti itu, melainkan muncul rasa iri hati atau cemburu. Perasaan negatif ini mendorong mereka untuk memanggil para penjahat dari antara petualang-petualang di pasar (kalau jaman sekarang mungkin disebut preman pasar) untuk mengacau, mengadakan keributan di seluruh penjuru kota. Huru-hara atau kerusuhan pun terjadi. Orang percaya bernama Yason yang menampung Paulus dan Silas pun mereka serbu untuk menangkap Paulus dan Silas untuk diramaikan massa. Karena Paulus dan Silas tidak mereka temukan, Yason dan beberapa orang percaya lainnya pun menjadi korban mereka dan harus membayar uang jaminan agar bisa lepas.
Saat malam tiba, para orang-orang di Tesalonika yang baru menerima Yesus sebagai Tuhan mereka meminta Paulus dan Silas untuk bertolak ke kota lain karena situasi dan kondisi yang jauh dari kondusif. Dan Paulus bersama Silas pun melanjutkan perjalanan mereka menuju kota tetangga yaitu Berea. Seperti yang saya sebutkan tadi, kisah terbentuknya gereja Tesalonika ini bisa dibaca dalam Kisah Para Rasul 17:1-10.
Lihatlah sebuah fakta bahwa Paulus dan Silas hanya berada di kota itu selama 3 minggu. Itu tentu waktu yang sangat singkat untuk bisa membawa orang masuk ke dalam pertobatan, mengumpulkan mereka dan membentuk gereja. Apalagi situasi yang terjadi disana jauh dari kondusif. Ada usaha untuk menghalangi penyebaran berita keselamatan yang bisa mengancam keselamatan para rasul maupun orang yang baru percaya, mungkin mirip dengan apa yang terjadi hari ini. Apa yang diharapkan dalam kondisi seperti itu dalam waktu singkat? Logikanya, mereka pasti ketakutan dan kemudian berbalik arah meninggalkan kebenaran yang baru saja mereka terima.
Apakah itu yang terjadi? Sama sekali bukan. Sesuatu yang diluar perkiraan justru merupakan hal yang terjadi. Bukannya takut, mereka ternyata dengan cepat menjadi teladan di Yunani secara luas. Paulus mengatakan seperti ini: "Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya." (1 Tesalonika 1:6-7).
Paulus tahu bahwa mereka harus mengalami penindasan yang berat karena iman mereka, tapi mereka tetap menerima Firman dengan sukacita oleh Roh Kudus. Dan itu ternyata membuat mereka menjadi teladan untuk semua orang percaya di seantero wilayah Makedonia dan Akhaya. Makedonia itu kalau kita lihat dalam Kisah Para Rasul 17 mencakup kota-kota seperti Filipi, Tesalonika dan Berea, sedangkan Akhaya adalah propinsi tetangga dimana kota seperti Korintus dan Atena berada. Bicara soal jarak, jarak antara dua propinsi ini tidaklah dekat, yaitu mencapai hampir 700 km. Belum ada media seperti radio, televisi, koran atau internet pada masa itu, sehingga kalau jemaat Tesalonika yang baru lahir ini bisa menjadi teladan bagi semua orang percaya di area seluas itu dalam waktu singkat tanpa bantuan media massa dan teknologi seperti sekarang, tentu keteladanan yang mereka lakukan itu begitu luar biasa hebatnya. Ingatlah bahwa mereka bukan jemaat yang berada dalam situasi aman damai. Mereka terancam, tertindas berat, dan mereka pun belum lama mengenal Kristus. Tapi faktanya mereka bisa menjadi teladan di area mencapai ratusan kilometer jauhnya.
(bersambung)
Thursday, April 12, 2018
Keteladanan Jemaat Tesalonika (1)
Ayat bacaan: 1 Tesalonika 1:6-7
======================
"Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya."
Menjadi orang benar itu wajib, itu kita tahu. Tapi apakah kita tahu bahwa keselamatan itu bukan hanya untuk dinikmati sendiri tapi juga seharusnya bisa menjadi teladan buat orang lain sehingga mereka yang belum mengenal Kristus juga bisa mendapatkan kesempatan yang sama? Tuhan Yesus melakukan karya penebusanNya atas dasar kasih yang begitu besar bagi umat manusia bukan hanya untuk segelintir orang melainkan untuk semua manusia. Karena itulah kita seharusnya bisa menjadi teladan yang menyatakan Tuhan di muka bumi ini, dimana kita ditempatkan.
Kalau ditanya siapa yang harus jadi teladan, jawabannya tentu semua orang percaya. Pertanyaannya, kapan kita bisa jadi teladan? Jawaban pun bisa berbeda-beda. Mungkin kita tahu bahwa kita harus bisa secepatnya menjadi teladan tanpa memandang usia, tetapi masalahnya, banyak orang yang tidak siap untuk itu. Tidak siap melepaskan kenikmatan daging, tidak siap untuk menghidupi prinsip Kerajaan dengan melakukan Firman, tidak siap untuk membenahi diri agar bisa menjadi teladan.
Suatu kali saat topik ini saya angkat dalam obrolan santai dengan beberapa teman, salah seorang diantaranya mengatakan seperti itu, bahwa ia belum siap. "Nanti sajalah, saya masih harus berjuang keras mencari nafkah. Nanti kalau sudah mapan boleh deh." katanya ringan. Masih oke kalau yang bicara ini orang yang ekonominya morat marit. Tapi kalau yang ngomong orang yang tinggal di perumahan mewah, punya beberapa perusahaan, banyak mobil mahal, lantas mengaku masih harus berjuang keras mencari nafkah, bukankah itu menyedihkan? Kalau kita ada di posisi Tuhan, apa yang kita rasakan? Sedih, kecewa, kesal, mungkin itu yang dirasakan Tuhan mendengar anakNya yang sebenarnya sudah beriman pada Yesus, sudah ke gereja tapi masih bersikap seperti itu.
Kalau batasannya adalah cukup, sampai kapan manusia bisa merasa cukup kalau dibiarkan? Daging yang lemah akan selalu menuntut, membuat manusia yang kehidupannya berpusat pada pemenuhan keinginan daging tidak akan pernah merasa cukup. Sudah punya ini, ingin itu. Tadinya merasa sudah punya banyak, saat melihat tetangga yang punya sesuatu yang lain jadi ingin. Terus kapan mau mulai berpikir jadi teladan? Membenahi diri saja belum, bagaimana mau jadi teladan. Bagaimana kalau keburu terlambat? Ada juga yang berkata belum siap dengan alasan masih ada beberapa sifat yang kata mereka sulit diubah karena bawaan lahir. Kalau ini yang jadi alasan, bagaimana dengan anugerah ciptaan baru yang diberikan Tuhan? Masih mending kalau sudah berusaha tapi belum maksimal, tapi banyak yang sudah menyerah sebelum mencoba.
Tidak mau repot untuk menjadi lebih baik, merasa orang lain tidak penting, masih hidup memenuhi keinginan daging membuat banyak orang mengabaikan pentingnya menjadi teladan. Banyak yang berpikir bahwa menjadi teladan hanya bisa kalau hidup sudah baik, lebih dari cukup, tenang tanpa masalah dan gangguan. Apakah memang seperti itu? Untuk menjawabnya, mari kita lihat satu bagian dari catatan perjalanan Paulus.
Kalau kemarin kita membahas tentang doa Epafras yang tak putus-putusnya untuk jemaat Kolose, dalam renungan kali ini saya ingin mengajak teman-teman untuk berpindah ke Tesalonika. Kita tentu tahu surat-surat Paulus buat jemaat Tesalonika yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Alkitab yang menjadi pegangan dan tuntunan kita. Tapi apa sebenarnya yang terjadi disana, bagaimana gereja pertama terbentuk di kota itu dan seperti apa jemaatnya? Apa hubungannya dengan keteladanan mengenai iman yang sudah panjang lebar saya bagikan di atas?
Tesalonika merupakan kota terbesar kedua di Yunani yang masih berdiri hingga hari ini. Sangatlah menarik jika melihat bagaimana gereja di Tesalonika dirintis dan berdiri. Hal itu bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 17:1-10. Sebelum kita masuk lebih jauh, ada sebuah clue atau petunjuk yang ditunjukkan lewat judul perikopnya, dan itu adalah: "Keributan di Tesalonika."
(bersambung)
======================
"Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya."
Menjadi orang benar itu wajib, itu kita tahu. Tapi apakah kita tahu bahwa keselamatan itu bukan hanya untuk dinikmati sendiri tapi juga seharusnya bisa menjadi teladan buat orang lain sehingga mereka yang belum mengenal Kristus juga bisa mendapatkan kesempatan yang sama? Tuhan Yesus melakukan karya penebusanNya atas dasar kasih yang begitu besar bagi umat manusia bukan hanya untuk segelintir orang melainkan untuk semua manusia. Karena itulah kita seharusnya bisa menjadi teladan yang menyatakan Tuhan di muka bumi ini, dimana kita ditempatkan.
Kalau ditanya siapa yang harus jadi teladan, jawabannya tentu semua orang percaya. Pertanyaannya, kapan kita bisa jadi teladan? Jawaban pun bisa berbeda-beda. Mungkin kita tahu bahwa kita harus bisa secepatnya menjadi teladan tanpa memandang usia, tetapi masalahnya, banyak orang yang tidak siap untuk itu. Tidak siap melepaskan kenikmatan daging, tidak siap untuk menghidupi prinsip Kerajaan dengan melakukan Firman, tidak siap untuk membenahi diri agar bisa menjadi teladan.
Suatu kali saat topik ini saya angkat dalam obrolan santai dengan beberapa teman, salah seorang diantaranya mengatakan seperti itu, bahwa ia belum siap. "Nanti sajalah, saya masih harus berjuang keras mencari nafkah. Nanti kalau sudah mapan boleh deh." katanya ringan. Masih oke kalau yang bicara ini orang yang ekonominya morat marit. Tapi kalau yang ngomong orang yang tinggal di perumahan mewah, punya beberapa perusahaan, banyak mobil mahal, lantas mengaku masih harus berjuang keras mencari nafkah, bukankah itu menyedihkan? Kalau kita ada di posisi Tuhan, apa yang kita rasakan? Sedih, kecewa, kesal, mungkin itu yang dirasakan Tuhan mendengar anakNya yang sebenarnya sudah beriman pada Yesus, sudah ke gereja tapi masih bersikap seperti itu.
Kalau batasannya adalah cukup, sampai kapan manusia bisa merasa cukup kalau dibiarkan? Daging yang lemah akan selalu menuntut, membuat manusia yang kehidupannya berpusat pada pemenuhan keinginan daging tidak akan pernah merasa cukup. Sudah punya ini, ingin itu. Tadinya merasa sudah punya banyak, saat melihat tetangga yang punya sesuatu yang lain jadi ingin. Terus kapan mau mulai berpikir jadi teladan? Membenahi diri saja belum, bagaimana mau jadi teladan. Bagaimana kalau keburu terlambat? Ada juga yang berkata belum siap dengan alasan masih ada beberapa sifat yang kata mereka sulit diubah karena bawaan lahir. Kalau ini yang jadi alasan, bagaimana dengan anugerah ciptaan baru yang diberikan Tuhan? Masih mending kalau sudah berusaha tapi belum maksimal, tapi banyak yang sudah menyerah sebelum mencoba.
Tidak mau repot untuk menjadi lebih baik, merasa orang lain tidak penting, masih hidup memenuhi keinginan daging membuat banyak orang mengabaikan pentingnya menjadi teladan. Banyak yang berpikir bahwa menjadi teladan hanya bisa kalau hidup sudah baik, lebih dari cukup, tenang tanpa masalah dan gangguan. Apakah memang seperti itu? Untuk menjawabnya, mari kita lihat satu bagian dari catatan perjalanan Paulus.
Kalau kemarin kita membahas tentang doa Epafras yang tak putus-putusnya untuk jemaat Kolose, dalam renungan kali ini saya ingin mengajak teman-teman untuk berpindah ke Tesalonika. Kita tentu tahu surat-surat Paulus buat jemaat Tesalonika yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Alkitab yang menjadi pegangan dan tuntunan kita. Tapi apa sebenarnya yang terjadi disana, bagaimana gereja pertama terbentuk di kota itu dan seperti apa jemaatnya? Apa hubungannya dengan keteladanan mengenai iman yang sudah panjang lebar saya bagikan di atas?
Tesalonika merupakan kota terbesar kedua di Yunani yang masih berdiri hingga hari ini. Sangatlah menarik jika melihat bagaimana gereja di Tesalonika dirintis dan berdiri. Hal itu bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 17:1-10. Sebelum kita masuk lebih jauh, ada sebuah clue atau petunjuk yang ditunjukkan lewat judul perikopnya, dan itu adalah: "Keributan di Tesalonika."
(bersambung)
Wednesday, April 11, 2018
Tetaplah Berdoa! (3)
(sambungan)
"Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." (ay 15-16). Lebih lanjut ia pun mengingatkan "Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa." (4:2).
Doa punya kekuatan yang sangat besar jauh melebihi apa yang kita kira, tetapi ingatlah agar jangan menjadikan doa hanya sebagai sarana untuk meminta saja. Bukan hanya dalam keadaan sulit, tetapi dalam keadaan baik pun hendaknya kita terus berdoa. Doa merupakan sarana kita berkomunikasi dengan Tuhan, dan komunikasi itu seharusnya terbangun dua arah secara interaktif. Artinya, kita pun harus mempergunakan itu untuk mendengar apa kata Tuhan bagi kita dan mengucap syukur, bukan hanya memakainya untuk terus meminta dan berkeluh kesah tanpa mau memberi kesempatan bagi Tuhan untuk menyampaikan sesuatu kepada kita.
Dalam surat 1 Tesalonika kita bisa mendapatkan seruan ini: "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Tetap mengucap syukur dalam kondisi baik maupun kurang baik, itu yang dikehendaki Allah dalam Yesus. Itu artinya kita harus bisa melihat kebaikan Tuhan pada masa atau musim yang sukar, dan mensyukurinya. Alangkah indahnya jika ucapan-ucapan syukur kita sampaikan secara langsung kepada Tuhan lewat doa-doa kita. Betapa pentingnya doa, dan secara padat, singkat, tegas dan jelas dikatakan: "Tetaplah berdoa." (ay 17). Be unceasing in prayer, berdoalah tanpa putus-putusnya.
Masih mengenai doa, dalam Mazmur kita bisa membaca seruan yang sangat penting: "Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya!" (Mazmur 95:7).
Mari kita selalu ingat untuk sujud menyembahNya, berlutut di hadapanNya dan memuliakanNya. Hendaklah doa selalu mengisi hari-hari kita. Jangan abaikan saat-saat dimana kita bisa bersekutu secara pribadi dengan Tuhan. MendengarkanNya, mengucap syukur kepadaNya, bercerita tentang hari-hari kita dan meminta penyertaanNya dalam segala yang sedang kita hadapi. Jangan lupakan adanya kuasa yang sangat besar di balik sebuah doa, bahkan doa yang paling sederhana sekalipun. Ingatlah syaratnya: "Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya." (Yakobus 5:16). Dan, "Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya." (Matius 21:22). Selama doa disampaikan oleh orang yang benar, dengan motivasi yang benar, dengan iman yang penuh kepercayaan, kuasa Ilahi yang besar mengalir disana. Bersabarlah kalau Tuhan belum memberi jawaban, jangan berhenti berdoa, jangan berpindah pada alternatif lain yang bisa mendatangkan masalah yang jauh lebih besar lagi. Apapun kondisinya, sesibuk apapun anda hari ini, tetaplah berdoa.
Jangan abaikan doa agar otot-otot rohani tidak lemah menghadapi dunia yang sukar dan jahat
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
"Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." (ay 15-16). Lebih lanjut ia pun mengingatkan "Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa." (4:2).
Doa punya kekuatan yang sangat besar jauh melebihi apa yang kita kira, tetapi ingatlah agar jangan menjadikan doa hanya sebagai sarana untuk meminta saja. Bukan hanya dalam keadaan sulit, tetapi dalam keadaan baik pun hendaknya kita terus berdoa. Doa merupakan sarana kita berkomunikasi dengan Tuhan, dan komunikasi itu seharusnya terbangun dua arah secara interaktif. Artinya, kita pun harus mempergunakan itu untuk mendengar apa kata Tuhan bagi kita dan mengucap syukur, bukan hanya memakainya untuk terus meminta dan berkeluh kesah tanpa mau memberi kesempatan bagi Tuhan untuk menyampaikan sesuatu kepada kita.
Dalam surat 1 Tesalonika kita bisa mendapatkan seruan ini: "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Tetap mengucap syukur dalam kondisi baik maupun kurang baik, itu yang dikehendaki Allah dalam Yesus. Itu artinya kita harus bisa melihat kebaikan Tuhan pada masa atau musim yang sukar, dan mensyukurinya. Alangkah indahnya jika ucapan-ucapan syukur kita sampaikan secara langsung kepada Tuhan lewat doa-doa kita. Betapa pentingnya doa, dan secara padat, singkat, tegas dan jelas dikatakan: "Tetaplah berdoa." (ay 17). Be unceasing in prayer, berdoalah tanpa putus-putusnya.
Masih mengenai doa, dalam Mazmur kita bisa membaca seruan yang sangat penting: "Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya!" (Mazmur 95:7).
Mari kita selalu ingat untuk sujud menyembahNya, berlutut di hadapanNya dan memuliakanNya. Hendaklah doa selalu mengisi hari-hari kita. Jangan abaikan saat-saat dimana kita bisa bersekutu secara pribadi dengan Tuhan. MendengarkanNya, mengucap syukur kepadaNya, bercerita tentang hari-hari kita dan meminta penyertaanNya dalam segala yang sedang kita hadapi. Jangan lupakan adanya kuasa yang sangat besar di balik sebuah doa, bahkan doa yang paling sederhana sekalipun. Ingatlah syaratnya: "Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya." (Yakobus 5:16). Dan, "Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya." (Matius 21:22). Selama doa disampaikan oleh orang yang benar, dengan motivasi yang benar, dengan iman yang penuh kepercayaan, kuasa Ilahi yang besar mengalir disana. Bersabarlah kalau Tuhan belum memberi jawaban, jangan berhenti berdoa, jangan berpindah pada alternatif lain yang bisa mendatangkan masalah yang jauh lebih besar lagi. Apapun kondisinya, sesibuk apapun anda hari ini, tetaplah berdoa.
Jangan abaikan doa agar otot-otot rohani tidak lemah menghadapi dunia yang sukar dan jahat
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tuesday, April 10, 2018
Tetaplah Berdoa! (2)
(sambungan)
Kalau sibuk yang tak jelas itu tidak baik dan hanya buang waktu percuma, sibuk yang jelas tujuannya tentu saja baik. Tapi kita pun harus menyadari bahwa kesibukan kita bisa dimanfaatkan iblis untuk melemahkan dan membujuk kita agar semakin renggang dari Tuhan. Selain itu, berbagai kekuatiran kita terhadap kebutuhan-kebutuhan duniawi akan selalu menjadi celah yang bisa dipakainya untuk menjauhkan jarak kita dengan Tuhan. Segala kekuatiran dan ketakutan kita bisa menjadi awal kehancuran kalau kita tidak terbiasa menyerahkan segalanya ke dalam tangan Tuhan lewat doa-doa kita. Secara logika, orang percaya seharusnya mencari dan mengandalkan Tuhan saat menghadapi badai. Tetapi karena tidak sabar dan panik yang terjadi bisa sebaliknya. Apalagi kalau seseorang itu tidak terbiasa menjadikan doa sebagai bagian dari hidupnya.
Tuhan Yesus sendiri mengalami itu ketika Dia berpuasa 40 hari dan 40 malam dalam pencobaan di padang gurun. Setelah berpuasa selama itu, Yesus pun mulai merasa lapar. Di saat seperti itu, iblis pun mulai melancarkan serangan untuk mencobai dengan menawarkan segala hal yang mungkin bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhan dari sisi manusiawi. "Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku." (Matius 4:8-9).
Perhatikan, iblis bisa mengiming-imingi seperti itu, yang bisa saja mempengaruhi kita yang sedang lemah. Sepintas terlihat menjanjikan, tapi ujungnya maut. Kita bisa belajar bagaimana menyikapinya lewat reaksi Yesus. Yesus tidak tergoda dengan itu semua dan dengan tegas berseru: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (ay 10).
Dari kejadian tersebut kita bisa belajar untuk waspada agar jangan sampai segala kemewahan dan apa yang ditawarkan oleh dunia membuat kita buta secara rohani dan berhenti memikirkan perkara-perkara yang kekal, dimana tidak ada ngengat dan karat atau pencuri yang bisa merusaknya. (Matius 6:19-20). Jangan sampai kita menomorsatukan kebutuhan duniawi dan kemudian menomorduakan, mengabaikan atau bahkan meniadakan kebutuhan rohani kita. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa iblis akan selalu berusaha memperdaya kita, tetapi semua itu tidak akan berhasil jika kita tetap memfokuskan diri untuk terus menyembah Tuhan dengan sungguh-sungguh secara teratur.
Memilih untuk menomorsatukan hal-hal lain selain Tuhan itu akan sama saja dengan menomorduakan Allah, dan itu bisa membawa kita ke dalam kebinasaan. "Tetapi jika engkau sama sekali melupakan TUHAN, Allahmu, dan mengikuti allah lain, beribadah kepadanya dan sujud menyembah kepadanya, aku memperingatkan kepadamu hari ini, bahwa kamu pasti binasa" (Ulangan 8:19).
Saat kita hidup tanpa atau kurang doa, otot-otot rohani kita lemah dan disaat seperti itu kita tidak akan cukup kuat menghadapi berbagai masalah dalam hidup, bahkan rentan menghadapi tipu muslihat si jahat. Pengambilan-pengambilan keputusan kita bisa kabur dan jauh dari yang benar kalau kita sulit mendengar suaraNya.
Jangan pernah lupa bahwa ada kuasa yang besar di balik doa. Lihatlah dalam Kisah Para Rasul 16 bagaimana hebatnya kuasa doa dan puji-pujian mampu membebaskan Paulus dan Silas dari keadaan terpasung dalam penjara, bahkan membawa pertobatan atas kepala penjara dan keluarganya. Ini hanyalah satu contoh dari begitu banyak bukti tentang kekuatan dan kuasa dalam doa baik di dalam Alkitab maupun lewat pengalaman dan kesaksian begitu banyak orang hingga hari ini.
Selanjutnya mari kita lihat apa yang disampaikan Yakobus. Ia menyampaikan: "Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa!" (Yakobus 5:13a). Doa akan berperan sangat besar untuk membawa pertolongan Tuhan turun atas diri kita, mengatasi hal yang paling tidak mungkin sekalipun.
(bersambung)
Kalau sibuk yang tak jelas itu tidak baik dan hanya buang waktu percuma, sibuk yang jelas tujuannya tentu saja baik. Tapi kita pun harus menyadari bahwa kesibukan kita bisa dimanfaatkan iblis untuk melemahkan dan membujuk kita agar semakin renggang dari Tuhan. Selain itu, berbagai kekuatiran kita terhadap kebutuhan-kebutuhan duniawi akan selalu menjadi celah yang bisa dipakainya untuk menjauhkan jarak kita dengan Tuhan. Segala kekuatiran dan ketakutan kita bisa menjadi awal kehancuran kalau kita tidak terbiasa menyerahkan segalanya ke dalam tangan Tuhan lewat doa-doa kita. Secara logika, orang percaya seharusnya mencari dan mengandalkan Tuhan saat menghadapi badai. Tetapi karena tidak sabar dan panik yang terjadi bisa sebaliknya. Apalagi kalau seseorang itu tidak terbiasa menjadikan doa sebagai bagian dari hidupnya.
Tuhan Yesus sendiri mengalami itu ketika Dia berpuasa 40 hari dan 40 malam dalam pencobaan di padang gurun. Setelah berpuasa selama itu, Yesus pun mulai merasa lapar. Di saat seperti itu, iblis pun mulai melancarkan serangan untuk mencobai dengan menawarkan segala hal yang mungkin bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhan dari sisi manusiawi. "Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku." (Matius 4:8-9).
Perhatikan, iblis bisa mengiming-imingi seperti itu, yang bisa saja mempengaruhi kita yang sedang lemah. Sepintas terlihat menjanjikan, tapi ujungnya maut. Kita bisa belajar bagaimana menyikapinya lewat reaksi Yesus. Yesus tidak tergoda dengan itu semua dan dengan tegas berseru: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (ay 10).
Dari kejadian tersebut kita bisa belajar untuk waspada agar jangan sampai segala kemewahan dan apa yang ditawarkan oleh dunia membuat kita buta secara rohani dan berhenti memikirkan perkara-perkara yang kekal, dimana tidak ada ngengat dan karat atau pencuri yang bisa merusaknya. (Matius 6:19-20). Jangan sampai kita menomorsatukan kebutuhan duniawi dan kemudian menomorduakan, mengabaikan atau bahkan meniadakan kebutuhan rohani kita. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa iblis akan selalu berusaha memperdaya kita, tetapi semua itu tidak akan berhasil jika kita tetap memfokuskan diri untuk terus menyembah Tuhan dengan sungguh-sungguh secara teratur.
Memilih untuk menomorsatukan hal-hal lain selain Tuhan itu akan sama saja dengan menomorduakan Allah, dan itu bisa membawa kita ke dalam kebinasaan. "Tetapi jika engkau sama sekali melupakan TUHAN, Allahmu, dan mengikuti allah lain, beribadah kepadanya dan sujud menyembah kepadanya, aku memperingatkan kepadamu hari ini, bahwa kamu pasti binasa" (Ulangan 8:19).
Saat kita hidup tanpa atau kurang doa, otot-otot rohani kita lemah dan disaat seperti itu kita tidak akan cukup kuat menghadapi berbagai masalah dalam hidup, bahkan rentan menghadapi tipu muslihat si jahat. Pengambilan-pengambilan keputusan kita bisa kabur dan jauh dari yang benar kalau kita sulit mendengar suaraNya.
Jangan pernah lupa bahwa ada kuasa yang besar di balik doa. Lihatlah dalam Kisah Para Rasul 16 bagaimana hebatnya kuasa doa dan puji-pujian mampu membebaskan Paulus dan Silas dari keadaan terpasung dalam penjara, bahkan membawa pertobatan atas kepala penjara dan keluarganya. Ini hanyalah satu contoh dari begitu banyak bukti tentang kekuatan dan kuasa dalam doa baik di dalam Alkitab maupun lewat pengalaman dan kesaksian begitu banyak orang hingga hari ini.
Selanjutnya mari kita lihat apa yang disampaikan Yakobus. Ia menyampaikan: "Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa!" (Yakobus 5:13a). Doa akan berperan sangat besar untuk membawa pertolongan Tuhan turun atas diri kita, mengatasi hal yang paling tidak mungkin sekalipun.
(bersambung)
Monday, April 9, 2018
Tetaplah Berdoa! (1)
Ayat bacaan: 1 Tesalonika 5:17
======================
"Tetaplah berdoa."
Sesuatu yang penting tentu akan kita lakukan dengan segera. Kita tidak perlu disuruh untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan. Dan, kita tentu tidak berhitung untuk berhubungan dengan orang yang kita sayangi. Seperti apa doa bagi kita saat ini? Kalau kita menganggap doa sebagai sesuatu yang penting, menyenangkan dan sangat penting untuk membangun hubungan dengan Tuhan, sebagai sarana kita merasakan kasihNya yang lembut dan sarana menyatakan perasaan sayang kita kepadaNya, seharusnya doa otomatis menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Sayangnya ada banyak orang yang menjadikan doa hanyalah bagian dari kewajiban, ritual atau kebiasaan. Tentu baik kalau kita terbiasa berdoa dengan sikap hati yang benar, didasari kerinduan dan kasih pada Tuhan. Tapi kalau cuma kebiasaan yang tidak lagi diresapi dan dinkmati, tentu akan banyak kuasa yang terkandung dari doa yang akan kita lewatkan. Ada juga yang berdoa karena takut berdosa, takut masuk neraka, takut setan dan sejenisnya, itu pun bukan motivasi yang pas untuk mendasari doa.
Seberapa pentingkah doa dalam kehidupan kita? Dalam urutan prioritas, dimana letak doa itu? Ada banyak yang menomordua atau menomortigakan doa. Doa hanya dilakukan kalau sempat atau kapan butuh. Mereka hanya melakukannya disaat tidak terlalu sibuk. Kalau sedang banyak agenda kerja, doa pun kemudian disisihkan. Ah, nanti saja, kan bisa besok. Seperti itu kira-kira. Atau lagi ada acara bagus di televisi, lagi ada sederetan DVD yang harus ditonton, siaran langsung olah raga dan sebagainya. Doa pun kemudian digeser ke waktu yang tersisa, atau malah ditunda sampai besok, atau malah besok-besok.
Bekerja itu penting, mengurus keluarga, bersosialisasi dan sebagainya itu penting. Tentu saja. Kita butuh hiburan setelah lelah bekerja, itu pun tidak salah. Tetapi doa merupakan sesuatu yang sangat penting dan seharusnya tidak boleh dinomorduakan apalagi diabaikan sama sekali. Doa merupakan salah satu sarana komunikasi kita dengan Tuhan yang seharusnya menempati posisi di urutan teratas. Disaat kita sibuk kita harus berhati-hati agar tidak tergoda untuk berkompromi mengurangi jam-jam khusus untuk bersekutu secara pribadi dengan Tuhan. Orang bisa terjebak untuk lebih mementingkan menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu ketimbang terus memberikan waktu khusus untuk mendengar suara Tuhan. Kalau dibiasakan, kita akan semakin malas berdoa dan bayangkan betapa berbahayanya hal itu dalam menghadapi dunia yang sulit dan penuh kejahatan hari ini.
Ada pula yang berdoa hanya kalau ada perlu saja. Ada yang harus diminta pada Tuhan, minta sesuatu dikabulkan, minta pertolongan. Doa satu-dua kali, lantas berhenti karena kecewa Tuhan tidak langsung memberi jawaban atau mengabulkan permintaan. Kemudian langsung bergeser pada alternatif-alternatif lain termasuk yang jelas-jelas jahat di mata Tuhan. Jangan lupa, kuasa kegelapan pun sepintas bisa memberi solusi jangka pendek, tapi ada jebakan disana yang berujung maut. Tuhan hanyalah salah satu alternatif. Kalau pakai kekuatan Tuhan rasanya lama, pindah kepada kekuatan manusia atau kuasa kegelapan.
Yang lebih aneh lagi, ada yang melakukan ketiganya sekaligus, tinggal menunggu mana yang lebih cepat memberi solusi. Kalau yang terjadi, doa bukan lagi menjadi sarana membangun hubungan dengan Tuhan dan mendengar suaraNya, tetapi lebih kepada alat memaksakan kehendak kita dimana Tuhan wajib mengabulkan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya kalau tidak mau kita marah dan meninggalkannya. Pergeseran paradigma ini bisa tanpa sadar terjadi pada diri kita. Karenanya kita harus benar-benar memperhatikan motivasi kita dalam berdoa. Jika masih rutin, apakah landasannya masih benar atau sudah bergeser? Kalau kita masih jarang-jarang dan meletakkan doa hanya pada urutan ke sekian di bawah banyak hal lain, ini saatnya kita kembali menempatkan doa pada posisi yang seharusnya.
Kemarin kita sudah belajar dari seorang rekan sekerja Paulus yang berasal dari Kolose bernama Epafras mengenai membangun kehidupan doa. Seperti yang saya sampaikan dalam renungan sebelumnya, buat saya Epafras telah memasang standar yang tinggi dalam hal doa. Dalam kondisi yang jauh dari baik, berada dalam penjara bersama dengan Paulus dan rasul lainnya menanti eksekusi, ia ternyata masih secara konsisten bergumul dalam doa bukan buat dirinya sendiri melainkan untuk jemaat di Kolose, di gereja yang ia dirikan. Hal itu bisa kita ketahui dengan jelas dalam Kolose 4:12. Epafras sudah berada di atas rata-rata orang yang masih berdoa hanya untuk diri mereka sendiri, juga di atas rata-rata orang yang berdoa hanya kapan sempat atau cepat menyerah. Karena itulah buat saya ia memasang standar tinggi mengenai doa.
(bersambung)
======================
"Tetaplah berdoa."
Sesuatu yang penting tentu akan kita lakukan dengan segera. Kita tidak perlu disuruh untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan. Dan, kita tentu tidak berhitung untuk berhubungan dengan orang yang kita sayangi. Seperti apa doa bagi kita saat ini? Kalau kita menganggap doa sebagai sesuatu yang penting, menyenangkan dan sangat penting untuk membangun hubungan dengan Tuhan, sebagai sarana kita merasakan kasihNya yang lembut dan sarana menyatakan perasaan sayang kita kepadaNya, seharusnya doa otomatis menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Sayangnya ada banyak orang yang menjadikan doa hanyalah bagian dari kewajiban, ritual atau kebiasaan. Tentu baik kalau kita terbiasa berdoa dengan sikap hati yang benar, didasari kerinduan dan kasih pada Tuhan. Tapi kalau cuma kebiasaan yang tidak lagi diresapi dan dinkmati, tentu akan banyak kuasa yang terkandung dari doa yang akan kita lewatkan. Ada juga yang berdoa karena takut berdosa, takut masuk neraka, takut setan dan sejenisnya, itu pun bukan motivasi yang pas untuk mendasari doa.
Seberapa pentingkah doa dalam kehidupan kita? Dalam urutan prioritas, dimana letak doa itu? Ada banyak yang menomordua atau menomortigakan doa. Doa hanya dilakukan kalau sempat atau kapan butuh. Mereka hanya melakukannya disaat tidak terlalu sibuk. Kalau sedang banyak agenda kerja, doa pun kemudian disisihkan. Ah, nanti saja, kan bisa besok. Seperti itu kira-kira. Atau lagi ada acara bagus di televisi, lagi ada sederetan DVD yang harus ditonton, siaran langsung olah raga dan sebagainya. Doa pun kemudian digeser ke waktu yang tersisa, atau malah ditunda sampai besok, atau malah besok-besok.
Bekerja itu penting, mengurus keluarga, bersosialisasi dan sebagainya itu penting. Tentu saja. Kita butuh hiburan setelah lelah bekerja, itu pun tidak salah. Tetapi doa merupakan sesuatu yang sangat penting dan seharusnya tidak boleh dinomorduakan apalagi diabaikan sama sekali. Doa merupakan salah satu sarana komunikasi kita dengan Tuhan yang seharusnya menempati posisi di urutan teratas. Disaat kita sibuk kita harus berhati-hati agar tidak tergoda untuk berkompromi mengurangi jam-jam khusus untuk bersekutu secara pribadi dengan Tuhan. Orang bisa terjebak untuk lebih mementingkan menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu ketimbang terus memberikan waktu khusus untuk mendengar suara Tuhan. Kalau dibiasakan, kita akan semakin malas berdoa dan bayangkan betapa berbahayanya hal itu dalam menghadapi dunia yang sulit dan penuh kejahatan hari ini.
Ada pula yang berdoa hanya kalau ada perlu saja. Ada yang harus diminta pada Tuhan, minta sesuatu dikabulkan, minta pertolongan. Doa satu-dua kali, lantas berhenti karena kecewa Tuhan tidak langsung memberi jawaban atau mengabulkan permintaan. Kemudian langsung bergeser pada alternatif-alternatif lain termasuk yang jelas-jelas jahat di mata Tuhan. Jangan lupa, kuasa kegelapan pun sepintas bisa memberi solusi jangka pendek, tapi ada jebakan disana yang berujung maut. Tuhan hanyalah salah satu alternatif. Kalau pakai kekuatan Tuhan rasanya lama, pindah kepada kekuatan manusia atau kuasa kegelapan.
Yang lebih aneh lagi, ada yang melakukan ketiganya sekaligus, tinggal menunggu mana yang lebih cepat memberi solusi. Kalau yang terjadi, doa bukan lagi menjadi sarana membangun hubungan dengan Tuhan dan mendengar suaraNya, tetapi lebih kepada alat memaksakan kehendak kita dimana Tuhan wajib mengabulkan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya kalau tidak mau kita marah dan meninggalkannya. Pergeseran paradigma ini bisa tanpa sadar terjadi pada diri kita. Karenanya kita harus benar-benar memperhatikan motivasi kita dalam berdoa. Jika masih rutin, apakah landasannya masih benar atau sudah bergeser? Kalau kita masih jarang-jarang dan meletakkan doa hanya pada urutan ke sekian di bawah banyak hal lain, ini saatnya kita kembali menempatkan doa pada posisi yang seharusnya.
Kemarin kita sudah belajar dari seorang rekan sekerja Paulus yang berasal dari Kolose bernama Epafras mengenai membangun kehidupan doa. Seperti yang saya sampaikan dalam renungan sebelumnya, buat saya Epafras telah memasang standar yang tinggi dalam hal doa. Dalam kondisi yang jauh dari baik, berada dalam penjara bersama dengan Paulus dan rasul lainnya menanti eksekusi, ia ternyata masih secara konsisten bergumul dalam doa bukan buat dirinya sendiri melainkan untuk jemaat di Kolose, di gereja yang ia dirikan. Hal itu bisa kita ketahui dengan jelas dalam Kolose 4:12. Epafras sudah berada di atas rata-rata orang yang masih berdoa hanya untuk diri mereka sendiri, juga di atas rata-rata orang yang berdoa hanya kapan sempat atau cepat menyerah. Karena itulah buat saya ia memasang standar tinggi mengenai doa.
(bersambung)
Sunday, April 8, 2018
Membangun Kehidupan Doa seperti Epafras (6)
(sambungan)
Lantas jangan lupakan pula pentingnya mendoakan gereja dimana anda tertanam hari ini. Epafras bukan saja pendiri gereja di Kolose tapi ia juga anggota disana, di kota dari mana ia berasal. Epafras menghidupi sebuah kehidupan doa untuk gerejanya. Apakah anda sudah berdoa untuk:
- para pemimpin gereja anda?
Mendoakan gembala, pengerja dan sebagainya? Apa yang mereka lakukan tidak mudah. Mereka butuh dukungan doa dari anda, seperti halnya mereka secara rutin mendoakan anda sebagai bagian dari tubuh Kristus di gereja anda.
- masa depan gereja anda?
Apakah anda tahu visi dan misi gereja anda dan kemana mereka akan menuju? Apakah anda sudah turut serta untuk mencapai visi dan misi itu bersama-sama gereja anda? Dan, apakah anda sudah mendoakan pergerakannya? Anda mungkin tidak pernah sadar, tapi percayalah doa anda merupakan instrumen penting yang bisa mendorong gereja anda untuk selangkah lebih maju dalam menggenapi visi dan misi yang mereka terima dari Tuhan.
- pertumbuhan gereja anda?
Sudahkah anda peduli pada pertumbuhan gereja anda? Jika anda berada di gereja yang sedang kesulitan untuk tumbuh dan terus kehilangan jemaat, apakah anda mau turut serta mencari solusi atau malah semakin membuat gereja terpuruk dengan komentar-komentar negatif bahkan pedas menyikapi kemundurannya? Jika anda ada di gereja yang tidak mundur tapi tidak signifikan pula pertumbuhannya, sudahkah anda berdoa agar api kegerakan rohaninya membesar hingga bisa menjangkau orang di luar sana lebih luas lagi? Bagi yang ada di gereja yang tengah maju pesat, sudahkah anda berdoa agar gereja bisa tetap menjalankan visi dan misinya, tetap memuliakan, menomorsatukan Tuhan dan tidak terjatuh pada dosa kesombongan? Sudahkah anda mendoakan agar gereja bisa tetap menjadi rumah Tuhan dimana kita bisa bersama-sama merasakan kedamaian hadiratNya, bukan beralih fungsi menjadi panggung hiburan atau pertunjukan yang sibuk menampilkan artis semata?
- Efektivitas program dan jangkauan pelayanannya?
Apakah kita sudah turut serta mensukseskan program agar tepat sasaran dan tepat guna, dan mendukung luasnya jangkauan pelayanan dan membawanya terus dalam doa? Mendoakan agar gereja tidak terjebak pada 'program-centris' semata tapi juga memberi cukup ruang bagi tuntunan Roh Kudus? Dukung terus dalam doa agar semua ini bisa berdampak bagi lingkungan sekitar, kota maupun bangsa.
Epafras tercatat sebagai seorang hamba Yesus yang setia, yang selalu bergumul untuk para jemaat di gerejanya. Ia tidak bisa lagi bersama-sama dengan mereka, tapi ia terus bergumul lewat doa agar kehidupan kerohanian para jemaat di gereja Kolose bisa tetap bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus secara dewasa.
Sebuah pertanyaan bagi kita: apakah kita juga sudah bergumul dalam doa buat gereja dan orang lain, atau kita masih bergumul untuk membiasakan diri berdoa? Kalau kita sudah berdoa, apakah kita masih hanya berdoa untuk kepentingan diri sendiri atau sudah melebarkan jangkauan doa kita hingga menyentuh orang lain dan gereja kita? Apakah kita mau untuk terus bergumul dalam doa untuk orang lain atau hanya melakukan kalau disuruh atau sambil lalu saja, sekali-sekali? Apakah doa menjadi reaksi pertama kita saat menghadapi masalah atau masih dijadikan alternatif terakhir, atau jangan-jangan tidak sama sekali? Apakah kita masih yakin dengan kekuatan atau kuasa doa, menganggap doa sebagai sarana kita untuk berhubungan dengan Tuhan atau menganggapnya buang waktu? Apakah kita mempergunakan doa hanya sekedar sarana meminta pada Tuhan atau kita rindu untuk membangun hubungan yang terus lebih dalam denganNya? Apakah kita menikmati waktu-waktu berdoa atau masih sibuk mementingkan ritual, tata cara atau kepintaran merangkai kata-kata?
Semua pertanyaan ini sangat baik untuk kita renungkan. Epaphras has set the bar high when it came to prayer. He has set a great example of a life of prayer. Epafras telah memasang standar yang tinggi dalam hal doa. Dia sudah memberi contoh luar biasa mengenai kehidupan doa. Ini saatnya kita belajar dari keteladanan Epafras. Time to bring prayers back.
Seperti Epafras, bangunlah kehidupan doa yang menjangkau lebih luas dari diri sendiri
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Lantas jangan lupakan pula pentingnya mendoakan gereja dimana anda tertanam hari ini. Epafras bukan saja pendiri gereja di Kolose tapi ia juga anggota disana, di kota dari mana ia berasal. Epafras menghidupi sebuah kehidupan doa untuk gerejanya. Apakah anda sudah berdoa untuk:
- para pemimpin gereja anda?
Mendoakan gembala, pengerja dan sebagainya? Apa yang mereka lakukan tidak mudah. Mereka butuh dukungan doa dari anda, seperti halnya mereka secara rutin mendoakan anda sebagai bagian dari tubuh Kristus di gereja anda.
- masa depan gereja anda?
Apakah anda tahu visi dan misi gereja anda dan kemana mereka akan menuju? Apakah anda sudah turut serta untuk mencapai visi dan misi itu bersama-sama gereja anda? Dan, apakah anda sudah mendoakan pergerakannya? Anda mungkin tidak pernah sadar, tapi percayalah doa anda merupakan instrumen penting yang bisa mendorong gereja anda untuk selangkah lebih maju dalam menggenapi visi dan misi yang mereka terima dari Tuhan.
- pertumbuhan gereja anda?
Sudahkah anda peduli pada pertumbuhan gereja anda? Jika anda berada di gereja yang sedang kesulitan untuk tumbuh dan terus kehilangan jemaat, apakah anda mau turut serta mencari solusi atau malah semakin membuat gereja terpuruk dengan komentar-komentar negatif bahkan pedas menyikapi kemundurannya? Jika anda ada di gereja yang tidak mundur tapi tidak signifikan pula pertumbuhannya, sudahkah anda berdoa agar api kegerakan rohaninya membesar hingga bisa menjangkau orang di luar sana lebih luas lagi? Bagi yang ada di gereja yang tengah maju pesat, sudahkah anda berdoa agar gereja bisa tetap menjalankan visi dan misinya, tetap memuliakan, menomorsatukan Tuhan dan tidak terjatuh pada dosa kesombongan? Sudahkah anda mendoakan agar gereja bisa tetap menjadi rumah Tuhan dimana kita bisa bersama-sama merasakan kedamaian hadiratNya, bukan beralih fungsi menjadi panggung hiburan atau pertunjukan yang sibuk menampilkan artis semata?
- Efektivitas program dan jangkauan pelayanannya?
Apakah kita sudah turut serta mensukseskan program agar tepat sasaran dan tepat guna, dan mendukung luasnya jangkauan pelayanan dan membawanya terus dalam doa? Mendoakan agar gereja tidak terjebak pada 'program-centris' semata tapi juga memberi cukup ruang bagi tuntunan Roh Kudus? Dukung terus dalam doa agar semua ini bisa berdampak bagi lingkungan sekitar, kota maupun bangsa.
Epafras tercatat sebagai seorang hamba Yesus yang setia, yang selalu bergumul untuk para jemaat di gerejanya. Ia tidak bisa lagi bersama-sama dengan mereka, tapi ia terus bergumul lewat doa agar kehidupan kerohanian para jemaat di gereja Kolose bisa tetap bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus secara dewasa.
Sebuah pertanyaan bagi kita: apakah kita juga sudah bergumul dalam doa buat gereja dan orang lain, atau kita masih bergumul untuk membiasakan diri berdoa? Kalau kita sudah berdoa, apakah kita masih hanya berdoa untuk kepentingan diri sendiri atau sudah melebarkan jangkauan doa kita hingga menyentuh orang lain dan gereja kita? Apakah kita mau untuk terus bergumul dalam doa untuk orang lain atau hanya melakukan kalau disuruh atau sambil lalu saja, sekali-sekali? Apakah doa menjadi reaksi pertama kita saat menghadapi masalah atau masih dijadikan alternatif terakhir, atau jangan-jangan tidak sama sekali? Apakah kita masih yakin dengan kekuatan atau kuasa doa, menganggap doa sebagai sarana kita untuk berhubungan dengan Tuhan atau menganggapnya buang waktu? Apakah kita mempergunakan doa hanya sekedar sarana meminta pada Tuhan atau kita rindu untuk membangun hubungan yang terus lebih dalam denganNya? Apakah kita menikmati waktu-waktu berdoa atau masih sibuk mementingkan ritual, tata cara atau kepintaran merangkai kata-kata?
Semua pertanyaan ini sangat baik untuk kita renungkan. Epaphras has set the bar high when it came to prayer. He has set a great example of a life of prayer. Epafras telah memasang standar yang tinggi dalam hal doa. Dia sudah memberi contoh luar biasa mengenai kehidupan doa. Ini saatnya kita belajar dari keteladanan Epafras. Time to bring prayers back.
Seperti Epafras, bangunlah kehidupan doa yang menjangkau lebih luas dari diri sendiri
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Friday, April 6, 2018
Membangun Kehidupan Doa seperti Epafras (4)
(sambungan)
Ada sebuah artikel dari luar yang pernah saya baca mengatakan bahwa "prayer has been something churches struggle with." Doa adalah sesuatu yang menjadi pergumulan banyak gereja saat ini. Semakin banyak yang tidak lagi merasakan bahkan mengetahui kekuatan doa. Tidak mempercayainya, menganggap itu kurang atau tidak penting, tidak mengetahui besarnya kekuatan disana atau mungkin pula tidak cukup sabar untuk menanti datangnya jawaban atas sebuah doa. Kalau terhadap diri sendiri sudah tidak sabar menunggu, apalagi memanjatkan doa untuk orang lain. Tidak sedikit pula yang merasa malas tidak peduli terhadap orang lain sehingga merasa tidak perlu mendoakan.
Di sisi lain, jangan lupa pula bahwa tidak menutup kemungkinan ada orang-orang yang dengan tekun terus mendoakan kita. Kita mungkin tahu, mungkin bakal tahu, mungkin juga tidak akan pernah tahu. Tapi bisa saja ada orang-orang yang terus bergumul mendoakan kita terus menerus, sehingga jika kita berada dalam keadaan baik hari ini, didalamnya ada andil dari mereka yang peduli terhadap kita lewat doa-doa yang mereka panjatkan untuk diri kita secara sungguh-sungguh dan terus menerus. Misalnya orang tua, saudara, teman-teman, tetangga atau gembala dimana anda bertumbuh, tim pendoa di gereja, teman-teman persekutuan, dan sebagainya. Bisa saja satu atau beberapa orang di antara mereka secara tekun bergumul dalam doa untuk kita setiap harinya.
Ijinkan saya membagikan sebuah kisah tentang masa lalu saya. Dahulu sebelum bertobat, saya anti terhadap teman-teman yang datang untuk mengenalkan Yesus pada saya. Beberapa kali mereka datang ke rumah dan saya meminta mereka pulang saja. Saya bilang pada mereka, sia-sia mencoba membujuk saya karena saya tidak bakalan mau. Beberapa tahun kemudian saya mengalami perjumpaan dengan Yesus dan kemudian lahir baru. Pada waktu itu saya tidak tahu harus bertanya kemana bagaimana tata caranya untuk dibaptis. Bahkan saya tidak tahu harus bawa baju ganti karena tidak tahu baptis itu seluruh badan ditenggelamkan.
Setelah proses itu, saya pun tiba-tiba teringat akan teman-teman saya yang dahulu berkali-kali saya usir karena membawa kabar keselamatan buat saya. Saya menelepon mereka untuk meminta maaf, dan beberapa dari mereka menangis mendengar kisah saya. Baru saat itu saya tahu bahwa ternyata mereka selama bertahun-tahun tetap membawa saya dalam doa. Mereka percaya pada kekuatan doa, dan percaya bahwa cepat atau lambat doa itu akan dijawab. Mereka berkata mereka terus menantikan kabar mengenai saya, meski semua sudah terpencar bekerja di kota berbeda setelah lulus kuliah.
Kenapa mereka harus susah payah mendoakan saya bertahun-tahun? Jawaban mereka sampai sekarang menjadi pegangan saya, "karena kami tahu Tuhan sayang sama kamu." Sayang pada saya yang menolak Yesus, yang melakukan begitu banyak dosa di masa lalu, yang hidup untuk daging? Ya, itulah kenyataannya. Kalau saya tidak punya teman-teman yang mau repot untuk mendoakan selama bertahun-tahun meski saya mengusir mereka berkali-kali, kalau Tuhan tidak mengasihi saya, entah apa jadinya nasib saya.
Seperti yang dilakukan oleh teman-teman saya, ada kalanya dibutuhkan sebuah perjuangan berat diperlukan untuk membawa orang masuk kembali ke dalam tahta kasih karunia. Baik yang belum mengenal Kristus maupun orang yang sebenarnya sudah menerima Kristus tapi masih keras kepala, keras hati, masih kerap jatuh dalam dosa, atau yang 'kambuhan'. Doa merupakan sarana terampuh untuk membawa mereka keluar dari kegelapan dan kembali pada terang Kristus.
(bersambung)
Ada sebuah artikel dari luar yang pernah saya baca mengatakan bahwa "prayer has been something churches struggle with." Doa adalah sesuatu yang menjadi pergumulan banyak gereja saat ini. Semakin banyak yang tidak lagi merasakan bahkan mengetahui kekuatan doa. Tidak mempercayainya, menganggap itu kurang atau tidak penting, tidak mengetahui besarnya kekuatan disana atau mungkin pula tidak cukup sabar untuk menanti datangnya jawaban atas sebuah doa. Kalau terhadap diri sendiri sudah tidak sabar menunggu, apalagi memanjatkan doa untuk orang lain. Tidak sedikit pula yang merasa malas tidak peduli terhadap orang lain sehingga merasa tidak perlu mendoakan.
Di sisi lain, jangan lupa pula bahwa tidak menutup kemungkinan ada orang-orang yang dengan tekun terus mendoakan kita. Kita mungkin tahu, mungkin bakal tahu, mungkin juga tidak akan pernah tahu. Tapi bisa saja ada orang-orang yang terus bergumul mendoakan kita terus menerus, sehingga jika kita berada dalam keadaan baik hari ini, didalamnya ada andil dari mereka yang peduli terhadap kita lewat doa-doa yang mereka panjatkan untuk diri kita secara sungguh-sungguh dan terus menerus. Misalnya orang tua, saudara, teman-teman, tetangga atau gembala dimana anda bertumbuh, tim pendoa di gereja, teman-teman persekutuan, dan sebagainya. Bisa saja satu atau beberapa orang di antara mereka secara tekun bergumul dalam doa untuk kita setiap harinya.
Ijinkan saya membagikan sebuah kisah tentang masa lalu saya. Dahulu sebelum bertobat, saya anti terhadap teman-teman yang datang untuk mengenalkan Yesus pada saya. Beberapa kali mereka datang ke rumah dan saya meminta mereka pulang saja. Saya bilang pada mereka, sia-sia mencoba membujuk saya karena saya tidak bakalan mau. Beberapa tahun kemudian saya mengalami perjumpaan dengan Yesus dan kemudian lahir baru. Pada waktu itu saya tidak tahu harus bertanya kemana bagaimana tata caranya untuk dibaptis. Bahkan saya tidak tahu harus bawa baju ganti karena tidak tahu baptis itu seluruh badan ditenggelamkan.
Setelah proses itu, saya pun tiba-tiba teringat akan teman-teman saya yang dahulu berkali-kali saya usir karena membawa kabar keselamatan buat saya. Saya menelepon mereka untuk meminta maaf, dan beberapa dari mereka menangis mendengar kisah saya. Baru saat itu saya tahu bahwa ternyata mereka selama bertahun-tahun tetap membawa saya dalam doa. Mereka percaya pada kekuatan doa, dan percaya bahwa cepat atau lambat doa itu akan dijawab. Mereka berkata mereka terus menantikan kabar mengenai saya, meski semua sudah terpencar bekerja di kota berbeda setelah lulus kuliah.
Kenapa mereka harus susah payah mendoakan saya bertahun-tahun? Jawaban mereka sampai sekarang menjadi pegangan saya, "karena kami tahu Tuhan sayang sama kamu." Sayang pada saya yang menolak Yesus, yang melakukan begitu banyak dosa di masa lalu, yang hidup untuk daging? Ya, itulah kenyataannya. Kalau saya tidak punya teman-teman yang mau repot untuk mendoakan selama bertahun-tahun meski saya mengusir mereka berkali-kali, kalau Tuhan tidak mengasihi saya, entah apa jadinya nasib saya.
Seperti yang dilakukan oleh teman-teman saya, ada kalanya dibutuhkan sebuah perjuangan berat diperlukan untuk membawa orang masuk kembali ke dalam tahta kasih karunia. Baik yang belum mengenal Kristus maupun orang yang sebenarnya sudah menerima Kristus tapi masih keras kepala, keras hati, masih kerap jatuh dalam dosa, atau yang 'kambuhan'. Doa merupakan sarana terampuh untuk membawa mereka keluar dari kegelapan dan kembali pada terang Kristus.
(bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Menjadi Anggur Yang Baik (1)
Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...