Ayat bacaan: Yesaya 48:18
======================
"Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti."
Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Semua orang ingin merasakan kedamaian dan kesejahteraan. Tapi tidak banyak yang bisa benar-benar merasakannya. Kehidupan semakin sulit, himpitan masalah dari berbagai dimensi terus menerpa menggantikan semua itu dengan kegundahan, rasa kuatir, takut dan perasaan negatif lainnya. Kalau hati sudah dikuasai perasaan negatif, kita akan menjadi orang yang cepat marah, mudah membenci, iri melihat orang lain, dan kata bahagia dan damai sejahtera pun menjadi semakin jauh untuk dijangkau.
Semakin sulit dijangkau, maka orang akan semakin berusaha mengejarnya. Bagaimana agar bisa mendapatkannya? Dunia mengajarkan bahwa untuk mendapatkannya tidaklah sulit. Money, fame and fortune dipercaya bisa mendatangkan kebahagiaan, sukacita dan damai sejahtera dalam hidup. Lihatlah berbagai iklan, pikiran kita akan diarahkan kepada situasi bahwa kalau kita membeli produk-produk itu maka kebahagiaan akan segera menjadi milik kita. Bukankah wajah pemeran iklannya terlihat bahagia dengan deretan gigi putih dan raut wajah tanpa masalah?
Untuk bisa membelinya tentu butuh uang. Berarti, semakin banyak uang, semakin banyak yang bisa dibeli sehingga kita akan makin bahagia. Tanpa uang kita tidak bisa membeli mobil mewah, rumah besar, mempercantik diri dengan baju dan aksesoris bermerek terkenal, pakai gadget terbaru dan sebagainya. Kalau kita tidak punya itu, kita tidak akan bisa diterima di kalangan kelas atas. Kenapa pergaulan kelas atas penting? Tentu saja, karena kalau bisa diterima di kalangan seperti itu, itu artinya status kita baik dan dianggap bisa mendatangkan kebahagiaan. Pamor, popularitas, jabatan, itu bisa bikin bahagia dan menjamin kesejahteraan. Bukankah kalau kita kemana-mana orang hormat pada kita maka itu tandanya kita sejahtera?
Seperti itulah bentuk dunia berpikir dalam mencari kebahagiaan. Ya, menurut dunia kebahagiaan dan damai sejahtera itu bisa dibeli. Dan untuk bisa membeli tentu lewat uang. So, kalau mau bahagia, ya cari uang sebanyak-banyaknya dengan cara apapun. Ada seorang yang saya kenal tumbuh besar dalam keluarga yang sangat money oriented. Ayahnya dulu tidak akan pulang ke rumah kalau tidak membawa pulang uang. Tidaklah heran kalau ia sempat sulit merubah paradigmanya karena berpuluh tahun dididik dengan cara seperti itu. Masa kecil dan mudanya jauh dari kekurangan. Secara ekonomi ia termasuk makmur.
Tapi pertanyaannya, apakah keluarganya bahagia? Ternyata tidak. Orang tua bercerai, peperangan harta gono-gini memakan waktu sangat panjang, anak ada yang jatuh dalam obat-obatan dan beberapa sampai sekarang masih menggerogoti orang tua dan berperilaku sangat buruk. Uang yang dikumpulkan sejak lama terus menipis, usaha keluarga yang sudah puluhan tahun di ambang kehancuran. Pertikaian antar saudara begitu parah sampai-sampai mereka tidak bisa lagi saling bertemu. Hal itulah yang membuat orang yang saya kenal ini kemudian menyadari bahwa tempatnya menggantungkan kebahagiaan dan kesejahteraan selama ini ternyata salah. Banyak uang ternyata tidak memberi jaminan akan hal itu.
Mungkin untuk jangka waktu singkat apa yang dianggap dunia mampu mendatangkan kebahagiaan itu bisa memberi rasa puas dan senang, tapi untuk jangka waktu panjang seringkali tidak demikian. Seperti orang tadi, saya sudah bertemu dan mengenal banyak lagi orang yang sebenarnya dari sisi materi lebih dari cukup, tapi mereka tidak merasakan damai sejahtera dalam diri mereka.
Ada sebuah hasil pemikiran menarik yang pernah disampaikan oleh seorang pakar matematika dan fisika yang juga seorang filsuf bernama Blaise Pascal. Disamping banyaknya teori yang berasal dari Pascal yang menjadi dasar ilmu pengetahuan sampai sekarang, ia pun pernah memberikan sebuah statement yang sangat esensial mengenai kehidupan. Ini yang dikatakannya: "There is a God shaped vacuum in the heart of every man which cannot be filled by any created thing, but only by God, the Creator, made known through Jesus."
Kalau diterjemahkan bunyinya kira-kira demikian: Ada sebuah rongga berbentuk Tuhan yang tidak akan pernah bisa diisi oleh hasil ciptaan seperti apapun, kecuali oleh Tuhan, melalui Yesus.
Buat saya sangatlah menarik ketika kesimpulan lewat perenungan ini keluar dari orang yang justru dikenal sebagai ahli dalam ilmu pengetahuan. Setinggi-tingginya kita menguasai ilmu, sehebat-hebatnya kita sebagai manusia, sekaya-kayanya diri kita, ternyata ada sebuah rongga atau "God shaped vacuum" yang akan selalu ada di dalam diri kita yang tidak akan mampu dipenuhi oleh hal apapun selain oleh Tuhan sendiri.
Rongga kosong dalam hati, saya yakin itu tidak sulit untuk kita rasakan. Bahkan kebanyakan dari kita pernah merasakan kekosongan itu, atau malah saat ini sedang merasakannya. Orang akan berusaha menambal lubang itu dengan cara apapun. Ada yang mencoba menambalnya dengan gemerlapnya pesta, ada yang lewat obat-obatan, hubungan terlarang dan sebagainya. Ada yang mengira bisa menambalnya dengan kepemilikan harta benda dan lainnya. Untuk sementara mungkin bisa terlihat menjadi solusi,tapi sekejap kemudian setelah semua berakhir, lubang itu akan kembali ada dan bisa malah bertambah besar. Yang lebih parah, itu bisa menambah masalah dalam hidup kita.
(bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Menjadi Anggur Yang Baik (1)
Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...
No comments:
Post a Comment