(sambungan)
Mari kita sedikit mundur ke belakang untuk melihat perbedaan sifat atau
sikap antara Paulus dan Barnabas. Paulus dikenal sebagai orang yang
mengalami perubahan radikal. Ia tadinya orang yang kejam, keras, bahkan
sadis saat masih dipanggil Saulus, tapi kemudian seperti yang tertulis
dalam Kisah Para Rasul 9 ia mengalami pertobatan. Sesudah ia menerima
pertobatan, ternyata ia masih sulit diterima oleh sebagian orang yang
dulu sempat bermasalah dengannya. Adalah Barnabas yang membuka pintu
baginya. Barnabas merupakan orang pertama yang menerima Paulus. Barnabas
memberikan Paulus kesempatan kedua. Dan bayangkan, tanpa keputusan
Barnabas ini maka Paulus mungkin tidak melayani dan kita pun kehilangan
sebagian besar dari Perjanjian Baru karena Paulus menulis setidaknya 13
surat disana.
Paulus tipe keras sedang Barnabas tipe orang yang selalu mau memberi kesempatan kedua.
Siapa
yang salah? Tergantung dari sudut pandangnya. Paulus benar karena sifat
Markus tentu bisa mengganggu pelayanan mereka yang sesungguhnya tidak
gampang. Medan pelayanan mereka itu sangat keras dan penuh bahaya.
Mereka harus berjalan dari satu kota ke kota yang lain dengan segala
resikonya, sehingga akan sangat mengganggu apabila ada anggota di dalam
yang suka bikin masalah. Sebaliknya Barnabas juga benar karena ia ingin
memberi kesempatan kedua. Bukankah Tuhan pun selalu membuka kesempatan
untuk pertobatan kita? Tak peduli seperti apapun dosa kita yang sudah
lalu, Dia akan selalu menyambut kita dengan sukacita bila berbalik
kepadaNya dengan pertobatan yang sungguh-sungguh. Jadi siapa yang salah?
Saya menganggap tidak ada. Yang terjadi hanyalah perbedaan persepsi
atau sudut pandang antara dua hamba Tuhan luar biasa yang timbul karena
tekanan dalam pekerjaan atau pelayanan.
Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari kisah
ini adalah bahwa kita seharusnya bisa menerima perbedaan secara dewasa.
Kita tidak boleh merasa diri terus paling benar lantas anti kritik,
anti masukan atau berkonflik kepada siapapun yang berbeda pandangan dari
kita. Apalagi kalau itu terjadi di antara anak-anak Tuhan. Kalau dalam
aliran atau bahkan gereja yang sama saja konflik kerap terjadi, apalagi
antar denominasi. Ada banyak denominasi dengan pengajaran dan doktrin
berbeda, dan ada banyak pula gereja yang saling menghakimi hanya karena
menganggap bahwa mereka lah yang paling benar. Gerejanya begitu,
jemaatnya pun nanti bisa begitu. Kalau di antara orang percaya saja
terus ribut dan saling menjelekkan, bagaimana kita bisa berharap adanya
transformasi besar di negeri ini?
(bersambung)
(sambungan)
No comments:
Post a Comment