Wednesday, November 30, 2022

Kisah Kasih dan Secangkir Kopi (1)

Ayat bacaan: Matius 24:12
=====================
"Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin."


Saya jadi tertawa sendiri pagi-pagi. Ceritanya, seperti biasa saya membuat kopi setelah bangun. Tepat pada saat air mendidih, Pak RT datang untuk mengutip iuran sampah. Seperti biasa jika ia datang, ngobrol menjadi sebuah keniscayaan. Setelah ia pulang, saya kembali ke dapur untuk melanjutkan membuat kopi, tapi air sudah keburu tidak panas lagi. Maka saya pun memanaskan ulang. Eh, ada tetangga yang datang karena ingin meminjam sesuatu. Dan, ngobrol jilid dua pun jadi sarapan pagi saya. Setelah ia pulang, saya ke dapur lagi, dan yah... airnya sudah tidak cukup panas lagi. Maka saya ulang lagi memasak airnya.

Anak saya bangun dan memanggil papanya. Lagi-lagi seperti biasa ia segera menuntut perhatian penuh dari papanya. Minta dibuatkan sarapan, mengajak bermain, dan kopi saya pun batal hingga siang.


Untuk membuat kopi dibutuhkan air panas. Semakin mendidih maka harum kopinya akan terasa, dan bubuknya pun larut dengan baik. Dari apa yang terjadi pagi ini, pemikiran saya tertuju pada air yang bisa mendidih tapi juga bisa jadi dingin. Tak peduli sepanas apa airnya, jika didiamkan selama beberapa waktu, maka panas air akan hilang. Begitu pula dengan makanan. Jika anda memasak makanan dan lama dihidangkan, makanan akan menjadi dingin dan tidak lagi senikmat kalau dihidangkan panas-panas.

Sesuai teori fisika, segala yang hangat lama-lama akan menjadi dingin karena terjadinya perpindahan kalor. Itulah sebabnya di beberapa restoran disediakan portable gas stove agar makanan tetap bisa hangat selagi disantap. Beberapa termos yang baik juga bisa menghindari terjadinya perpindahan kalor sehingga panas bisa tahan lebih lama.

Hal itu membawa saya berpikir tentang kasih, yang entah kebetulan atau tidak sedang saya bahas sebagai bahan renungan. Perhatikanlah, bukankah kasih di dalam diri kita pun bisa seperti itu? Kasih yang dibiarkan saja dan tidak pernah atau jarang diperhatikan atau dipakai lama-lama bisa menguap. Dari hangat lantas menjadi dingin.

Apa yang menyebabkan kasih bisa menjadi dingin? Tuhan Yesus sebenarnya sudah
 menyampaikan hal itu. Demikian FirmanNya:

"Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin." (Matius 24:12).

Dalam bagian dari Injil Matius ini dikatakan bahwa menjelang kesudahan dunia akan semakin banyak kedurhakaan. Kejahatan merajalela di mana-mana, kesesatan tumbuh subur. Dan berbagai hal itu akan mengakibatkan kasih kebanyakan orang menjadi dingin. Dahulu begitu, sekarang pun sama. Kasih lama-lama bisa terbatas pada slogan saja, hanya disinggung dan dibicarakan, tapi semakin jarang diaplikasikan dalam kehidupan secara nyata. Kita sering terbawa kebiasaan dalam dunia, mengacu pada teori ekonomi semata berdasarkan prinsip untung rugi. Kalau mau membantu kita melihat dahulu keuntungan apa yang bisa kita peroleh atau motivasi-motivasi lain, bukan lagi didasarkan kasih. Kita menjadi pribadi-pribadi yang individualis, tidak lagi punya rasa empati dan belas kasih, lalu kemudian mulai terbiasa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran. Jauh dari Tuhan, menjadi durhaka, dan kasih pun menjadi dingin.


(bersambung)

Tuesday, November 29, 2022

Ciri/Indikator Kasih (4)

 (sambungan)

Kasih dalam kekristenan harus memiliki coverage area yang jauh lebih luas dari sekedar menyayangi orang-orang terdekat kita atau yang kita kenal baik. Artinya, ukuran kasih yang diwajibkan itu jauh lebih besar dari apa yang dipercaya oleh  dunia secara umum. Yesus sudah memberikan tingkatan yang harus kita capai dalam Yohanes 13:34, yaitu kita harus mampu mengasihi setingkat dengan Yesus. Kalau saat ini belum, setidaknya kita harus paham bahwa itulah level yang harus kita capai. Pancaran kasih kita harus terus dilatih dan ditingkatkan dengan target mencapai tingkatan kasih Kristus atas diri kita.

Yesus bukan datang ke bumi untuk sekedar menyembuhkan banyak orang dan melakukan mukjizat-mukjizat dimana-mana saja, tetapi kasih yang dimiliki Kristus membuatnya rela untuk menjalani penderitaan dan kesakitan hingga mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita. Lewat karya penebusanNya kita dianugerahkan keselamatan, sebuah bentuk dari kasih karunia yang justru diberikan pada saat kita tengah penuh dosa. Paulus menyatakan hal itu lewat kalimat berikut: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8).

Waktu Yesus berkata "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13), Yesus sudah menerapkannya sendiri secara nyata. Sesuai dengan pesan Yesus tentang level kasih, maka kita diminta untuk bisa mencapai tingkatan tersebut. Kalau masih belum, setidaknya semakin mendekati dari hari kehari.  Ada banyak aspek di dalamnya yang bukan hanya sekedar menyampaikan ungkapan rasa cinta, tetapi juga mengandung pengorbanan, kerelaan untuk menderita dan kesanggupan untuk mengampuni. Sangat sulit, tetapi kasih seperti itulah yang seharusnya menjadi dasar hidup orang percaya.

Sejatinya, sejauh mana iman kita kita akan tergambar dari sejauh mana kasih bekerja dalam hidup kita masing-masing. Yesus telah mengingatkan kita untuk saling mengasihi, seperti halnya Dia sendiri mengasihi kita. Dan itulah yang akan bisa menunjukkan kualitas hidup sebagai murid Yesus. "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yohanes 13:35). Dan ingatlah bahwa Kristus akan tergambar di dunia lewat perilaku dan perbuatan kita. Tanpa kasih, kita bukan saja akan mengalami banyak kerugian tetapi juga berpotensi mengenalkan sosok Kristus yang keliru. Lewat indikator-indikator ini, mari kita periksa sejauh mana kasih bekerja dalam diri kita. Sejauh mana kita sudah menerapkannya dan mana yang masih harus kita tingkatkan atau perbaiki?

Mengenali ciri kasih akan membuat kita tahu apa yang harus kita lakukan dan tingkatkan. Mengetahui indikator kasih akan membantu kita menganalisa pencapaian dan pertumbuhan kasih agar bisa mencapai level seperti Yesus

Monday, November 28, 2022

Ciri/Indikator Kasih (3)

 (sambungan)

Kesabaran, kemurahan hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, berlaku sopan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah, mau mengampuni, tidak mendendam, tidak senang dengan kejahatan, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tahan menghadapi segala sesuatu, mau percaya akan yang terbaik pada setiap orang, hidup dalam pengharapan tanpa henti dan sabar dalam menanggung segala sesuatu. Inilah ciri kasih, yang mampu menjadi sebuah indikator untuk membantu kita dalam mengetahui atau memeriksa diri kita, apakah kasih berfungsi baik atau tidak, atau sudah sampai di titik mana kasih itu berperan dalam hidup kita.

Jika kita masih berhenti hanya kepada mengasihi orang yang dekat dengan kita, masih suka memperhitungkan kejahatan yang dilakukan orang lain, cepat emosi, menyimpan dendam, masih mudah iri terhadap kesuksesan orang lain, masih berkompromi terhadap banyak penyimpangan dan gemar melakukan tindakan-tindakan yang jahat, jika kita masih kerap diliputi iri hati, kesombongan, jika kita masih tidak murah hati, mau menang sendiri, cari untung sendiri, itu artinya kita belum berjalan dalam kasih di level yang seharusnya.

Pertanyaannya, kalau mempergunakan kemampuan sendiri, apakah kita bisa mencapai level setinggi itu? Jika hanya bertumpu pada kemampuan sendiri tentu akan sangat sulit bagi kita untuk bisa mencapai kasih seperti tingkatan yang ditentukan Yesus dimana kita bukan lagi sekedar mengasihi orang lain seperti diri sendiri tetapi mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi kita (Yohanes 13:34). Lalu bagaimana agar kita bisa memenuhi indikator-indikator di atas?

Kuncinya, kita harus berjalan bersama Tuhan dan tetap dipenuhi Roh Kudus. Selama itu ada, kasih Allah akan hidup dalam diri kita. Dan itulah yang akan memampukan kita untuk memenuhi indikator-indikator kasih di atas.

Yohanes menghimbau kita untuk saling mengasihi dengan sebuah hubungan sebab-akibat yang sederhana.  "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah." (1 Yohanes 4:7). Kita tidak bisa mengaku sebagai anak Allah yang mengenal Bapanya apabila kita tidak memiliki kasih dalam diri kita. "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (ay 8). Dan Yohanes kemudian melanjutkan: "Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita." (ay 11-12).

Bagi saya apa yang disampaikan Yohanes ini luar biasa. Ia menggambarkan bagaimana seharusnya kasih itu dengan memakai silogisme yang sangat sederhana tapi fundamental dan sangat mengena.

(bersambung)

Sunday, November 27, 2022

Ciri/Indikator Kasih (2)

 (sambungan)

Ini sebuah tingkatan yang sungguh tinggi. Kita tahu bagaimana kasih yang dimiliki Kristus. Dia bukan saja menyembuhkan banyak orang dan melakukan mukjizat-mukjizat dimana-mana, tetapi kasih yang dimiliki Kristus bahkan membuatnya rela untuk menjalani penderitaan dan kesakitan hingga mati di atas kayu salib. Lewat karya penebusanNya kita dianugerahkan keselamatan, sesuatu yang justru diberikan pada saat kita tengah berlumur dosa.

Firman Tuhan mengatakan demikian: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Ketika Yesus berkata "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13), ia tidak berhenti hanya pada wacana saja melainkan sudah melakukannya sendiri, menjadikan diriNya sebagai keteladanan secara langsung.
Sesuai dengan pesan Kristus, maka kita seharusnya memiliki bentuk kasih Kristus dalam hidup kita. Sebuah tingkatan kasih yang jauh lebih besar dari pengertian kasih yang kita ketahui sehari-hari. Ada banyak aspek di dalamnya yang bukan hanya sekedar menyampaikan ungkapan rasa cinta, tetapi di dalamnya juga terdapat pengorbanan, kerelaan untuk menderita dan kesanggupan untuk mengampuni. Ini hal-hal yang sungguh tidak mudah untuk dijalankan, tetapi kasih yang memiliki elemen-elemen seperti itulah yang seharusnya menguasai diri kita.

Kembali kepada pertanyaan awal, seperti apa ciri-ciri kasih itu? Adakah indikator untuk mengetahui seberapa jauh kasih itu sudah berfungsi menyentuh dan membawa kebaikan baik bagi kita sendiri maupun orang lain? Adakah tolok ukur atau acuan yang bisa kita pakai untuk melihat apakah kasih dalam diri kita sudah berada pada jalur yang benar atau belum?

Jawabannya, ada. Dan itu bisa kita lihat secara terperinci seperti yang disampaikan Paulus dalam suratnya untuk jemaat Korintus. Inilah ciri dan/atau indikator kasih itu.

"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." (1 Korintus 13:4-7).

(bersambung)

Saturday, November 26, 2022

Ciri/Indikator Kasih (1)

 Ayat bacaan: 1 Korintus 13:4-7
========================
"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu."

Ada sebuah lagu yang sudah sangat tua, berasal dari kisaran tahun 1920an yang berjudul "Five Foot Two, Eyes of Blue".  Lagu jenaka ini menceritakan tentang seorang pria yang menyombongkan kekayaannya lewat memberikan ciri-ciri kekasihnya. Mula -mula ia menyampaikan tinggi 5"2' dan mata biru. Tapi kemudian ia 'bragging' dengan menyebutkan bahwa sang kekasih berbalut mantel bulu dan cincin berlian. Masa tahun 20an yang juga dikenal dengan masa the Great Gatsby adalah masa dimana Amerika mencapai kemakmuran mendadak setelah perang dunia pertama selesai. Di masa itu kehidupan glamor menjadi gaya hidup banyak orang. Karena itulah lagu tadi buat saya menjadi gambaran kehidupan para jet set pada masa itu.

Itu ilustrasi singkat saja tentang lagu yang jadi pembuka renungan hari ini. Untuk kali ini saya bukan mau membahas mengenai kemakmuran mendadak yang meliputi Amerika di tahun 20an, karena apa yang kita alami saat ini berbanding terbalik dengan era itu, melainkan mengenai ciri. Setiap orang punya cirinya sendiri, dan setiap benda bisa kita deskripsikan sesuai ciri. Anak saya saat ini berusia 3 tahun 9 bulan, dan sejak usia 3 tahun ia saya ajarkan untuk bisa mendeskripsikan benda-benda lewat cirinya dengan bentuk permainan tebak-tebakan. Saya percaya itu akan melatih dirinya untuk mengenal benda dan berpikir kreatif dalam menggambarkan benda yang ada di benaknya.

Ciri-ciri akan membantu kita memahami apa yang kita cari atau ingin deskripsikan. Ciri-ciri akan membuat kita kenal lebih jauh terhadap sesuatu. Semakin detil ciri yang bisa kita sebutkan, semakin pula kita mengenal sesuatu itu. Demikian pula halnya dengan indikator. Dengan adanya indikator, kita akan bisa melihat apa yang telah kita capai lewat usaha kita selama ini. Indikator bisa berbeda-beda tergantung apa yang menjadi tujuan kita. Apakah kita sudah mengalami peningkatan, memiliki pendapatan yang memadai, mencapai sebuah tingkat sesuai target dan sebagainya, semua ini adalah contoh dari indikator atau tolok ukur yang bisa kita jadikan acuan untuk melihat apakah kita sudah berjalan dalam koridor atau rel yang benar atau tidak.

Kemarin kita sudah melihat bagaimana kasih yang dari Allah bisa memberi perbedaan terhadap kemampuan kita untuk menyatakan kasih, bukan cuma terhadap mereka yang baik atau orang terdekat yang kita sayangi, tapi hingga menyentuh mereka yang pernah menyakiti kita. Pertanyaannya, seperti apa sebenarnya kasih itu? Jika anda diminta untuk memberi ciri-ciri dari kasih, apakah anda bisa menggambarkannya? Atau jika anda ingin tahu apakah anda sebenarnya sudah mempraktekkan atau mengaplikasikan atau menyatakan kasih kepada sesama secara luas selayaknya Yesus mengasihi kita, adakah indikator atau cirinya?

Kekristenan itu  berbicara soal kasih. Saya pernah mengatakan, apabila Alkitab diperas maka kasih akan keluar sebagai sarinya. Inti dasar kekristenan adalah kasih, dan bentuk kasih yang diwajibkan untuk kita miliki jauh lebih besar ketimbang sekedar menyayangi orang-orang terdekat bagi kita. Standarnya lebih besar. Itulah yang bisa membedakan kita dengan prinsip-prinsip dunia pada umumnya. Tingkatan kasih seperti apa yang harus kita miliki? Yesus berkata "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34).

(bersambung)

Friday, November 25, 2022

Kasih Yang Dari Tuhan (4)

(sambungan)

Yesus bersabda: "Aku memberikan perintah  baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Bentuk kasih yang setingkat dengan kasih Kristus kepada kita, itu adalah sebuah tingkatan lebih tinggi dari kasih yang biasanya kita ketahui dan jumpai di dunia ini. Sebuah kasih yang berlaku bahkan bagi musuh sekalipun. Bukan hanya mengasihi, tapi kita pun harus berdoa bagi mereka yang telah menganiaya kita (Matius 5:43-44), seperti bentuk kasih yang telah dicontohkan Yesus sendiri. Paulus pun kemudian mengingatkan hal yang sama kepada kita. "dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah." (Efesus 5:2).

Ketika kita sudah menerima kasih yang dari Allah, yang berasal dari hati Bapa, sudahkah kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita? Adalah mudah untuk mengasihi orang yang baik kepada kita, mengasihi orang yang kita cintai, tetapi sanggupkah kita untuk tetap mengasihi dan mendoakan orang-orang yang membenci kita? Maukah kita peduli kepada mereka dan keluarganya? Bersediakah kita tetap membantu dan bersikap baik dengan penuh kasih meski kita diperlakukan tidak adil atau bahkan disakiti? Jika kita melihat ke dalam dan menemukan kasih Bapa yang dicurahkan oleh Roh Kudus, seharusnya kita bisa. Inilah yang akan bisa membuat perbedaan antara kasih yang dimiliki anak-anak Tuhan dengan kasih yang dimiliki dunia.

Apa yang dilakukan Daud hendaklah menjadi teladan bagi kita untuk tidak mendendam kepada siapapun, apalagi dendam turun temurun terhadap keturunan mereka. Tidak mudah memang, tetapi kuasa Roh Kudus akan memampukan kita agar bisa melakukannya. Untuk apa Daud peduli mencari keturunan Saul? Tidak lain untuk menyatakan kasih yang dari Allah yang ada pada dirinya. Hari ini mari temukan kasih itu di dalam hati kita, dan hidupilah dengan mengaplikasikannya langsung dalam hidup kita. Siapa orang yang sedang menyakiti anda hari ini? Ampunilah, doakanlah mereka dan tetaplah kasihi. Itulah yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita semua.

Mengasihi orang baik itu mudah, tapi mampukah kita mengasihi orang yang jahat pada kita?

Thursday, November 24, 2022

Kasih Yang Dari Tuhan (3)

 (sambungan)

Duduk makan di meja yang sama, itu mengingatkan saya pada apa yang dilakukan Yesus.. Bukankah Yesus juga duduk semeja bersama orang-orang yang dianggap berdosa, hina dan rendah seperti pemungut cukai, mereka yang tertolak, dimusuhi, dijauhi dan dibenci? Dan, bukankah pada saatnya nanti orang-orang yang selamat akan duduk semeja dalam perjamuan kawin Anak Domba? Kitab Wahyu tertulis: "Tuliskanlah: Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba." Katanya lagi kepadaku: "Perkataan ini adalah benar, perkataan-perkataan dari Allah." (Wahyu 19:7,9).

Kita manusia yang sangat kecil dan penuh dosa tapi dilayakkan untuk menerima anugerah sebesar itu? Itu bentuk kasih Allah yang sungguh besar. Tuhan sendiri bahkan rela turun ke dunia, mengambil rupa seorang hamba untuk menebus kita. Satu-satunya yang sanggup menggerakkan Tuhan untuk melakukan hal itu adalah kasih (Bacalah Yohanes 3:16).  That's the unconditional love, kasih yang tak terbatas.

Sebagai manusia, tentu kemampuan kita dalam mengasihi itu terbatas. Sebagai manusia, kita bisa merasakan sakit hati saat mendapat perlakuan buruk, tidak adil atau bahkan jahat dari orang lain. Kalau sudah begitu, akan sangat sulit bagi kita untuk tetap bisa mengasihi mereka yang jahat pada kita. Tapi dari kisah ini Daud memberi kuncinya. Sebuah kasih yang dari Allah. Itulah yang membuat perbedaan. Itulah yang membuat Daud mau memikirkan nasib keluarga yang ditinggalkan dengan tewasnya Saul dan Yonatan dalam peperangan. Itulah sebuah kasih yang berbeda dengan kasih yang pada umumnya kita jumpai di dunia. Sebuah kasih Allah yang "unconditional", yang berlaku bahkan kepada orang yang sudah berlaku begitu jahat sekalipun. Secara manusiawi pasti sulit, saya tahu betul akan hal itu karena saya pun sudah pernah merasakan disakiti oleh orang lain. Tapi kasih yang dari Allah, itu yang bisa membuat perbedaan. Dan itu sesungguhnya sudah ada dalam diri kita.

Tuhan sendiri menunjukkan belas kasihNya yang luar biasa kepada kita justru ketika kita masih berdosa. Ketika seharusnya kebinasaan yang layak kita terima, Tuhan menggantikannya dengan keselamatan. Jika kita yang penuh dosa saja mau Tuhan ampuni dan kasihi, mengapa kita tidak bisa melakukannya kepada orang-orang yang bersalah kepada kita? Seharusnya kita bisa. Firman Tuhan berkata "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yohanes 4:19). Ini adalah hubungan sebab akibat sederhana yang pasti mudah dipahami, meski aplikasinya tidak semudah pengertiannya. Yesus sendiri sudah memberi contoh langsung bagaimana seharusnya bentuk kasih itu diaplikasikan dalam kehidupan. Setelah mengalami ketidakadilan, penyiksaan hingga tergantung di atas kayu salib pun Yesus masih sanggup memanjatkan doa meminta pengampunan kepada para penyiksanya. (Lukas 23:34).

(bersambung)

Wednesday, November 23, 2022

Kasih Yang Dari Tuhan (2)

 (sambungan)

Nah, tunggu dulu. Kalau mau mengasihi orang baik itu mungkin mudah. Tapi mampukah kita mengasihi seorang musuh atau mereka yang pernah atau masih menyakiti kita? Mampukah kita untuk masih peduli bukan saja kepada dirinya, tetapi kepada keluarganya? Bukan mendendam, bukan menunggu sampai mereka terjatuh, bukan mengutuki, tetapi mengasihi, mendoakan atau bahkan mengulurkan tangan saat mereka kesusahan?

Dalam dua tajuk renungan terdahulu kita sudah melihat sikap rendah diri Mefiboset dan sikap rendah hati penuh kasih yang ditunjukkan Daud. Hari ini mari kita lihat satu "Pribadi" lain yang disebutkan disana, yang bahkan mendasari kisah ini, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah. Alkitab menyebutkan bahwa apa yang menggerakkan Daud untuk memikirkan kelangsungan keluarga Saul, orang yang telah menekan Daud selama bertahun-tahun; itupun jika masih ada yang hidup; adalah panggilannya untuk menyatakan kasih. Kasih yang dipancarkan Daud bukanlah sebentuk kasih biasa, tetapi sebuah kasih yang dikatakan Daud berasal dari Allah. Itulah yang ia nyatakan.

 "Kemudian berkatalah raja: "Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah." (2 Samuel 9:3a).

Daud hendak menunjukkan kasih, bukan kasih biasa, bukan kasih dari keterbatasannya sebagai manusia, melainkan kasih yang berasal dari Allah.

Kasih yang dari Allah. Itulah yang mendorong Daud untuk memanggil Mefiboset, anak Yonatan dan cucu dari Saul untuk tinggal bersamanya dan makan sehidangan di meja yang sama. "Demikianlah Mefiboset diam di Yerusalem, sebab ia tetap makan sehidangan dengan raja. Adapun kedua kakinya timpang." (2 Samuel 9:13). Dalam bahasa Inggris kata sehidangan disebutkan dengan "ate continually at the king's table", artinya ia selalu makan sehidangan dan semeja, di meja raja bersama Daud.

(bersambung)

Tuesday, November 22, 2022

Kasih Yang Dari Tuhan (1)

 Ayat bacaan: 2 Samuel 9:3
=====================
"Kemudian berkatalah raja: "Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah."


Pacaran hampir satu windu, menikah 13 tahun. Artinya, saya sudah mengenal dan menjalani hubungan dengan istri saya selama 21 tahun. Puji Tuhan hingga hari ini kami masih menjalani keluarga yang sangat bahagia dan harmonis. Apakah itu artinya rumah tangga kami seratus persen tanpa perselisihan? Ah, percayalah, kami ini keluarga normal. Artinya, perselisihan itu tetap ada, apalagi saat dia punya suami yang suka bikin kesal seperti saya. Tapi bagi kami, perselisihan itu cuma boleh sampai sebatas bunga-bunga pernikahan saja, tidak boleh lebih, tidak boleh berkepanjangan, berlarut-larut apalagi sampai menimbulkan luka. Lagi-lagi puji Tuhan, sepanjang yang saya tahu kami belum pernah mengalami luka batin dari perselisihan yang ada dalam perjalanan hubungan kami, karena saya tahu bahwa satu luka saja bisa berdampak buruk dan bisa jadi pula sulit untuk disembuhkan.

Nanti lain kali saya akan cerita lebih jauh tentang apa yang saya atau kami lakukan pada saat berselisih paham agar tidak meluas, memanas bahkan mengganas, karena konteks yang akan saya bahas hari ini lebih kepada kasih. Kasih. Ya saya mengasihi istri saya dengan segenap jiwa dan raga saya, dan saya yakin ia pun demikian. Sedikit banyak hubungan kami sudah teruji oleh waktu. Perasaan cinta saya hari ini masih tetap sama terhadapnya, kalau tidak lebih. Kenapa bisa lebih? Karena bagi saya ia bukan saja istri yang terbaik, tapi juga ibu yang terbaik untuk anak kami. More, much more than I've ever wished. Hingga detik ini saya yang bertipe ekspresif masih sering mengatakan I love you, memeluk dan menciumnya seperti saat-saat awal pernikahan dulu. Kasih merupakan kunci dari hubungan kami, yang bukan saja membuat kami bisa melewati masa dua dekade lebih dengan sangat baik, tetapi juga dalam hal menjaga kehangatan hubungan. Saya tahu akan ada waktu dimana kami tidak akan lagi bersama-sama, karena itulah setiap hari saya menikmati detik demi detik kebersamaan kami dan mengucap syukur kepada Tuhan atas rumah tangga kami. Sekali lagi, kasih memiliki peran yang sangat penting yang membuat keluarga terasa seperti heaven on earth, bukan hell break loose.

Bagi saya, kasih itu harus diekspresikan. Bagaimana kita mengekspresikan kasih? Ada banyak cara tentunya. Dengan menunjukkan perhatian sepenuhnya, dengan memberi sekuntum bunga, cokelat atau hadiah-hadiah lain, dengan ucapan, pelukan, dan banyak lagi bentuk-bentuk espresi kasih yang bisa kita lakukan. Kenapa harus lewat hal-hal itu? Karena kasih itu adalah urusan perasaan. Sulit bagi kita untuk bisa mentransfer perasaan secara langsung kepada orang lain, dan itulah sebabnya kita perlu berbagai bentuk ekspresi seperti di atas sebagai perantara untuk menyampaikan perasaan kasih sayang kita kepada seseorang.

Manusia pada umumnya membutuhkan kasih untuk bisa hidup. To love and to be loved, mengasihi dan dikasihi, mencintai dan dicintai. Itu seringkali membuat kita lebih kuat dan tegar apabila kita miliki. Semua itu tentu baik. Tetapi kita seharusnya bisa meningkatkan satu langkah lagi lebih tinggi dengan adanya bentuk kasih yang sudah dicurahkan Tuhan ke dalam hati setiap kita lewat Roh Kudus, seperti yang disebutkan dalam Roma 5:5. Jadi, kalau kasih sudah dicurahkan ke dalam hati kita lewat Roh Kudus, seharusnya kita tidak sulit lagi untuk mengasihi kan?

(bersambung)

Monday, November 21, 2022

Daud dan Mefiboset (3)

 (sambungan)

Ada seorang penulis bernama Alfred Plummer menulis: “To return evil for good is devilish; to return good for good is human; to return good for evil is divine. To love as God loves is moral perfection." Kalau diterjemahkan bunyinya kira-kira begini: Membalas kebaikan dengan kejahatan itu merupakan sikap iblis, membalas kebaikan dengan kebaikan itu manusiawi, tetapi membalas kejahatan dengan kasih merupakan sebuah sikap moral yang sempurna seperti sifat Ilahi.

Daud memilih untuk mengingat keluarga Saul yang pasti hancur karena ditinggalkan dengan kehancuran total seperti itu. Mefiboset yang cacat dan terbuang pun sampai ia panggil untuk tinggal bersamanya bahkan diberi hak untuk makan satu meja dengannya. Mengapa ia melakukan hal itu? Sekali lagi, karena Daud "hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah." (ay 2a).

Orang yang mendendam, tidak mengasihi sama artinya dengan tidak mengenal Allah. Itu tertulis dalam Firman Tuhan berkata "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:8). Dan kasih seperti ini adalah kasih tanpa pamrih yang akan diberikan kepada siapapun, termasuk kepada musuh yang sudah berlaku sangat jahat kepada kita.

Meski hati kita sakit, atau kita terluka akibat perbuatan seseorang, tetap saja tidak ada alasan bagi kita untuk menolak memberikan bentuk kasih seperti ini, karena sesungguhnya kasih dari Allah ini sudah dicurahkan kepada kita lewat Roh Kudus. Hal itu bisa kita baca dalam kitab Roma: "Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:5).

Dunia boleh saja menghalalkan balas dendam, tetapi tidak bagi kehidupan kekristenan. Sekarang pertanyaannya, apakah kita memilih untuk memakai kasih Allah itu dalam kehidupan kita secara nyata atau kita menolaknya dengan terus memelihara dendam dan merasa senang ketika musuh kita terjatuh? Daud memilih untuk menghidupi kasih Allah secara nyata dalam kehidupannya. Ia ternyata memiliki pengenalan yang baik akan Allah, Ia tahu betul bahwa kasih Allah hidup di dalam dirinya dan ia memilih untuk memancarkan kasih itu kepada sesama, termasuk kepada orang yang sudah pernah berlaku busuk terhadapnya.

Bagaimana dengan kita saat ini? Maukah kita meniru sikap hati Daud atau kita masih lebih senang memupuk kebencian dan menunggu saat yang tepat untuk melakukan pembalasan? Maukah kita tetap mendoakan mereka yang terbaik dan mendoakan mereka agar bertobat, atau kita akan menanti untuk berpesta saat mereka terjatuh?

Tetap nyatakan kasih yang dari Allah kepada siapapun termasuk kepada musuh kita

Sunday, November 20, 2022

Daud dan Mefiboset (2)

 (sambungan)

Jika kita mundur sejenak ke belakang, kita pun akan menemukan ada saat dimana Daud punya kesempatan untuk membunuh Saul dari belakang. Dalam 1 Samuel 24:1-23 kita membaca kisah itu. Daud pada saat itu tengah dikejar-kejar oleh Saul dan 3000 prajurit untuk dibunuh. Ia pun lari bersembunyi ke padang gurun. Ternyata ketika ia masuk ke dalam sebuah gua, Saul tengah berada disana dengan posisi membelakanginya. Pada saat itu sebuah kesempatan emas terbuka bagi Daud. Tidak hanya dia, para anak buahnya pun berpikiran demikian. Tapi Daud punya sikap hati yang berbeda. Meski ia bisa melakukannya, ia memutuskan untuk tidak memanfaatkan kesempatan.

Daud lebih memilih untuk dikuasai kasih dari Allah ketimbang memanfaatkan situasi. "Lalu berkatalah ia kepada orang-orangnya: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi TUHAN, yakni menjamah dia, sebab dialah orang yang diurapi TUHAN." (1 Samuel 24:7).Tidak hanya itu, Daud pun melarang anak buahnya untuk menyerang Saul. (ay 8).

Sebuah sikap hati seperti ini sungguh langka kita temui, apalagi hari ini. Jika Mefiboset memilih untuk bersikap rendah diri, Daud memilih untuk menghidupi sikap rendah hati dengan kasih yang dari Allah. Ia setia terhadap sahabatnya, Yonatan anak Saul. Ia tetap mengingatnya meski ayah Yonatan, Saul sudah begitu jahat terhadapnya.

Tidak berhenti sampai disana, selanjutnya Daud pun mengamalkan sikap hati yang dipenuhi kasih secara langsung lewat perbuatan nyata.

Apa yang dikatakan firman Tuhan saat menghadapi musuh? Tuhan menyatakan bahwa kita tidak boleh membenci mereka. Bahkan seharusnya kita mengasihi dan mendoakan mereka. Yesus berkata "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:43-44). Bersorak ketika mereka jatuh? Mengutuki? Menganggap Tuhan menghajar habis mereka demi kita? Apalagi itu, tentu tidak boleh. Sebab firman Tuhan sudah mengingatkan kita agar "Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok" (Amsal 24:17).

(bersambung)

Saturday, November 19, 2022

Daud dan Mefiboset (1)

 Ayat bacaan: 2 Samuel 9:1
======================
"Berkatalah Daud: "Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan."


Apa reaksi kita saat melihat musuh atau orang yang pernah menyakiti kita jatuh? Sebagian besar orang akan bersorak kegirangan. Memangnya tidak boleh? Wajar dong, bukankah dia sudah menyakiti kita? Itu akan jadi pemikiran kita. Kalau mereka saat ini masih berdiri tegak, sebagian orang yang pernah disakiti akan terus mengutuki atau mendoakan yang jelek-jelek terhadap mereka. Bukan hanya kepada oknum yang menyakiti, tapi dendam itu bisa sampai tujuh turunan. Ini sebuah perilaku yang sudah menjadi hal yang umum, di mana anak-anak Tuhan sekalipun sering terjebak pada masalah yang sama. Rasa sakit hati akan sangat mudah mengarahkan kita kepada dendam, sehingga kita akan merasa sangat senang apabila musuh kita jatuh, apalagi kalau itu terjadi tanpa kita harus bersusah payah melakukan sesuatu. Bagai menang undian rasanya.

Hari ini saya ingin menyambung sekelumit kisah perjumpaan antara Daud dan anak Yonatan, cucu Saul bernama Mefiboset yang sudah saya bahas kemarin. Kalau kemarin kita melihatnya dari sisi kerusakan gambar diri atau bagaimana rendah hati membuat kita melewatkan berbagai kesempatan dan pada akhirnya gagal menuai rencana Tuhan, hari ini mari kita lihat sisi lain dari peristiwa itu, yaitu dari sisi sikap Daud setelah kematian Saul di medan perang.

Setelah kematian Saul, Daud menjadi seorang raja yang bertahta atas Israel. Saul yang begitu membencinya dan sudah membuat hidupnya sulit dalam waktu yang cukup panjang telah tewas. Bukankah ini sebuah kemenangan besar yang seharusnya dirayakan? Kita mungkin berpikir demikian, tetapi Daud tidak. Apa yang dilakukan Daud justru sebaliknya, dan itu sungguh mengherankan.

Pada suatu kali saat Daud sudah menjabat sebagai raja, ia tiba-tiba teringat akan nasib keluarga Saul. "Berkatalah Daud: "Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan." (2 Samuel 9:1). Bukankah mengherankan, saat orang lain bisa dendam sampai tujuh turunan, Daud malah berpikir seperti itu?

Ia pun segera memanggil hambanya bernama Ziba.
"Kemudian berkatalah raja: "Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah." (2 Samuel 9:3a). Lihat kata-kata Daud ini. Ia memikirkan keluarga Saul yang sekiranya masih ada yang hidup. Bukan untuk membantai mereka hingga tuntas, bukan terus membenci, tetapi justru untuk menyatakan kasih. Kasih, itulah yang hidup di dalam dirinya yang berasal dari Allah.

(bersambung)

Friday, November 18, 2022

Mefiboset (4)

(sambungan)

Perhatikanlah. Bukankah ada diantara kita sering membuang-buang kesempatan terus menerus seperti Mefiboset? Ketika rasa rendah diri muncul berlebihan tidak pada tempatnya maka kita pun akan kehilangan peluang untuk bisa bangkit dan berhasil. Tidak tertutup pula kemungkinan ketika rasa rendah diri ini terus berlanjut, maka kesempatan kita untuk hidup di Kerajaan surga bersama Sang Raja pun sirna, seperti yang tersirat dalam kisah Mefiboset.

Karena itu kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Tidak ada manusia yang sempurna, semua kita memiliki kekurangan atau keterbatasannya sendiri. Tetapi jangan lupa bahwa di sisi lain kita pun memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri pula. Siapapun kita, tidak peduli apa kata orang lain tentang kita, bagi Tuhan kita tetaplah karya ciptaanNya yang terindah. We are still and will always be His masterpiece. Kita dikatakan dibuat sesuai gambar dan rupaNya sendiri (Kejadian 1:26), dikatakan ditenun langsung oleh Tuhan dalam kandungan (Mazmur 139:13) dan dilukiskan pada telapak tangan Tuhan, berada di ruang mataNya (Yesaya 39:16).

Itu artinya, apabila Tuhan menciptakan kita dengan sangat istimewa seperti itu, tentu ada rencanaNya yang indah bagi kita. Dan itupun sudah berulang kali pula Tuhan ingatkan. Jika demikian mengapa kita harus rendah diri dan menutup sendiri segala kesempatan yang kita miliki hingga sirna begitu saja? Hindarilah sikap Mefiboset. Jangan sia-siakan lagi segala yang telah Tuhan sediakan bagi kita. Terima diri kita apa adanya, bersyukurlah atas siapa diri kita hari ini dan cari tahu apa yang menjadi panggilan Tuhan bagi kita. Dari sana, tingkatkan, tumbuhkan dan kembangkan setiap potensi yang ada dan muliakan Tuhan dengan itu. Jangan sampai kita menjadi Mefiboset di masa sekarang.

Rasa rendah diri menggagalkan kita menggenapi rencana Tuhan atas diri kita

Thursday, November 17, 2022

Mefiboset (3)

 (sambungan)

Tidak cukup sampai disitu, ia pun harus rela diasingkan di sebuah tempat tandus bernama Lodebar. Rangkaian peristiwa ini membuat harga dirinya hancur, gambar dirinya rusak.
Pada suatu kali setelah menjadi raja, Daud mencari keturunan Saul untuk dipulihkan hak-hak hidupnya berdasarkan kasih dari Allah. Ia pun diberitahu bahwa ada anak Yonathan yang ternyata masih hidup. (2 Samuel 9:3). Mendengar itu, Daud pun segera menyuruh Mefiboset untuk datang menghadapnya.

Ketika Mefiboset menghadap, "Kemudian berkatalah Daud kepadanya: "Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku." (ay 7).

Ini cerminan kasih Allah yang tak terbatas oleh status, situasi, masa lalu dan sebagainya. Mefiboset seharusnya bersyukur mendapati kasih seperti itu dari Daud . Tapi ternyata reaksinya sangat berbeda. Ia merasa begitu rendah diri sehingga tidak pantas untuk memperoleh itu semua. Ia menjawab:  "Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?" (ay 8).

Ia merasa begitu rendah tak berharga hingga harga dirinya bukan saja seperti anjing, tapi lebih dari itu, ia merasa bagai anjing mati. Daud sudah berusaha memulihkan harga dirinya. Bahkan Mefiboset diundang untuk duduk semeja dan sehidangan dengan Daud, sang raja. Namun tetap saja ia tidak bisa keluar dari perasaan rendah dirinya.

Waktu terus berjalan. Dalam 2 Samuel 19:24-30 kita bisa melihat bahwa belakangan Mefiboset tidak kunjung mampu memulihkan citra dirinya meski ia sudah mendapat kasih Allah lewat diri Daud. "Juga Mefiboset bin Saul menyongsong raja. Ia tidak membersihkan kakinya dan tidak memelihara janggutnya dan pakaiannya tidak dicucinya sejak raja pergi sampai hari ia pulang dengan selamat." (ay 24). Perhatikan ia membiarkan dirinya dalam keadaan kumal, tidak terawat dan kotor. Ia bahkan tidak merasa pantas untuk tampil baik, di hadapan raja sekalipun.

Ketika Daud kemudian memutuskan untuk memberikan ladang yang tadinya milik Saul untuk dibagi dua antara Mefiboset dan Ziba, hamba Daud, kembali Mefiboset menunjukkan sikap rendah dirinya yang sangat parah itu. "Lalu berkatalah Mefiboset kepada raja: "Biarlah ia mengambil semuanya, sebab tuanku raja sudah pulang dengan selamat." (ay 30).

Alangkah sayangnya. Pada akhirnya Mefiboset tidak mendapatkan apa-apa. Dan semua itu karena ia tidak kunjung menyadari citra dirinya yang benar. Rasa rendah diri telah memerangkapnya sedemikian rupa sehingga ia membuang kesempatan berharga untuk dipulihkan dan dilayakkan untuk menjalani kehidupan barunya bersama raja yang penuh kasih.

(bersambung)

Wednesday, November 16, 2022

Mefiboset (2)

 

 (sambungan)

Apa yang ia lakukan adalah mencoba merintis sesuatu dengan modal kecil. Ia membuat mainan untuk kucing berbahan stik plastik dan bulu warna warni dengan lonceng kecil dan ia pasarkan sendiri dari satu toko ke toko lainnya. Gampang? Tentu tidak, karena ada banyak juga toko yang saat ini sedang 'surviving mode' akibat merosotnya daya beli masyarakat. Tidak menambah produk menjadi salah satu cara toko-toko ini, termasuk saya untuk bertahan. Bisa rugi bensin dong? Bisa jadi. "Tapi setidaknya saya masih diberi kesehatan untuk bisa terus berusaha." katanya. Ia pun kemudian bercerita bahwa ia sudah melewati masa dimana ia mengeluh bahkan marah kepada Tuhan atas kondisinya. Tapi kemudian ia sadar bahwa itu salah. Selain salah, itu pun tidak akan mendatangkan kebaikan apapun terhadap kondisinya. Ia kemudian merubah paradigma berpikirnya dan kembali berusaha, sambil terus bersyukur atas apapun yan masih bisa ia lakukan hari ini.

Wow. Itu membuat saya kagum, karena seperti itulah seharusnya kita hidup. Tetap mengucap syukur dan terus berusaha selagi kesempatan masih ada. Bukankah Yesus sudah mengingatkan: "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27). Lalu seperti yang sudah saya sampaikan dalam renungan terdahulu, dengan jelas kita diingatkan untuk "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Kedua hal ini menjadi sangat penting untuk kita perhatikan terlebih di masa-masa krisis seperti sekarang.

Kembali pada topik, kali ini saya mau fokus kepada masalah gambar diri. Orang dengan gambar diri yang rusak cenderung memandang atau menilai dirinya dengan sangat rendah, dan itu bisa membuat mereka gagal menggenapi rencana Allah seperti yang sudah Dia persiapkan sejak semula. Mengenai masalah gambar diri, kita bisa belajar dari seorang tokoh dalam Alkitab bernama Mefiboset.

Siapakah Mefiboset itu? Mefiboset adalah anak Yonatan, cucu dari Saul yang pernah menjabat raja Israel. Serangkaian peristiwa dan keadaan membalikkan kehidupannya dan mengubahnya menjadi pribadi yang rendah diri. Ayah dan kakeknya kalah dalam perang dan mati terbunuh dengan mengenaskan. Jika itu belum cukup, ia pun dikatakan cacat kakinya. "Yonatan, anak Saul, mempunyai seorang anak laki-laki, yang cacat kakinya. Ia berumur lima tahun, ketika datang kabar tentang Saul dan Yonatan dari Yizreel. Inang pengasuhnya mengangkat dia pada waktu itu, lalu lari, tetapi karena terburu-buru larinya, anak itu jatuh dan menjadi timpang. Ia bernama Mefiboset." (2 Samuel 4:4).

(bersambung)


Tuesday, November 15, 2022

Mefiboset (1)

 Ayat bacaan: 2 Samuel 9:8
=====================
"Lalu sujudlah Mefiboset dan berkata: "Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?"


Apa yang seringkali menjadi penghambat untuk maju? Faktornya bisa jadi banyak. Tingkat pendidikan rendah, tidak punya gelar, tidak punya modal sampai tidak punya relasi atau bahkan IQ seringkali menjadi tersangkanya yang dianggap berperan besar dalam kesulitan untuk maju. Tapi pernahkah terpikir oleh anda bahwa rasa rendah diri yang berlebihan pun bisa menggagalkan kita dalam menggapai mimpi dan rencana-rencana yang besar dalam hidup ini?  
Pada kenyataannya, banyak yang lupa bahwa faktor rendah diri seringkali menjadi penyebab utama kegagalan kita. Kerap menilai diri kita terlalu rendah, merasa bahwa kita tidaklah punya apa-apa yang bisa dibanggakan dalam hidup ini, sehingga takut untuk mencoba berusaha. Kalau sudah begitu, belum apa-apa sudah gagal duluan.  Dengan pola pikir seperti itu tidaklah heran apabila kemudian mereka yang rendah diri ini kemudian menutup dirinya rapat-rapat. Mereka menyendiri, menjauh dari kerumunan orang dan merasa tidak nyaman ketika berada dekat dengan orang lain. Kalau sudah begini, bagaimana bisa maju?

Ada banyak sekali orang yang hanya memandang kekurangannya dan mengabaikan apa yang menjadi keistimewaan dirinya. Mereka tidak tahu apa yang menjadi kelebihan mereka, dan tidak tahu bidang mana yang bisa membuat mereka sukses. Tidak jarang pula diantara orang yang seperti ini lalu menyalahkan situasi, keadaan atau kondisi, menyalahkan orang lain seperti orang tua, saudara, teman dan sebagainya, bahkan bisa sampai menyalahkan Tuhan karena merasa orang lain diberkati lebih dari dirinya sendiri, atau merasa Tuhan pilih kasih, memberi kelebihan pada yang lain tapi membiarkan diri mereka penuh kekurangan. Mereka tidak mampu melihat kesempatan-kesempatan yang sesungguhnya telah dibukakan Tuhan di depan mata mereka.

Kenapa? Karena pandangan mereka hanya tertumpu pada hal-hal negatif: kegagalan, kekurangan, ketidakmampuan dan sebagainya. Mereka kemudian tidak lagi peka terhadap suara Tuhan dalam hati mereka. Maka kegagalan pun akan semakin menenggelamkan mereka dan mereka jadikan bukti atas kekurangan mereka. Padahal jangan-jangan apa yang menyebabkan kegagalan itu bukanlah kekurangan atau keterbatasan mereka, melainkan justru akibat rasa rendah diri yang berlebihan.

Saya mengenal banyak orang yang mengalami masalah dengan gambar diri, mereka yang dipenuhi rasa pesimistis dan hidup penuh keluhan. Di sisi lain, saya pun mengenal orang-orang yang bersinar di tengah keterbatasannya yang selalu mengingatkan saya untuk belajar dari mereka. Mereka ini justru tampil luar biasa dalam keterbatasan mereka. Dari orang-orang seperti ini saya selalu melihat adanya tekad yang luar biasa dan mereka tidak tenggelam dalam keluhan akan kondisi mereka. Sebaliknya mereka tetap bersyukur dan dengan itu mampu memaksimalkan potensi mereka.

Baru saja seorang teman datang berkunjung dan bercerita mengenai kehidupannya sekarang. Ia menceritakan bahwa ia sudah tidak lagi punya pekerjaan karena ia termasuk yang diberhentikan karena perusahaannya harus memotong jumlah karyawan akibat resesi sebagai dampak dari kondisi ekonomi hari ini. Mau merintis usaha ia kesulitan modal. Dan ijazah anaknya pun masih ditahan pihak sekolah karena ia belum mampu membayar uang sekolah selama beberapa bulan terakhir.

(bersambung)

Monday, November 14, 2022

Bad Sector (3)

 (sambungan)

Tuhan tidak pernah menciptakan kita asal-asalan, asal jadi apalagi sia-sia atau tanpa rencana. Dan Dia punya rencana yang indah bagi setiap kita. Apa yang Dia rencanakan kepada kita sejak semula adalah rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, seperti yang disebutkan dalam Yeremia 29:11, untuk memberikan kita hari depan yang penuh harapan.

Ada juga sebuah ayat indah pada Mazmur mengatakan bahwa kita adalah ciptaan Tuhan yang dahsyat dan ajaib. "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." (Mazmur 139:13-14).

Dan yang lebih penting lagi, bukankah Tuhan sampai rela mengorbankan AnakNya yang tunggal demi keselamatan kita, yang dengan jelas disebutkan atas dasar kasihNya yang begitu besar, seperti dalam Yohanes 3:16?

Semua ini merupakan gambaran dari betapa istimewanya kita di mata Tuhan, dan dalam setiap rencanaNya saat menciptakan kita Dia tanamkan segala yang sungguh baik. Kalau nilai kita seperti itu di mata Tuhan, mengapa kita harus ragu untuk mengarahkan pandangan kepadaNya? Dia tahu keseriusan kita, Dia tahu pergumulan kita, Dia tahu sejauh mana kita berusaha dan Dia akan menghargai setiap jerih payah kita yang sungguh-sungguh.

Kalau kita menyadari bagaimana Tuhan memandang kita, seharusnya kepadaNyalah kita mengarahkan pandangan mata kita. Dengan melakukan itu maka kita tidak akan gampang jatuh dan kehilangan kepercayaan diri. Seperti ayat bacaan hari ini, selalulah berlindung kepada Allah. Tujukan mata kepada Allah. Bersama Allah tidak akan pernah mengecewakan, karena bagi Dia, kita selalu sangat berharga. Besar atau kecilnya yang kita lakukan, selama itu kita perbuat dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya, itu akan selalu Dia hargai dengan nilai yang sangat besar nilainya.

Kita tidak bisa melarang orang untuk mengeluarkan komentar-komentar negatif atas diri kita, tetapi kita bisa memilih dan memutuskan kemana kita mau memandang. Jika demikian, mengapa tidak mengarahkan pandangan kepada Tuhan sekarang juga?

Hindari bad sector dalam hidup dengan mengarahkan pandangan kepada Tuhan yang tidak akan pernah mengecewakan
. Be awesome!

Sunday, November 13, 2022

Bad Sector (2)

 (sambungan)

Alkitab sebenarnya sudah memberi kuncinya sejak dahulu kala. Perhatikan kata Daud berikut ini: "Tetapi kepada-Mulah, ya ALLAH, Tuhanku, mataku tertuju; pada-Mulah aku berlindung, jangan campakkan aku!" (Mazmur 141:8). Daud tahu betul bahwa situasi tidak akan pernah menjadi lebih baik jika ia terus mengarahkan pandangan matanya kepada masalah, pada situasi atau pada hubungannya dengan orang lain. Keadaan tidak akan menjadi lebih baik jika kita menelan ucapan-ucapan menjatuhkan dari orang lain atau ketika kita menghadapi ancaman dan sebagainya. Yang bakal terjadi justru sebaliknya, kita akan rugi sendiri. Mental jatuh, hilang percaya diri, hilang semangat, bahkan sukacita dan kedamaian dalam hidup kita pun terampas.

Daud mengajarkan bahwa semua itu bisa dihindarkan kalau kita mengarahkan pandangan mata kita kepada arah yang seharusnya, yaitu kepada Tuhan, yang tidak lain adalah Kasih itu sendiri. Pencipta kita sangat mengasihi kita dan Dia sudah memberi segala talenta dan keperluan lainnya yang bakal kita butuhkan sejak semula  pada kita masing-masing agar bisa menggenapi rencanaNya yang indah atas kita. Dia tidak akan pernah merendahkan setiap usaha yang anda lakukan demi namaNya, tak peduli apakah itu dihargai oleh manusia atau tidak. Dia justru akan memberkati usaha setiap anak-anakNya yang telah berupaya dengan sungguh-sungguh memberi yang terbaik, Dia akan menghargai apapun yang kita lakukan dalam namaNya dengan sungguh-sungguh dengan sangat tinggi. Dia akan selalu siap melindungi kita yang berlindung kepadaNya. KepadaNya-lah mata kita seharusnya tertuju dan bukan kepada orang-orang yang bisa setiap saat menjatuhkan kita.

Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana Tuhan memandang kita. Di dalam Alkitab dengan jelas dan tegas dikatakan bahwa kita disebut sebagai ciptaanNya yang sangat istimewa. We are His masterpiece, we are created special. Bagaimana tidak? Lihatlah beberapa hal yang indah ini di dalam Alkitab tentang cara Tuhan menempatkan kita dalam hatiNya.
- Dia menciptakan kita segambar dengan rupaNya sendiri (Kejadian 1:26).
- Kita disebutkan terlukis dalam telapak tanganNya dan dalam ruang mataNya (Yesaya 49:16).
- Dia mengetahui segala sesuatu akan kita, bahkan jumlah helai rambut kita pun Dia hitung (Matius 10:30).

(bersambung)

Saturday, November 12, 2022

Bad Sector (1)

 Ayat bacaan: Mazmur 141:8
=====================
"Tetapi kepada-Mulah, ya ALLAH, Tuhanku, mataku tertuju; pada-Mulah aku berlindung, jangan campakkan aku!"


Belum lama ini laptop yang saya gunakan untuk bekerja akhirnya berhenti berfungsi setelah sekian lama mulai ngehang dan kerap mendadak blue screen. Ternyata masalahnya adalah hardisk yang sudah telalu banyak bad sector. Apa yang menyebabkan bad sector? Selain mungkin pernah terbanting, pemakaian yang cukup lama dan/atau sering dimatikan paksa bida menjadi penyebabnya. Debu juga bisa menggores piringan sehingga menimbulkan kerusakan secara fisik. Ya.. mau tidak mau saya harus merelakan file-file yang ada di dalamnya karena kerusakannya sudah terbilang terlalu parah.

Dalam perjalanan hidup kita, kita pun akan kerap mengalami benturan-benturan, atau hal-hal yang bisa jadi menyebabkan adanya 'bad sector' dalam diri kita. Itu bisa terjadi saat kita mengalami situasi-situasi yang meruntuhkan mental, percaya diri atau bahkan bisa jadi ketika ada hal-hal yang membentur atau menimbulkan goncangan pada iman kita. Seperti halnya laptop saya, semua ini bisa menjadi begitu masif sehingga merusak gambar diri dan membuat kita sulit maju, terkadang bisa begitu parah sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk diperbaiki, bahkan ada yang tidak pernah lagi pulih hingga akhir hidupnya.

Saya sudah bertemu dengan begitu banyak orang yang sulit maju karena gambar dirinya rusak. Biasanya masalah berkutat pada hal-hal buruk yang mereka pernah alami dalam hidupnya, terutama di usia dini. Sejak kecil kerap dibanding-bandingkan terhadap saudaranya yang lain, sering dikatakan bodoh, direndahkan di depan orang lain dan berbagai macam perilaku tidak adil lainnya dari orang tua.

Ada juga yang sekian lama ditekan istri sehingga tidak lagi punya semangat juang, atau sebaliknya istri yang selalu takut ketika bertemu orang lain karena kerap mendapat tindak kekerasan dari suaminya, baik verbal maupun fisik. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah mati-matian melakukan sesuatu tapi tidak dianggap, disalah-artikan, direndahkan, diejek dan sebagainya.

Semua ini bisa membuat hadirnya bad sector dalam diri  kita yang jika dibiarkan akan membuat kita gagal dalam menjalani hidup seperti yang diinginkan Tuhan. Tidak bisa maju, tidak bertumbuh, tidak berani mengambil langkah atau inisitaif, potensi kita tidak keluar, gambar diri tidak utuh dan akibatnya gagal memenuhi rencana Tuhan dalam hidup. Semakin banyak 'bad sector' dalam hidup kita, semakin rusak pula gambar diri kita, yang akan sangat mempengaruhi jalannya hidup dan masa depan kita.

Karena saya mengetahui hal ini merupakan sesuatu yang akan sangat menentukan bagaimana nantinya hidup di kemudian hari dan bagaimana masifnya kehancuran yang bisa ditimbulkan, maka sejak kecil saya terus menanamkan rasa percaya diri pada anak saya. Saya terus mengajarkannya agar tidak mudah diintimidasi, tidak mudah down, dan saya terus menekankan bahwa ia akan selalu mendapat perlindungan sepenuhnya dari kedua orang tuanya. Saya pun sudah mengajarkannya berdoa sejak di usia 2 tahun dan mengajarkan bahwa Tuhan sayang kepadanya dan akan selalu melindunginya. Bagi saya hal ini penting, karena pembangunan mental di masa dini pertumbuhan akan membuat mereka kuat sejak awal sehingga nantinya mereka tidak akan mudah drop atau down. Apalagi, pada jaman seperti sekarang sikap-sikap bullying sudah muncul bahkan sejak masih di awal masa pendidikan di sekolah.

Yang jadi masalah, kita tidak akan pernah bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Dalam hidup ini sejak awal kita akan setiap hari bersinggungan dengan orang lain dan seringkali sulit menghindar dari orang-orang yang baik sengaja ataupun tidak membuat mental kita 'down' baik lewat ucapan maupun perbuatan. Tidak masalah kalau kita tidak punya masalah dengan gambar diri, tidak masalah kalau kita sudah kuat dalam iman dan terbiasa mengaplikasikan kebenaran Firman dalam hidup. Tapi bagaimana kalau kita belum sampai pada tahap itu? Bagaimana kalau saat kita bersinggungan dengan orang-orang atau situasi sulit kita sedang lengah atau sedang punya masalah dengan ketahanan kita? Itu bisa mengakibatkan bad sector mulai muncul dan terus bertambah. Jika demikian, apa yang harus kita lakukan?

(bersambung)

Friday, November 11, 2022

Kuasa Dibalik Ucapan Syukur (4)

 (sambungan)

Seperti mukjizat yang terjadi dalam kisah 5 roti dan 2 ikan, hal yang sama bisa terjadi dalam kehidupan kita. Seberat apapun masalah yang tengah kita hadapi baik dalam pekerjaan, keluarga, keadaan keuangan dan sebagainya, hadapilah itu dengan selalu mengucap syukur dalam segala keadaan. Ucapan syukur akan mengaktivasi iman kita dan membuatnya bekerja, sehingga mukjizat yang paling mustahil sekalipun akan bisa terjadi. Kita bisa mengalami pemulihan atas apapun pergumulan kita hari ini. Ucapan syukur mampu mendatangkan kuasa Tuhan dalam kehidupan kita. Tuhan mencurahkan RohNya agar bekerja dalam hidup kita, memberi hikmat untuk melakukan apa yang benar di mata Tuhan yang sesuai dengan kehendakNya. Apa yang tidak pernah kita pikirkan, itulah Tuhan bisa berikan kepada kita. Sebab Firman Tuhan berkata: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Korintus 2:9).

Bagaimana jika seandainya kesesakan belum juga kunjung membaik, atau apa yang kita mohonkan belum mendapat jawaban? Ucapan syukur tetap penting untuk kita sampaikan. Lihatlah bahwa ditengah kondisi buruk masih ada hal-hal yang pasti masih bisa kita syukuri. Akan selalu ada hal-hal yang bisa kita ucapkan syukur atasnya. Minimal, saat kita bangun, kita bisa bersukur bahwa Tuhan memberikan kita hari baru untuk bisa berjuang, dimana rahmatNya selalu baru setiap hari. Kita bisa mengucap syukur atas kasihNya yang tak berkesudahan dan keselamatan yang sudah Dia anugerahkan lewat Kristus. As for the situation, things will get better. Iman akan memungkinkan kita memandang jauh ke depan melihat apa yang belum bisa kita lihat dengan kasat mata, membuat kita mampu melihat bukti dari apa yang belum terjadi. Yang tak kalah penting, ucapan syukur pun membuktikan bahwa kita sungguh mengasihi Dia dan percaya bahwa segala yang Dia berikan adalah hanya yang terbaik bagi kita.

Oleh karena itu, janganlah putus asa. Jangan hilang harapan atas apa yang kita alami. Jangan pula membiarkan diri kita dikuasai perasaan negatif, membiarkan ucapan-ucapan yang keluar dari kita hanya didominasi keluhan, protes dan hal-hal negatif lainnya. Semua itu tidak akan memberikan manfaat apa-apa dan hanya akan menutup turunnya berkat Tuhan atas diri kita. Sebaliknya, ucapan syukur yang paling sederhana sekalipun yang berasal dari hati yang tulus akan mengaktivasi iman kita dan mendatangkan bekat kuasa Tuhan bekerja atas hidup kita. Pastikan hari ini hati kita penuh dengan ucapan syukur, dan percayalah Tuhan yang setia akan selalu memberikan jalan keluar sesuai dengan rencanaNya yang terbaik bagi kita.

In all, give thanks, always. Ada kuasa bekerja disana

Thursday, November 10, 2022

Kuasa Dibalik Ucapan Syukur (3)

 (sambungan)

Seperti apa sebenarnya ucapan syukur itu?  Ucapan syukur itu sesungguhnya merupakan bentuk atau wujud pengungkapan atau cara kita menyatakan pada Tuhan bahwa kita:

1. menyerahkan segalanya termasuk masalah-masalah yang kita alami ke dalam tangan Tuhan
2. berserah sepenuhnya
3. mengatakan kepada Tuhan bahwa kita mau dibentuk dan diproses sesuai cara dan kehendak Tuhan
4. membiarkan kasih Tuhan mengalir dalam hidup kita
5. membiarkan kuasa Tuhan bekerja dalam mengubahkan hidup kita
6. meninggalkan segala keinginan pribadi kita dan menerima sepenuhnya apa yang terjadi, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun
7. menghargai segala sesuatu yang sudah diberikan Tuhan kepada kita hari ini
8. percaya dengan iman bahwa seburuk apapun yang kita alami hari ini, ada suatu rencana besar yang Tuhan sediakan bagi kita di depan sana

Sesulit-sulitnya pergumulan yang tengah kita hadapi saat ini, Tuhan sudah berkata agar hendaknya kita jangan takut. "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur." (Filipi 4:6). Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa kita tidak perlu ragu untuk menyampaikan keinginan dan harapan kita kepada Tuhan, kita tidak dilarang untuk berbicara apa adanya tentang apa yang kita rasakan atau tengah kita alami, tapi lakukan itu dalam doa dan permohonan yang disertai ucapan syukur. Kata 'dengan' disana menunjukkan bahwa ucapan syukur bukan optional melainkan wajib menyertai doa dan permohonan kita.

Selanjutnya mari lihat ayat berikut ini: "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Apakah kita hanya perlu bersyukur dalam sebagian hal saja, hanya ketika semuanya berjalan baik? Ayat ini dengan jelas mengatakan tidak. Kita diminta untuk mengucap syukur dalam SEGALA HAL, artinya baik suka maupun duka, dalam situasi baik maupun buruk, dalam kondisi yang jelas maupun ketidakpastian, sebab itulah yang dikehendaki Allah sebenarnya dalam Kristus bagi kita. Ingat pula bahwa penyampaian ucapan syukur pun harus dilakukan dalam nama Yesus. "Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita." (Efesus 5:20).

(bersambung)

Wednesday, November 9, 2022

Kuasa Dibalik Ucapan Syukur (2)

 (sambungan)

Mari kita lihat sebuah kisah yang tertulis dalam Alkitab saat Tuhan Yesus memberi makan ribuan orang hanya dengan bermodalkan beberapa roti dan ikan kecil. Kisah ini dicatat dalam Matius 15:32-39 (juga tertulis dalam Markus 8:1-10 dan Yohanes 6:1-15).  

Mari saya ajak teman-teman untuk melihat time-frame nya. Kisah ini terjadi tepat setelah Yesus menerima ribuan orang yang datang berbondong-bondong kepadanya, dan Ia pun menyembuhkan mereka yang sakit. Dalam keadaan menyaksikan seperti itu, bukankah iman seharusnya sedang naik? Apalagi, Yesus ada disana. So there should be nothing to worry about, at all. Tapi ternyata tidak demikian. Bukan hanya mereka yang hadir disana, tapi bahkan para murid-murid Yesus sendiri pun pada 'gagal paham' tentang apa yang dikotbahkan Yesus dan tidak mendapat apa-apa sebagai saksi dari mukjizat yang hadir di depan mata mereka.

Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa mereka yang ada disana harus diberi makan. Tetapi jumlah makanan yang ada terlalu sedikit untuk itu. Perhatikan apa yang jawaban murid-murid Yesus pada waktu itu.

 "Murid-murid-Nya menjawab: "Bagaimana di tempat yang sunyi ini orang dapat memberi mereka roti sampai kenyang?" (Markus 8:4).

Dalam versi Injil Yohanes, Andreas yang merupakan saudara Simon Petrus mengatakan bahwa disitu ada anak yang punya lima roti dan dua ikan. Itu lumayan, karena ia masih mengusahakan ketimbang langsung mengeluh. Tapi tetap saja nada pesimis kemudian mengikuti perkataannya. "Di sini ada seorang anak yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan, tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?" (Yohanes 6:10).

Lantas lihat apa yang selanjutnya terjadi. Yesus meminta murid-muridNya untuk membawa jumlah kecil makanan tersebut, dan "Sesudah itu Ia mengambil ketujuh roti dan ikan-ikan itu, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya pula kepada orang banyak." (Matius 15:36). Ajaib! Semua orang kemudian bisa makan dengan kenyang, bahkan dikatakan setelah itu masih terdapat sisa tujuh bakul besar penuh. "Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, tujuh bakul penuh. Yang ikut makan ialah empat ribu laki-laki, jumlah itu belum termasuk perempuan dan anak-anak." (ay 37-38). Apa yang tadinya tidak mungkin terjadi menjadi mungkin. Apa yang membuat hal mustahil itu kemudian mungkin? Kita bisa melihat bahwa kuncinya ada di balik pengucapan syukur, seperti yang tercatat dalam ayat 36 di atas. "...  Ia mengambil ketujuh roti dan ikan-ikan itu, mengucap syukur..."  

Dari sini kita bisa melihat bahwa jelas ada kuasa di dalam ucapan syukur.

(bersambung)

Tuesday, November 8, 2022

Kuasa Dibalik Ucapan Syukur (1)

 Ayat bacaan: 1 Tesalonika 5:18
=====================
"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu."


Tak pernah terbayangkan sebelumnya keadaan dunia ini menjadi sedemikian genting. Pandemi yang datang tiba-tiba dan membunuh puluhan juta jiwa ditambah situasi perang membuat banyak negara menjadi bangkrut, minimal masuk ke dalam resesi. Situasi ini dialami hampir seluruh negara dengan tingkat keparahannya sendiri-sendiri. Negara kita mendapat pujian dari banyak negara lain karena masih mampu berjalan ditengah situasi global yang parah, namun meski demikian, banyak dari kita yang hidup di negara ini pun merasakan bagaimana imbas gejolak resesi global ini berpengaruh pada krisis ekonomi. Daya beli menurun drastis, sehingga para pedagang alias yang tidak punya gaji tetap omsetnya pun anjlok. Demikian pula orang yang kehilangan pekerjaan karena perusahaan tempatnya bekerja tidak lagi kuat menggaji pegawai seperti sebelumnya.

Apakah anda termasuk yang terdampak dari situasi ini? Jika ya, anda tidak sendirian karena saya pun sudah beberapa bulan mengalami kondisi defisit dalam usaha yang saya jalankan. Demi tetap menjaga agar usaha bisa tetap running, saya pun memotong pengeluaran dari banyak hal dalam rumah tangga. Mengirit habis-habisan karena biar bagaimana usaha yang ada ini menjadi tulang punggung satu-satunya untuk bertahan hidup. Kalau dulu bisa makan ayam dengan santai, sekarang saya harus membagi satu potong ayam dengan istri saya, dan itupun tidak lagi bisa setiap hari. Saya tidak pernah membayangkan bakal masuk ke dalam kondisi seperti sekarang.

Kemarin saat saya membagi dua ayam, kami sempat ngobrol tentang kondisi sekarang. Tidak ada kepastian kapan situasi membaik, apalagi berbagai pemberitaan mengatakan bahwa tahun 2023 situasi akan menjadi lebih sulit. Mau sesulit apa lagi nanti, kalau sekarang saja sudah sekarat? Tapi kami kemudian sampai pada satu kesimpulan: kami harus tetap mengucap syukur dalam kondisi apapun. Karena biar bagaimanapun kami masih bisa makan, masih diberi kesehatan, dan anak kami masih dalam keadaan cukup dan baik. Dia tetap riang bermain dan terus tumbuh menjadi anak yang cantik, baik dan pintar. If we look at the side of income, then it's like horror. But then again, if we turn our face to our little girl and family, hey... we are still blessed. We still have each other, love each other, and fight together. Kami pun tersenyum, mengucap syukur dan makan dengan hati senang.

Mungkin mudah bagi kita untuk mengucap syukur ketika keadaan sedang baik-baik saja, tetapi alangkah sulitnya melakukan itu ketika kita tengah berada dalam kesesakan. Ironisnya, ada banyak orang pula yang lupa untuk mengucap syukur ketika sedang dalam keadaan baik karena terlena dalam segala kenyamanan atau kenikmatan hidup. Atau menganggap bahwa semua itu murni hasil jerih payah sendiri dan Tuhan tidak ada urusan di dalamnya. Bukankah ada banyak orang yang hanya berdoa saat butuh sesuatu tapi kemudian lupa saat sedang baik-baik saja? Bukankah ada banyak orang yang hanya ngedumel atau ngomel dalam doanya ketimbang mengucap syukur dan berterima kasih atas segala yang Tuhan sudah beri?

Sebuah ucapan syukur sesungguhnya merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan Kekristenan bukan cuma untuk menunjukkan kita sebagai pribadi yang menghargai segala yang sudah diberikan Tuhan dalam hidup ini, tetapi juga karena ada kuasa dibalik sebuah ucapan syukur.

(bersambung)

Monday, November 7, 2022

Lidah (5)

 (sambungan)

Mau tidak mau, suka tidak suka, penting bagi kita untuk mengawasi betul setiap kata yang keluar dari mulut kita. Pergunakanlah hikmat yang telah diberi Tuhan kepada kita untuk itu. Sebagai langkah awal, kita mungkin bisa mencoba untuk mengawasi kata yang keluar dari mulut kita sehari penuh. Cobalah satu hari dulu dalam mengawasi secara seksama setiap ucapan yang keluar dari diri kita, dan tingkatkan terus latihan itu sampai kita benar-benar bisa menghindari kata yang sia-sia terlontar dari mulut kita setiap hari.

Mari kita latih mulut kita untuk mematuhi firmanNya, mempergunakan mulut sebagai sarana bagi kita untuk memberkati orang lain dan mengucap syukur pada Tuhan. Memakainya untuk memperkatakan Firman, agar iman yang timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus yang tertulis dalam Roma 17:10 itu bisa teraktivasi secara nyata, baik dan benar dalam kehidupan kita. Dalam menjalani hidup dari hari ke hari, terlebih di saat keadaan penuh krisis hari ini, bukankah kita butuh iman lebih dari sebelumnya?

Disamping itu, jangan lupa bahwa ada kuasa besar dibalik setiap ucapan syukur. Bersyukur bukan hanya saat kita dalam keadaan baik, aman dan cukup, tapi dalam segala hal seperti yang disampaikan Paulus dalam suratnya untuk jemaat Tesalonika (1 Tes 5:18). Saya akan lanjutkan secara khusus mengenai hal ini dalam renungan berikutnya.

Seperti yang saya sudah sampaikan di awal renungan ini, itu memang itu tidak mudah, tetapi sesungguhnya itu merupakan sesuatu yang sangat penting karena akan sangat menentukan bagaimana dan kemana hidup kita akan mengarah.

Kita juga harus ingat  bahwa setiap kata yang kita ucapkan harus kita pertanggungjawabkan kelak di hari penghakiman (Matius 12:36-37), itu artinya kita harus secepat mungkin menganggap dan memperlakukan hal ini sebagai sesuatu yang sangat penting. Mulailah dari sekarang untuk menjaga perkataan kita sebelum lidah yang tidak terkendali ini nantinya membumi hanguskan segalanya termasuk kita sendiri.

Your tongue has the power of life and death. Use it wisely

Sunday, November 6, 2022

Lidah (4)

 (sambungan)

Selanjutnya perhatikan pula bahwa Tuhan dalam menciptakan alam semesta beserta isinya pun bukan dengan berkedip atau berbisik diam-diam, meski Dia tentu saja bisa melakukan dengan cara itu. Alkitab jelas mencatat bahwa semua itu ada melalui firman yang DIUCAPKAN Allah sendiri. Lihatlah awal kitab Kejadian dan anda akan mendapatkan begitu banyak kata: "Berfirmanlah Allah". "Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi." (Kejadian 1:3), "Berfirmanlah Allah: "Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air." (ay 6), "Berfirmanlah Allah: "Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering." Dan jadilah demikian." (ay 9), "Berfirmanlah Allah: "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi." Dan jadilah demikian." (ay 11), dan seterusnya, termasuk ketika Tuhan menciptakan manusia sesuai rupa dan gambarNya sendiri. "Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." (ay 26). Lihatlah bagaimana besarnya kuasa yang timbul dari perkataan, bahkan Tuhan sendiri pun menciptakan segala sesuatu dengan mengucapkan.

Dengan lidah kita bisa memuji Tuhan dan memberkati orang lain, dengan lidah yang sama pula kita bisa mengutuk mereka yang notabene diciptakan menurut rupa Allah sendiri. Dari mulut yang satu keluar berkat, dari mulut yang sama keluar kutuk. Hal yang demikian tidaklah boleh terjadi. Itu bisa kita baca di dalam kitab Yakobus 3:9-10 seperti yang sudah saya tulis di bagian pertama kemarin. Mulut kita cuma satu, jangan sampai dari mulut yang sama itu keluar berkat dan kutuk, memuji dan memaki atau manis dan pahit bersamaan.

Perhatikan bagaimana Yakobus mengungkapkannya. "Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?" (ay 11). Tentu tidak. Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai kedua hal yang bertentangan ini keluar dari satu mulut yang sama. itu artinya kita benar-benar harus mewaspadai betul setiap kata yang keluar dari mulut kita.

(bersambung)

Saturday, November 5, 2022

Lidah (3)

 (sambungan)

Yakobus pun mengingatkan akan hal itu. "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (Yakobus 3:9-10). Yakobus bahkan mengumpamakan bagaimana lidah yang kecil bisa menjadi bagaikan api yang menghanguskan ribuan hektar hutan seperti musibah yang kerap terjadi di negara ini.

Lihat apa katanya. "Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka." (ay 5-6). Bahkan kemudian ia juga berkata bahwa lidah itu buas, tidak terkuasai dan penuh racun yang mematikan. (ay 8).

Yakobus tidak berlebihan menyitir akan hal ini, karena jika kita sadari, alangkah sulitnya bagi kita untuk bisa mengawasi dan mengawal setiap kata yang terlontar dari mulut kita setiap saat. Dan kalau kita biarkan, suatu ketika lidah yang tak terjaga bisa menimbulkan masalah besar bak api besar yang membakar hutan ribuan hektar.

Mau tidak mau kita harus sadar bahwa ada kuasa di balik perkataan, dan kuasa itu sesungguhnya sangat besar. Perhatikan ayat berikut ini: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya." (Markus 11:23).

Perhatikan apa yang dikatakan Yesus disana. Dia tidak mengatakan bahwa "Jika Pendeta berkata kepada gunung ini", atau "Jika sebagian orang yang istimewa berkata". Yesus juga tidak berkata "siapa yang berbisik" atau "siapa yang berkata dalam hatinya." Tetapi apa yang dikatakan Yesus adalah: "BARANGSIAPA BERKATA". "WHOEVER SAYS". 

 Mari pahami betul bahwa Dunia roh tidak berkiprah atas hal yang kita maksudkan melainkan terhadap apa yang kita UCAPKAN. Ayat di atas menegaskan bahwa kita akan bisa memperoleh apa yang kita katakan. Benar, kita harus yakin terlebih dahulu dan tidak bimbang, tetapi kita tetap harus mengatakannya. Mengucapkan, itu adalah hal yang sangat penting.

(bersambung)

Friday, November 4, 2022

Lidah (2)

 (sambungan)

Begitu pentinya hal ini, sehingga Alkitab bahkan telah menegaskan bahwa hidup mati kita itu tergantung dari kata-kata yang keluar dari mulut kita. Lihatlah ayat yang saya jadikan ayat bacaan hari ini.

 "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." (Amsal 18:21).

Salomo mengingatkan kita bahwa lidah sesungguhnya punya kuasa, apakah untuk menyelamatkan hidup atau merusak/menghancurkannya. Semua orang, siapapun dia,  harus menanggung akibat ucapannya. Ayat ini mengingatkan benar bahwa kita harus berhati-hati menjaga ucapan yang keluar dari mulut kita, karena selain lidah punya kuasa yang bisa baik atau buruk, pada suatu hari nanti kita harus mempertanggungjawabkan semua ucapan kita.

Lebih lanjut lagi ada penekanan lainnya akan hal ini yang bisa kita jumpai pada bagian lain dari kitab Amsal. "Lebih baik seorang miskin yang bersih kelakuannya dari pada seorang yang serong bibirnya lagi bebal." (19:1). Miskin tapi bersih masih jauh lebih baik daripada menjadi orang berbibir serong. Apa itu bibir serong? Dalam versi bahasa Inggrisnya bibir serong ini dikatakan dengan "perverse in his speech". Dalam kamus bahasa Inggris kata perverse diartikan sebagai: "directed away from what is right or good", atau "obstinately persisting in an error or fault, wrongly self-willed or stubborn." Bibir serong, itu berarti lebih dari sekedar berdusta dan mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh.  Keluar dari apa yang benar dan baik, atau suka bersikeras melakukan kesalahan dan keras kepala.

Jika anda berpikir bahwa memaki, menghujat atau mengutuk saja yang buruk, nanti dulu. Pada kenyataannya kita memang sangat kurang memperhatikan ucapan-ucapan kita yang seringkali keluar tanpa kita sadari. Ketika sedang sakit misalnya. Mungkin kita tidak mengutuk atau memaki, tapi keluhan yang negatif bisa keluar dari mulut kita seperti"lebih baik mati saja daripada sakit seperti ini", atau "aku tidak akan bisa sembuh", dan sebagainya. Kata-kata seperti ini pun juga "serong". It's something that directed away from what is good, itu bertentangan dengan pernyataan firman Tuhan.

(bersambung)

Thursday, November 3, 2022

Lidah (1)

Ayat bacaan: Amsal 18:21
==================
"Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya."


Salah satu hal yang saya rasa paling sulit di saat kondisi sedang tidak baik-baik saja saat ini adalah mengucap syukur. Mudah kalau hanya sebatas di bibir saja, tapi kalau mau benar-benar dari hati itu sulit. Semakin berat menjalani hidup, semakin sulit pula untuk bisa mengucap syukur. Dan itu manusiawi, karena kita berhadapan secara langsung dengan segala kesulitan dan ketidakpastian secara real time setiap hari. Jauh lebih mudah mengeluh ketimbang mengucap syukur. Karena itulah menurut saya perihal ucapan syukur ini perlu diperhatikan sungguh-sungguh dan dibiasakan, terutama dalam kondisi saat ini.

Mulut kita mengeluarkan begitu banyak kata setiap harinya. Sebuah survey mengatkan bahwa jumlah kata yang keluar dari mulut pria rata-rata berjumlah 5000 an, bisa sampai 9000-an kalau sifatnya agak cerewet. Wanita? Kali dua saja, begitu kira-kira surveynya. Pertanyaannya, di antara 5000 sampai 9000 an kata itu, atau dikali dua kalau wanita, kata seperti apa saja yang kebanyakan keluar? Puji Tuhan kalau semua positif, tapi saya rasa jumlah itu akan cenderung didominasi kata-kata yang tidak kondusif atau tidak terpuji, atau berdampak negatif bagi kita.

Pernahkah anda terpikir untuk mencoba tidak mengeluarkan sesuatu yang negatif dari mulut, setidaknya sehari saja? Bagus kalau memang tidak suka memaki, membentak atau mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar. Tapi bagaimana dengan mengeluh, menggerutu, bergosip, menyindir, berbohong, menuduh, kata-kata pesimis dan sejenisnya? Bagaimana perbandingannya dengan kata-kata yang baik seperti kata positif, yang membangun, memberkati, optimis, memuji, mengungkapkan perasaan sayang dan sebagainya? Minimal tidak kasar pada karyawan atau bawahan, atau bahkan anak atau pasangan kita? Saya rasa siapapun kita, agaknya sulit untuk memastikan mulut atau lidah kita benar-benar hanya mengeluarkan sesuatu yang positif selama sehari penuh. Saya termasuk yang tidak suka memaki, tapi saya masih kerap mengeluh dan bersungut-sungut. Itu PR saya, dan saya masih harus terus melatih diri agar bisa mempergunakan mulut dan lidah hanya untuk sesuatu yang positif baik buat diri sendiri maupun orang lain.

Apabila kita tidak memperhatikan betul setiap kata yang keluar dari mulut kita, sadar atau tidak kata-kata negatif bisa dengan segera mendominasi kata yang keluar, dan bisa jadi pada suatu ketika menyinggung perasaan orang lain dan membawa kita mendapat masalah. Yesus sendiri sudah mengingatkan: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum." (Matius 12:36-37).  Bukan cuma soal dihukum kelak saat kita selesai dari masa di dunia, tapi sekarang pun banyak yang menuai hukuman karena terpeleset dalam berkata-kata, baik dengan kata-kata yang diucapkan langsung maupun berkata-kata di sosial media. Perhatikan ada berapa banyak yang harus berurusan dengan hukum karena tidak bisa santun dalam berkata-kata tanpa menyinggung orang lain.

Kalau bukan soal kata-kata yang menyinggung orang lain dan mengandung sara, kata-kata negatif yang terus dibiarkan menguasai mulut dan lidah kita bisa melemahkan kita, membuat iman kita tergerus dan itu pun akan fatal sekali akibatnya. Kita seringkali lupa akan hal ini. Kita sudah cukup hati-hati terhadap dosa-dosa yang kita anggap besar tapi mengabaikan pentingnya menjaga mulut. Kita tidak membunuh orang, kita tidak mencuri, tidak curang, kita tidak menganiaya orang, dan kita pikir itu cukup. Tentu saja tidak berbuat dosa-dosa seperti itu  memang baik, tetapi kita pun harus memperhatikan hal-hal lain terutama yang biasanya luput dari pengawasan kita, termasuk di dalamnya menjaga ucapan-ucapan yang terlontar dari mulut.

(bersambung)
 

Wednesday, November 2, 2022

Di Pihak Siapa? (3)

(sambungan)

Ketika itulah kebenaran akan menjadi barisan depan, kemuliaan Tuhan hadir melindungi dari barisan belakang. (ay 8). Dan ketika itulah saat kita memanggil, Tuhan akan menjawab. (ay 9). "TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan." (ay 11).

Tuhan Yesus juga mengingatkan hal yang sama. "sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40). Ini menunjukkan keberpihakan Tuhan pada mereka yang tertindas dan butuh pertolongan. Ketika kita menunjukkan iman kita lewat perbuatan untuk menolong mereka, artinya kita berada di pihak Tuhan, dan Tuhan pun akan berada di pihak kita.

Sangat penting bagi kita untuk menjauhi segala jenis kejahatan, menghindari pertikaian, permusuhan apalagi perceraian dan menjadi terang dan garam di dunia ini. Di masa-masa sulit dimana emosi kita labil dan mudah tersulut, kita harus berusaha untuk mencegah diri kita dari melakukan hal-hal yang sifatnya buruk di mata Tuhan. Dan, semakin sulit situasinya, itu adalah tanda  untuk mewartakan kasih lebih lagi.

Tuhan akan selalu ada di pihak orang yang berpihak padaNya. Orang yang mendengar firmanNya, menjalankan perintahNya, menjauhi laranganNya. Berbagai panduan telah disediakan Tuhan sebagai penuntun agar kita tidak salah jalan dan senantiasa berada di pihakNya. Hindarilah mengambil keputusan dan melakukan tindakan dengan pembenaran-pembenaran sendiri dan memaksakan kondisi bahwa Tuhan berada di pihak kita, tapi fokuslah pada usaha sungguh-sungguh untuk selalu ada dan taat di pihak Tuhan.

We can be sure God is on our side, when we know we are on Christ's side

Tuesday, November 1, 2022

Di Pihak Siapa? (2)

 (sambungan)

Pertanyaan ini mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Abraham Lincoln. Pada suatu kali ada seorang pemimpin rohani berkata pada Lincoln, semoga dalam kepemimpinan Lincoln, "Tuhan akan berada di pihak kita." Ini kalimat yang lazim disebutkan pada pengangkatan seseorang sebagai pemimpin. Tapi Lincoln ternyata memberi jawaban yang sangat menarik. Ia merespon: "for I know that the Lord is always on the side of the right. But it is my constant anxiety and prayer that I and this nation should be on the Lord's side." Kalau diterjemahkan Lincoln berkata begini: "Yang saya tahu Tuhan akan selalu berada di pihak yang benar. Tapi adalah menjadi kegelisahan saya terus menerus dan selalu pula saya bawa dalam doa saya bahwa saya, dan negara ini harus berada di pihak Tuhan." Lincoln menggarisbawahi bahwa tidaklah cukup cuma berharap bahwa Tuhan akan selalu besertanya selama memimpin, tapi ia dan bangsa yang dipimpinnya pun harus pula menjaga hidup dengan benar sehingga senantiasa berada di pihak Tuhan.

Kutipan komentar Lincoln di atas sejalan dengan apa yang tertulis dalam 2 Tawarikh 15. Pada saat Azarya dihinggapi Roh Allah, ia pergi menemui raja Asa dan berkata: "TUHAN beserta dengan kamu bilamana kamu beserta dengan Dia." (2 Tawarikh 15:2).

Lihatlah dalam perjalanan panjang sejarah manusia, begitu banyak orang yang melakukan segala sesuatu dengan mengklaim bahwa Tuhan ada di pihak mereka. Mereka melakukan pembenaran-pembenaran sendiri atas tindakan mereka dengan mengatasnamakan Tuhan. Ini bentuk justifikasi yang terbalik. Ayat bacaan hari ini menunjukkan bahwa Tuhan akan berada di pihak orang yang berpihak padaNya. Orang seperti apa yang berpihak pada Tuhan? Itu adalah orang yang takut akan Tuhan, mengenal hati Tuhan, mengetahui kehendak Tuhan dan melakukan apa yang Dia kehendaki ; bukan orang yang berusaha meyakinkan diri sendiri, orang lain bahkan berusaha meyakinkan Tuhan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar.

Lebih lanjut kita mari kita lihat  dalam Yesaya 58:1-12 mengenai kesalehan yang palsu dan sejati. Bentuk ibadah pada Tuhan, yang digambarkan sebagai berpuasa seharusnya bertujuan untuk membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya, selanjutnya untuk membagi makanan kepada orang lapar, memberi tumpangan bagi orang miskin, memberi pakaian pada yang telanjang dan tidak menutup mata terhadap saudara-saudara yang perlu ditolong. (ay 6-7).

(bersambung)

Menjadi Anggur Yang Baik (1)

 Ayat bacaan: Yohanes 2:9 ===================== "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu--dan ia tidak t...