Ayat bacaan: Yeremia 29:7
====================
"Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu."
Tiga hari lalu kita baru saja memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78. Secara hukum negara kita adalah negara yang berdaulat. Kita sudah merdeka, lepas dari penjajahan dan bisa menata hidup bersama-sama sebagai satu bangsa yang senasib sepenanggungan. Arti merdeka itu, kalau saja semua anak bangsa ini merenungkan bersama-sama, sebenarnya punya nilai yang sangat tinggi yang seharusnya tidak henti-hentinya kita syukuri. Namanya merdeka, itu artinya kita punya hak untuk menentukan sendiri kemana kita akan melangkah, tidak lagi dalam tekanan dan penindasan dari bangsa lain.
Dengan bermodalkan jumlah penduduk yang hampir 300 juta jiwa, kekayaan alam yang melimpah, (sesuatu yang sebenarnya merupakan sebuah berkat luar biasa atas negeri ini yang sudah dicium sejak berabad-abad lalu oleh negara luar sehingga penjajahan kemudian harus kita terima hingga ratusan tahun), keragaman budaya yang luar biasa kaya, bayangkan kekuatan kita seandainya kita semua bersatu, bergandeng tangan berjuang bersama-sama. Memandang perbedaan bukan sebagai jurang pemisah tapi sebagai rahmat Allah untuk memperlengkapi kita untuk maju bersama. Bayangkan apabila seluruh pelaku mulai dari pemimpin, pejabat di segala tingkatan dan posisi, hingga rakyat mau mengesampingkan kepentingan pribadi dan sama-sama memikirkan nasib bangsa, lalu bersama-sama pula berbuat yang terbaik untuk bangsa ini. Saya yakin kita sudah menjadi negara raksasa dari kapan.
Sayangnya itu tidak terjadi, dan hanya menjadi utopia saja. Sang proklamator sudah mencium adanya potensi kehancuran yang justru bukan diakibatkan oleh penjajah dari luar, melainkan dari anak bangsa sendiri. Lihatlah pidato beliau di tahun 1954, saat beliau menyatakan bahwa perjuangannya lebih mudah karena melawan penjajah, tapi kelak perjuangan kita bukan lagi penjajah, tapi justru dari bangsa sendiri. Miris dan sedih rasanya melihat negara ini terus dihancurkan oleh bangsa sendiri. Sangatlah menyedihkan ketika melihat kemerdekaan justru dianggap melegalkan segala perbuatan dalam kebebasan tanpa kendali, tanpa batas, tanpa norma, etika dan tata krama. Seandainya, seandainya, dan seandainya, sepertinya tinggal itu yang bisa kita ucapkan.
Tapi benarkah demikian? Kalau jawabannya tidak, lantas kita bisa bikin apa sebagai minoritas? Belum lagi, di tengah beratnya menghadapi tahun ini kita masih harus berjuang untuk bertahan hidup. Kalau kita termasuk orang-orang yang memimpikan tatanan kehidupan yang jauh lebih beradab, lebih baik, lebih damai, lebih bersatu dan lebih-lebih positif lainnya, apakah kita sudah atau masih menganggap penting untuk melakukan sesuatu demi kesejahteraan bangsa ini atau kita masih menjadi orang-orang yang hanya mengeluh tanpa mau mengambil langkah apapun?
(bersambung)
No comments:
Post a Comment