Sunday, May 19, 2024

Jujur (2)

 (sambungan)

Pada suatu hari ada seorang pendeta yang baru saja pindah ke negara bagian lain di Amerika Serikat. Setelah beberapa minggu menetap, pada suatu hari ia naik ke sebuah bus untuk menuju suatu tempat agak ke luar kota. Ketika ia duduk, ia menyadari bahwa ternyata uang kembalian yang diberikan supir berlebih 25 sen.

Ia kemudian mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Dalam hati kecilnya ia berkata, "saya harus mengembalikan uang 25 sen ini." Tetapi kemudian pikirannya berkata, "ah sudahlah, kan cuma 25 sen saja.. mau beli apapun tidak cukup, mengapa harus repot dengan jumlah sekecil itu?" Uang pecahan sekecil 25 sen jelas tidak akan merugikan supir dan pengusaha pemilik bus. Pikiran lainnya sempat hinggap di benaknya. "Mungkin saya sebaiknya menerima saja sebagai sebuah "hadiah kecil dari Tuhan" dan mendiamkan saja pura-pura tidak tahu, toh bukan salah saya."

Kenyataannya, ada banyak orang percaya yang bereaksi sama seperti ini saat menerima salah kembalian yang menguntungkan, atau saat menemukan uang terjatuh di jalan. Bahkan pada suatu kali ada seorang pendeta yang berkotbah di mimbar berkata bahwa pada suatu kali saat ia butuh uang, tiba-tiba ia menemukan segepok uang di jalan. Dan ia mengklaim itu berasal dari Tuhan dan diberikan pada dirinya. Tidakkah ia berpikir bahwa pemiliknya mungkin sedang menangis karena kehilangan sejumlah besar uang? Dan, bagaimana ia berani mengklaim bahwa uang itu dari Tuhan dengan begitu mudah? Tapi begitulah sifat manusia. Akal dan kepintaran kalau bukan dipakai untuk tujuan baik memang bisa  dipergunakan untuk rupa-rupa hal yang salah dan jahat.

Mari kita kembali kepada kisah sang pendeta yang menerima kembalian lebih 25 sen. Ketika ia sampai di tempat tujuan ia pun berdiri sejenak di pintu, dan akhirnya memutuskan untuk mengembalikan uang pecahan itu kepada supir sambil berkata, "anda tadi kelebihan 25 sen memberi kembalian."

Bagaimana reaksi supir bus? si supir kemudian tersenyum dan berkata: "anda kan pendeta baru di kota ini?" Si pendeta pun terkejut seraya mengiyakan. Lalu supir itu melanjutkan, "saya sedang mencari tempat yang tepat untuk beribadah. Saya tadi ingin mencoba anda, apa yang akan anda lakukan jika mendapat kembalian lebih dari yang seharusnya. Baiklah kalau begitu, sampai ketemu hari Minggu." ucap sang supir sambil tersenyum.

Pendeta itu pun kemudian tertegun dan berkata, "Ya Tuhan, saya hampir saja menjual AnakMu hanya untuk 25 sen."

Ia bersyukur sudah mengambil keputusan yang tepat. 25 sen sangat kecil nilainya dan bagi dunia tidak berarti, tapi Tuhan menuntut kita untuk setia/jujur terhadap perkara tak peduli sekecil apapun. No matter how small it is.

(bersambung)

No comments:

Bandel atau Taat? (2)

 (sambungan) Okelah kalau anak-anak terkadang masih sulit diatur, diperingatkan atau ditegur. Yang tidak oke adalah kalau orang yang sudah d...