Tuesday, August 13, 2024

Keluarga Sepakat, Keluarga Bahagia (2)

 (sambungan)

Ini membuat saya tambah bingung. Secara jelas Kekristenan tidak memperbolehkan cerai. Setiap pernikahan seharusnya sudah menempuh pendidikan pra-nikah, itu harusnya bisa membuat mereka bisa berpikir mau melanjutkan atau tidak sebelum disahkan. Dan kemudian saat disahkan, Tuhan sendiri yang menjadi saksi saat kita mengucapkan janji nikah. Itu jelas dikatakan dalam Maleakhi 2:14.

Kalau namanya Tuhan sendiri yang menjadi saksi, berarti seharusnya ada pertanggungjawaban yang tidak main-main di dalam sebuah pernikahan. Bentuk ikatan dengan Tuhan sendiri bertindak sebagai saksi, itu serius sekali. Ikatan perjanjian seperti ini kalau dilanggar bisa berat konsekuensinya. Kalau dengan sesama manusia saja kita bisa bermasalah besar jika melanggar perjanjian, bayangkan jika yang kita langgar adalah ikatan dengan Tuhan di dalamnya.

Lebih lanjut, menurutnya faktor yang terbanyak biasanya berikisar pada tidak ada kecocokan, tidak ada rasa lagi, kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun verbal, perselingkuhan dan perilaku-perilaku buruk  dari salah satu atau keduanya. Rasa benci itu biasanya sudah terlanjur membengkak, sehingga tidak ada peluang lagi untuk rekonsiliasi atau berbaikan.

Lagi-lagi saya membayangkan alangkah ironisnya saat kedua orang tua bertikai dan berpisah dengan tidak baik-baik, anak-anak kemudian akan jadi korban. Bukan saja mereka kehilangan salah satu figur penting dalam pertumbuhan mereka, tapi biasanya seperti yang sudah saya sebut diatas, kehancuran itu bisa terjadi hingga ke mental maupun moral mereka.  

(bersambung)

No comments:

Menjalankan Amanat Agung (6)

 (sambungan) Paulus tidak menutup diri dan tidak berhenti melayani. Ia membuka rumahnya seluas-luasnya bagi semua orang tanpa terkecuali, me...