Monday, September 16, 2024

Menjalankan Amanat Agung (4)

 (sambungan)

Padahal kita memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Paulus menggambarkannya seperti ini: "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:4-5).

Jika diantara kita saja sudah saling tuding dan merendahkan, bagaimana mungkin kita bisa menunaikan tugas kita seperti Amanat Agung yang sudah dipesankan Yesus kepada setiap muridNya, termasuk kita didalamnya?

Mari kita lihat apa yang dilakukan Paulus sehubungan dengan menjangkau jiwa. Selama bertahun-tahun setelah pertobatannya, Paulus terus bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mewartakan kabar keselamatan. Perjalanan yang ia tempuh sama sekali tidak pendek jaraknya. Ia terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain bahkan hingga menyentuh Asia Kecil sebelum akhirnya ia ditangkap dan dipenjarakan di Roma.

Dalam menjalankan misinya, ia banyak mendapat hambatan dalam pelayanannya. Bukan saja kesulitan tapi juga berbagai penderitaan, siksaan, ancaman, dipenjara, dipasung dan sebagainya, seperti yang sudah saya bahas dalam renungan sebelumnya.

Meski demikian, Paulus dikenal sebagai figur yang teguh dan taat dalam menjalankan tugasnya. Ia mengabdikan sisa hidupnya sepenuhnya untuk memperluas Kerajaan Allah di muka bumi ini. Paulus terus berusaha menyentuh orang dengan pemberitaan Injil karena ia peduli terhadap keselamatan orang lain dan rindu agar semakin banyak orang yang mengenal Yesus.

(bersambung)

Sunday, September 15, 2024

Menjalankan Amanat Agung (3)

 (sambungan)

Artinya, kita punya tugas untuk menyampaikan kebenaran kepada semua orang tanpa terkecuali, yang tentu saja bukan sekedar berbicara tentang berkotbah atau membacakan Alkitab tetapi secara luas berbicara mengenai hidup yang menghasilkan buah yang bisa dinikmati orang lain di luar sana. Bagaimana kita bisa menjadi surat Kristus yang benar, alias menyatakan pribadi Kristus lewat cara hidup kita di dunia.

Itu artinya bukan cuma orang-orang yang 'mudah' saja yang harus dijangkau, tetapi orang yang 'sulit' yang ditempatkan disekitar kita pun harus pula mendapat perhatian sama seriusnya. Ada keragaman manusia yang sangat luas di sekitar kita. Untuk bisa melakukan Amanat Agung dibutuhkan kerelaan untuk meluangkan atau mengorbankan sebagian waktu, tenaga, perasaan, keinginan, kenyamanan dan lain-lain, dan pengorbanan akan semakin besar diperlukan ketika berhadapan dengan orang-orang yang sulit.

Tuhan menciptakan manusia tidak ada yang persis sama. Semua punya sesuatu yang unik dan berbeda, dan hal itu bisa kita sikapi dengan pandangan yang bermacam-macam pula. Ada yang memandang perbedaan itu sebagai berkat Tuhan yang patut disyukuri, ada pula yang memandangnya sebagai alasan untuk menjauh, atau bahkan menghujat. Ada orang yang bisa melihat perbedaan sebagai sesuatu yang bisa dijadikan kesempatan untuk belajar banyak, ada yang menyikapinya sebagai pembatas. Mereka ini akan terus memandang perbedaan sebagai sebuah ancaman.

Jangankan dengan yang tidak seiman, dengan saudara seiman saja perbedaan masih sering disikapi secara negatif. Kalau berbeda denominasi saja bisa membuat orang saling memandang sinis satu sama lain, bagaimana kita bisa berharap untuk melihat Kerajaan Allah turun di muka bumi ini lewat kita yang beriman kepada Kristus?  

(bersambung)

Saturday, September 14, 2024

Menjalankan Amanat Agung (2)

 (sambungan)

Dalam band seperti itu, dalam kehidupan pun sama. Tidak ada orang yang punya sifat persis sama dengan kita. Mirip bisa jadi, tapi tidak akan mungkin persis sama. Karenanya kalau kita tidak menyesuaikan diri dan hanya bertindak semau kita saja, bisa dipastikan kita akan sulit berinteraksi dengan orang lain dengan baik. Keluwesan diperlukan untuk menjalin hubungan yang erat dengan orang lain. Diperlukan usaha kita untuk mengenal mereka dan seringkali harus disertai dengan kerelaan hati untuk mengalah. Apalagi kalau orangnya sulit, misalnya orang yang dominan, pendiam atau sensitif, jelas diperlukan usaha yang lebih keras lagi.

Mudah bagi kita untuk dekat atau 'nyetel' dengan orang yang chemistry nya nyambung, sebaliknya ada orang-orang yang sulit kita dekati karena sifat, kebiasaan dan berbagai hal lainnya berbeda dengan kita. Kalau tidak perlu mungkin kita mudah untuk menghindari saja orang yang tidak nyambung dengan kita, tapi bagaimana kalau kita memang harus berhubungan dengan mereka karena alasan-alasan tertentu seperti dalam pekerjaan, karena bertetangga dan sebagainya? Tentu kalau sudah begitu kita harus berusaha supaya kita bisa 'masuk' kepada mereka.

Hal ini menjadi semakin menarik jika kita hubungkan dengan sebuah tugas, atau lebih tepatnya disebut amanat yang diberikan Yesus langsung kepada kita, murid-muridNya. Tentu lebih mudah bagi kita menjangkau orang yang sudah membentuk chemistry serasi dengan kita, tapi itu menjadi sangat sukar jika kita tidak berhasil membangun hubungan yang baik dengan mereka. Seringkali kita kesulitan untuk menjangkau orang. Tidak tahu harus mulai dari mana, tidak tahu harus bagaimana.

Sementara Tuhan Yesus menugaskan kita seperti ini: "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20).

(bersambung)

Friday, September 13, 2024

Menjalankan Amanat Agung (1)

 Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 28:30
==========================
"Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya."


Sebuah band yang baru terbentuk biasanya harus melewati masa-masa pencocokan antar pemain terlebih dahulu, apalagi kalau personilnya baru saling kenal satu sama lain. Mereka perlu tahu gaya, selera dan cara bermain masing-masing, juga bagaimana mereka bisa menyatukan ego mereka. Tanpa itu, sulit mengharapkan band tersebut bisa padu dan kuat.

Saat mereka sudah saling mengenal dan merasa nyaman, disanalah chemistry mulai terbentuk. Apa itu chemistry? Yang dimaksud dengan chemistry adalah interaksi kompleks emosional dan psikologis antara dua orang atau lebih. Itu disebut bagaikan reaksi kimia, dimana ada pencampuran beberapa bahan berbeda yang kemudian menghasilkan sesuatu yang baru, menyatu sempurna dan kemudian membawa manfaat. Hal itu sangat diperlukan oleh sebuah band kalau mau bermain rapi terutama kalau bandnya punya konsep improvisasi seperti bermain jazz. Sebuah band jazz yang sudah kompak akan mudah berimprovisasi. Bahkan lewat kontak mata saja mereka bisa berdialog dan berinteraksi untuk menampilkan trading atau jual-beli improvisasi yang menawan.

Namanya sifat orang beda-beda, perselisihan bisa saja terjadi antar individu di dalam satu band. Bisa terjadi sejak awal, bisa pula belakangan, saat kesuksesan mulai memancing keluar sikap ego dari anggotanya. Ada banyak lagi faktor-faktor yang bisa menimbulkan perpecahan dari sebuah band. Saya pernah mendirikan band beberapa tahun yang lalu, sebagai manager saya melihat sendiri susahnya membuat sebuah band tetap sehati seirama dan tetap kuat menghadapi tekanan, goncangan maupun ujian kesabaran. Padahal mereka ini sudah lama bermain bareng sebagai bagian dari tim musik di sebuah gereja yang saya coba bawa ke dunia sekuler karena melihat kemampuan mereka yang sangat baik, tetap ada saja masalah yang muncul di sana sini.

Saya membayangkan kalau band yang anggotanya sudah saling kenal lama saja bisa berkonflik saat dibawa ke dunia luar, bagaimana kalau band yang baru dibentuk dengan anggota yang sebelumnya sama sekali tidak saling kenal? Wah, pasti berat sekali. Akan halnya band yang saya bentuk, mereka pun akhirnya bubar setelah berusaha selama lebih kurang 2 tahun. Sayang memang, tapi itulah suka duka atau pahit manisnya kehidupan di dunia musik.

(bersambung)

Thursday, September 12, 2024

Keledai (6)

 (sambungan)

"Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu." (Yohanes 15:16).

Keledai boleh saja dipakai sebagai simbol yang menggambarkan kebodohan seperti kita yang mungkin merasa tidak sanggup, terlalu lemah atau bahkan merasa terlalu bodoh untuk berbuat sesuatu. Tapi bukankah Tuhan pun telah menyatakan secara langsung seperti ini? "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti." (1 Korintus 1:27-28).

Sekali lagi, bukan kehebatan kita, bukan kuasa kita yang dibutuhkan Tuhan, tetapi kesediaan kita. Bukan apa yang kita miliki, bukan kuat dan hebat kita, tetapi kemauan kita. Itu yang Dia butuhkan. Dia siap pakai siapapun kita hari ini dengan kemampuan kita masing-masing. Besar atau kecil, tua atau muda, apapun gelar dan tingkat pendidikan anda, apapun kemampuan anda, semua itu bisa dipakai Tuhan untuk melakukan pekerjaanNya.

Jika keledai saja bisa diperlukan Tuhan untuk melayani, kenapa kita tidak?

"Give your hands to serve and your hearts to love" - Mother Theresa


Wednesday, September 11, 2024

Keledai (5)

 (sambungan)

Maka Yesus pun kemudian masuk ke Yerusalem, bukan untuk gagah-gagahan dengan mengendarai kuda tegap, melainkan dengan lemah lembut membawa damai mengendarai seekor keledai. Hal ini sekaligus menggenapi nubuat Nabi Zakharia: "Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda." (Zakharia 9:9).

Dari sini kita bisa melihat bahwa berbeda dengan kuda, keledai ternyata juga menggambarkan kelembutan dan kedamaian.

Dunia boleh saja memandang keledai sebelah mata sebagai hewan lemah dan bodoh, dan memakainya untuk menggambarkan kebodohan atau keras kepala. Tapi bagi Tuhan ternyata tidaklah demikian. Tuhan berkenan mempergunakan keledai dalam berbagai kesempatan secara khusus.

Jika keledai yang bagi dunia dianggap bodoh saja bisa dipakai Tuhan seperti itu, mengapa kita manusia sebagai masterpieceNya yang mulia tidak? Tuhan selalu memerlukan kita, anak-anakNya untuk melakukan pekerjaanNya di muka bumi ini. Bisa berupa tugas spesifik, a brief single task seperti keledai yang dipakai Yesus atau yang dipakai untuk menegur Bileam, dan bisa pula berupa sebuah proses panjang yang memerlukan ketaatan dan ketekunan bertahun-tahun.

Kita bisa saja merasa tidak sanggup dan berusaha menolak dengan berbagai alasan atau bahkan melarikan diri dari tanggung jawab, tetapi kita harus sadar bahwa sanggup tidaknya kita sebenarnya bukan tergantung kita, kemampuan atau kuat hebatnya kita, melainkan tergantung pendapat dan keputusan Tuhan sendiri.

(bersambung)

Tuesday, September 10, 2024

Keledai (4)

 (sambungan)

"Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya." (Yesaya 1:3).

Dalam ayat ini Tuhan mengatakan bahwa keledai malahan lebih setia, lebih tahu berterima kasih dan lebih tahu menghargai ketimbang bangsa Israel.

Selanjutnya kita tahu pula kisah Yesus memasuki Yerusalem.  Kisah ini tertulis dalam keempat injil, yaitu dalam Matius 21:1-11, Markus 11:1-10, Lukas 19:28-38, Yohanes 12:12-15).

Saat itu Tuhan Yesus menyuruh dua orang muridNya untuk masuk ke kampung dan mengambil seekor keledai betina dan anaknya untuk dibawa kepadaNya.

"Pergilah ke kampung yang di depanmu itu, dan di situ kamu akan segera menemukan seekor keledai betina tertambat dan anaknya ada dekatnya. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah keduanya kepada-Ku. Dan jikalau ada orang menegor kamu, katakanlah: Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya." (Matius 21:2-3).

Secara spesifik Yesus mengatakan langsung bahwa Dia memerlukan keledai itu untuk melakukan sesuatu yang tentu saja penting. Keledai, si hewan lemah yang terkena banyak stereotype negatif ternyata dibutuhkan dalam melayani. Lihat bahwa keledai sekalipun bisa dipakai Tuhan secara khusus dan istimewa seperti itu.

(bersambung)

Monday, September 9, 2024

Keledai (3)

 (sambungan)

Selanjutnya, kita juga melihat keledai disebutkan berkali-kali sebagai tanda, lambang atau simbol kekayaan, seperti yang tertulis dalam kisah Ayub.

Ayub awalnya dikenal sebagai orang yang sangat kaya, dan Alkitab menyebutkan bahwa Ayub memelihara banyak keledai betina. Memelihara banyak keledai betina, itu artinya ia beternak keledai. (Ayub 1:14).

Kelak setelah Ayub melewati segala cobaan dan dipulihkan serta diberkati lebih dari sebelumnya, Alkitab kembali mencatat bahwa salah satu ternaknya adalah keledai, dimana keledai betinanya mencapai seribu ekor. (42:12).

Beberapa kali pula Tuhan menunjukkan perhatianNya kepada keledai. Lihatlah dalam kisah Bileam bagaimana Tuhan menggunakan keledai yang ditunggangi Bileam untuk menegurnya dalam Bilangan 22:21-35, yang di lain waktu akan saya bahas lebih lanjut.

Dalam kesempatan lain kita bisa melihat Tuhan menegur bangsa Israel yang memberontak dengan membandingkan mereka dengan keledai. "Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya." (Yesaya 1:3).

(bersambung)

Sunday, September 8, 2024

Keledai (2)

 (sambungan)

Terlepas dari pintar atau tidak, apa yang menarik adalah bahwa keledai ternyata berulang kali dipergunakan dalam pandangan yang berbeda baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahkan oleh Yesus sendiri.

Kalau mengacu pada  bukti-bukti sejarah dan catatan Alkitab menunjukkan bahwa kuda adalah binatang yang umum digunakan dalam ketentaraan masyarakat jaman dahulu di Timur Tengah. Sejak dulu kuda sering dipandang sebagai simbol kegagahan/kekuatan bahkan kekuasaan. Memiliki kavaleri atau pasukan berkuda akan membuat sebuah bangsa merasa kuat untuk menghadapi peperangan di medan yang berat.

Uniknya, berkali-kali dalam Perjanjian Lama Tuhan mengingatkan bangsa Israel untuk tidak mengandalkan kuda. Contohnya peringatan yang hadir lewat Yesaya berikut ini: "Sebab orang Mesir adalah manusia, bukan allah, dan kuda-kuda mereka adalah makhluk yang lemah, bukan roh yang berkuasa. Apabila TUHAN mengacungkan tangan-Nya, tergelincirlah yang membantu dan jatuhlah yang dibantu, dan mereka sekaliannya habis binasa bersama-sama." (Yesaya 31:3).

Tuhan ternyata lebih menganjurkan bangsa Israel untuk memilih keledai yang lebih kecil dan lebih lemah dari kuda. Itu untuk menunjukkan bahwa bukan soal kudanya yang penting, tetapi penyertaan Tuhan, Tuhan ingin kita mengandalkanNya dan bukan kekuatan-kekuatan di dunia ini.

Selanjutnya, kita juga melihat keledai disebutkan berkali-kali sebagai tanda, lambang atau simbol kekayaan.

(bersambung)

Saturday, September 7, 2024

Keledai (1)

 Ayat bacaan: Matius 21:2b-3
=======================
"Lepaskanlah keledai itu dan bawalah keduanya kepada-Ku. Dan jikalau ada orang menegor kamu, katakanlah: Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya."


Apakah anda masih mengenal karakter video game yang bernama Donkey Kong? Karakter ini pertama kali muncul di awal 80an lewat console Nintendo dan menjadi sangat populer. Ada sangat banyak varian gamenya, yang bahkan melahirkan franchise berikutnya yaitu Mario Bros.

Donkey Kong merupakan karakter kera berukuran besar seperti king kong. Lantas kenapa ada donkey alias keledai di depannya? Menurut penciptanya, ia ingin menampilkan karakter kera besar yang keras kepala. Jadi, untuk mewakili keras kepala ia pun memakai simbol hewan yang dianggap keras kepala yaitu keledai. Maka nama Donkey Kong pun lahir.

Entah dari mana, tadinya dianggap sebagai simbol keras kepala, keledai kemudian malah dipakai sebagai simbol bodoh. Saya tidak tahu dari mana asal muasal keledai dianggap hewan yang bodoh. Kasihan juga kalau dipikir-pikir, padahal belum tentu keledai itu bodoh. Apa mungkin karena bentuknya yang sebenarnya mirip kuda tapi lebih kecil dan kalah gagah, atau mungkin karena sudah kalah gagah kupingnya pun lebih panjang, entahlah. Tapi ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana keledai yang malang terkena stereotype sebagai hewan yang bodoh.

Kalau anda dengar orang bilang, "Dasar keledai...", anda akan segera menyimpulkan bahwa yang disebut sebagai keledai pasti orang yang bodoh, yang berbuat kesalahan berkali-kali dan sejenisnya. Bukankah ada juga pepatah yang berkata: "Keledai saja tidak terjerumus/terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya" ?

Mau dianggap keras kepala, mau dijadikan simbol dari bodoh, keledai yang malang tampaknya tidak akan pernah bisa membela dirinya. Kasihan memang, saya jadi geli sendiri membayangkannya.

(bersambung)

Friday, September 6, 2024

To Be Or Not To Be (7)

 (sambungan)

Jangan biarkan hal itu terjadi, dan jangan melakukan tindakan fatal yang hanya akan membawa kita kepada sebuah penyesalan selamanya. Berhentilah mengandalkan kekuatan diri sendiri, orang lain atau lainnya, Gantikan itu dengan mengandalkan Tuhan. Ubah pandangan anda dengan sebuah perspektif baru, letakkan keyakinan kita dalam Tuhan.

Selama kita masih berjalan di dunia ini, penderitaan akan menghampiri kita pada suatu waktu. Tetapi kita harus tahu bahwa Tuhan akan memampukan kita untuk menanggungnya dan jalan keluar dari Tuhan pada saatnya akan turun atas kita.

Jika Hamlet berpikir "to be or not to be", terus hidup atau mati saja, kita sebagai anak-anak Tuhan hendaklah menyadari bahwa selalu ada alasan untuk terus hidup. Selalu ada banyak alasan untuk terus memilih terus hidup dengan pengharapan, iman dan kasih, tak peduli sesulit apapun yang kita alami.

There's always hope as long as we have God by our side

Thursday, September 5, 2024

To Be Or Not To Be (6)

 (sambungan)

Sangatlah penting bagi kita untuk memastikan bahwa pengharapan jangan sampai hilang dari kita. Mengapa? Karena orang yang masih punya pengharapan akan punya alasan untuk terus berjuang. Sebaliknya, kehilangan harapan akan membuat kita kehilangan semangat dan akan segera menyerah. Dari pengalaman-pengalaman hidup saya yang penuh jatuh bangun, hal tersebutlah yang saya dapatkan sebagai kesimpulan saya. Kalau saya masih punya semangat, daya atau tekad untuk berjuang, itu karena saya masih punya pengharapan. Pengharapan itu bisa saya pegang, karena saya memegang teguh janji-janji Tuhan. Saya percaya Tuhan saya, karena itu saya punya pengharapan.

Lebih jauh mengenai pengharapan, Alkitab mengatakan "Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita.." (Ibrani 6:19).

Pengharapan dapat berfungsi sebagai jangkar yang membuat kita bisa terus tertambat dan tidak oleng atau hanyut lantas karam. Alkitab juga mengingatkan kita bahwa kita harus menjaga tiga hal penting dalam hidup kita yaitu: iman, pengharapan dan kasih.  Faith, hope and love. Kita sulit terus punya pengharapan di masa sulit kalau kita tidak punya iman. Sebaliknya, pengharapan yang kokoh akan terus menumbuhkan dan menguatkan iman kita. Lantas jangan lupa pula menaruh pengharapan ke tempat yang benar, yaitu Tuhan. Kenapa? Sebab, selain kuasa Tuhan tidak terbatas dan sanggup mengatasi kemustahilan, kita tahu pula bahwa Allah yang menjanjikannya adalah Allah yang setia (Ibrani 10:23).

Rasa sakit akibat penderitaan bisa membuat kita merasa bahwa hidup ini tidak lagi berharga untuk dijalani. Dalam tekanan berat, rasa putus asa akan mulai mencoba menguasai kita, dan kita pun bisa terjebak pada pemikiran sempit untuk menyerah, bahkan menutup lembaran hidup secara sepihak.

(bersambung)

Wednesday, September 4, 2024

To Be Or Not To Be (5)

 (sambungan)


Kenyataannya, ada begitu banyak orang yang memilih ikut Yesus bukan karena didasari pertobatan tapi karena menginginkan banyak keuntungan-keuntungan pribadi yang sifatnya duniawi. Memilih ikut Yesus supaya sembuh, supaya tidak bangkrut, supaya untung besar, supaya laris, dan sebagainya. Maka ketika bukan itu yang terjadi, mereka pun segera kecewa, berbalik arah kembali ke kehidupan lama, atau malah menuduh dan menyalahkan Tuhan.

Tapi tidak demikian halnya dengan Paulus. Dia tahu bahwa apa yang menanti di depan sana adalah jauh lebih besar ketimbang penderitaan-penderitaan yang ia alami di dunia yang sifatnya sementara ini. Paulus mengarahkan pandangannya jauh ke depan, dan di saat yang sama ia terus berpegang dengan kepercayaan penuh kepada Kristus.

Beratkah penderitaannya? Tentu saja. Meski demikian, Paulus masih mampu berkata "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13).

Paulus tahu bahwa kasih karunia Allah itu sebenarnya cukup untuk dipakai menanggung beban penderitaan. Pencobaan-pencobaan yang kita alami pun tidak akan melebihi kekuatan kita sendiri. Tuhan pasti tahu sampai dimana kita sanggup bertahan, dan pada saat yang tepat ia pasti memberikan jalan keluar.

(bersambung)

Tuesday, September 3, 2024

To Be Or Not To Be (4)

 (sambungan)


Penderitaan memang menyakitkan, dan terkadang ketika itu terasa begitu berat, kita merasa tidak sanggup lagi memikulnya. Tapi seperti yang terjadi pada Paulus, Tuhan sesungguhnya telah memberikan kasih karuniaNya secara cukup, yang akan memampukan kita untuk bisa bertahan ketika sedang berjalan dalam lembah penderitaan.

"Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." (2 Korintus 12:9).

Renungkanlah jawaban Tuhan itu. Kita sering lupa bahwa justru dalam tekanan beratlah sebenarnya kita bisa melihat kuasa Tuhan yang sempurna. Dalam kelemahan kitalah kita akan mampu menyaksikan kuasa Tuhan yang sesungguhnya, yang mampu menjungkirbalikkan segala logika manusia.

Penderitaan yang dialami Paulus tidaklah ringan. Bayangkan, ketika ia jahat ia begitu berkuasa, tapi setelah bertobat justru hidupnya penuh tekanan. Banyak orang akan segera menyangsikan kebenaran jika menjadi Paulus dan mengalami apa yang ia alami waktu itu.

Kenyataannya, ada begitu banyak orang yang memilih ikut Yesus...

(bersambung)

Monday, September 2, 2024

To Be Or Not To Be (3)

 (sambungan)

Sering dipenjara. Disiksa diluar batas. Sering dalam bahaya maut. Dilempari batu. Berkali-kali mengalami kapal karam. Terkatung-katung ditengah laut. Bahaya banjir, orang jahat, bahaya dari segala arah, bahaya di kota, padang gurun, tengah laut, bahaya dari saudara-saudara palsu. Lapar, haus, kedinginan, kurang tidur, kecapaian. Semua itu bagai makanan sehari-hari bagi Paulus dalam pelayanannya. Semua ini ia sampaikan dalam 2 Korintus 11:23-27. Bayangkan betapa berat apa yang ia harus pikul.

Sehebat-hebatnya dan sekuat-kuatnya Paulus, tekanan bertubi-tubi ini pada suatu ketika bisa membuatnya jadi lemah, baik secara mental, moral maupun fisik. Ia mengakui hal itu kepada jemaat di Korintus.

"Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati." (2 Korintus 1:8-9a).

Sebagai manusia biasa sama seperti kita, Paulus pun pernah mengalami keputus-asaan. Bedanya, ia tidak membiarkan dirinya dikuasai rasa putus asa dan kehilangan harapan terus menerus. Paulus dengan cepat mengubah fokusnya. Ia kembali kepada pemikiran positif yang berpegang sepenuhnya kepada Allah. Paulus mampu melihat sisi lain dari sebuah penderitaan, yaitu sebagai pelajaran agar kita tidak bergantung kepada diri sendiri melainkan kepada Tuhan.

"Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati." (ay 9b).

(bersambung)

Sunday, September 1, 2024

To Be Or Not To Be (2)

 (sambungan)

Pada kenyataannya ada banyak orang yang memilih seperti Hamlet, yaitu mengakhiri hidupnya karena tidak tahan lagi menderita. Orang memilih jalan pintas yang fatal, mengakhiri hidupnya berharap atau mengira mereka bisa segera terbebas dari rasa sakit, dan itu tentu karena mereka merasa tidak lagi punya harapan.

Padahal keputusan seperti itu justru akan membawa penderitaan yang lebih menyakitkan lagi, dan bukan hanya sementara tapi kali ini untuk selamanya. Tapi itulah kenyataannya, bahwa rasa perih dengan kehilangan harapan  bisa membuat orang kehilangan akal sehatnya. Karenanya penting bagi kita untuk memastikan bahwa kita tetap punya harapan, bukan kepada hal-hal yang tidak cukup kuat melainkan kepada Tuhan.

Disaat banyak orang yang tidak tahan dan memilih jalan keliru, sikap berbeda bisa kita temukan dari Paulus. Paulus dikenal militan dalam menjalankan tugasnya mewartakan Injil setelah bertobat. Pada suatu saat ia merasakan hal ini. Tekanan begitu berat. Ancaman ia dapati dimana-mana. Dia didera, ditangkap, disiksa, sampai terancam dibunuh.

Paulus pernah merinci berbagai penderitaan yang ia alami dalam pelayanannya.

"..Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian." (2 Korintus 11:-23-27).

(bersambung)

Menjalankan Amanat Agung (4)

 (sambungan) Padahal kita memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Paulus menggambarkannya seperti ini: "Sebab sama seperti pada satu tubuh k...