Monday, September 2, 2024

To Be Or Not To Be (3)

 (sambungan)

Sering dipenjara. Disiksa diluar batas. Sering dalam bahaya maut. Dilempari batu. Berkali-kali mengalami kapal karam. Terkatung-katung ditengah laut. Bahaya banjir, orang jahat, bahaya dari segala arah, bahaya di kota, padang gurun, tengah laut, bahaya dari saudara-saudara palsu. Lapar, haus, kedinginan, kurang tidur, kecapaian. Semua itu bagai makanan sehari-hari bagi Paulus dalam pelayanannya. Semua ini ia sampaikan dalam 2 Korintus 11:23-27. Bayangkan betapa berat apa yang ia harus pikul.

Sehebat-hebatnya dan sekuat-kuatnya Paulus, tekanan bertubi-tubi ini pada suatu ketika bisa membuatnya jadi lemah, baik secara mental, moral maupun fisik. Ia mengakui hal itu kepada jemaat di Korintus.

"Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati." (2 Korintus 1:8-9a).

Sebagai manusia biasa sama seperti kita, Paulus pun pernah mengalami keputus-asaan. Bedanya, ia tidak membiarkan dirinya dikuasai rasa putus asa dan kehilangan harapan terus menerus. Paulus dengan cepat mengubah fokusnya. Ia kembali kepada pemikiran positif yang berpegang sepenuhnya kepada Allah. Paulus mampu melihat sisi lain dari sebuah penderitaan, yaitu sebagai pelajaran agar kita tidak bergantung kepada diri sendiri melainkan kepada Tuhan.

"Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati." (ay 9b).

(bersambung)

No comments:

Menjalankan Amanat Agung (6)

 (sambungan) Paulus tidak menutup diri dan tidak berhenti melayani. Ia membuka rumahnya seluas-luasnya bagi semua orang tanpa terkecuali, me...