(sambungan)
Saya terus berproses untuk tetap bisa bersukacita dalam pengertian yang sungguh-sungguh, bukan pura-pura, meski himpitan beban hidup bagai membuat saya sesak nafas. Saya terus mengingatkan hati dan pikiran saya bahwa sukacita itu seharusnya tidak memandang pada kesulitan-kesulitan dalam hidup, melainkan mengarahkan pandangan saya untuk tertuju pada Bapa.
Saya harus terus melatih mata hati dan pikiran saya untuk memandang kepadaNya, juga memandang kepada putri saya yang lucu dan pintar, istri saya tersayang, dan segala apa yang masih Tuhan percayakan untuk kami punyai. Sebagai manusia biasa, ada kalanya saya merasa down, tapi saya tidak akan membiarkannya berlarut-larut, atau berlama-lama.
Saya terus melatih diri untuk bisa merasakan sebuah sukacita yang Tuhan ingin kita miliki, yaitu sebuah sukacita yang tidak terpengaruh oleh apapun yang tengah dialami saat ini. Sukacita sejati sesungguhnya berasal dari Tuhan, karena Tuhan dan tidak tergantung dari situasi dan kondisi yang sedang dihadapi.
Lewat momen-momen perenungan, saya kemudian juga menyadari bahwa sukacita sebagai sebuah kemampuan luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Coba bayangkan kalau kita tidak dianugerahi rasa sukacita. Suram, kelam, sedih, perih, lantas takut, kalut, cemas, kuatir terus menerus, itu tentu tidak enak sama sekali.
Tentu saja sukacita akan jauh lebih mudah dirasakan saat hidup sedang berada dalam keadaan baik. Tanpa masalah, tanpa pergumulan, tanpa kendala. Baik ketika tidak mengalami masalah maupun karena merasakan kehadiran Tuhan, orang yang bersukacita akan mudah terlihat dari raut mukanya.
Senyum merekah, hati riang dan hidup pun terasa ceria. Ini adalah reaksi normal dari orang yang sedang berbahagia, atau bersukacita. Dan saya mau bisa tetap seperti itu tanpa terpengaruh situasi sulit yang sepertinya belum mau beranjak pergi dari hidup saya. Sekali lagi, saya terus latih diri saya untuk tidak salah mengarahkan pandangan. Bukan kepada masalah tetapi kepada Tuhan yang saya percaya tidak akan pernah meninggalkan kami.
Hari ini, saya menyadari satu hal, yaitu bahwa semua sukacita seperti ini adalah jenis sukacita pertama. Sukacita pertama? Ya, saya menyebutnya seperti itu. Lantas, kalau ada sukacita pertama, tentu ada sukacita kedua. Seperti apa bentuk sukacita kedua?
(bersambung)
Tuesday, October 29, 2024
Sukacita Kedua (2)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Sukacita Kedua (2)
(sambungan) Saya terus berproses untuk tetap bisa bersukacita dalam pengertian yang sungguh-sungguh, bukan pura-pura, meski himpitan beban ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24 ===================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan ...
-
Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25 ====================== "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih ...
-
Ayat bacaan: Mazmur 23:4 ====================== "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau...
No comments:
Post a Comment