Wednesday, November 6, 2024

Lanjutan Sukacita Kedua (3)

 (sambungan)

Dalam renungan kali ini saya ingin mengajak teman-teman untuk melihat bentuk sukacita ini dari beberapa perumpamaan lain yang disampaikan Yesus. Bukan hanya lewat satu atau dua, tapi lewat tiga perumpamaan.

Mari kita lihat terlebih dahulu perumpamaan ketiga tentang anak yang hilang. (Lukas 15:11-32).

Kisah anak yang hilang tentu sudah sangat familiar bagi kita. Meski demikian ada baiknya saya sampaikan sedikit seperti apa garis besarnya.

Secara singkat perumpamaan ini menggambarkan seorang anak yang keterlaluan dengan meminta warisannya ketika sang ayah masih hidup. Uang tersebut bukannya dipakai untuk hal-hal baik tapi malah ia pakai untuk berfoya-foya. Dalam waktu singkat ia jatuh miskin dan menderita. Ia pun kemudia menyesal dan memutuskan untuk pulang, apapun konsekuensinya.
Ia sudah siap meski ia harus menerima hukuman, dimarahi atau bahkan diusir. Tapi ternyata bukan itu yang menjadi reaksi sang ayah. Melihat kembalinya si bungsu, sang ayah langsung berlari menyambut dan memeluknya. Ia bahkanmenyediakan pesta besar untuk merayakan kembalinya anak yang hilang.

Semua bersukacita, kecuali abangnya, si anak sulung.

Ia merasa cemburu karena adiknya yang durhaka ternyata lebih dihargai ketimbang dirinya yang selama ini selalu taat kepada ayahnya. Ia pun menyampaikan protes.

Apa reaksi ayahnya? Ayahnya menjawab begini: "Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." (Lukas 15:32).

(bersambung)

Tuesday, November 5, 2024

Lanjutan Sukacita Kedua (2)

 (sambungan)

Dalam renungan sebelumnya kita sudah melihat bagaimana sebuah sukacita bisa berlanjut dari diri kita pribadi kepada saat melihat orang lain mengalami Tuhan dalam hidupnya, sebuah sukacita yang saya gambarkan sebagai jenis sukacita kedua.

Ketika kita terlibat di dalamnya, dengan memandangnya sebagai sebuah pelayanan, dengan sebuah hati hamba dimana kasih Allah mengalir bisa membuat kita bersukacita meski kita harus rela rugi waktu, tenaga atau harta karenanya.

Sebuah contoh menarik dari kisah Yesus bertemu seorang pria lumpuh yang ditandu oleh empat orang temannya menunjukkan hal ini, yaitu dari sudut sang pemilik rumah dimana kesembuhan sang pria lumpuh yang diturunkan dari atap terjadi. Bukan saja pemilik rumah harus rela melihat rumahnya dipenuhi orang dengan potensi kerusakan di rumah dan halamannya, tapi ia juga harus rela melihat atap rumahnya dibuka agar si pria lumpuh bisa diturunkan ke bawah untuk bertemu Yesus.

Baik dalam Injil Lukas, Markus dan Matius dimana kisah ini dicatat tidak ditemukan adanya komplain atau keluhan dari sang pemilik rumah. Itu menunjukkan bahwa sang pemilik rumah tidak memikirkan kerugian yang dideritanya karena ia fokus terhadap sukacita yang ia rasakan dengan adanya kesembuhan ilahi yang terjadi dirumahnya. Itulah yang saya sebut dengan sukacita kedua atau sukacita selanjutnya, yaitu sukacita yang timbul saat kita melihat orang lain mengalami Tuhan.

(bersambung)

Monday, November 4, 2024

Lanjutan Sukacita Kedua (1)

 Ayat bacaan: Lukas 15:32
========================
"Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."


Saya ingat seorang teman saya semasa kuliah dulu. Entah kenapa ia sepertinya punya masalah dengan orang yang (lebih) berada darinya. Setiap melihat mobil mewah lewat ia menggerutu dan mengumpat pemiliknya yang entah siapa, kenal saja tidak. Kalau ada di parkiran, dia bisa nyeletuk: "sombong banget, digores baru tahu rasa." Lho, sombong bagaimana, itu cuma mobilnya yang parkir orangnya entah dimana. Melihat orang yang rapi dan berdandan pun sama. Pendek kata, ada sesuatu yang mewah di dekatnya, mukanya pun berubah dan kata-kata bernada negatif segera menyusul setelahnya.

Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang. Sikap hati seperti ini menjangkiti banyak orang. Kalau sama yang tidak dikenal saja sikap hati bisa seperti itu, apalagi terhadap orang yang tidak disukai. Wah, kalau orang yang tidak disukai ditimpa masalah, senangnya bukan main rasanya. Tapi kalau mereka baik-baik saja atau malah ketiban rezeki, maka kesalnya sampai ke ubun-ubun, atau bahkan berani menuduh Tuhan bersikap tidak adil.

Rasa iri dan dengki sesungguhnya bagaikan penyakit yang menggerogoti hati. Cobalah berikan kesempatan pada rasa iri dan dengki, maka intensitasnya akan terus meningkat sehingga memperburuk kondisi hati kita.

Kalau dikira bahwa rasa ini hanya muncul saat kita melihat orang sukses ketika kita sendiri sedang susah, ternyata ada banyak penderita penyakit iri kronis ini disaat mereka sebenarnya sedang baik-baik saja, seperti teman saya di ilustrasi awal misalnya. Itulah sebabnya saya lebih suka menganggapnya sebagai penyakit yang kalau dibiarkan bisa memperburuk sikap hati.

Dalam renungan sebelumnya kita sudah melihat bagaimana sebuah sukacita bisa berlanjut dari diri kita pribadi kepada saat melihat orang lain mengalami Tuhan dalam hidupnya, sebuah sukacita yang saya gambarkan sebagai jenis sukacita kedua.

(bersambung)

Sunday, November 3, 2024

Sukacita Kedua (7)

 (sambungan)

Menempatkan diri dari sisi sang pemilik rumah, saya merasa ia sadar bahwa itu adalah bagian atau resiko dari pelayanan. Saat kita melayani, kita pun harus rela mengorbankan waktu, tenaga dan uang. Bisa jadi orang yang kita hadapi malah sulit. Memberi penolakan, marah atau kambuhan. Mungkin sudah tidak memberi apa-apa, mereka malah tidak serius dan seperti malah kita yang punya kepentingan. Tapi itulah pelayanan. So be it. Memakai hati hamba dan mengaplikasikan kasih memang butuh pengorbanan.

Adalah baik jika kita sudah bisa bersukacita tanpa terpengaruh oleh kondisi faktual yang tengah kita alami saat ini. Tingkatkanlah sukacita itu kepada sebuah sukacita saat melihat ada orang lain yang diselamatkan, saat ada yang mengalami kuasa mukjizat Tuhan, menerima jamahanNya dan mendapat kesempatan menjadi manusia baru. Dan tentu saja, menjadi bagian atau rekan sekerja Tuhan dalam misi menyelamatkan jiwa-jiwa terhilang.

Meski kita harus rugi karenanya, itu tidak apa-apa, karena sebuah hati hamba yang berisi kasih Allah seharusnya tidak memperhitungkan hal tersebut melainkan turut bersukacita menyaksikannya. Bukankah saat melihat langsung hal itu atau saat mengalaminya, iman kita pun sedang ditumbuhkan? Pandanglah segala kerugian bahkan penderitaan itu sebagai suatu kehormatan.

Be joyful not only when you look at your life with faith but also when you see people being transformed by God



Saturday, November 2, 2024

Sukacita Kedua (6)

 (sambungan)

Tapi mengacu kepada ketiga Injil yang menuliskan kejadian ini, tidak ditemukan tanda-tanda protes dari sang pemilik rumah. Tidak ada kemarahan, tidak ada keluhan, tidak ada komplain atau protes.

Ia tampaknya membiarkan saja itu terjadi. Kalau demikian, saya membayangkan bukannya marah, tapi ia justru bersukacita melihat bahwa rumahnya dipakai Tuhan sebagai tempat dimana banyak mukjizat kesembuhan terjadi dan menjadi tempat dimana Yesus menyampaikan pengajaranNya.

Bukan hanya rumahnya yang dipakai, tapi ia juga pasti menyaksikan semua mukijzat kesembuhan tepat di depan matanya, dan mendengarkan pula pengajaran Yesus secara langsung dari dekat.

Benar, setelah semuanya selesai, ia tentu harus memperbaiki sendiri atapnya setelah itu. Keluar uang lagi membeli bahan, keluar tenaga atau harus membayar upah tukang. Tapi ia tidak mempermasalahkan itu. Ia merasa terhormat dan bangga rumahnya lah yang dipilih Tuhan sebagai tempat untuk melakukan kesembuhan Ilahi dan memberi pengajaran. Di antara sekian banyak rumah di Kapernaum, yang dipakai rumah saya. Wow. Itu yang paling penting, yang lain bisa diurus nanti.

Saya pikir itulah yang ada di benaknya saat itu. Melihat orang lumpuh yang tadinya ditandu kini bisa berjalan dan membawa pulang tandunya sendiri, itu tentu pengalaman spiritual yang luar biasa.

(bersambung)

Friday, November 1, 2024

Sukacita Kedua (5)

 (sambungan)

Versi Markus mencatatnya seperti ini: "Tetapi mereka tidak dapat membawanya kepada-Nya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring." (Markus 2:4).

Saat merenungkan ayat atau kisah ini, saya mendapat pencerahan dan melihat sesuatu yang sepertinya sangat jarang kita cermati.

Jika kemarin kita melihat kisah ini dari sisi orang lumpuh dan teman-temannya yang bersusah payah menggotongnya ke atap lantas menurunkan tepat di hadapan Yesus yang berada di dalam rumah, sekarang coba kita posisikan diri kita sebagai si pemilik rumah.

Bayangkan apabila anda adalah sang pemilik rumah. Sudah hiruk pikuk, sudah rumah anda penuh sesak oleh pengunjung, mungkin tanaman-tanaman di pekarangan hancur diinjak-injak, mungkin ada barang-barang yang jatuh dan pecah di dalam rumah, atau jangan-jangan ada yang hilang, anda masih harus melihat atap rumah anda dibongkar oleh sekelompok orang tanpa permisi atau minta ijin terlebih dahulu.

Atap rumah dibongkar bukan cuma bolong kecil tentunya, karena mereka harus menurunkan tandu dengan tilam yang ada orang di atasnya. Bisa jadi, kalau rumahnya kecil, sebagian besar atapnya sudah dibongkar.  

Jika anda adalah pemilik rumah, apa yang anda lakukan? Mungkin anda akan marah. "Hey! Apa-apaan itu? Pergi sana sebelum saya panggil polisi!" Mungkin itu reaksi spontan kita. Atau anda biarkan, tapi mencoba mencari cara bagaimana mendapatkan uang ganti rugi. Atau cari sponsor? Atau minta langsung pada Yesus.

(bersambung)

Lanjutan Sukacita Kedua (3)

 (sambungan) Dalam renungan kali ini saya ingin mengajak teman-teman untuk melihat bentuk sukacita ini dari beberapa perumpamaan lain yang d...